SEJARAH HADIST DI KALANGAN SUNNI
Semua karya yang ada tentang hadis di kumpulkan pada waktu akhir abad ke-2H/8M atau selama abad ke3H/9M, berbagai catatan sejarah menunjukkan, bahwa di seputar awal abad ke-2H, sejumlah kecil muhadditsun (ahli hadis) telah mulai menulis hadis, meskipun tidak dalam himpunan yang di runut, belakangan, kebanyakan hadis yang ada dalam himpunan-himpunan besar di sampaikan melalui tradisi lisan dan sebelum di catat dalam himpunan-himpunan tersebut, belum pernah di catat di tempat manapun.
Tertundanya penulisan hadis merupakan salah satu isu penting dalam sejarah hadis, pentingnya isu ini terletak pada kenyataan bahwa, penundaan tersebut memberi pengaruh penting terhadap gaya bahasa hadis, jumlahnya, kemungkinan pemalsuannya, serta berbagai masalah lain yang terkait di dalamnya.
Aspek penting dari isu ini berkaitan dengan mereka yang jadi penyebab kasus penundaan ini, sikap mereka menjadi contoh bagi yang lain dalam menjauhkan diri dari penulisan hadis, suatu pengamatan terhadap motif-motif ini dan pengaruh mereka terhadap hadis akan menjadi bagian pembahsan ini.
Dari sumber-sumber sejarah dapat di simpulkan, bahwa sebagian Khalifah mencegah penulisan hadis karena alasan-alasan tertentu, setelah rnereka, sekelompok sahabat dan tabi'in mengikuti teladan mereka dalam hal ini, sesuai dengan ungkapan “rakyat mengikuti agama raja-raja mereka”, mereka menghindar dari penulisan hadis demi memahami larangan tersebut, mereka memelihara hadis-hadis Nabi Saw lewat kekuatan ingatan saja, sebagaimana akan kita lihat kemudian, ada kalanya mereka menulis hadis, tetapi itu hanya untuk di hancurkan kembali pada tahun-tahun terakhir hidup rnereka, seakan-akan penulisan tersebut hanya untuk membantu ingatan.
Catatan-catatan hadis tersebut tidak di gunakan sebagai sarana untuk memelihara hadis bagi generasi mendatang, menarik untuk di catat, bahwa larangan penulisan hadis di kalangan Sunni berasal dari para penguasa, begitu juga perintah untuk menulis hadis.
Al-Zuhri berkata : "Kami benci menulis pengetahuan sampai para penguasa memaksa kami menulisnya, selanjutnya kami sadar tak ada seorang pun di kalangan kaum muslimin yang menentang hal itu."
Lebih lanjut Al-Zuhri berkata : "Para penguasa meminta saya menuliskan pengetahuan (hadis) buat mereka, usai menuliskan bagi mereka, saya merasa malu di hadapan Tuhan, saya bertanya pada diri sendiri, mengapa saya bersedia rnenulis untuk para penguasa dan tidak untuk yang lain?”
Tentu saja, seperti yang akan kita lihat, ini tidak berlaku bagi semua sahabat dan tabi‘in, sebagian dari mereka, dengan ‘Ali ibn Abi Thalib Ra sebagai pemimpinnya, menulis hadis dan menyuruh yang lainnya berbuat serupa, yang lain memulai penulisan hadis ketika larangan Khalifah di ganti dengan perintah untuk menuliskannya.
Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz adalah khalifah pertama yang memerintahkan para ulama di berbagai kota untuk menulis hadis-hadis dan mengirimkan tulisan tersebut kepadanya.
Di riwayatkan, bahwa ia menulis surat kepada Murrah Ibn Katsir, menyuruhnya menuliskan hadis-hadis Nabi Saw untuknya, ia juga menulis kepada Abu Bakr Ibn Muhammad Hazm : “Catatlah setiap hadis Nabi Saw yang ada padamu dan kirimkan juga kepadaku apa saja yang di riwayatkan dari Umar, sebab saya khawatir hadis-hadis ini akan hilang." Ia juga menulis kepada penduduk Madinah, meminta mereka menuliskan semua hadis Nabi Saw yang ada pada mereka.
Berbagai riwayat ini dengan jelas menunjukkan, bahwa pencatatan hadis tidak mendapat perhatian sampai masa tersebut, sekalipun tidak berarti bahwa hadis-hadis tertulis tidak ada sama sekali sampai masa itu.
Dengan wafatnya ‘Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz, tugas ini tidak di lanjutkan oleh para khalifah berikutnya, penulisan hadis, sekali lagi, terlupakan kembali, hapalan kembali menjadi satu-satunya cara, tradisi lisan, yang merupakan satu-satunya cara penyampaian pada waktu itu yang di warisi kaum Sunni dari para leluhurnya, telah melahirkan semacam sikap menentang yang kuat terhadap penulisan hadis.
Kita akan lebih memahami semangat ini kalau kita mengetahui bahwa sebagian muhadditsun mengecam penulisan hadis sampai akhir abad ke-2/8, pernyataan-pernyataan para ahli sejarah yang berkenaan dengan awal penghimpunan hadis menunjukkan hal ini.
Abd Al-Razzaq menyatakan, yang pertama mengumpulkan hadis adalah ‘Abd Al-Malik Ibn Juraij, di kenal sebagai Ibnu Juraij (w.150/767), juga ‘Abd Al-Rahrnan Al-Auza‘i (88-157/707-773) termasuk di antara mereka yang memulai penghimpunan hadis adalah Al-Dzahabi yang menulis bahwa pada masa itu para ulama Islam mulai mencatat hadis, fiqh dan tafsir, yaitu pada tahun 143/760. Ibnu Juraij di Makkah, Malik (w. 179/795) di Madinah, Al-Auza‘i di Siria, Sa‘id Ibnu Abi ‘Urwah (w. 156/173) di Bashrah, Mu‘ammar di Yaman, Sufyan Al-Tsauri (w. 167/783-4) di Kufah. Di antara para penulis, sebelum itu, para muhadditsun meriwayatkan hadis dari hapalan atau dari kumpulan hadis yang dapat di percaya tapi tidak tersusun, di tempat lain, Al-Dzahabi lebih tegas kelika berkata : “Ibnu Juraij dan Ibnu Abi ‘Urwah termasuk orang-orang pertama yang menghimpun hadis, sedang Mu‘ammar Ibnu Rasyid adalah orang pertama di Yaman. Ada suatu kisah yang di riwayatkan dari ‘Abd Al-‘Aziz Ibn Muhammad Al-Darwardi, bahwa orang pertama yang menghimpun ilmu (‘ilm) adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri. Al-Zuhri (124/742) sendiri di riwayatkan pernah berkata : “‘Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz menyuruh kami mengumpulkan hadis, mengikuti perintah itu, kami menulis hadis dalam bentuk buku dan mengirimkan salinannya kesetiap wilayah kekuasaannya."
Tampaknya, meskipun hadis telah di himpun secara terbatas selama masa itu, namun upaya itu terhalang lagi akibat penentangan yang muncul setelah wafatnya ‘Umar Ibn ‘Abdul Al-‘Aziz dan sebagaimana kata Al-Dzahabi, tugas itu tertunda sampai setengah abad berikutnya, Ibnu Hajar berkata : "Penghimpunan dan klasifikasi (tadwib) hadis di mulai sejak tahun-tahun terakhir masa Tabi‘in, yakni di masa para ulama Islam menyebar ke seluruh negeri, orang pertama yang menghimpun hadis adalah Rabi‘ Ibn Shubaih dan Sa‘id Ibn Abi ‘Urwah sampai para tokoh ulama generasi (thabaqah) ketiga menghimpun ahkam (hukum)."
Al-Dzahabi memberi pernyataan serupa, yaitu : "Dari berbagai pernyataan ini dapat di simpulkan, bahwa penghimpunan hadis di dalam dua tahap yaitu : tahap pertama, penghimpunan yang tidak lengkap selama awal abad ke-2H atau ke-8M dan tahap kedua, penghimpunan yang lebih menyeluruh sejak pertengahan abad itu.
Tatkala Islam menyebar ke berbagai wilayah dan kota-kota, Islam sungguh meluas, para Tabi‘in menyebar ke kota-kota tersebut sampai suatu saat, ulama-ulama yang terkenal di antara mereka meninggal dan akibatnya, pencatatan hadis terabaikan. Para ulama mulai merasa perlu menulis hadis dan memeliharanya dengan tulisan, setelah meraka, datanglah masa munculnya tokoh-tokoh hadis seperi lbnu Juraij dan Malik Ibnu Anas, di katakan bahwa orang pertama yang menghimpun hadis adalah Rabi‘ Ibnu Shubaih dari Bashrah, setelah dia, penghimpunan hadis menjadi umum.
Ada tiga fase dalam transisi dari tradisi lisan ke tradisi tertulis, fase pertama berlangsung dari awal hingga akhir abad ke-1H/ke-7M, ketika penulisan hadis belum menjadi praktek yang merata, kecuali dalam kasus-kasus tertentu sebagian sahabat melakukannya dengan melanggar perintah Khalifah.
Pada fase kedua, sejak permulaan hingga pertengahanabad ke-2/8, penulisan dan penghimpunan hadi di lakukan secara tidak lengkap dan beberapa catatan yang ada di himpun.
