KEWAJIBAN BERDZIKIR DAN BERSHALAWAT DI MANAPUN BERADA
Rasulullah bersabda : “Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa berdzikir dan membaca shalawat atas nabi mereka, pasti mereka akan tertimpa dosa. Allah bisa menyiksa atau mengampuni mereka.” Hadits ini di takhrij oleh Imam At-Tirmidzi (2/242), Imam Al-Hakim (1/496), Ismail Al-Qadhi di dalam Fadhlus-Shalati Alan-Nabi Sallallahu ‘Alaihi wassallam, Ibnu Sina di dalam Amalul Yaum Wal Lailat (hadits no.443), Imam Ahmad (2/446,453,481,484,495) dan Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (8/130) dari Sufyan Ats-Tsauri dari Saleh Maula At-Tu’mah dari Abu Hurairah secara marfu’.
Imam At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan shahih, dan di riwayatkan dari beberapa jalur yang berasal dari Abu Hurairah secara marfu’.” Sedangkan Imam Muslim (8/72) dan Ibnu Majah (2/418) telah mentakhrij hadits yaang sama dengan redaksi nya yaitu : “Beberapa orang duduk-duduk di suatu tempat dengan berdzikir (mengingat Allah), niscaya di lindungi oleh para malaikat. Rahmat-Nya pun akan turun kepada mereka dan ketenteraman akan tumbuh di hati mereka. Allah juga akan mengingat mereka sebagai makhluk yang ada di sisi-Nya.” Redaksi hadits itu milik Ibnu Majah dan sebelumnya di riwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, yang mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.” Hadits yang di riwayatkan ini juga di riwayatkan dari jalur lain tapi tetap dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan redaksi: “…Beberapa orang yang berkumpul di ‘rumah’ Allah dengan membaca Al-Qur’an dan mendiskusikannya, maka Allah pasti akan menurunkan ketentraman di (hati) mereka...” Hadits selanjutnya sama dengan hadits di atas. Juga terdapat dengan pengertiaan yang sama, yaitu “Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa berdzikir dan bershalawat, maka mereka akan menderita kerugian kelak di hari kiamat, meskipun mereka akan masuk surga karena memiliki pahala (keimanannya).” Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad (2/463), Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya (hadits no.2322), Imam Al-Hakim (1/492) dan Al-Khatib di dalam Al-Faqih Wal Mutafaqqih (237/2) dari jalur Al-A’masy dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfu’. Sanad hadits ini shahih. Al-Haitsami dalam hal ini berkomentar: “Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad, dan perawi-perawi tsiqah (perawi shahih).”
“Orang-orang yang berdiri dari suatu tempat tanpa berdzikir, maka mereka ibarat bangkai himar. Mereka akan merasakan penyesalan kelak di hari kiamat.” Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud (4588), Ath-Thahawi (2/367), Abu Asy-Syaikh di dalam Tabhaqatul Ashbariyyin (229), Ibnu Bisyran di dalam Al-Amali (30/6/1 tahun 1927), Ibnu Sina (439), Al-Hakim (1/492), Abu Na’im (2/207) dan Imam Ahmad (2/389, 515, 527). Al-Hakim berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria yang di pakai oleh Imam Muslim.” Sementara Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini.
Perawi lain yang meriwayatkan hadits senada Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqabari, dengan redaksi: “Orang yang duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, maka ia akan mendapatkan kekurangan (dosa) dari Allah. Dan orang tidur di suatu tempat tidur tanpa menyebut nama Allah, maka ia juga akan mendapatkan dosa dari-Nya.” Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud (4856.5059), Al-Humaidi di dalam kitab Musnadnya (hadits no, 1158) pada bagian pertama, dan Ibnu Sina (743) untuk bagian kedua melalui Muhammad bin Ijlan dari Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqbari.
Al-Mundziri di dalam kitabnya At-Targhib (2/235) menyandarkan hadits tersebut kepada Abu Dawud, dengan tambahan: “Orang yang berjalan di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, pasti akan mendapat dosa dari Allah.” Kemudian ia berkomentar, “Hadits itu di riwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abid Dun-ya, An-Nasa’i, dan Ibnu HIbban di dalam kitab shahihnya dengan redaksi yang sama dengan redaksi Abu Dawud.” Ada lagi dengan redaksi lainnya namun senada pengertiannya, yaitu : “Orang yang duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya. Orang yang berjalan di suatu tempat tanpa menyebutkan nama Allah pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya. Dan orang yang datang ke tempat tidur tanpa menyebut nama Allah pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya.”
Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad (3/432), Ibnus Sina (375), Al-Hakim (1/550), dari Sa’id bin Abu Sa’id dari Abu Ishaq. Imam Ahmad mengatakan, “…Dari Ishaq.” Sedangkan Imam Hakim mengatakan. “…dari Ishaq bin Abdillah bin Al-Harits,” dan berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat (kriteria) Imam Bukhari.” Adz-Dzahabi mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria Imam Muslim.” Hadits ini juga memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar dengan redaksi: “Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, maka mereka pasti akan melihatnya sebagai suatu penyesalan kelak di hari kiamat.” Hadits ini juga di takhrij oleh Imam Ahmad (2/124) dengan sanad hasan. Al-Haitsami berkata, “Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad. Perawi-perawinya adalah perawi shahih.”
