Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

TENTANG MELAHIRKAN QALAM QADIM

Rahasia itu ada hubungan dengan takluk kepada kepentingan aqidah, semua rahasia-rahasia itu tidak terlepas dari kepentingan untuk meningkatkan kaidah tauhid dalam berketuhanan, berdasarkan hal itu maka tidaklah terlarang untuk melahirkannya kepada yang sudah memahami akan hal tersebut walau secara dasar, bagi orang yang memperdalam hal tersebut ada tiga macam jalan yang bersamaan dalam menerapkan ibadah kepada Allah secara tasawuf, yakni ilmu dzahir, adalah ilmu yang menyampaikan kepada penyesuaian ilmu fiqh, ilmu bathin, adalah tidak seharusnya di lahirkan secara umum kecuali pada yang menempuh ibadah cara tasawuf dan ilmu antaranya dengan Tuhan, adalah yang tidak seorangpun bisa menerangkannya atau melafadzkannya atau menjabarkannya, sebab bila tersalah dalam menjabarkannya malah cenderung kepada kufur, ini sangat berbahaya dalam menempuh pencerahan tentang ketuhanan.

Bagi ketuhanan ada rahasianya, yang apabila di dzahirkan maka batallah keimanan, kalau keimanan batal maka batal pulalah ketauhidan. Rasulullah bersabda : “Kamu berbicara kepada manusia yang belum sampai tingkat kecerdasannya, apakah kamu dalam hal itu ingin agar meraka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?” tingkat kecerdasan di sini yang di maksud adalah seseorang manusia yang belum tahu apa itu kematian, sebab orang yang cerdas adalah orang yang tahu dan sadar apa itu tentang kematian dan kehidupan setelah kematian, karena tanpa bisa menerapkan i’tikad mati sebelum mati maka sungguh berbahaya ia berbicara tentang ketuhanan.

Mendzahirkan kalam qadim berbahaya apabila akal pendek dalam hal ketauhidan dan keimanan, bberkata Abu Hurairah tentang ilmu dari Rasulullah,“Aku menghafalkan dua macam ilmu dari Rasulullah, adapun satu di antaranya kuterangkan, tetapi yang satu macam lagi kalau kuterangkan akan di potong orang leherku.” Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata : “Yaa Tuhanku, andaikata kutunjukkan permata ilmuku, di katakan orang aku termasuk orang-orang penyembah berhala. Laki-laki muslim menghalalkan darahku, mereka menyangka apa yang kutunjukkan itu adalah hal yang paling jelek dan apa yang mereka perbuat itu adalah hal yang paling baik.”

Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan tentang tafsir Al-Qur’an yang berbunyi : “Allahlah yang menjadikan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi, Ia turunkan perintah kepada keduanya.” Ayat ini beliau berkata : “Kalau kutafsitkan ayat ini, kamu akan melempari aku dengan batu-batu dan mengatakan aku orang kafir.”

Tentang kalam qadim ini adalah merupakan kata-kata yang di ucapkan para arif billah tentang rahasia-rahasia ketuhanan yang berpotensi merusak aqidah dan tauhid umat jika tersalah dalam memahaminya jika belum kuat dan erat taraf ilmu tauhid dan aqidahnya dalam beragama, hanya kalangan mereka yang mengetahui dan memahami sebagaimana kata Ali Bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas di atas, dari dulu sampai sekarang hal ini sangat riskan dalam kalangan umat Islam, secara mayoritas malah menimbulkan fitnah yang hebat terhadap yang membeberkannya sembarangan.