Pada fase ketiga yang di mulai sejak pertengahan abad ke-2/8, perhatian yang relatif Iebih besar di curahkan pada penulisan dan penghimpunan hadis sebagai suatu tugas penting, sangat sedikit buku-buku yang di tulis pada masa ini yang masih ada, beberapa himpunan tertua yang masih ada, seperti "Mushannaf" dari Ibnu Abi Syaibah, "Mushannaf" dari ‘Abd Al-Razzaq dan Muwaththa' dari Malik Ibnu Anas.
Umumnnya di mulai pada pertengahan kedua dari abad ke-2/8, menurut perkataan Al-Dzahabi, musnad pertama di himpun oleh Nu‘aim Ibnu Hammad, Yahya Al-Hamani di Kufah dan Al-Musaddad di Bashrah adalah ulama-ulama yang pertama menghimpun musnad di kota-kota tersebut.
Alasan tertundanya penulisan hadis, sudah di maklumi, sejak awal kerasulannya Nabi Saw mencurahkan perhatian besar bagi penulisan Al-Qur'an, karena itu, Al-Qur'an tetap bebas dari segala bentuk kekeliruan atau perubahan (tahrzif), sedangkan dalam kasus hadis, meskipun ada izin atau perintah Nabi Saw dalam kaitannya dengan penulisan hadis dan meskipun kenyataannya hadis telah di tulis selama masa hidup Nabi Saw, namun tugas penulisan hadis bukan saja tidak di perhatikan, tetapi bahkan di tentang, penentangan ini melahirkan banyak masalah yang berkaitan dengan hadis.
Penundaan penulisan hadis ini dan akibat-akibatnya yang berbahaya telah membawa sekelompok orang melimpahkan kesalahan kepada Nabi Saw, mereka tahu bahwa jika penentangan penulisan hadis datang dari Nabi Saw, tidak akan di anggap salah, karena Nabi ma‘shum, tetapi jika penentangan itu di nisbahkan kepada yang lain, maka kelemahan mereka akan terungkap, karena itulah mereka menisbahkan larangan tersebut kepada Nabi Saw, hadis Abu Sa‘id, hadis berikut ini di riwayatkan oleh Abu Sa‘id Al-Khudri : "Jangan tulis dariku kecuali Al-Qur'an dan siapa pun yang menlisnya hendaknya ia menghapusnya."
Pernyataan ini jelas dan gamblang, jelas sekali bahwa penulisan hadis tidak di izinkan, sesuai dengan penjelasan ini, tiap orang yang telah menulis apa saja tenlang hadis wajib memusnahkannya, karena ketegasan dan kejelasan hadis inilah dan karena alasan-alasan lainnya, kami tidak dapat menerima kesahihan pernyataan ini atau pernyataan lainnya yang seperti ini, alasan kami menolak hadis ini adalah sebagai berikut :
Pertama, kalau kita terima hadis ini, kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa tertentu saja, jika penulisan hadis tidak di perbolehkan dan haram, maka haramnya itu harus untuk setiap saat, akan tetapi, kita melihat para perawi hadis ini sendiri tidak berpegang kepadanya dan pada akhimya, menulis serta menghimpun berbagai hadis.
Penulisan hadis ini, sebagaimana di sebutkan di atas, di mulai sejak pertengahan abad ke-2/8, tidak di patuhinya hadis ini oleh para perawi, menunjukkan bahwa mereka memandang hadis ini tidak shahih, karena mereka tahu, bahwa larangan syari'at tidak bisa di rubah menjadi kebolehan, yang menarik dalam hubungan ini adalah bahwa mereka tetap mencatat hadis ini dengan pena mereka sendiri, walaupun tidak mengamalkannya, lalu bagaimana kita dapat menshahihkannya?
Kedua, para perawi ini telah meriwayatkan juga hadis lain yang menunjukkan kebolehan menulis hadis, kalau kita menganggap kedua rangkaian hadis ini sama kuat, kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan, dalam hal ini, keduanya kehilangan kredibilitas, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan hadis yang melarang penulisan hadis dengan cara lain.
Ketiga, Abu Sa‘id Al-Khudri, yang meriwayatkan hadis ini, telah menyampaikan pernyataan lain yang bertentangan dengan ini, ia berkata : “Pada masa itu, kita tidak menulis apa pun kecuali Al-Qur'an dan tasyahhud." Dari pernyataan Abu Sa‘id ini, ada dua hal yang bisa di simpulkan, yaitu : pertama, Abu Sa‘id tidak berkata bahwa mereka tidak menulis itu atas perintah Nabi Saw, karena seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut memang bukanlah yang ia maksudkan, kemungkinan yang kedua ini, walaupun dapat di terima, nampaknya terlalu jauh. Kedua, di tambahkannya kata tasyahhud dalam pemyataan itu tidak sesuai dengan maksud pelarangan menulis apa pun kecuali Al-Qur'an.
Perlu di perhatikan, bahwa dalam hadis lain yang semuanya dari Ibnu Mas‘ud, istikharah di sebut bersama tasyahhud. Dalam hubungannya dengan hadis ini, bisa di pertanyakan mengapa Nabi Saw hanya membolehkan penulisan tasyahhud. Seandainya terdapat kemungkinan hilangnya tasyahhud karena waktu, kemungkinan tersebut terdapat juga pada hadis-hadis lain, yang berisikan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang sangat vital, di lain pihak, kalau ada bahaya dalam penulisan hadis, maka bahaya tersebut bisa juga terjadi dalam penulisan tasyahhud atau apa saja yang lain, karena itu, tidaklah logis berpendapat bahwa Nabi Saw mengeluarkan larangan semacam itu.
Keempat, dari berbagai catatan sejarah, yang akan kita uraikan nanti adalah Abu Bakar, bahkan Khalifah Kedua ini mengusulkan menulis hadis di awal kekhalifahan mereka, tetapi belakangan mereka rnelarang karena alasan-alasan tertentu yang mereka nyatakan, mereka tak pernah berkata bahwa Nabi Saw telah melarang usaha tersebut, lagipula, ketika berunding dengan para sahabat lain tentang penulisan hadis, mereka sepakat melakukan tugas tersebut. Ini juga menunjukkan tidak terdapatnya larangan Nabi Saw dalam masalah ini.
Kelima, dalam sebuah hadis, Abu Bashir di riwayatkan berkata kepada Abu Sa‘id Al-Khudri : “Kami tulis apa saja yang karni baca.” Abu Sa‘id berkata kepadanya : “Apa anda ingin mernbuat buku? Nabi Saw menerangkan hadis kepada kami dan kami meriwayatkannya kepada anda, anda pun seperti kami, handuknya menghapalnya saja.“ Dua hal ini perlu di perhatikan dalam riwayat ini.
Keenam, ada suatu pernyataan dalam hadis itu segera setelah pernyataan yang di kutip di atas, pernyataan itu menunjukkan kepalsuannya : ...Ceritakan apa saja yang kalian kehendaki dari Bani lsrai, tidak ada salahnya." Karena, pada satu sisi, Nabi Saw terkenal sangat mengecam mendengarkan hadis dari kaum Yahudi yang di kenal dengan Isra’iliyyat, nanti kita akan menyebutkan sumber-sumber pernyataan ini dan padda sisi Iain, para ulama Islam telah mengetahui bahaya gagasan-gagasan yang di sebarluaskan oleh Yahudi dengan berbagai cara, maka dapat di katakan bahwa seluruh hadis ini merupakan kebohongan yang nyata. Di satu pihak, hadis ini menyuruh kaum muslimin untuk tidak rnenulis pernyataan-pernyataan Nabi Saw, yang akibatnya hadis-hadis Nabi Saw secara bertahap di lupakan, sedang di lain pihak, hadis ini membuka peluang bagi mereka untuk menceritakan apa saja yang mereka kehendaki dari cerita Bani Israil, yang secara nyata akan menghadapkan ajaran Islam kepada bahaya pemasukan miskonsepsi Yahudi, inilah tujuan yang berbahaya dari si pencipta hadis ini, bisakah orang yang waras menerima bahwa Nabi Saw telah memberi perintah semacam itu?
Ketujuh, ada hadis lain yang relevan dari Abu Sa‘id Al-Khudri yang memberi kemungkinan bahwa Nabi Saw tidak memberi izin kepada Abu Sa‘id untuk menulis hadis, karena beberapa alasan khusus, meskipun, menurut pandangan kita, kemungkinan utama yang harus di pegang dalam hal ini adalah bahwa hadis ini pun palsu. Abu Sa‘id berkata : "Saya memohon kepada Nabi Saw agar saya di beri izin menulis hadis, tetapi ia menolak untuk memberi izin kepadaku.” Hadis ini mendukung kemungkinan bahwa larangan Nabi Saw tersebut adalah dalam kasus Abu Sa‘id secara pribadi, jika di lihat dari sudut pandang hadis-hadis yang memberitakan bahwa Nabi Saw telah memberi izin kepada beberapa orang lainnya, yang akan kita kutip kemudian, kemungkinan ini jauh lebih kuat.
