Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

USMAN BIN AFFAN DAN IJTIHAD

Pada saat kelompok ijtihad dan Al-Ra'yu memegang tampuk kepemimpinan, mereka mulai menjadikan sikap yang di ambil oleh Syaikhain (Abu Bakar Ra dan Umar Ra) sebagai hal ketiga setelah Al-Qur'an dan Al-Sunnah (Hadist), mereka mensyaratkan bagi siapa saja yang duduk di kursi khalifah setelah Umar Ra untuk tetap komit dengan kaidah yang di bangun di atas landasan Ijtihad, karena itu, Usman pun menerima syarat tersebut, sedangkan Imam Ali Ra menolaknya dengan keras, sebab menerima syarat itu, berarti melepaskan diri dari madrasah ta'abud murni, yang berarti bergabung dengan Ijtihad Bi Al-Ra'yi dan alasan inilah yang mendasari penolakan Imam Ali bin Abi Thalib Ra sebagai bentuk kepatuhan beliau kepada Rasulullah Saw dan Al-Qur'an, sebagaimana yang telah kami jelaskan, sebab, dengan menerima syarat itu, beliau akan menambah legalitas pemikiran baru tersebut.
Dan jelas pula bahwa dengan syarat tersebut, maksud Abdul Rahman Bin Auf yang selalu menginginkan agar Usman tetap konsisten dengan semua Ijtihad yang di cetuskan oleh Syaikhain dan tidak memperlebar ruang lingkup ijtihad pada selain keduanya (Syaikhain), namun kenyataan yang terjadi setelahnya adalah justru berkebalikan dengan apa yang di inginkan oleh Syaikhain dan Ibnu Auf, sebab pemikiran ijtihad itu sendiri menolak pembatasan yang tidak memiliki kekuatan yang dapat memaksakan pembatasan sesuai dengan apa yang di inginkan.
Di legalkannya sunnah Syaikhain, sesuai dengam keputusan ijtihad dan di angkatnya itu sampai ke taraf yang sejajar dengan sunnah Nabi Saw, di tujukun untuk menerapkan segala hukum yang di rekayasa pada masa kekhalifahan mereka berdua, mengakui legalitas sunnah Syaikhain dan tidak memberi peluang bagi orang lain untuk menolaknya, sedangkan Usman Bin Affan sendiri berkeyakinan bahwa sedikit pun dirinya tidak kurang dari Syaikhain, oleh karena itu, apa alasannya sehingga dia harus berpegang teguh pada ajaran Syaikhain, sementara dia sendiri tak boleh membuat sebuah ajaran dan ijttihad-ijtihad sendiri, Usman berjalam di atas jalur ajaran Syaikhan hanya dalam tempo singkat. sampai ketika dia ingin memiliki pendapat yang independen dan menjadikan dirinya sebagai orang ketiga dalam jajaran pendiri madrasah ijtihad, mulailah orang-orang sekitarnya menampakkan rasa keberatan mereka kepadanya dan kritikan-kritikan pun mului gencar di arahkan, sebab ijtihad-ijtihadnya telah memperluas ruang lingkup yang pertama, yang dengan demikian mengeluarkan Usman dari janji yang seharusnya di pegangnya, sebagaimana juga merusak (konsensus) tentang ijtihad yang hanya di batasi pada Syaikhain saja, apa yang telah di lakukan Usman menjadi alasan bagi para sahabat untuk menjulukinya sebagai orang yang telah menyimpangkan dan membengkokkan agama. Mereka kemudian menyamakannya dengan Na’tsal Si Yahudi dan sebagainya, oleh karena itu, kita menemukan banyak sekali orang yang menentang pendapat-pendapat Usman Bin Affan, penentangan mereka terhadap hukum baru yang ingin di terapkannya ke dalam banyak persoalan hukum yang ada, di antaranya adalah masalah wudhu', sebagaimana yang telah dan akan anda lihat selanjutnya...

USMAN BIN AFFAN DAN KHILAFIYAH WUDHU'

Posting Komentar untuk "USMAN BIN AFFAN DAN IJTIHAD"