MENGHIDUPKAN KEMBALI SUNNAH PENTING YANG TERBENGKALAI
Tidak sedikit hadits shahih yang memerintahkan kita agar meluruskan barisan ketika shalat. Hadits-Hadits itu bahkan telah di kenal di kalangan pencinta ilmu agama, lebih-lebih guru mereka, tetapi tidak sedikit di antara mereka yang belum menyadari bahwa apa yang di perintahkan Rasulullah adalah tidak semata-mata meluruskan barisan antara bahu dengan bahu, tetapi juga antar kaki dengan kaki, bahkan kita sering mendengar seorang imam masjid yang menyerukan untuk meluruskan barisan antar bahu saja, tidak sekalian dengan kaki, karena hal ini merupakan penyimpangan dari sunnah Rasulullah, maka dengan menyebutkan hadits-hadits yang berkenaan dengan perintah tersebut, maka hal ini di maksudkan agar menjadi peringatan bagi mereka yang ingin mengamalkan ajaran Rasulullah dari sumber yang benar-benar valid, bukan dengan cara mengikuti tradisi yang tidak sesuai, atau mengikuti mereka yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Ada dua hadits shahih yang berkenaan dengan perintah itu, yaitu hadits dari Anas dan hadits dari Nu’man bin Basyir.Hadits yang pertama adalah : “Tegakkanlah barisanmu, dan tetaplah di tempat, sebab aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.” Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Bukhari (2/176, dengan syarah Al-Fath), Imam Ahmad (3/182), Imam Mukhlis di dalam Al-Fawa’id (Juz 1/10/2) dari beberapa jalur yang berasal dari Humaid Ath-Thawil dari Anas bin Malik Ra, yang menuturkan : “Shalat telah diqamati. Lalu Rasulullah menghadap kepada kami dan bersabda : (kemudian perawi menyebutkan sabda Nabi seperti di atas).” Sementara itu Imam Bukhari dalam riwayat lain menambahkan : “Sebelum beliau bertakbir” dan di akhir hadits, Imam Bukhari juga menambahkan : “Seseorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu kawannya dan menempelkan telapak kakinya dengan kaki kawannya.” Sedang yang di pakai oleh Al-Mukhlis adalah dengan berbunyi “Anas berkata: “Saya benar-benar melihat bahwa salah seorang di antara kami menempelkan bahu dan telapak kakinya ke bahu dan telapak kaki kawannya. Seandainya hal itu di lakukan sekarang, niscaya salah seorang di antara kalian akan ada yang enggan, seperti seekor bighal yang membangkang.”
Sanad hadits ini juga shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim. Sedang Al-Haizh Ibnu Hajar menyandarkan hadits tersebut kepada Sayyid bin Manshur dan Al-Ismaili. Imam Buhkari menerjemahkan hadits tersebut dengan perkataannya “Bab Menempelkan Bahu dengan Bahu dan Telapak Kaki dengan Telapak Kaki Lainnya dalam Barisan Shalat.” Sedangkan hadits kedua, yakni hadits Nu’man adalah : “Rapatkanlah barisanmu (tiga kali). Demi Allah, kalian akan menegakkan barisan, atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisih.” Hadits ini di takhrij oleh Abu Dawud (Hadits Nomor 662), Ibnu Hibban (396), Imam Ahmad (4/276) dan Ad-Daulabi di dalam Al-Jadali. Husain bin Harits menceritakan : “Saya mendengar Nu’man bin Tsabit berkata, “Rasulullah menghadap kearah jama’ah dan bersabda (ia menuturkan sabda Nabi di atas). Nu’man bin Basyir berkata, “Lalu saya melihat masing-masing jamaah menempelkan bahunya ke bahu kawannya dan mata kakinya ke mata kaki kawannya.” Sanad hadits ini shahih, sedangkan Imam Bukhari mengomentarinya sebagai hadits yang majzum (bisa di andalkan keshahihannya). Adapun Imam Abu Khuzaimah juga menyebutkannya di dalam kitab shahihnya. Dan hadits tersebut juga di sebutkan di dalam At-Targhib (1/176) dan Al-Fath (2/176).
Kandungan Hadits
Kedua hadits ini memiliki beberapa makna yang cukup penting, yaitu :
Pertama: Kewajiban merapatkan dan meluruskan barisan shalat. Hal ini merupakan perintah agama. Hukum asalnya adalah wajib, kecuali jika ada isyarat-isyarat yang di tetapkan di dalam kaidah hukum Islam (Ushul Fiqh). Alasan yang ada di sini justru semakin memperkuat hukum wajib tersebut, yaitu sabda Rasulullah: “Atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisih.” Peringatan seperti ini tidak mungkin di nilai tidak wajib. Hal ini tentunya sudah jelas.