Hadis Abu Hurairah, dalam hubungan ini, telah di riwayatkan hadis lain dari Abu Hurairah, dalam hadis itu Abu Hurairah berkata : "Nabi datang kepada karni ketika karni sedang sibuk menulis hadis, “Apa yang kalian tulis? Ia bertanya. Saya berkata, “Ini adalah segala sesuatu yang kami dengar darimu." Nabi Saw berkata, “lnginkah kalian menulis kitab lain selain Kitab Allah? Tidak ada yang menyesatkan bangsa-bangsa yang sudah berlalu kecuali kitab-kitab lain yang mereka tulis di samping Kitab Allah.” Hadis ini pun tidak bisa kita terima dengan alasan-alasan berikut :
Pertama, karena alasan-alasan yang telah di tunjukkan orang lain dalam berbagai studinya dan kita pun dapat menerimanya setelah menelaahnya, kejujuran adalah Abu Hurairah tidak dapat di terima, terlepas dari itu, orang lain mungkin saja telah membuat hadis ini dan menisbahkannya kepada Abu Hurairah.
Kedua, alasan yang di pertahankan dalam hadis ini persis seperti alasan yang di kemukakan Khalifah Kedua ketika ia memutuskan untuk menulis hadis tapi kemudian mengurungkannya. Khalifah sendiri tidak menisbahkan alasan itu kepada Nabi Saw, sedang Abu Hurairah atau mereka yang menisbahkan hadis ini kepadanya, menisbahkan alasan tersebut kepada Nabi Saw, sehingga tidak boleh di tolak. Khalifah, seperti akan kita lihat nanti, sampai pada kesimpulan ini hanya setelah memikirkannya.
Ketiga, alasan yang terdapat dalam hadis ini, meskipun punya dasar dalam pernyataan Nabi Saw, yang akan di kutip kemudian, berkaitan dengan larangan Nabi Saw tentang kitab-kitab Kristen dan Yahudi, bukan dengan hadis Nabi yang merupakan pelengkap Al-Qur'an.
Keempat, mungkinkah Nabi Saw melarang penulisan Sunnahnya yang merupakan pelengkap Al-Qur'an? Mungkinkah Nabi Saw melarang karena Sunnah akan berdampingan dengan Al-Qur'an? Lalu di mana tempat Sunnah Nabi Saw kalau tidak di sisi Al-Qur'an? Bukankah suatu kenyataan bahwa Al-Qur,an dan Sunnah secara bersama-sama merupakan pembentuk syari'at Islam? Hadis lain yang menarik, yang mengungkapkan kepalsuan hadis seperti ini, adalah yang di riwayatkan dari Abu Hurairah, setelah memuat pernyataan yang serupa dengan hadis di atas, hadis ini menambahkan sesuatu yang menunjukkan kekeliruan Abu Hurairah, atau sebagian pemalsu yang menisbahkan hadis itu kepadanya. Menurut hadis ini, Nabi Saw mendengar sebagian orang menulis hadisnya. Setelah itu, ia naik mimbar dan setelah memuji Tuhan, berkata : "Kitab-kitab apakah ini yang saya dengar telah kalian tuliskan? Sesungguhnya saya ini hanyalah seorang manusia, siapa saja yang telah menulis apapun dari jenis itu, bawalah kepadaku.“ Hadis ini merupakan penolakan yang jelas atas Sunnah Nabi Saw, karena Nabi Saw datang untuk meniadakan otoritas resmi pernyataan-pernyataannya sendiri dengan alasan karena ia adalah manusia biasa seperti yang lainnya. Inilah hal yang tidak bisa di terima seorang muslim, yang lebih menarik lagi adalah bahwa pemyataan Nabi Saw di sini "Saya seorang manusia” di sebutkan dalam hadis lain sebagai bantahan yang di kemukakan sekelompok Quraisy kepada ‘Abd Allah Ibn ‘Amr iIbn Al-‘Ash yang menulis hadis Nabi Saw. Di dalamnya Nabi Saw sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap bantahan mereka atau sesungguhnya menolaknya. la berkata : “Saya tidak bicara apa pun kecuali yang benar."
Kelima, telah di riwayatkan dari Abu Hurairah sendiri, ia berkata bahwa tidak ada yang lebih banyak meriwayatkan hadis di banding dia kecuali ‘Abdullah Ibn ‘Amr, karena ia menulis hadis sedang Abu Hurairah tidak.“ Pemyataan ini menunjukkan tidak adanya larangan sama sekali. ‘Abddullah menulis semua hadisnya, sementara mesti ada alasan pribadi mengapa Abu Hurairah tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan dari Nabi Saw dalam hal ini, setiap orang yang mau menulisnya, menulisnya dan yang tidak mau, tidak menulisnya.
Keenam, dalam riwayat yang lain, Abu Nuhaik, seorang murid Abu Hurairah, berkata : "Saya meminjam kitab dari Abu Hurairah, menyalinnya, kemudian membawa (salinan saya) kepada Abu Hurairah dan membacakannya kepadanya, setelah membaca setiap hadis, saya tanyakan kepadanya apakah hadis itu pernah ia dengar dari Nabi Saw dan ia pun membenarkannya.” Hadis ini pun menunjukkan kekeliruan hadis tentang larangan penulisan hadis yang di nisbahkan kepada Abu Hurairah.
Ketujuh, telah di riwayatkan bahwa Hamman Ibn Munabbih, seorang murid dari Abu Hurairah, telah menghimpun sebuah mushhaf yang berisikan hadis yang di riwayalkan gurunya selarna hidupnya. lni pun bertenlangan dengan hadis larangan, karena tidak konsisten bila Abu Hurairah meriwayatkan larangan penulisan hadis, sementara muridnya menuliskan hadis di hadapannya, kecuali kalau Abu Hurairah tidak mengamalkan apa yang ia sendiri riwayatkan. Ada juga hadis lain yang di laporkan dari Zaid Ibn Tsabit, bahwa suatu watu ia menghadap Mu‘awiyah, yang bertanya kepadanya tentang suatu hadis. Lalu Mu‘awiyah meminta seseorang buat menulisnya, setelah itu, Zaid berkata : “Nabi Saw pernah berkata kepada kami agar tidak menulis hadis-hadisnya.” Kami yakin, menurut kenyataan yang jelas, bahwa di catatnya hadis oleh Tabi‘in dan, setelah mereka, para ularna Sunni lainnya membuktikan ketidak shahihan hadis-hadis di atas, nanti, dalam studi ini, kami akan memperlihatkan data-data yang mengungkapkan faktor sesungguhnya di balik larangan penulisan hadis. Data-data ini menunjukkan, tidak benar menisbahkan pemyataan-pernyataan di atas kepada Nabi Saw. Telah di riwayatkan juga bahwa Ibn Mas‘ud membuat surat wasiat agar kumpulan (shahifah) hadisnya di hancurkan.“ Dalam hal ini, tidaklah jelas apakah tindakannya itu merupakan jawaban terhadap perintah Nabi Saw. Barangkali, ia mengikuti ketetapan Khalifah. Kedua, sebagaimana yang akan di bicarakan kemudian, tindakan ini berkaitan dengan penghancuran lsra'iliyyat, bukan hadis-hadis Nabi. Juga telah di riwayatkan bahwa Abu Musa Al-Asy‘ari menghancurkan hadis-hadis yang di tulis oleh putranya. Bila kita melihat sikap patuh Abu Musa kepadn Khalifah Kedua, bisa di katakan bahwa tindakannya itu pasti di pengaruhi oleh Khalifah Kedua, lagi pula, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tindakan Abu Musa di ilhami oleh larangan dari Nabi Saw. Suatu hal yang membuktikan ketidak otentikan hadis tentang larangan penulisan hadis adalah pernyataan ‘Umar berkenaan dengan maksudnya menghimpun hadis. ‘Umar di riwayatkan berkata : "Saya bermaksud menuliskan Sunnah Nabi Saw, tetapi segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan menaruh kepercayaan kepadanya, yang mengakibatkan mereka mengabaikan Kitab Suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun mengungguli Kitab Allah.“ Riwayat di atas mengungkapkan, bahwa Khalifah kedualah yang pertama kali berniat menulis hadis, dalam sebagian versi di sebutkan, bahwa ‘Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya, tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, bukan berdasarkan larangan Nabi. Hal lain yang juga dapat di kemukakan sebagai bukti ketidak otentikan hadis mengenai larangan penulisan hadis adalah pernyataan Nabi Saw pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya, pada hari itu, ketika para Sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, beliau bersabda : “Bawakan kepadaku kertas dan tinta sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus dalam kekeliruan.” Sebagian orang, di bawah pimpinan Umar, menentangnya dengan mengatakan : “Cukup bagi kit Kitab Allah?“ Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain Al-Qur'an bukan saja tidak di larang, tetapi bahkan penting rnenurut penimbangan Nabi Saw agar umat tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan. Tatkala Nabi Saw meminta alat lulis dan sekelompok Sahabat yang di pirnpin oleh Khalifah Kedua menurut Al-Syarislani dalam Kitab Al-Milal wa Al-Nihal, menentangnya, Nabi Saw sadar betul akan petaka yang bakal muncul setelah peristiwa itu. Nanti kita akan melihat rincian yang di kemukakan oleh para ulama Sunni mengenai kerugian akibat tidak di tulisnya hadis, tetapi, tepatkah beranggapan bahwa merupakan tanggung jawab Nabi Saw atas terjadinya suatu hal yang menimpakan banyak kerugian bagi budaya Islam dan yang menyebabkan Sunnah Nabi Saw di palsukan oleh berbagai hadis yang tidak otentik? '
Sunnah Nabi Membolehkan Penulisan Hadis
Telah di riwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau sendiri telah mengizinkan penulisan hadis secara luas atau memberikan izin semacam itu kepada orang-orang tertentu, riwayat ini sendiri sudah cukup untuk menyangkal riwayat-riwayat terdahulu yang melarang penulisan hadis atau setidaknya dapat di katakan telah menunjukkan adanya pertentangan riwayat, yang keduanya tetap memiliki keabsahannya (hujjiyyah), hal ini karena jumlah hadisnya yang mengizinkan penulisan sangat banyak dan berdasarkan banyaknya keberatan terhadap hadi yang melarang penulisan kemungkinan atas keotentikannya amat nyata. Hadis-hadis ini tidak saja menyangkut izin, tetapi juga perintah untuk menulis hadis.
