Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

APA ITU HIWALAH?

Apa itu Hiwalah Dalam Islam?

A. Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang di maksud dengan hiwalah adalah Al-Intiqal dan Al-Tahwil, artinya adalah memindahkan atau mengoperkan, maka Abdur Rahman Al-Jaziri berpendapat, bahwa yang di maksud dengan hiwalah menurut bahasa adalah : "Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain."
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain :


  1. Menurut Hanafiyah, yang di maksud hiwalah adalah : Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggungjawab kewajiban pula.
  2. Menurut Syafi'i, Maliki dan Hanbali, hiwalah adalah : Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak yang lain.
  3. Al-Jaziri berpendapat, bahwa yang di maksud dengan hiwalah adalah : Pernikahan hutang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain.
  4. Syihab AI-Din AI-Qalyubi berpendapat, bahwa yang di maksud dengan hiwalah adalah : Akad yang menetapkan pemindahan beban hutang dari seseorang kepada yang lain.
  5. Menurut Sayyid Sabiq, yang di maksud dengan hiwalah adalah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal’alaihi.
  6. Menurut ldris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab qabul) pemindahan hutang dari tanggungan seseorang yang berhutang kepada orang lain, di mana orang lain itu mempunyai hutang pula kepada yang memindahkannya.
Dasar Hukum
Islam mensyari'atkan dan membolehkan hiwalah karena kebutuhan manusia.

a. Sunnah

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Menunda-nunda pembayaran hutang yang di lakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman, maka, jika seseorang di antara kamu di alihkan hak penagihan piutangnya (di hiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah." Dalam hadits tersebut, Rasulullah Saw memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, apabila orang yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu, di anjurkan untuk menerima tawaran tersebut dan harus menagih orang yang mendapat pengalihan (muhal'alaih) agar haknya terpenuhi.

b. ljma'
Ulama sepakat membolehkan hiwalah, hiwalah di bolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang atau benda karena hiwalah adalah perpindahan hutang, oleh karena itu, harus pada uang atau kewajiban financial.

B. Rukun Hiwalah
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan yang di lakukan hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali, rukun hiwalah ada 6 :

  1. Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang.
  2. Pihak kedua (muhal).
  3. Pihak ketiga (muhal’alaih).
  4. Ada piutang muhil kepada muhal.
  5. Ada piutang muhal‘alaih kepada muhil.
  6. Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, "Aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan" dan kabul dari muhal dengan kata-katanya, "Aku terima hiwalah engkau."
Syarat Sah HiwalahSemua Imam Madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali) menyatakan bahwa, hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal dan muhal 'alaih serta berkaitan dengan hutang tersebut.

Syarat bagi muhil :a. Baligh dan berakal, hiwalah tidak sah di lakukan oleh anak kecil, walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz) ataupun di lakukan oleh orang gila.
b. Ridha, jika muhil (pihak pertama) di paksa untuk melakukan hiwalah, maka akad tersebut tidak sah.

Syarat bagi muhal :a. Baligh dan berakal.
b. Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah (madzhab Hanafi, sebagian besar madzhab Maliki dan Syafi'i).

Syarat bagi muhal ‘alaih :a. Baligh dan berakal.
b. Ada persetujuan dari muhal ‘alaih (madzhab Hanafi), sedangkan menurut madzhab lainnya (Maliki, Syafi'i dan Hanbali) tidak mensyaratkan hal ini, sebab dalam akad hiwalah, muhal 'alaih di pandang sebagai objek akad.

Syarat bagi hutang yang di alihkan :a. Sesuatu yang di alihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
b. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.

Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut :

  1. Relanya pihak muhil dan muhal tanpa adanya tekanan dari pihak muhal’alaih, bagi muhal’alaih rela maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah, ada juga yang mengatakan bahwa, muhal tidak di syaratkan rela, yang harus rela adalah muhil. Hal ini karena Rasulullah Saw bersabda : "....dan jika salah seorang di antara kamu di hiwalahkan kepada orang kaya, maka terimalah."
  2. Samanya hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas dan kuantitasnya.
  3. Stabilnya muhal’alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang, adalah batal.
  4. Kedua belah pihak mengetahui hak tersebut secara jelas.
C. Beban Muhil Setelah HiwalahApabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungjawab muhil gugur, jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali Iagi kepada muhil, ha| ini adalah pendapat Ulama Jumhur. Menurut Madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali kepada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Menurut Abu Hanifah, Syarih dan Usman bahwa dalam keadaan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka muhal boleh kembali Iagi kepada muhil untuk menagih hutangnya.

D. Jenis-jenis HiwalahAkad Hiwalah, dalam praktiknya dapat di bedakan ke dalam dua kelompok, yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya dan yang kedua adalah berdasarkan rukun hiwalahnya.
Berdasarkan jenis pemindahannya, hiwalah di bagi menjadi 2, yaitu :
1. Hiwalah Dayn : Pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
2. Hiwalah haq : Pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.

Berdasarkan rukun hiwalah, hiwalah terdiri dari :1. Hiwalah Muqayyadah : Hiwalah yang terjadi di mana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal'alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal'alaih padanya.
2. Hiwalah Muthlaqah : Hiwalah di mana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal'alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal'alaih padanya. Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep piutang pada praktik perbankan.

E. Aplikasi Hiwalah dalam Institusi KeuanganDalam praktek perbankan syari'ah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang, untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berhutang.

Saat ini, akad hiwalah juga dapat di aplikasikan di Lembaga Keuangan Syari'ah, seperti anjak piutang maupun debt transfer, BMT BIF sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syari'ah juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Akad hiwalah di gunakan jika anggota mengajukan pinjaman untuk keperluan membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar hutang anggota di pihak Iain yang hampir jatuh tempo.

Transaksi berbentuk hiwalah ini dalam praktik sehari-hari sekarang berlaku pada pengiriman uang yang melalui pos atau bank, mengikuti cara hiwalah ini, dalam cara ini, tidak di perlukan suatu akad, namun pihak-pihak harus melakukan sesuatu yang dapat di pahami, bahwa usaha pengalihan hutang itu telah berjalan atas dasar suka sama suka.

Jadi kesimpulannya "Hiwalah" adalah pemindahan hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang). Di dalam Islam, kegiatan hiwalah ini di perbolehkan karena untuk kebutuhan manusia, adapun dasar hukum hiwalah ini dapat di lihat pada hadits yang isinya Rasulullah Saw memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, apabila yang berhutang mengalihkan pembayarannya kepada orang kaya dan mampu, di anjurkan untuk menerima tawaran tersebut, salain hadits, hukum yang Iain adalah ijma', agar hiwalah di laksanakan dengan sah, maka harus di penuhi rukun dan syarat sahnya akad hiwalah. Adapun rukun akad hiwalah adalah muhil, muhal, muhal’alaih, muhal bih 1, muhal bih 2 dan akad, sedangkan syarat sahnya adalah pelaku hiwalah yang baligh dan berakal, ridha, sesuatu yang di alihkan itu jelas dan sama baik jenis, kuantitas, kualitas dan tempo waktu penyelesaiannya, jika akad hiwalah berjalan dengan sah, maka dengan sendirinya tanggungjawab muhil gugur.

Sumber :
Fiqh Muamalah, Rajawali Pers Jakarta.
Bank Syari’ah, Jakarta : Gema lnsani Press.
Hukum-Hukum Fiqh lslam , Jakarta Bulan Bintang.
Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Cetakan Pertama, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Syarah Bulughul Maram, Cetakan Pertama, Jakarta, Pustaka Azzam.
Kode Etik Dagang Menurut Islam, Cetakan Ketiga, Bandung, CV. Diponegoro.

Posting Komentar untuk "APA ITU HIWALAH?"