Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini jika orang tersebut mengakui memang kewajiban tersebut, hanya saja ia malas dan enggan melaksanakannya, jika ia tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian berdasarkan beberapa sabda Rasulullah Saw : ”Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.” (H.R. Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). ”Sesungguhnya pembatas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat. " (H.R. Muslim). ”Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." (H.R. Imam Ahmad At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Maj ah).

Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma’ ahlul ilmi wal iman, maka kekufurannya lebih besar daripada yang meninggalkannya, karena meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas para penguasa kaum muslimin untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal ini, lain dari itu, selama masa di perintahkan untuk bertaubat, harus mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak berhubungan dengannya serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya, namun di samping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya kepada kebenaran, serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk karena meninggalkan shalat, baik di dunia maupun di akhirat kelak, dengan demikian di harapkan ia mau bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya.
Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat selamanya, berarti mereka kafir, keluar dari Islam, maka ia tidak boleh tinggal bersama mereka, namun demikian ia wajib mendakwahi mereka dan terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk, karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Surmah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar.

Dalil dari Al-Qur‘an adalah firman Allah tentang orang-orang musyrik, "Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (Q.S. At-Taubah : 11).

Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti mereka bukan-lah saudara-saudara kita, memang persaudaraan agama tidak gugur karena perbuatan-perbuatan maksiat, walaupun besar, namun persaudaraan itu akan gugur ketika keluar dari Islam. Dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi Saw, "Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” Di sebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidah,"Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." Ucapan para sahabat: Amirul Mukminin Umar Ra berkata, "Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat." (H.R. Imam Malik).


 Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, "Para sahabat Nabi tidak memandang suatu amal pun yang apabila di tinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain shalat." Adapun berdasarkan pandangan yang benar, di katakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya? Tentu saja ini tidak masuk akal, jika di perhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan di temukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal :

1. Karena tidak ada dasar dalilnya;
2. Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya, sehingga meninggalkan shalat;
3. Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang di terima uzurnya untuk meninggalkan shalat;
4. Atau, hal itu bersifat umum kemudian di khususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat;
5. Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa di jadikan alasan.
Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad, lagi pula, tidak di sebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu mukmin, atau masuk syurga, atau selamat dari neraka dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nikmat atau kufur yang tidak rnenyebabkan kekafiran, di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat :


Pertama: Ia tidak sah menikah, jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya, hal ini berdasarkan firman Allah tentang para wanita yang berhijrah,"Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada suami-suami mereka orang-orang mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka." (Q.S. Al-Mumtahanah : 10).


Kedua: Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pemikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak lagi halal baginya, hal ini juga berdasarkan ayat yang telah di sebutkan tadi dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.


Ketiga: Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal di makan, karena daging itu menjadi haram, padahal, ini berarti na‘udzu billah, sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan Nasrani.


Keempat: Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah,"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Q.S. At-Taubah : 28).