Telah di riwayatkan lewat beberapa sanad, bahwa seseorang mengeluh kepada Nabi Saw atas ketidak sanggupannya menyimpan sesuatu dalarn ingatannya. Nabi Saw berkata kepadanya : “Bantulah (kelemahan) ingatanmu dengan tangan kananmu (maksudnya menulis).” Telah di riwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw berdiri dan berpidato pada saat penaklukan Makkah. Abu Syat meminla Nabi Saw untuk menuliskan khutbahnya. Beliau kemudian memerintahkan supaya khutbahnya di tuliskan untuk Abu Syat.“ Nabi Saw di riwayatkan pernah berkata : “Tahanlah (maksudnya pelihara,catat) ilmu dengan cara menulisnya.” Di riwayatkan dari Rafi‘ Ibn Khadij bahwa ia berkata : “Kami bertanya kepada Nabi Saw, "Haruskah kami tulis beberapa hal yang kami dengar dari anda? Nabi Saw menjawab,"Tulislah, tak ada ruginya." Di riwayatkan dari ‘Amr Ibn Syu‘aib bahwa kakeknya bertanya kepada Rasulullah Saw : “Kami mendengar banyak hal dari anda yang kami tak mampu menyimpannya dalam ingatan, apakah kami di perkenankan untuk mencatatnya? Nabi Saw menjawab : "Ya, tulislah." Kemudian saya bertanya : "Terlepas dari apakah anda sedang marah atau tenang?’ Nabi Saw menjawab, ‘Ya, Aku tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran, baik ketika aku sedang marah atau senang." Dalam hadis yang lain, para perawi di laporkan bertanya kepada Nabi Saw : “Bolehkah kami mengambil pengetahuan? Nabi Saw menjawab : “Ya." Telah di riwayatkan dari Amir Al-Mu’minin, bahwa Nabi Saw bersabda : “Tulislah pengetahuan (‘ilm) ini agar kamu mendapat keuntungan dunia dan akhirat. Ketahuilah, bahwa ilmu itu tidak akan membiarkan pemiliknya hancur." Hadis terkenal lainnya yang berasal dari para Imam Ahlul Bait, yang di riwayatkan, baik oleh sumber-sumber Sunni maupun Syi‘i, merujuk kepada sebuah tulisan (shahifah) yang berada di pedang Nabi Saw. Imam Al-Shadiq di riwayatkan telah berkata berkenaan dengan masalah ini : "Di ujung pedang Nabi Saw terdapat sebuah shahifah yang bertuliskan : “Terkutuklah orang yang merampas wilayah negeri. Terkutuklah orang yang melindungi orang lain selain mawali-nya,” atau (di pedang itu tertulis) : “Terkutuklah orang yang mengingkari karunia Sang Pemberi Karunia.“ Syu‘bah di riwayatkan telah menguatkan bahwa ‘Abdullah memiliki sebuah shahifah semacam itu yang di sebut Al-Shahifah Al-Shadiqah. Dalam hadis yang lain, Nabi Saw di riwayatkan berkata : “Apabila seorang mukmin meninggal, maka lembaran yang padanya ia catatkan ‘ilm akan tetap ada dan akan menjadi tirai antara dirinya dan api neraka di Hari Pembalasan?" At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Sa‘ad Ibn ‘Ubaidah memiliki sebuah shahifah yang menghimpun sejumlah hadis Nabi Saw.” Putranya pun biasa menuturkan hadis dari shahifah tersebut. Menurut riwayat Bukhari, shahifah tersebut merupakan salinan dari shahifah ‘Abdullah Ibn Aufi yang biasa menuliskan hadis-hadis di dalamnya dengan tangannya sendiri."
Samurah Ibn Jundab juga telah menghimpun banyak hadis dalam sebuah kitab besar dan putranya, Sulaiman, yang mewarisinya, biasa meriwayatkan hadis dari kitab tersebut. Boleh jadi kitab itu semacam risalah sebagaimana di pahami dari pernyataan Ibn Sirrin : “Dalam risalah yang di berikan Samurah kepada putranya, terdapat sejumlah besar ilmu."
Di riwayatkan dari Anas, bahwa ia sambil menunjuk sebuah mushhaf, berkata : “Ini hadis yang saya dengar dari Rasul, saya menulisnya dan memberikannya kepada Rasulullah (untuk mendapatkan persetujuan).” Imam Ja‘far Al-Shadiq menuturkan dari para leluhurnya bahwa Nabi Saw menyatakan : “Apabila kalian menulis hadis, tulislah itu beserta sanad-nya (rantai periwayatannya). Jika hadis itu benar, kalian akan memperoleh ganjarannya, jika salah, berdosalah orang yang menyampaikannya.” Nabi Saw juga di riwayatkan pernah berkata : “Tahanlah ilmu.” Ketika di tanya apa maksudnya, beliau menjelaskan bahwa yang di maksud adalah menuliskannya.“
Ummul-Mu‘minin Umm Salamah di riwayalkan berkata : “Nabi meminta adim (kulit domba yang di samak) untuk di bawa. Ali pada waktu itu berada bersama Nabi Saw. Lalu Nabi Saw mendiktekan begitu banyak (hadis-hadis) kepada ‘Ali sehingga kedua sisi bahkan pinggiran kulit itu di penuhi tulisan.”
Semua hadis di alas merupakan bukti bahwa Nabi Saw mengizinkan penulisan hadis, banyak ulama percaya, pada mulanya Nabi Saw melarang penulisan hadis, tapi belakangan mengizinkannya. “Jika persoalannya demikian, apa yang menjadi dasar sebagian Khalifah melarang penulisan hadis? Sesudah jelas bahwa Nabi Saw telah mengizinkan penulisan hadis dan sesudah nyata bahwa sejumlah besar hadis telah di tulis, mungkinkah merujukkan larangan Khalifah tersebut kepada Rasulullah Saw? Rasyid Ridha telah menganalisa hadis-hadis yang melarang dan membolehkan penulisan hadis. Ia mencoba membuktikan bahwa pelarangan menggantikan pembolehan dan oleh karenanya, hadis-hadis yang melarang penulisan harus di terima sebagai yang sesungguhnya. Ia menulis : "Jika kita berasumsi bahwa ada pertentangan antara hadis-hadis yang rnelarang penulisan hadis dengan yang membolehkannya,kita dapat berpendapat, bahwa salah satu di antara keduanya membatalkan yang lain dangan rnembuktikan bahwa hadis yang melarang menggantikan yang membolehkan berdasarkan dua alasan :
Pertama, para sahabat meriwayatkan hadis yang melarang penulisan bahkan sampai setelah Nabi Saw wafat.
Kedua, para sahabat tidak rnenuliskan hadis, karena jika mereka telah melakukannya, himpunannya tentu akan sampai kepada kita, kita tidak dapat menerima penjelasan ini berdasarkan alasan-alasan berikut : Pertama, para sahabat menuturkan hadis yang membolehkan penulisan hadis sekaligus yang melarangnya dan sebagaimana telah kita lihat di atas, sebagian sahabat tetap melakukan penulisan hadis.
Kedua, alasan para sahabat menghindari penulisan adalah karena adanya larangan yang di paksakan oleh Khalifah Pertama dan Kalifah Kedua, bukan karena adanya larangan Nabi Saw.
Ketiga, karena tidak mungkin mengklaim bahwa salah satu dari hadis-hadis ini membatalkan yang lain, maka kita katakan bahwa pertentangan itu menjadikan masing-masing hadis tersebut tidak berlaku dan tidak salah satu pun menafikan yang lain. Di atas kita sudah mengutip riwayat yang menunjukkan, yang lain, seperti Abu Zahrah, sebaliknya berpendapat, bahwa Nabi Saw mengizinkan penulisan hadis menjelang akhir kenabiannya, yakni ketika bahaya percampur adukan hadis dengan nash Al-Qur'an mulai tampak.“ Jika kita memperhatikan perbuatan sebagian sahabat, khususnya kedua Khalifah, kita tidak mungkin menerima pendapat ini. Di lain pihak, jika kita menerimanya, kita harus menganggap perbuatan sebagian Khalifah itu sebagai suatu kekeliruan, kita tidak tahu mana dari kedua altenatif ini yang akan di pilih Abu Zahrah.
