Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

KENDALA DAN YANG DI AWASI DALAM BERTHARIQAH

Kendala negatif yang sering di jumpai dalam mencari ilmu adalah terlalu banyak bergaul dengan orang yang banyak bicara, baik dalam hal kebiasaan, hal-hal rasional maupun keagamaan yang tidak berpijak pada prinsip dan kaidah yang benar dan kendala dalam bergaul dengan para alim ulama dan sesama adalah jika pergaulan itu penuh dengan tipu daya dan terlalu berlebihan dalam memberikan uraian, penjelasan dan pemahaman, selanjutnya kendala dalam meninggalkan hal-hal yang di ringankan dan penakwilan-penakwilan adalah keberpihakannya pada selera hawa dan nafsu namun mengatas namakan kaidah agama.

Kendala-kendala tersebut adalah sangat mengikat waktu dengan dan memperluas pandangan dalam pengetahuan, karena adanya hikmah di sebalik kendala tersebut yang menjadi dasar peletakan suatu prinsip dalam beribadah serta faktor fadhilah-fadhilah wirid yang sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw. Perlu di ingat pada kendala dalam mencurigai nafsu adalah merasa senang dan bahagia atas kebaikan perilaku batinnya dan istiqamahnya sementara hal itu masih bisa menjauhkan seorang hamba dengan Tuhannya. Sebagaimana frman Allah : ”Dan jika ia menebus dengan segala tebusannya, niscaya itu tidak akan di terima.” (Q.S. Al-An’am : 70).

Nabi Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim menegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu : ”Dan aku tidak membebaskan diriku. Sesungguhnya nafsu sangat cenderung memerintahkan keburukan, kecuali nafsu yang di beri rahmat oleh Tuhanku.”

Dasar terapi atas penyakit nafsu tersebut ada lima :
Melaparkan isi perut;
Bergegas kembali kepada Allah ketika nafsu menghadang;
Lari dari kejadian yang di khawatirkan menjerumuskan diri;
Melanggengkan istighfar di sertai shalawat pada Rasulullah Saw, baik dalam khalwat maupun berjama’ah, dan bergaul dengan orang yang menunjukkan dirimu kepada Allah atau perintah Allah.

Abul Hasan Asy-Syadzily Qs, mengatakan, ”Kekasihku memberikan wasiat kepadaku, beliau berkata,“Janganlah engkau langkahkan kakimu kecuali engku berharap pahala Allah dan janganlah duduk atau bermajelis kecuali engkau aman dari maksiat kepada Allah dan jangan pula bergaul kecuali dengan orang yang di meminta pertolongan agar bisa taat kepada Allah. Janganlah memilih orang untuk dirimu kecuali orang yang membuat anda bertambah yaqin kepada Allah dan mereka ini jumlahnya sedikit.

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily Qs juga berkata,“Siapa yang menunjukkan dunia padamu, berarti telah menipumu. Siapa yang menunjukkan amal padamu berarti telah memberi kepayahan padamu dan siapa yang menunjukkanmu pada Allah, itulah yang benar-benar menasehatimu.” Beliau juga berkata,“Jadikanlah ketaqwaan itu sebagai tempat tinggalmu, lalu kegembiraan diri tidak membuatmu sedih, sepanjang engkau tidak rela dengan aib jiwa, atau berkubang dosa, atau ketakutanmu pada Allah runtuh dalam hatimu.” Kukatakan, “Tiga hal inilah akar dari segala penyakit, bencana dan bahaya.” Terlihat para Sufi zaman ini banyak terpedaya oleh lima cobaan, yaitu :
Mendahulukan kebodohan di banding ilmu pengetahuan;
Terpedaya dalam setiap teriakan syi’ar dan amal perbuatan yang ‘ujub;
Meraih kehinaan dalam setiap perkara karena berdasarkan perhitungan keduniaan;
Merasa mulia dengan thariqahnya dan memandang remeh terhadap jalan menuju Allah yang di lakukan orang lain;
Menampilkan sesuatu keistimewaan yang sesungguhnya menipu, dan
Berusaha dengan keras untuk segera di bukakan (ruhaninya) namun tanpa memenuhi syaratnya, padahal sifat ini jauh dari perkenan Allah.

Selanjutnya 6 (enam) hal di atas bukanlah cukup ujian baginya, bertambah terus dengan hal berikut ini berupa ujian dengan lima hal pula, yaitu :
Mendahulukan bid’ah di banding sunnah Rasulullah;
Mengikuti kaum bathil di banding ahli kebenaran dengan arti kata terlalu erat dengan penguasa;
Mengikuti hawa nafsu dalam beramal ibadah, dalam berbagai perkara atau perkara-perkara utama;
Mencari nilai-nilai yang tak berguna di banding hakikat kebenaran, dan
Munculnya klaim-klaim (pengakuan-pengakuan diri bahwa ia hebat, ahli ibadah, ulama top, dsb) tanpa sikap, kepribadian dan tindakan yang benar.

