Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

LARANGAN BERDIRI KARENA KEDATANGAN ORANG LAIN

"Seseorang tidak (boleh) berdiri karena (kedatangan orang lain, akan tetapi longgarkanlah, niscaya Allah akan memberi kelonggaran kepada kalian." Hadits ini di takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Kitab Musnad-nya (2/438). ia berkata : Telah meriwayatkan kepada kami dari Suraih, ia berkata : "Telah meriwayatkan kepada kami Fulaih, dari Ayyub bin Abdirrahman bin Sha'sha'ah Al-Anshary, dari Ya'qub bin Abi Ya"qub dari Abu Hurairah secara marfu'." Nah, mengenai riwayat Ya'qub bin Abi Ya'qub, di dalam At-Tahdzib di jelaskan: "Abu Hatim menilainya bahwa Ia jujur (shaduq) dan di sebutkan oleh Ibnu Hibban di dalam Ats-Tsiqat (perawi-perawi tsiqah)."

Ibnu Abi Hatim menulis biografinya di dalam Al-Jarh Wat-Ta'dil, tetapi ia tidak menyebutkan penilaian ayahnya yang mengatakan shaduq, sedangkan Ibnu Sha'sha'ah di sebutkan oleh Ibnu Hibban di dalam Ats-Tisiqat. Adapun yang meriwayatkan darinya adalah para jama’ah yang juga terdapat dalam Al-Khazraji ini yang juga terdapat di dalam Al-Khulashah dan Al-Hafizh yang tercantum di dalam Ai-Taqrib yang menyebutkan: "la seorang perawi shaduq." Sedang perawi-perawi lainnya juga termasuk para perawi yang di pakai oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, artinya adalah shahih.

Hadits ini memiliki dua syahid yang di sebutkan oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath (11/53), namun Al-Hafizh tidak menyebutkan hadits yang tersebut di atas. Selanjutnya Al-Hafizh memberi komentar terhadap apa yang di sebutkan oleh Imam Bukhari, yakni: "Ibnu Umar enggan duduk jika ada orang yang berdiri untuknya." Kemudian Al-Hafizh menjelaskan: "Imam Bukhari mentakhrijnya di dalam Kitab Al-Adab Al-Mufarrad dengan redaksinya yaitu : "Adalah Ibnu Umar, jika ada orang lain berdiri dari tempat duduk agar ia menempatinya. Maka dia tidak berkenan menempatinya." Demikian pula takhrij yang di lakukan oleh Imam Muslim ketika ia meriwayatkan hal ini.

Dalam kesempatan lain, Abu Dawud juga mentakhrijnya dari Ibnu Umar secara marfu". Abu Dawud mengambilnya dari jalur Abul Khasib yang nama aslinya adalah Ziyad bin Abdirrahman. memperoleh hadits dari Ibnu Umar, yaitu "Ada seseorang datang kepada Rasulullah, lalu seseorang beranjak dan tempat duduknya agar orang yang datang itu menempatinya, tetapi Rasulullah melarangnya." Di samping itu Abu Dawud juga mentakhrij hadits yang sama dari Sa'id bin Abil Hasan: 'Abu Bakrah datang kepada kami, lalu ada seseorang yang beranjak dari tempat duduknya, supaya Abu Bakrah menempatinya, namun Abu Bakrah tidak mau menempatinya dan mengatakan : "Sesungguh-nya Rasulullah melarang hal itu." 


Imam Al-Hakim juga mentakhrijnya dan menilainya shahih dari sisi jalur ini. Redaksi hadits yang di sandarkan Al-Hafizh ke­pada Imam Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufarrad itu adalah miliknya sendiri (lihat hadits no. 1153) dengan sanad shahih, sesuai dengan syarat Shahihnya Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hadits itu di sebutkan setelah menyebutkan haditsnya yang berstatus marfu' dengan matan : "Rasulullah melarang seseorang menyuruh orang lain beranjak dari tempat duduknya agar ia bisa menempatinya." Nah, Matan hadits ini juga sesuai dengan Shahih Imam Muslim.