Tertundanya penulisan hadis merupakan salah satu isu penting dalam sejarah hadis, pentingnya isu ini terletak pada kenyataan bahwa, penundaan tersebut memberi pengaruh penting terhadap gaya bahasa hadis, jumlahnya, kemungkinan pemalsuannya, serta berbagai masalah lain yang terkait di dalamnya.
Aspek penting dari isu ini berkaitan dengan mereka yang jadi penyebab kasus penundaan ini, sikap mereka menjadi contoh bagi yang lain dalam menjauhkan diri dari penulisan hadis, suatu pengamatan terhadap motif-motif ini dan pengaruh mereka terhadap hadis akan menjadi bagian pembahsan ini.
Dari sumber-sumber sejarah dapat di simpulkan, bahwa sebagian Khalifah mencegah penulisan hadis karena alasan-alasan tertentu, setelah rnereka, sekelompok sahabat dan tabi'in mengikuti teladan mereka dalam hal ini, sesuai dengan ungkapan “rakyat mengikuti agama raja-raja mereka”, mereka menghindar dari penulisan hadis demi memahami larangan tersebut, mereka memelihara hadis-hadis Nabi Saw lewat kekuatan ingatan saja, sebagaimana akan kita lihat kemudian, ada kalanya mereka menulis hadis, tetapi itu hanya untuk di hancurkan kembali pada tahun-tahun terakhir hidup rnereka, seakan-akan penulisan tersebut hanya untuk membantu ingatan.
Catatan-catatan hadis tersebut tidak di gunakan sebagai sarana untuk memelihara hadis bagi generasi mendatang, menarik untuk di catat, bahwa larangan penulisan hadis di kalangan Sunni berasal dari para penguasa, begitu juga perintah untuk menulis hadis.
Al-Zuhri berkata : "Kami benci menulis pengetahuan sampai para penguasa memaksa kami menulisnya, selanjutnya kami sadar tak ada seorang pun di kalangan kaum muslimin yang menentang hal itu."
Lebih lanjut Al-Zuhri berkata : "Para penguasa meminta saya menuliskan pengetahuan (hadis) buat mereka, usai menuliskan bagi mereka, saya merasa malu di hadapan Tuhan, saya bertanya pada diri sendiri, mengapa saya bersedia rnenulis untuk para penguasa dan tidak untuk yang lain?”
Tentu saja, seperti yang akan kita lihat, ini tidak berlaku bagi semua sahabat dan tabi‘in, sebagian dari mereka, dengan ‘Ali ibn Abi Thalib Ra sebagai pemimpinnya, menulis hadis dan menyuruh yang lainnya berbuat serupa, yang lain memulai penulisan hadis ketika larangan Khalifah di ganti dengan perintah untuk menuliskannya.
Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz adalah khalifah pertama yang memerintahkan para ulama di berbagai kota untuk menulis hadis-hadis dan mengirimkan tulisan tersebut kepadanya.
Di riwayatkan, bahwa ia menulis surat kepada Murrah Ibn Katsir, menyuruhnya menuliskan hadis-hadis Nabi Saw untuknya, ia juga menulis kepada Abu Bakr Ibn Muhammad Hazm : “Catatlah setiap hadis Nabi Saw yang ada padamu dan kirimkan juga kepadaku apa saja yang di riwayatkan dari Umar, sebab saya khawatir hadis-hadis ini akan hilang." Ia juga menulis kepada penduduk Madinah, meminta mereka menuliskan semua hadis Nabi Saw yang ada pada mereka.
Berbagai riwayat ini dengan jelas menunjukkan, bahwa pencatatan hadis tidak mendapat perhatian sampai masa tersebut, sekalipun tidak berarti bahwa hadis-hadis tertulis tidak ada sama sekali sampai masa itu.
Dengan wafatnya ‘Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz, tugas ini tidak di lanjutkan oleh para khalifah berikutnya, penulisan hadis, sekali lagi, terlupakan kembali, hapalan kembali menjadi satu-satunya cara, tradisi lisan, yang merupakan satu-satunya cara penyampaian pada waktu itu yang di warisi kaum Sunni dari para leluhurnya, telah melahirkan semacam sikap menentang yang kuat terhadap penulisan hadis.
Kita akan lebih memahami semangat ini kalau kita mengetahui bahwa sebagian muhadditsun mengecam penulisan hadis sampai akhir abad ke-2/8, pernyataan-pernyataan para ahli sejarah yang berkenaan dengan awal penghimpunan hadis menunjukkan hal ini.
Abd Al-Razzaq menyatakan, yang pertama mengumpulkan hadis adalah ‘Abd Al-Malik Ibn Juraij, di kenal sebagai Ibnu Juraij (w.150/767), juga ‘Abd Al-Rahrnan Al-Auza‘i (88-157/707-773) termasuk di antara mereka yang memulai penghimpunan hadis adalah Al-Dzahabi yang menulis bahwa pada masa itu para ulama Islam mulai mencatat hadis, fiqh dan tafsir, yaitu pada tahun 143/760. Ibnu Juraij di Makkah, Malik (w. 179/795) di Madinah, Al-Auza‘i di Siria, Sa‘id Ibnu Abi ‘Urwah (w. 156/173) di Bashrah, Mu‘ammar di Yaman, Sufyan Al-Tsauri (w. 167/783-4) di Kufah. Di antara para penulis, sebelum itu, para muhadditsun meriwayatkan hadis dari hapalan atau dari kumpulan hadis yang dapat di percaya tapi tidak tersusun, di tempat lain, Al-Dzahabi lebih tegas kelika berkata : “Ibnu Juraij dan Ibnu Abi ‘Urwah termasuk orang-orang pertama yang menghimpun hadis, sedang Mu‘ammar Ibnu Rasyid adalah orang pertama di Yaman. Ada suatu kisah yang di riwayatkan dari ‘Abd Al-‘Aziz Ibn Muhammad Al-Darwardi, bahwa orang pertama yang menghimpun ilmu (‘ilm) adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri. Al-Zuhri (124/742) sendiri di riwayatkan pernah berkata : “‘Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz menyuruh kami mengumpulkan hadis, mengikuti perintah itu, kami menulis hadis dalam bentuk buku dan mengirimkan salinannya kesetiap wilayah kekuasaannya."
Tampaknya, meskipun hadis telah di himpun secara terbatas selama masa itu, namun upaya itu terhalang lagi akibat penentangan yang muncul setelah wafatnya ‘Umar Ibn ‘Abdul Al-‘Aziz dan sebagaimana kata Al-Dzahabi, tugas itu tertunda sampai setengah abad berikutnya, Ibnu Hajar berkata : "Penghimpunan dan klasifikasi (tadwib) hadis di mulai sejak tahun-tahun terakhir masa Tabi‘in, yakni di masa para ulama Islam menyebar ke seluruh negeri, orang pertama yang menghimpun hadis adalah Rabi‘ Ibn Shubaih dan Sa‘id Ibn Abi ‘Urwah sampai para tokoh ulama generasi (thabaqah) ketiga menghimpun ahkam (hukum)."
Al-Dzahabi memberi pernyataan serupa, yaitu : "Dari berbagai pernyataan ini dapat di simpulkan, bahwa penghimpunan hadis di dalam dua tahap yaitu : tahap pertama, penghimpunan yang tidak lengkap selama awal abad ke-2H atau ke-8M dan tahap kedua, penghimpunan yang lebih menyeluruh sejak pertengahan abad itu.
Tatkala Islam menyebar ke berbagai wilayah dan kota-kota, Islam sungguh meluas, para Tabi‘in menyebar ke kota-kota tersebut sampai suatu saat, ulama-ulama yang terkenal di antara mereka meninggal dan akibatnya, pencatatan hadis terabaikan. Para ulama mulai merasa perlu menulis hadis dan memeliharanya dengan tulisan, setelah meraka, datanglah masa munculnya tokoh-tokoh hadis seperi lbnu Juraij dan Malik Ibnu Anas, di katakan bahwa orang pertama yang menghimpun hadis adalah Rabi‘ Ibnu Shubaih dari Bashrah, setelah dia, penghimpunan hadis menjadi umum.
Ada tiga fase dalam transisi dari tradisi lisan ke tradisi tertulis, fase pertama berlangsung dari awal hingga akhir abad ke-1H/ke-7M, ketika penulisan hadis belum menjadi praktek yang merata, kecuali dalam kasus-kasus tertentu sebagian sahabat melakukannya dengan melanggar perintah Khalifah.
Pada fase kedua, sejak permulaan hingga pertengahanabad ke-2/8, penulisan dan penghimpunan hadi di lakukan secara tidak lengkap dan beberapa catatan yang ada di himpun.
Pada fase ketiga yang di mulai sejak pertengahan abad ke-2/8, perhatian yang relatif Iebih besar di curahkan pada penulisan dan penghimpunan hadis sebagai suatu tugas penting, sangat sedikit buku-buku yang di tulis pada masa ini yang masih ada, beberapa himpunan tertua yang masih ada, seperti "Mushannaf" dari Ibnu Abi Syaibah, "Mushannaf" dari ‘Abd Al-Razzaq dan Muwaththa' dari Malik Ibnu Anas.
