Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Nasihatilah Diri

Kalau berbicara tentang nasihat ini adalah ngeri-ngeri sedap, karena erat kaitannya dengan mesti memperbaiki diri sendiri (bahasa zaman sekarang) terlebih dahulu baru menasihati orang lain, berbicara tentang nasihat, kita melihat diri kita tak pantas untuk memberikannya, sebab, nasihat seperti dzakat dan nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk diri sendiri itu wajib.

Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan mengeluarkan dzakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak mungkin di jadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah mewahyukan kepada Nabi Isa bin Maryam,“Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Rasulullah Saw bersabda,“Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat, yang berbicara dan yang diam.”

Pemberi nasihat yang berbicara adalah Al-Qur’an, sedangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan menasihati orang lain? Kita mesti berusaha keras dalam menasihati diri dengan keduanya. Lalu kita pun membenarkan dan menerimanya dengan ucapan dan akal, tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Kita berkata pada diri ini,“Apakah engkau percaya bahwa Al-Qur’an merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang di turunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?” Ia menjawab,“Benar.” Allah berfirman,“Siapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan amal perbuatan mereka di dunia dan mereka di dunia ini tak akan di rugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka. Dan gugurlah semua amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Hud : 15-16).

Allah menjanjikan neraka bagi kita karena kita menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak menyertai kita setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah kita telah membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya ada seorang dokter yang memastikan bahwa kita akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya kita biasanya akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter itu lebih di percayai ketimbang Allah? Jika itu terjadi, betapa kufurnya! Atau apakah penyakit itu lebih hebat di bandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya diri ini! Di benarkan tapi tak mau mengambil pelajaran, bahkan terus saja condong kepada dunia, lalu datangilah diri dan berikan padanya juru nasihat yang diam (kematian).

Katakanlah,“Pemberi nasihat yang berbicara (Al-Qur’an) telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman,”Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan.‟ (Q.S. Al-Jumu’ah : 8).

Katakan padanya diri,“Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Ingat dan bacalah bahwa Allah berfirman,”Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada mereka siksa yang telah di janjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu.‟ (Q.S. Asy-Syu’ara : 205-206).

Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia di keluarkan darinya, sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata,“Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak di wujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari ridha Allah sebagaimana ia mencari rida dunia, bahkan, tidak sebagaimana ia mencari ridha manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba. Katakan padanya,“Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perlengkapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi panas?” Ia menjawab : “Benar.” “Kalau begitu bermaksiatlah kepada Allah sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana, sanggup tak???.” Ia menjawab, “Ini merupakan kewajiban yang tak mungkin di abaikan kecuali oleh seorang yang dungu.” Maka ia terus dengan tabiatnya itu. “Kita” seperti yang di sebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan separuhnya lagi tak tercegah.” Kita termasuk di antara mereka, ketika melihat diri keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat kematian dan Al-Qur’an, maka yang paling utama harus di lakukan adalah mencari sebabnya yang di sertai dengan pengakuan yang tulus, hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan.

Ke-AKU-an terus-menerus mencari, hingga menemukan sebabnya, ternyata aku terlalu tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa, yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama, seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada malam nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istiqamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah, hmmm….tak tahu malu pula tuh.

Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya, ia hanya bisa berjalan dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang di berikan Rasulullah Saw ketika beliau bersabda,”Shalatlah seperti shalatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia).” Beliau telah di beri kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat dan tegas dan itulah nasihat yang berguna.

Siapa yang menyadari dalam setiap shalatnya bahwa shalat yang di kerjakan merupakan shalat terakhir, maka hati akan khusyu’ dan dengan mudah bisa mempersiapkan diri sesudahnya, tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, diri senantiasa akan lalai, tertipu dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba, hingga, pada akhirnya hadir rasa menyesal karena waktu telah tiada.

Kita harap dan memohonkan kepada Allah agar di beri kedudukan tersebut karena kita ingin meraihnya tapi tak mampu, kita juga mewasiatkan padanya (diri) agar hanya ridha dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada, tipuan jiwa hanya bisa di ketahui oleh mereka yang mawas diri.

Posting Komentar untuk "Nasihatilah Diri"