Hadits yang di sandarkan kepada Abu Dawud dari Ibnu Umar tersebut adalah haditsnya sendiri (4/406). Semua perawinya tsiqah, kecuali Abul Khashib, yang oleh Abu Dawud, seperti juga di katakan oleh Al-Hafizh: "Namanya adalah Ziyad bin Abdirrahman." Hadits itu oleh Al-Mundziri di dalam kitabnya Mukhlasharusi-Sunan tidak di beri komentar apapun, akan tetapi hadits itu bisa di pakai sebagai syahid dengan status "la ba'sa bihi." Insya Allah). Melalui jalur ini pula Al-Hakim (4/272) mentakhrijnya, tetapi matannya sama dengan yang di pakai Ibnu Umar dalam hadits yang shahih yaitu: "Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri agar tempatnya bisa ia duduki." Kemudian Al-Hakim menilai: "Sanad ini shahih." Sementara itu Adz-Dzahabi juga sependapat. Kesimpulannya adalah bahwa, dengan dua hadits pendukungnya, yaitu hadits Abu Hurairah di atas menjadi shahih nilainya dan untuk jadi rujukan fiqh.

Hadits itu mengandung makna yang jelas, bahwa tidak termasuk etika Islami bila seseorang berdiri dari tempat duduk karena kedatangan temannya dengan tujuan agar temannya itu duduk di tempatnya, di mana hal itu ia lakukan untuk memberikan penghormatan, namun yang sepatutnya di lakukan adalah memberi kelonggaran tempat duduk dan bukan berarti memberikan utuh untuk di gantikan, tapi hanya boleh memberikan kelonggaran tempat duduk meskipun akan mengakibatkan saling berdesakan di kala duduk. 


Hal ini jika duduknya ada di bawah atau di lantai, sedangkan jika duduknya di kursi, tentunya hal itu tidak mungkin di lakukan memberikan kelonggaran karena muatan kursi secara umum untuk satu orang, hanya boleh berdiri jika untuk memberikan orang lain atau temannya lewat di depan kursinya, bukan memberikan kursi. 

Bagaimanapun orang yang duduk itu harus berdiri jika hendak memberikan kelonggaran, hanya ini yang di lakukannya. Keadaan ini memang berbeda dengan maksud hadits di atas. Karena itulah Ibnu Umar tidak berkenan duduk di tempat yang di berikan oleh orang lain dengan berdiri ketika beliau hadir. Hal ini menyangkut pada Karahah, Karahah adalah hukum yang lebih dekat untuk di kenakan yang tidak boleh pada perbuatan ini, sebab redaksi itu meskipun berupa nafi (negatif), tetapi mempunyai arti larangan (nahi) dalam kondisi apapun juga ketika duduk, baik di kursi apalagi di lantai, karena hukum asal yang di tunjukkan adalah mutlak dengan larangan adalah berarti haram, bukan karahah.

Hadits di atas tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya, sebab hadits itu justru lebih tegas hukumnya. Hukum asal di ambil dari tambahan atau dengan kata lain, tambahan itu mempengaruhi hasil hukumnya. Hadits Ibnu Umar di atas berisi larangan meminta orang lain untuk berdiri agar tempat duduknya bisa di tempatinya, bukan berisi larangan seseorang untuk berdiri. Berbeda dengan hadits yang satunya adalah berisi larangan berdiri karena kehadiran orang lain. 


Adapun mengenai larangan meminta orang lain berdiri dalam hadits ini hanya di tunjukkan secara tersirat, sebab jika berdiri saja tidak di perbolehkan maka meminta berdiri lebih tidak di perbolehkan lagi. 

Hal ini sudah jelas kita pahami tanpa ada kebimbangan lagi, Insya Allah. Pada hadits ini di sebutkan larangan menempati tempat duduk orang lain yang berdiri karena kedatangannya, meskipun dia tidak memintanya berdiri. Hal ini kemungkinan sebagai langkah pengamanan agar tidak ada kesan ajaran bahwa seseorang harus beranjak dari tempatnya jika ada orang lain datang dan mempersilakannya menempati tempat duduknya. Wallahu A'lam.

Posting Komentar untuk "LARANGAN BERDIRI KARENA KEDATANGAN ORANG LAIN"