Umumnnya di mulai pada pertengahan kedua dari abad ke-2/8, menurut perkataan Al-Dzahabi, musnad pertama di himpun oleh Nu‘aim Ibnu Hammad, Yahya Al-Hamani di Kufah dan Al-Musaddad di Bashrah adalah ulama-ulama yang pertama menghimpun musnad di kota-kota tersebut.
Alasan tertundanya penulisan hadis, sudah di maklumi, sejak awal kerasulannya Nabi Saw mencurahkan perhatian besar bagi penulisan Al-Qur'an, karena itu, Al-Qur'an tetap bebas dari segala bentuk kekeliruan atau perubahan (tahrzif), sedangkan dalam kasus hadis, meskipun ada izin atau perintah Nabi Saw dalam kaitannya dengan penulisan hadis dan meskipun kenyataannya hadis telah di tulis selama masa hidup Nabi Saw, namun tugas penulisan hadis bukan saja tidak di perhatikan, tetapi bahkan di tentang, penentangan ini melahirkan banyak masalah yang berkaitan dengan hadis.
Penundaan penulisan hadis ini dan akibat-akibatnya yang berbahaya telah membawa sekelompok orang melimpahkan kesalahan kepada Nabi Saw, mereka tahu bahwa jika penentangan penulisan hadis datang dari Nabi Saw, tidak akan di anggap salah, karena Nabi ma‘shum, tetapi jika penentangan itu di nisbahkan kepada yang lain, maka kelemahan mereka akan terungkap, karena itulah mereka menisbahkan larangan tersebut kepada Nabi Saw, hadis Abu Sa‘id, hadis berikut ini di riwayatkan oleh Abu Sa‘id Al-Khudri : "Jangan tulis dariku kecuali Al-Qur'an dan siapa pun yang menlisnya hendaknya ia menghapusnya."
Pernyataan ini jelas dan gamblang, jelas sekali bahwa penulisan hadis tidak di izinkan, sesuai dengan penjelasan ini, tiap orang yang telah menulis apa saja tenlang hadis wajib memusnahkannya, karena ketegasan dan kejelasan hadis inilah dan karena alasan-alasan lainnya, kami tidak dapat menerima kesahihan pernyataan ini atau pernyataan lainnya yang seperti ini, alasan kami menolak hadis ini adalah sebagai berikut :
Pertama, kalau kita terima hadis ini, kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa tertentu saja, jika penulisan hadis tidak di perbolehkan dan haram, maka haramnya itu harus untuk setiap saat, akan tetapi, kita melihat para perawi hadis ini sendiri tidak berpegang kepadanya dan pada akhimya, menulis serta menghimpun berbagai hadis.
Penulisan hadis ini, sebagaimana di sebutkan di atas, di mulai sejak pertengahan abad ke-2/8, tidak di patuhinya hadis ini oleh para perawi, menunjukkan bahwa mereka memandang hadis ini tidak shahih, karena mereka tahu, bahwa larangan syari'at tidak bisa di rubah menjadi kebolehan, yang menarik dalam hubungan ini adalah bahwa mereka tetap mencatat hadis ini dengan pena mereka sendiri, walaupun tidak mengamalkannya, lalu bagaimana kita dapat menshahihkannya?
Kedua, para perawi ini telah meriwayatkan juga hadis lain yang menunjukkan kebolehan menulis hadis, kalau kita menganggap kedua rangkaian hadis ini sama kuat, kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan, dalam hal ini, keduanya kehilangan kredibilitas, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan hadis yang melarang penulisan hadis dengan cara lain.
Ketiga, Abu Sa‘id Al-Khudri, yang meriwayatkan hadis ini, telah menyampaikan pernyataan lain yang bertentangan dengan ini, ia berkata : “Pada masa itu, kita tidak menulis apa pun kecuali Al-Qur'an dan tasyahhud." Dari pernyataan Abu Sa‘id ini, ada dua hal yang bisa di simpulkan, yaitu : pertama, Abu Sa‘id tidak berkata bahwa mereka tidak menulis itu atas perintah Nabi Saw, karena seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut memang bukanlah yang ia maksudkan, kemungkinan yang kedua ini, walaupun dapat di terima, nampaknya terlalu jauh. Kedua, di tambahkannya kata tasyahhud dalam pemyataan itu tidak sesuai dengan maksud pelarangan menulis apa pun kecuali Al-Qur'an.
Perlu di perhatikan, bahwa dalam hadis lain yang semuanya dari Ibnu Mas‘ud, istikharah di sebut bersama tasyahhud. Dalam hubungannya dengan hadis ini, bisa di pertanyakan mengapa Nabi Saw hanya membolehkan penulisan tasyahhud. Seandainya terdapat kemungkinan hilangnya tasyahhud karena waktu, kemungkinan tersebut terdapat juga pada hadis-hadis lain, yang berisikan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang sangat vital, di lain pihak, kalau ada bahaya dalam penulisan hadis, maka bahaya tersebut bisa juga terjadi dalam penulisan tasyahhud atau apa saja yang lain, karena itu, tidaklah logis berpendapat bahwa Nabi Saw mengeluarkan larangan semacam itu.
Keempat, dari berbagai catatan sejarah, yang akan kita uraikan nanti adalah Abu Bakar, bahkan Khalifah Kedua ini mengusulkan menulis hadis di awal kekhalifahan mereka, tetapi belakangan mereka rnelarang karena alasan-alasan tertentu yang mereka nyatakan, mereka tak pernah berkata bahwa Nabi Saw telah melarang usaha tersebut, lagipula, ketika berunding dengan para sahabat lain tentang penulisan hadis, mereka sepakat melakukan tugas tersebut. Ini juga menunjukkan tidak terdapatnya larangan Nabi Saw dalam masalah ini.
Kelima, dalam sebuah hadis, Abu Bashir di riwayatkan berkata kepada Abu Sa‘id Al-Khudri : “Kami tulis apa saja yang karni baca.” Abu Sa‘id berkata kepadanya : “Apa anda ingin mernbuat buku? Nabi Saw menerangkan hadis kepada kami dan kami meriwayatkannya kepada anda, anda pun seperti kami, handuknya menghapalnya saja.“ Dua hal ini perlu di perhatikan dalam riwayat ini.
- Abu Sa‘id tidak menisbahkan larangan penulisan itu kepada Nabi Saw.
- Alasan yang ia berikan untuk tidak menulis hadis sama dengan alasan yang di riwayatkan dari Khalifah Kedua yang juga tidak menisbahkan larangan tersebut kepada Nabi Saw.
Keenam, ada suatu pernyataan dalam hadis itu segera setelah pernyataan yang di kutip di atas, pernyataan itu menunjukkan kepalsuannya : ...Ceritakan apa saja yang kalian kehendaki dari Bani lsrai, tidak ada salahnya." Karena, pada satu sisi, Nabi Saw terkenal sangat mengecam mendengarkan hadis dari kaum Yahudi yang di kenal dengan Isra’iliyyat, nanti kita akan menyebutkan sumber-sumber pernyataan ini dan padda sisi Iain, para ulama Islam telah mengetahui bahaya gagasan-gagasan yang di sebarluaskan oleh Yahudi dengan berbagai cara, maka dapat di katakan bahwa seluruh hadis ini merupakan kebohongan yang nyata. Di satu pihak, hadis ini menyuruh kaum muslimin untuk tidak rnenulis pernyataan-pernyataan Nabi Saw, yang akibatnya hadis-hadis Nabi Saw secara bertahap di lupakan, sedang di lain pihak, hadis ini membuka peluang bagi mereka untuk menceritakan apa saja yang mereka kehendaki dari cerita Bani Israil, yang secara nyata akan menghadapkan ajaran Islam kepada bahaya pemasukan miskonsepsi Yahudi, inilah tujuan yang berbahaya dari si pencipta hadis ini, bisakah orang yang waras menerima bahwa Nabi Saw telah memberi perintah semacam itu?
Ketujuh, ada hadis lain yang relevan dari Abu Sa‘id Al-Khudri yang memberi kemungkinan bahwa Nabi Saw tidak memberi izin kepada Abu Sa‘id untuk menulis hadis, karena beberapa alasan khusus, meskipun, menurut pandangan kita, kemungkinan utama yang harus di pegang dalam hal ini adalah bahwa hadis ini pun palsu. Abu Sa‘id berkata : "Saya memohon kepada Nabi Saw agar saya di beri izin menulis hadis, tetapi ia menolak untuk memberi izin kepadaku.” Hadis ini mendukung kemungkinan bahwa larangan Nabi Saw tersebut adalah dalam kasus Abu Sa‘id secara pribadi, jika di lihat dari sudut pandang hadis-hadis yang memberitakan bahwa Nabi Saw telah memberi izin kepada beberapa orang lainnya, yang akan kita kutip kemudian, kemungkinan ini jauh lebih kuat.
