Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

FIQH SARANA PENDEKATAN PADA TASAWUF

Cara dakwah dengan menentang cara fiqh yang sudah menyusup pada tradisi keagamaan yang sudah berjalan bertahun-tahun, seperti menabuh bedug sebagai tanda masuknya waktu shalat, adzan dua kali dalam shalat Jum'at jika di tentang, maka cara dakwah yang ”radikal" itu serentak akan mengundang reaksi dari masyarakat yang mayoritas sudah terbiasa menyususpkan tradisi dalam kegiatan beribadah mereka, bahkan bisa memancing ketegangan dengan keluarga orang banyak dan pada keluarga sendiri. pesan-pesan dakwah yang sekarang hendaknya di usung dengan pembetulan dan pengarahan agar sesuai dengan fiqh yang di tunjukkan Rasulullah Saw dalam semangat pembaruan beribadah, seperti perlunya keterbukaan dalam bermazhab, serta pembelaan keadilan bagi yang terdapat perbedaan, agar respon positif dari masyarakat dapat berjalan dengan baik, dan dakwah secara pelurusan fiqh bisa di golongkan sebagai pendekatan tasawuf berupa fadhilah amal, yaitu ajaran tasawuf yang lebih mengedepankan akhlak dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah,
dengan sedemikian maka ada kemungkinan besar dapat di terima, fiqh dan tasawuf yang di ajarkan bukan tasawuf yang membuat orang teler dan juga yang rnembuat orang menjadi lemah, malas dan menerima apa adanya atas kenyataan hidup ini, tetapi, tasawuf yang menjadikan orang lebih memiliki akhlak yang baik kepada sesama, memiliki kepedulian dan perhatian kepada orang-orang yang tidak mampu, dengan kata lain, membentuk manusia yang memiliki akhlak dua dimensi. Akhlak kepada Allah dan akhlak terhadap sesama manusia.
Banyak hadis Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa keimanan seseorang itu di ukur dari akhlaknya, bukan dari ibadahnya, seperti shalatnya, puasanya, zakatnya, hajinya, seperti hadis : Dari Abdullah Bin Umar Ra berkata, ada seseorang yang bertanya Rasulullah Saw,"Siapakah mukmin yang baik itu? Rasulullahh menjawab : "Yaitu orang muslim yang tetangganya selamat dari gangguan lisan dan telinganya." (H.R. Muslim). Juga hadis yang bersumber dari Abu Hurairah Ra, dari Rasulullah Aaw, bersabda : "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tetangganya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya." (H.R. Muslim).
Dan masih banyak lagi hadis-hadis yang lain yang menghubungkan lman, Islam dan akhlak. ltu semua membuktikan, bahwa ukuran iman itu akhlak, bukan banyaknya ibadah, karena bisa jadi ada orang yang ahli ibadah, siangnya ia puasa, malamnya ia shalat tahajud, tetapi akhlaknya buruk, ia kurang peduli dengan nasib sesama, ia tidak mau tahu dengan penderitaan orang lain, ia kurang amanah ketika berdagang dan lain-lain.
Tasawuf yang di ajarkan hendaklah tasawuf yang merujuk dan sesuai pada Al-Qur’an dan hadis atau menurut ahli tasawuf di sebut dengan tasawuf sunni, yakni, tasawuf yang memiliki sandaran Al-Qur’an dan sunnah.
Tasawuf ini bisa mewadahi dua model, yaitu tashawuf khuluqi 'amali dan tashawuf falsafi, dengan batasan ini maka seseorang atau kelompok yang sudah tidak menjadikan Al-Qur'an dan sunnah sebagai titik tolaknya, berarti ia sudah keluar dari agama, inilah yang akan membedakan apakah orang itu muslim atau bukan.
Terdapat puluhan, bahkan ratusan ayat Al-Qur’an yang menjadi inspirasi tasawuf sunni, mula-mula kalau di tilik dari esensi dan tujuan utama tasawuf ini adalah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, untuk ma'rifatullah atau menjadi muttaqin dan muhsinin sejati, maka hal tersebut di dasarkan pada firman Allah sebagai berikut :
"Dan tidak Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku." (Q.S. 51 : 56). "Kami telah menciptakan manusia dan kamipun mengetahui yang di bisikkan dirinya kepadanya, Kami lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya." (Q.S. 50 : 16).
"Wahai orang-arang yang beriman, bertaqwakah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di perbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengefahuiapa yang kamu kerjakan." (Q.S. 59 :18). “Dan carilah pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, janganlah kamu melupakan kebahagiaan duniawi dan berbuat baikIah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." (Q.S. 28 : 77).
Pemahaman ini senada dengan hadis Rasulullah Saw, ketika di tanya oleh malaikat Jibril tentang arti ihsan. Rasulullah Saw menjawab : "Ihsan adalah penyembahan kalian kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak, sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim).
Persoalannya adalah bagaimana caranya untuk bisa menjadi manusia yang dekat kepada Allah, para sufi berijtihad berdasarkan eksperiman (tajribal) batiniah yang telah di lakukannya, sehingga pada satu kesimpulan, bahwa untuk bisa sampai ke jenjang tersebut, seorang hamba haruslah melampaui beberapa tahapan (maqam) dan ahwal. Maqam merupakan tahapan, tingkatan, derajat atau station, yang harus di ikuti oleh seseorang sufi (hamba) di hadapan Allah. Operasionalnya menurut Al-Thusi, "Berupa ibadah-ibadah, mujdhadah, riyadlah, serta konsentrasi penuh kepada Allah, pemahaman ini di dasarkan firman Allah : 

"Yang demikian itu adalah untuk orang-orang yang takut (maqam) menghaadap-Ku dan takut ancaman-Ku." (Q.S. 17 :79). "Dan pada sebagian malam hari bertahajjudlah kamu, sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke maqam yang terpuji." (Q.S. 17 : 79).
Para sufi juga terdapat variasi dan perbedaan dalam menentukan jumlah dan urutan maqamat, hal ini sesuai dengan pengalaman batin yang mereka Ialui. Imam Al-Qusyairi menyebutkan enam : Al-Taubat, Al-wara', Al-Zuhd, Al-Tawakkul, Al-Shabr dan Ridha, sedangkan Imam Al-Ghazali menyebutkan delapan maqamat : Al-Taubat, Al-Shabr, Al-Fakr, Al-Zuhd, Al-Tawakkul, Al-Mahabbah, Al-Ma'rifah dan Al-Ridha.
Dari penjelasan di atas, nampaknya cara-cara sufi untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan sifat akhlak dan aqidah serta agak sulit dan cukup susah untuk di ikuti, apalagi bagi orang-orang yang memang kurang keinginan dan hidup di zaman yang serba matrealis dan hedonis seperti dewasa ini, di mana sebagian besar waktunya di habiskan untuk mengejar kehidupan dunia dan hanya sedikit sisa waktu untuk beribadah kepada Tuhannya, oleh karenanya dalam kajian-kajian tasawuf, tidak terlalu menekankan cara-cara seperti yang di buat para sufi seperti di atas, karena mungkin terlalu berat untuk di ikuti jama'ah atau masyarakat awam, tambah lagi dengan aturan fiqh yang sesungguhnya ketat dalam mengatur kehidupann manusia dalam sehari-hari.
Tasawuf yang di kembangkan adalah tasawuf yang lebih menekankan pada aspek pembinaan akhlakul karimah, dengan tidak melupakan dasar dan dari aspek syari'ah tentunya.

Posting Komentar untuk "FIQH SARANA PENDEKATAN PADA TASAWUF"