Kedua: Cara meluruskan dan merapatkan barisan itu adalah dengan menempelkan antara bahu dengan bahu dan sisi telapak kaki dengan sisi telapak kaki. Karena cara inilah yang di tempuh oleh para sahabat, tatkala mereka di perintah untuk meluruskan dan merapatkan barisan shalat oleh Rasulullah. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Al-Fath berkomentar, setelah menututkan perkataan Anas, yaitu “Penjelasan ini memberikan pengertian kepada kita bagaimana cara merapatkan dan meluruskan barisan shalat pada zaman Rasulullah. Dengan demikian jelaslah bagi kita argumentasi untuk menjelaskan apa yang di maksud dengan merapatkan dan meluruskan barisan.” Namun yang patut di sayangkan adalah bahwa sunnah ini telah di lupakan oleh sebagian besar kaum muslimin. Hanya beberapa ulama hadits yang masih memeganginya, punyailah semangat yang tinggi untuk mempraktekkan sunnah Rasulullah tersebut dan mengamalkannya dalam shalat berjama’ah. Hal itu jelas berbeda dengan apa yang kita saksikan di kalangan ahli fiqh, yaitu para pengikut empat mahdzab terkemuka. Sunnah semacam ini banyak terlihat sekarang ini di kalangan kita banyak terlupakan, bahkan terkesan nampaknya hal ini bisa dihindari, buktinya, mayoritas terlihat bahwa jarak antar kaki adalah kurang lebih empat jari. Jika hal itu benar, maka harus di praktekkan pula oleh imam atau orang yang shalat sendirian sebagaiman bisa di ketahui dari kaidah ushuliyyah (asal) tata cara shalat tersebut. Jadi mari kita menghimbau kepada kaum muslimin, lebih-lebih para imam masjid atau mushalla dan surau-surau yang masih mempunyai minat yang besar dalam mengikuti sunnah cara shalatnya Rasulullah, agar mengetahui benar sunnah ini dan mencari keutaman (fadhilah), guna menghidupkan sunnah Rasulullah serta mengajak para jama’ah untuk membiasakannya, sehingga akan terhindar dari perpecahan sebagaimana di peringatkan oleh Rasulullah, yaitu : “Atau Allah akan membuat hari kalian saling berselisih.”
Ketiga: Di dalam hadits pertama terdapat penjelasan mu’jizat Rasulullah yaitu kemampuan beliau untuk melihat suasana yang ada di belakangnya, namun perlu di ketahui bahwa hal ini hanya mampu beliau lakukan ketika sedang shalat, sebab tidak ada satu hadits pun yang menjelaskan bahwa beliau sanggup melakukan hal yang sama ketika berada di luar shalat.
Keempat: Kedua hadits tersebut mengandung bukti kuat tentang sesuatu yang jarang di ketahui oleh umum, walaupun hal itu telah di kenal di dalam ilmu jiwa, yaitu bahwa fenomena lahiriah merupakan indikasi bathiniah. Jika yang tampak di luar adalah kebobrokan, maka aspek dalam pun tidak jauh berbeda, demikian pula sebaliknya dan hadits-hadits yang senada dengannya masih banyak.
Kelima: Imam memberikan pengertian bahwa seorang setelah iqamat selesai, semestinya terlebih dahulu berdiri menghadap kearah jama’ah sambil mengatur barisan mereka. Hal itu karena ia bertanggung jawab terhadap jamaah yang di pimpinnya, sebagaimana di sebutkan dalam hadits Rasulullah: “Kalian semua adalah pemimpin dan akan di mintai pertanggung-jawabannya.” “Salah seorang di antara kalian suka melihat kotoran mata saudaranya, tetapi lupa melihat sosok yang melintang di depan matanya (sendiri).” Hadits ini di riwayatkan oleh Ibnu Sha’id di dalam Zawa’iduz-Zulud karya Ibnul Mubarak (Nomor 165/1 dari Al-Kawakib 575), Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya (1848), Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (4/99) dan Al-Qadha’i di dalam Musnad Asy-Syihab (nomor: 51/1) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad bin Hunair.
Sanad hadits ini juga shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim. Sedang Al-Haizh Ibnu Hajar menyandarkan hadits tersebut kepada Sayyid bin Manshur dan Al-Ismaili. Imam Buhkari menerjemahkan hadits tersebut dengan perkataannya “Bab Menempelkan Bahu dengan Bahu dan Telapak Kaki dengan Telapak Kaki Lainnya dalam Barisan Shalat.” Sedangkan hadits kedua, yakni hadits Nu’man adalah : “Rapatkanlah barisanmu (tiga kali). Demi Allah, kalian akan menegakkan barisan, atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisih.” Hadits ini di takhrij oleh Abu Dawud (Hadits Nomor 662), Ibnu Hibban (396), Imam Ahmad (4/276) dan Ad-Daulabi di dalam Al-Jadali. Husain bin Harits menceritakan : “Saya mendengar Nu’man bin Tsabit berkata, “Rasulullah menghadap kearah jama’ah dan bersabda (ia menuturkan sabda Nabi di atas). Nu’man bin Basyir berkata, “Lalu saya melihat masing-masing jamaah menempelkan bahunya ke bahu kawannya dan mata kakinya ke mata kaki kawannya.” Sanad hadits ini shahih, sedangkan Imam Bukhari mengomentarinya sebagai hadits yang majzum (bisa di andalkan keshahihannya). Adapun Imam Abu Khuzaimah juga menyebutkannya di dalam kitab shahihnya. Dan hadits tersebut juga di sebutkan di dalam At-Targhib (1/176) dan Al-Fath (2/176).