Hadis Abu Hurairah, dalam hubungan ini, telah di riwayatkan hadis lain dari Abu Hurairah, dalam hadis itu Abu Hurairah berkata : "Nabi datang kepada karni ketika karni sedang sibuk menulis hadis, “Apa yang kalian tulis? Ia bertanya. Saya berkata, “Ini adalah segala sesuatu yang kami dengar darimu." Nabi Saw berkata, “lnginkah kalian menulis kitab lain selain Kitab Allah? Tidak ada yang menyesatkan bangsa-bangsa yang sudah berlalu kecuali kitab-kitab lain yang mereka tulis di samping Kitab Allah.” Hadis ini pun tidak bisa kita terima dengan alasan-alasan berikut :
Pertama, karena alasan-alasan yang telah di tunjukkan orang lain dalam berbagai studinya dan kita pun dapat menerimanya setelah menelaahnya, kejujuran adalah Abu Hurairah tidak dapat di terima, terlepas dari itu, orang lain mungkin saja telah membuat hadis ini dan menisbahkannya kepada Abu Hurairah.
Kedua, alasan yang di pertahankan dalam hadis ini persis seperti alasan yang di kemukakan Khalifah Kedua ketika ia memutuskan untuk menulis hadis tapi kemudian mengurungkannya. Khalifah sendiri tidak menisbahkan alasan itu kepada Nabi Saw, sedang Abu Hurairah atau mereka yang menisbahkan hadis ini kepadanya, menisbahkan alasan tersebut kepada Nabi Saw, sehingga tidak boleh di tolak. Khalifah, seperti akan kita lihat nanti, sampai pada kesimpulan ini hanya setelah memikirkannya.
Ketiga, alasan yang terdapat dalam hadis ini, meskipun punya dasar dalam pernyataan Nabi Saw, yang akan di kutip kemudian, berkaitan dengan larangan Nabi Saw tentang kitab-kitab Kristen dan Yahudi, bukan dengan hadis Nabi yang merupakan pelengkap Al-Qur'an.
Keempat, mungkinkah Nabi Saw melarang penulisan Sunnahnya yang merupakan pelengkap Al-Qur'an? Mungkinkah Nabi Saw melarang karena Sunnah akan berdampingan dengan Al-Qur'an? Lalu di mana tempat Sunnah Nabi Saw kalau tidak di sisi Al-Qur'an? Bukankah suatu kenyataan bahwa Al-Qur,an dan Sunnah secara bersama-sama merupakan pembentuk syari'at Islam? Hadis lain yang menarik, yang mengungkapkan kepalsuan hadis seperti ini, adalah yang di riwayatkan dari Abu Hurairah, setelah memuat pernyataan yang serupa dengan hadis di atas, hadis ini menambahkan sesuatu yang menunjukkan kekeliruan Abu Hurairah, atau sebagian pemalsu yang menisbahkan hadis itu kepadanya. Menurut hadis ini, Nabi Saw mendengar sebagian orang menulis hadisnya. Setelah itu, ia naik mimbar dan setelah memuji Tuhan, berkata : "Kitab-kitab apakah ini yang saya dengar telah kalian tuliskan? Sesungguhnya saya ini hanyalah seorang manusia, siapa saja yang telah menulis apapun dari jenis itu, bawalah kepadaku.“ Hadis ini merupakan penolakan yang jelas atas Sunnah Nabi Saw, karena Nabi Saw datang untuk meniadakan otoritas resmi pernyataan-pernyataannya sendiri dengan alasan karena ia adalah manusia biasa seperti yang lainnya. Inilah hal yang tidak bisa di terima seorang muslim, yang lebih menarik lagi adalah bahwa pemyataan Nabi Saw di sini "Saya seorang manusia” di sebutkan dalam hadis lain sebagai bantahan yang di kemukakan sekelompok Quraisy kepada ‘Abd Allah Ibn ‘Amr iIbn Al-‘Ash yang menulis hadis Nabi Saw. Di dalamnya Nabi Saw sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap bantahan mereka atau sesungguhnya menolaknya. la berkata : “Saya tidak bicara apa pun kecuali yang benar."
Kelima, telah di riwayatkan dari Abu Hurairah sendiri, ia berkata bahwa tidak ada yang lebih banyak meriwayatkan hadis di banding dia kecuali ‘Abdullah Ibn ‘Amr, karena ia menulis hadis sedang Abu Hurairah tidak.“ Pemyataan ini menunjukkan tidak adanya larangan sama sekali. ‘Abddullah menulis semua hadisnya, sementara mesti ada alasan pribadi mengapa Abu Hurairah tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada larangan dari Nabi Saw dalam hal ini, setiap orang yang mau menulisnya, menulisnya dan yang tidak mau, tidak menulisnya.
Keenam, dalam riwayat yang lain, Abu Nuhaik, seorang murid Abu Hurairah, berkata : "Saya meminjam kitab dari Abu Hurairah, menyalinnya, kemudian membawa (salinan saya) kepada Abu Hurairah dan membacakannya kepadanya, setelah membaca setiap hadis, saya tanyakan kepadanya apakah hadis itu pernah ia dengar dari Nabi Saw dan ia pun membenarkannya.” Hadis ini pun menunjukkan kekeliruan hadis tentang larangan penulisan hadis yang di nisbahkan kepada Abu Hurairah.
Ketujuh, telah di riwayatkan bahwa Hamman Ibn Munabbih, seorang murid dari Abu Hurairah, telah menghimpun sebuah mushhaf yang berisikan hadis yang di riwayalkan gurunya selarna hidupnya. lni pun bertenlangan dengan hadis larangan, karena tidak konsisten bila Abu Hurairah meriwayatkan larangan penulisan hadis, sementara muridnya menuliskan hadis di hadapannya, kecuali kalau Abu Hurairah tidak mengamalkan apa yang ia sendiri riwayatkan. Ada juga hadis lain yang di laporkan dari Zaid Ibn Tsabit, bahwa suatu watu ia menghadap Mu‘awiyah, yang bertanya kepadanya tentang suatu hadis. Lalu Mu‘awiyah meminta seseorang buat menulisnya, setelah itu, Zaid berkata : “Nabi Saw pernah berkata kepada kami agar tidak menulis hadis-hadisnya.” Kami yakin, menurut kenyataan yang jelas, bahwa di catatnya hadis oleh Tabi‘in dan, setelah mereka, para ularna Sunni lainnya membuktikan ketidak shahihan hadis-hadis di atas, nanti, dalam studi ini, kami akan memperlihatkan data-data yang mengungkapkan faktor sesungguhnya di balik larangan penulisan hadis. Data-data ini menunjukkan, tidak benar menisbahkan pemyataan-pernyataan di atas kepada Nabi Saw. Telah di riwayatkan juga bahwa Ibn Mas‘ud membuat surat wasiat agar kumpulan (shahifah) hadisnya di hancurkan.“ Dalam hal ini, tidaklah jelas apakah tindakannya itu merupakan jawaban terhadap perintah Nabi Saw. Barangkali, ia mengikuti ketetapan Khalifah. Kedua, sebagaimana yang akan di bicarakan kemudian, tindakan ini berkaitan dengan penghancuran lsra'iliyyat, bukan hadis-hadis Nabi. Juga telah di riwayatkan bahwa Abu Musa Al-Asy‘ari menghancurkan hadis-hadis yang di tulis oleh putranya. Bila kita melihat sikap patuh Abu Musa kepadn Khalifah Kedua, bisa di katakan bahwa tindakannya itu pasti di pengaruhi oleh Khalifah Kedua, lagi pula, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tindakan Abu Musa di ilhami oleh larangan dari Nabi Saw. Suatu hal yang membuktikan ketidak otentikan hadis tentang larangan penulisan hadis adalah pernyataan ‘Umar berkenaan dengan maksudnya menghimpun hadis. ‘Umar di riwayatkan berkata : "Saya bermaksud menuliskan Sunnah Nabi Saw, tetapi segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan menaruh kepercayaan kepadanya, yang mengakibatkan mereka mengabaikan Kitab Suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun mengungguli Kitab Allah.“ Riwayat di atas mengungkapkan, bahwa Khalifah kedualah yang pertama kali berniat menulis hadis, dalam sebagian versi di sebutkan, bahwa ‘Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya, tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, bukan berdasarkan larangan Nabi. Hal lain yang juga dapat di kemukakan sebagai bukti ketidak otentikan hadis mengenai larangan penulisan hadis adalah pernyataan Nabi Saw pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya, pada hari itu, ketika para Sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, beliau bersabda : “Bawakan kepadaku kertas dan tinta sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus dalam kekeliruan.” Sebagian orang, di bawah pimpinan Umar, menentangnya dengan mengatakan : “Cukup bagi kit Kitab Allah?“ Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain Al-Qur'an bukan saja tidak di larang, tetapi bahkan penting rnenurut penimbangan Nabi Saw agar umat tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan. Tatkala Nabi Saw meminta alat lulis dan sekelompok Sahabat yang di pirnpin oleh Khalifah Kedua menurut Al-Syarislani dalam Kitab Al-Milal wa Al-Nihal, menentangnya, Nabi Saw sadar betul akan petaka yang bakal muncul setelah peristiwa itu. Nanti kita akan melihat rincian yang di kemukakan oleh para ulama Sunni mengenai kerugian akibat tidak di tulisnya hadis, tetapi, tepatkah beranggapan bahwa merupakan tanggung jawab Nabi Saw atas terjadinya suatu hal yang menimpakan banyak kerugian bagi budaya Islam dan yang menyebabkan Sunnah Nabi Saw di palsukan oleh berbagai hadis yang tidak otentik? '
Sunnah Nabi Membolehkan Penulisan Hadis
Telah di riwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau sendiri telah mengizinkan penulisan hadis secara luas atau memberikan izin semacam itu kepada orang-orang tertentu, riwayat ini sendiri sudah cukup untuk menyangkal riwayat-riwayat terdahulu yang melarang penulisan hadis atau setidaknya dapat di katakan telah menunjukkan adanya pertentangan riwayat, yang keduanya tetap memiliki keabsahannya (hujjiyyah), hal ini karena jumlah hadisnya yang mengizinkan penulisan sangat banyak dan berdasarkan banyaknya keberatan terhadap hadi yang melarang penulisan kemungkinan atas keotentikannya amat nyata. Hadis-hadis ini tidak saja menyangkut izin, tetapi juga perintah untuk menulis hadis.