Dengan hal-hal tersebut kebanyakan terperdaya dengan peristiwa-peristiwa yang menimpa kaum sufi dalam soal-soal di atas, lalu mereka menyebut-nyebut perilakunya seolah-olah mereka sudah baik dan tepat dalam kehidupan dan dalam ibadahnya. Seandainya mereka benar-benar menyelami hakikatnya, mereka bakal tahu bahwa usaha duniawi itu hanyalah keringanan bagi orang-orang yang lemah dan sesungguhnya ketaqwaan yang membedakan manusia di hadapan Allah, posisi alam asbab (alam duniawi) itu hanyalah sekadarnya saja, tanpa berlebih kecuali untuk keperluan sarana peribadatan yang benar saja kepada Allah. Tak ada yang terbelit dalam mata rantai duniawi kecuali ia akan jauh dari Allah. Misalnya mendengar lagu-lagu (musik) pada zaman ini hanyalah suatu kemurahan toleransi Allah bagi yang terkalahkan batinnya dari selain Allah, ia lebih suka berdendang daripada ucapan dzikir dalam hatinya pada setiap detik kehidupan, atau juga hanya sekedar istirahatnya orang-orang yang menuju Allah pada paripurna alam ruhaninya, yang sesungguhnya berada dalam posisi degradasi yakni penurunan derajat dalam hamparan Allah karunia dan hidayah sang Azza wa-Jalla, walaupun mendengar musik dan lagu itu dengan syarat sesuai dengan ahli, posisi dan adabnya. 


Waswas merupakan bid’ah, yang akarnya adalah bodoh terhadap Sunnah Nabi Saw yang betul atau shahih, bebalnya akal sehat untuk hal tersebut adalah kebinasaan yang nyata. Orientasi agar di terima makhluk, sesungguhnya merupakan bentuk penolakan pada Allah Azza wa-Jalla. Apalagi misalnya bagi sang Qari’ yang mencari-cari pesona, atau penguasa yang lalai, sedangkan menerima belas kasih mereka merupakan suatu dosa dan berakibat rusaknya aqidah, juga Suf (ulama) yang bodoh karena terpedaya hasil duniawi karena syi’arnya. Bergaul dengan orang yang banyak bicara merupakan kegelapan dan kehampaan baik bagi dunia maupun agama, KARENA HAL TERSEBUT HANYA MENGHABISKAN UMUR DALAM MEMBAHAS IBADAH DAN KETUHANAN, SEMENTARA IBADAH NIHIL, SEMUA HANYA CELOTEH SAJA. 

Abu Madyan Al-Ghauts Ra, mengatakan,”Merupakan hadats, bagi orang yang tidak berserasi denganmu di jalan Thariqahmu, walaupun usianya sembilan puluh tahun.” Kukatakan,”Yaitu orang yang tidak kokoh dalam kondisi anugerah ruhani, dan ia menerima kondisi itu, lalu bergembira dan menyukai posisinya. Inilah yang banyak menimpa kalangan generasi kelompok Suf dan pemburu majelis-majelis, maka hati-hatilah dengan sepenuh jiwamu. Rubahlah hal-hal keburukan yang menyeret kepada kebinasaan itu dengan menekankan prinsip, yaitu : 

Taqwa kepada Allah, secara bathin dan lahir, istiqamah akan hal itu;
Mengikuti jejak Sunnah Rasulullah Saw yang shahih, baik dalam ucapan
maupun tindakan;
Berpalinglah dari makhluk yang identik mengajak kepada keburukan, lakukan sifat yang baik di terima buruk di tolak dengan sekemampuan;
Ridho kepada Allah dalam memandang anugerah, atas yang
sedikit atau banyak, dan
Kembali kepada Allah dalam keadaan apapun, yakni dalam suka ataupun duka.

Manifestasi taqwa melalui sikap wara’ dan istiqamah, perwujudan atas Ittiba’ terhadap Sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang luhur, perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Perwujudan ridha kepada Allah dengan melalui sikap qana’ah dan pasrah total terhadap apapun keputusan Allah terhadap diri tanpa meninggalkan ikhtiar dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka maupun duka dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan ujian dan cobaan.

Jadi secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah :
Himmah yang tinggi;
Menjaga kehormatan Allah;
Bakti yang baik;
Melaksanakan hak dan kewajiban, dan
Mengagungkan nikmat Allah.

Siapa yang himmahnya tinggi, naiklah derajatnya di ahdapan Allah, siapa yang menjaga kehormatan Allah, maka Allah pun menjaga kehormatannya, siapa yang baktinya bagus, ia akan mendapatkan kemuliannya, siapa yang melaksanakan hak dan kewajibannya, akan langgeng hidayahnya, siapa yang mengagungkan nikmatNya pasti ia mensyukurinya dan siapa yang mensyukuri nikmat-Nya ia akan terus mendapatkan tambahan nikmat dari Sang Pemberi nikmat sebagaimana yang di janjikan Allah untuk meraih kebahagiaan dunia dan di akhirat. Terapkanlah dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada kesudahannya berupa prinsip-prinsip dasar amaliyah, yaitu : 


Mencari ilmu untuk menegakkan kesempurnaan perintah-Nya;
Bergaullah dengan para Syeikh dan kawan yang alim untuk menganalisa serta dapat referensi dari mereka serta meneladani ibadahnya;
Meninggalkan hal-hal yang di mudah-mudahkan dan penakwilan-penakwilan keliru yang mengarah pada kesyirikan, demi menjaga diri dari aqidah dan tauhid yang salah dan keliru;
Selalu mengikat waktu dengan wirid-wirid, agar hati terus hadir di hadapan-Nya, dan
Mencurigai hawa nafsu dalam segala hal, agar bisa keluar dari pengaruhnya, agar selamat dari keteledoran dan kesalahan.

Demikianlah harapan kita sekalian, semoga Allah merahmati kita sekalian…..

Posting Komentar untuk "KENDALA DAN YANG DI AWASI DALAM BERTHARIQAH"