Sikap orang yang bisa menimbulkan fitnah adalah berarti suatu dosa dan kesalahan, tapi bagaimana andai kata kalam qadim itu tidap pula di dzahirkan? Bagaimana pula kalau kata-kata itu dzahir dalam hatinya sendiri? Itu adalah urusannya sendiri dengan Allah, bagaimana pula jika ragu-ragu?, maka setiap ada keraguan maka pastilah itu bukan datang dari Tuhan, melainkan datang dari syaithan melalui bisikan dan kata-kata nafsu jahatnya sendiri, ini malah makin salah, karena dalam persoalan ini sangat mengutamakan prasangka baik (Khusnudzan), misalnya seseorang menyangka bahwa daging ayam yang sudah masak berada di hadapannya adalah daging babi, maka kalau dia memakannya, berarti secara hakikat ia memakan barang haram sesuai dengan prasangkanya tadi, sebaliknya bila segumpal daging babi dan ia memang tak tahu sama sekali tapi ia menyangka bahwa itu daging halal misalnya sapi dan ia tanpa keraguan memakannya, maka hukumpun memaafkannya.

Hadist Rasulullah yang di terima oleh Ali Bin Abi Thalib berkata : Rasulullah berkata : “Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi selalu memuji diri-Nya setiap hari dengan kata-Nya…Sesungguhnya Akulah pengatur Alam semesta, sesungguhnya Akulah Allah yang tiada Tuhan selain Aku, Aku yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri, Sesungguhnya Akulah Allah tidak ada Tuhan selain Aku, tidak melahirkan dan tidak pula melahirkan, Sesungguhnya Akulah Allah tidak ada Tuhan selain Aku yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun, Sesungguhnya Akulah Allah tidak ada Tuhan selain Aku, Yang Maha mendzahirkan segala sesuatu dan kepada-Ku kembali segala sesuatu itu, Akulah yang Maha Mulia, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Merajai Hari Pembalasan, Maha Pencipta Kebaikan dan Keburukan, Maha Pencipta Syurga dan Neraka, Maha Esa, Maha Tunggal, Maha Sendiri, Maha Tempat Bersandar dan Bergantung yang tidak punya kawan dan anak……seterusnya.” (Hadist ini tercata panjang, tapi di cukupkan sekian saja).

Maksud hadist yang di sampaikan oleh Rasulullah di atas adalah selain bisa di pakai untuk penguatan bahwa memuji Allah itu sangat tinggi nilainya, karena Dia sendiri memuji dirinya sendiri, apalagi jika hamba memuji-Nya, maka itu berfaedah besar, hanya saja terlarang untuk memuji sesama makhluk, karena pujian adalah Hak Mutlak Allah saja.

Jadi jangan sembarangan dalam mengangkat pembicaraan tentang rahasia-rahasia ketuhanan, sebelum nnereka pendengar itu tetap pendirian mereka dalam hal bertauhid, sebab itu sama saja dengan menggantungkan permata di leher babi, sebelum mereka bisa memisahkan antara hak dan bathil yang berdasarkan pada syari’at-syari’at yang berlaku dan berketetapan dalam melaksanakannya, sebelum bisa melaksanan syari’at yang adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya sehubungan dengan perintah dan larangan dalam kehidupan, tata cara dzahir dalam melakukan perintah dan larangan secara dzahir atau jasmani, setelahnya berthariqat dengan maksud adalah sengaja mengamalkan segala sesuatu ibadah dengan ilmu syari’at karena Allah semata, seterusnya berketetapan dalam menyangkut masalah bathin yang di mulai dengan menanamkan sifat istiqamah hanya pada kebaikan dengan segala tujuan dan tanggapan hanya terpancang lewat sinar cahaya kebenaran yang di temui selama beristiqamah tersebut sehingga kebenaran yang hakiki dapat di rasakan bersama dengan kemanisan iman, begitulah hendaknya permulaan dan jalan untuk menggapai dan meraih rahasia-rahasia ketuhanan, bukan dengan jalan mendengarkan perkataan kalam-kalam qadim sebagaimana yang di jabarkan oleh para arif billah tanpa melalui jalan syari’at, thariqat dan hakikat, karena tali berpilin tiga atau jalan yang tiga ini mesti di tempuh dalam menggapai pengenalan rahasia-rahasia Allah atau ilmu ketuhanan.

Posting Komentar untuk "TENTANG MELAHIRKAN QALAM QADIM"