Telah di riwayatkan lewat beberapa sanad, bahwa seseorang mengeluh kepada Nabi Saw atas ketidak sanggupannya menyimpan sesuatu dalarn ingatannya. Nabi Saw berkata kepadanya : “Bantulah (kelemahan) ingatanmu dengan tangan kananmu (maksudnya menulis).” Telah di riwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw berdiri dan berpidato pada saat penaklukan Makkah. Abu Syat meminla Nabi Saw untuk menuliskan khutbahnya. Beliau kemudian memerintahkan supaya khutbahnya di tuliskan untuk Abu Syat.“ Nabi Saw di riwayatkan pernah berkata : “Tahanlah (maksudnya pelihara,catat) ilmu dengan cara menulisnya.” Di riwayatkan dari Rafi‘ Ibn Khadij bahwa ia berkata : “Kami bertanya kepada Nabi Saw, "Haruskah kami tulis beberapa hal yang kami dengar dari anda? Nabi Saw menjawab,"Tulislah, tak ada ruginya." Di riwayatkan dari ‘Amr Ibn Syu‘aib bahwa kakeknya bertanya kepada Rasulullah Saw : “Kami mendengar banyak hal dari anda yang kami tak mampu menyimpannya dalam ingatan, apakah kami di perkenankan untuk mencatatnya? Nabi Saw menjawab : "Ya, tulislah." Kemudian saya bertanya : "Terlepas dari apakah anda sedang marah atau tenang?’ Nabi Saw menjawab, ‘Ya, Aku tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran, baik ketika aku sedang marah atau senang." Dalam hadis yang lain, para perawi di laporkan bertanya kepada Nabi Saw : “Bolehkah kami mengambil pengetahuan? Nabi Saw menjawab : “Ya." Telah di riwayatkan dari Amir Al-Mu’minin, bahwa Nabi Saw bersabda : “Tulislah pengetahuan (‘ilm) ini agar kamu mendapat keuntungan dunia dan akhirat. Ketahuilah, bahwa ilmu itu tidak akan membiarkan pemiliknya hancur." Hadis terkenal lainnya yang berasal dari para Imam Ahlul Bait, yang di riwayatkan, baik oleh sumber-sumber Sunni maupun Syi‘i, merujuk kepada sebuah tulisan (shahifah) yang berada di pedang Nabi Saw. Imam Al-Shadiq di riwayatkan telah berkata berkenaan dengan masalah ini : "Di ujung pedang Nabi Saw terdapat sebuah shahifah yang bertuliskan : “Terkutuklah orang yang merampas wilayah negeri. Terkutuklah orang yang melindungi orang lain selain mawali-nya,” atau (di pedang itu tertulis) : “Terkutuklah orang yang mengingkari karunia Sang Pemberi Karunia.“ Syu‘bah di riwayatkan telah menguatkan bahwa ‘Abdullah memiliki sebuah shahifah semacam itu yang di sebut Al-Shahifah Al-Shadiqah. Dalam hadis yang lain, Nabi Saw di riwayatkan berkata : “Apabila seorang mukmin meninggal, maka lembaran yang padanya ia catatkan ‘ilm akan tetap ada dan akan menjadi tirai antara dirinya dan api neraka di Hari Pembalasan?" At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Sa‘ad Ibn ‘Ubaidah memiliki sebuah shahifah yang menghimpun sejumlah hadis Nabi Saw.” Putranya pun biasa menuturkan hadis dari shahifah tersebut. Menurut riwayat Bukhari, shahifah tersebut merupakan salinan dari shahifah ‘Abdullah Ibn Aufi yang biasa menuliskan hadis-hadis di dalamnya dengan tangannya sendiri."
Samurah Ibn Jundab juga telah menghimpun banyak hadis dalam sebuah kitab besar dan putranya, Sulaiman, yang mewarisinya, biasa meriwayatkan hadis dari kitab tersebut. Boleh jadi kitab itu semacam risalah sebagaimana di pahami dari pernyataan Ibn Sirrin : “Dalam risalah yang di berikan Samurah kepada putranya, terdapat sejumlah besar ilmu."
Di riwayatkan dari Anas, bahwa ia sambil menunjuk sebuah mushhaf, berkata : “Ini hadis yang saya dengar dari Rasul, saya menulisnya dan memberikannya kepada Rasulullah (untuk mendapatkan persetujuan).” Imam Ja‘far Al-Shadiq menuturkan dari para leluhurnya bahwa Nabi Saw menyatakan : “Apabila kalian menulis hadis, tulislah itu beserta sanad-nya (rantai periwayatannya). Jika hadis itu benar, kalian akan memperoleh ganjarannya, jika salah, berdosalah orang yang menyampaikannya.” Nabi Saw juga di riwayatkan pernah berkata : “Tahanlah ilmu.” Ketika di tanya apa maksudnya, beliau menjelaskan bahwa yang di maksud adalah menuliskannya.“
Ummul-Mu‘minin Umm Salamah di riwayalkan berkata : “Nabi meminta adim (kulit domba yang di samak) untuk di bawa. Ali pada waktu itu berada bersama Nabi Saw. Lalu Nabi Saw mendiktekan begitu banyak (hadis-hadis) kepada ‘Ali sehingga kedua sisi bahkan pinggiran kulit itu di penuhi tulisan.”
Semua hadis di alas merupakan bukti bahwa Nabi Saw mengizinkan penulisan hadis, banyak ulama percaya, pada mulanya Nabi Saw melarang penulisan hadis, tapi belakangan mengizinkannya. “Jika persoalannya demikian, apa yang menjadi dasar sebagian Khalifah melarang penulisan hadis? Sesudah jelas bahwa Nabi Saw telah mengizinkan penulisan hadis dan sesudah nyata bahwa sejumlah besar hadis telah di tulis, mungkinkah merujukkan larangan Khalifah tersebut kepada Rasulullah Saw? Rasyid Ridha telah menganalisa hadis-hadis yang melarang dan membolehkan penulisan hadis. Ia mencoba membuktikan bahwa pelarangan menggantikan pembolehan dan oleh karenanya, hadis-hadis yang melarang penulisan harus di terima sebagai yang sesungguhnya. Ia menulis : "Jika kita berasumsi bahwa ada pertentangan antara hadis-hadis yang rnelarang penulisan hadis dengan yang membolehkannya,kita dapat berpendapat, bahwa salah satu di antara keduanya membatalkan yang lain dangan rnembuktikan bahwa hadis yang melarang menggantikan yang membolehkan berdasarkan dua alasan :
Pertama, para sahabat meriwayatkan hadis yang melarang penulisan bahkan sampai setelah Nabi Saw wafat.
Kedua, para sahabat tidak rnenuliskan hadis, karena jika mereka telah melakukannya, himpunannya tentu akan sampai kepada kita, kita tidak dapat menerima penjelasan ini berdasarkan alasan-alasan berikut : Pertama, para sahabat menuturkan hadis yang membolehkan penulisan hadis sekaligus yang melarangnya dan sebagaimana telah kita lihat di atas, sebagian sahabat tetap melakukan penulisan hadis.
Kedua, alasan para sahabat menghindari penulisan adalah karena adanya larangan yang di paksakan oleh Khalifah Pertama dan Kalifah Kedua, bukan karena adanya larangan Nabi Saw.
Ketiga, karena tidak mungkin mengklaim bahwa salah satu dari hadis-hadis ini membatalkan yang lain, maka kita katakan bahwa pertentangan itu menjadikan masing-masing hadis tersebut tidak berlaku dan tidak salah satu pun menafikan yang lain. Di atas kita sudah mengutip riwayat yang menunjukkan, yang lain, seperti Abu Zahrah, sebaliknya berpendapat, bahwa Nabi Saw mengizinkan penulisan hadis menjelang akhir kenabiannya, yakni ketika bahaya percampur adukan hadis dengan nash Al-Qur'an mulai tampak.“ Jika kita memperhatikan perbuatan sebagian sahabat, khususnya kedua Khalifah, kita tidak mungkin menerima pendapat ini. Di lain pihak, jika kita menerimanya, kita harus menganggap perbuatan sebagian Khalifah itu sebagai suatu kekeliruan, kita tidak tahu mana dari kedua altenatif ini yang akan di pilih Abu Zahrah.
Posting Komentar untuk "SEJARAH HADIST DI KALANGAN SUNNI"
Terimakasih atas kunjungan anda...