Kandungan Hadits
Kedua hadits ini memiliki beberapa makna yang cukup penting, yaitu :
Pertama: Kewajiban merapatkan dan meluruskan barisan shalat. Hal ini merupakan perintah agama. Hukum asalnya adalah wajib, kecuali jika ada isyarat-isyarat yang di tetapkan di dalam kaidah hukum Islam (Ushul Fiqh). Alasan yang ada di sini justru semakin memperkuat hukum wajib tersebut, yaitu sabda Rasulullah: “Atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisih.” Peringatan seperti ini tidak mungkin di nilai tidak wajib. Hal ini tentunya sudah jelas.
Kedua: Cara meluruskan dan merapatkan barisan itu adalah dengan menempelkan antara bahu dengan bahu dan sisi telapak kaki dengan sisi telapak kaki. Karena cara inilah yang di tempuh oleh para sahabat, tatkala mereka di perintah untuk meluruskan dan merapatkan barisan shalat oleh Rasulullah. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Al-Fath berkomentar, setelah menututkan perkataan Anas, yaitu “Penjelasan ini memberikan pengertian kepada kita bagaimana cara merapatkan dan meluruskan barisan shalat pada zaman Rasulullah. Dengan demikian jelaslah bagi kita argumentasi untuk menjelaskan apa yang di maksud dengan merapatkan dan meluruskan barisan.” Namun yang patut di sayangkan adalah bahwa sunnah ini telah di lupakan oleh sebagian besar kaum muslimin. Hanya beberapa ulama hadits yang masih memeganginya, punyailah semangat yang tinggi untuk mempraktekkan sunnah Rasulullah tersebut dan mengamalkannya dalam shalat berjama’ah. Hal itu jelas berbeda dengan apa yang kita saksikan di kalangan ahli fiqh, yaitu para pengikut empat mahdzab terkemuka. Sunnah semacam ini banyak terlihat sekarang ini di kalangan kita banyak terlupakan, bahkan terkesan nampaknya hal ini bisa dihindari, buktinya, mayoritas terlihat bahwa jarak antar kaki adalah kurang lebih empat jari. Jika hal itu benar, maka harus di praktekkan pula oleh imam atau orang yang shalat sendirian sebagaiman bisa di ketahui dari kaidah ushuliyyah (asal) tata cara shalat tersebut. Jadi mari kita menghimbau kepada kaum muslimin, lebih-lebih para imam masjid atau mushalla dan surau-surau yang masih mempunyai minat yang besar dalam mengikuti sunnah cara shalatnya Rasulullah, agar mengetahui benar sunnah ini dan mencari keutaman (fadhilah), guna menghidupkan sunnah Rasulullah serta mengajak para jama’ah untuk membiasakannya, sehingga akan terhindar dari perpecahan sebagaimana di peringatkan oleh Rasulullah, yaitu : “Atau Allah akan membuat hari kalian saling berselisih.”
Ketiga: Di dalam hadits pertama terdapat penjelasan mu’jizat Rasulullah yaitu kemampuan beliau untuk melihat suasana yang ada di belakangnya, namun perlu di ketahui bahwa hal ini hanya mampu beliau lakukan ketika sedang shalat, sebab tidak ada satu hadits pun yang menjelaskan bahwa beliau sanggup melakukan hal yang sama ketika berada di luar shalat.
Keempat: Kedua hadits tersebut mengandung bukti kuat tentang sesuatu yang jarang di ketahui oleh umum, walaupun hal itu telah di kenal di dalam ilmu jiwa, yaitu bahwa fenomena lahiriah merupakan indikasi bathiniah. Jika yang tampak di luar adalah kebobrokan, maka aspek dalam pun tidak jauh berbeda, demikian pula sebaliknya dan hadits-hadits yang senada dengannya masih banyak.
Kelima: Imam memberikan pengertian bahwa seorang setelah iqamat selesai, semestinya terlebih dahulu berdiri menghadap kearah jama’ah sambil mengatur barisan mereka. Hal itu karena ia bertanggung jawab terhadap jamaah yang di pimpinnya, sebagaimana di sebutkan dalam hadits Rasulullah: “Kalian semua adalah pemimpin dan akan di mintai pertanggung-jawabannya.” “Salah seorang di antara kalian suka melihat kotoran mata saudaranya, tetapi lupa melihat sosok yang melintang di depan matanya (sendiri).” Hadits ini di riwayatkan oleh Ibnu Sha’id di dalam Zawa’iduz-Zulud karya Ibnul Mubarak (Nomor 165/1 dari Al-Kawakib 575), Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya (1848), Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (4/99) dan Al-Qadha’i di dalam Musnad Asy-Syihab (nomor: 51/1) dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad bin Hunair.
Posting Komentar untuk "MENGHIDUPKAN KEMBALI SUNNAH PENTING YANG TERBENGKALAI"
Terimakasih atas kunjungan anda...