Kandungan Hukumnya
Hadits ini dan hadits-hadits lain yang sejenis menunjukkan adanya kewajiban berdzikir dan bershalawat di mana pun kita berada dan dalam keadaan apapun juga, terutama berdzikir (ingat) kepada Allah. Hal ini di tunjukkan oleh beberapa dalil di atas. Selanjutnya sehubungan dengan perkataan Rasulullah yang sebagai dasar untuk ingat (dzikir) selalu kepada Allah dengan di tambah lagi dengan bershalawat kepada Rasulullah, yakni :
Pertama: Sabda Rasulullah: “Allah bisa menyiksa mereka dan bisa mengampuni mereka.” Perkataan semacam ini tidak pernah di pakai kecuali untuk menunjukkan suatu perkara yang wajib di lakukan yang apabila di tinggalkan merupakan suatu kedurhakaan.”
Kedua: Sabda Rasulullah: “Meskipun mereka akan masuk syurga karena mereka memiliki pahala (keimanan mereka).”
Dengan sabda ini jelas bahwa orang yang tidak berdzikir dan bershalawat akan masuk neraka, sekalipun akhirnya ia bertempat di syurga sebagai pahala keimanannya.
Ketiga: Sabda Rasulullah: “Jika tidak, maka mereka akan berdiri seperti bangkai himar.” Tamsil semacam ini merupakan pernyataan bahwa tindakan semacam ini (tidak berdzikir dan bershalawat). Dan hal ini tidak mungkin beliau sinyalirkan kewajibannya kecuali terhadap hal yang jelas haram. Wallahu a’lam. Oleh karena itu sudah seharusnya setiap orang muslim memperhatikan hal itu dan jangan sampai tidak berdzikir dan bershalawat di manapun ia berada. Jika tidak, maka keraguan dan penyesalan lah yang akan di perolehnya kelak di hari kiamat.
Dengan demikian kokohlah ajaran berdzikir dan bershalawat itu dan bisa di peroleh dengan bacaan yang berbeda-beda, tetapi perenungan makna dzikir yang baik adalah dengan ‘Iktikad dan makna bacaan berikut ini: “Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan senantiasa memuji kepada-Mu. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Yang pantas di sembah) kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” Bacaan shalawat yang paling baik adalah seperti yang ada pada bagian akhir tasyahud (tahiyyat).” Dzikir yang di sebutkan di atas itulah yang di kenal dengan istilah Kaffaratul Majlis (orang sufi mengatakannya dengan bertawajjuh berjama’ah). Mengenai hal itu ada beberapa hadits yang menjelaskannya.
Berikut ini di sebutkan hadits yang terlengkap, yaitu: “Orang yang berdo’a: Maha Suci Allah. Dan senantiasa memuji kepada-Nya. Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan senantiasa memuji kepada-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu (pula). Lalu ia mengucapkan do’a itu di tempat dzikir, maka ia tak ubahnya seperti tukang cetak yang membubuhkan mesin cetaknya. Dan barangsiapa membacanya di tempat omong kosong, maka do’a itu akan menjadi kaffarat (pelebur dosa baginya).
Hadits ini di takhrij oleh Imam Ath-Thabrani (1/79/2) dan Imam Al-Hakim (1/573) melalui Nafi’ bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya secara marfu’. Imam Al-Hakim berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim.” Al-Mundziri (2/236) menyandarkan hadits itu kepada Imam Nasa’i dan Imam Ath-Thabrani serta berkomentar. “Perawi-perawi yang di pakai oleh keduanya adalah perawi-perawi shahih.” Sedangkan Al-Haitsami (10/142, 423) berkata: “Hadits ini di riwayatkan oleh Ath-Thabrani. Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih.
Imam Ath-Thabrani di dalam riwayatnya yang lain memiliki tambahan namun jadi kontroversi atas tambahan redaksi tersebut, yaitu ada tambahan dengan: “…yang di ucapkannya tiga kali…”, jadi kalimat hadist di atas yang di tambah dengan pengulangan tiga kali itulah yang katakan sebagai tambahan hadist dari jalur lain periwayatannya dan itu di nyatakan palsu dan juga mengenai kalimat tambahan itu, Al-Haitsami tidak berkomentar. Hadits itu memang tidak baik (jayyid), artinya yang shahih adalah tidak ada kata-kata “…yang di ucapkannya tiga kali…”, sebab di dalam hadits (yang memuat tambahan) itu terdapat Khalid bin Yazid Al-Umari yang oleh Abu Hatim dan Yahya menilainya seorang pembohong, sedangkan Ibnu Hibban mengatakan: “Hadits ini di riwayatkan oleh perawi-perawi maudhu’ (pendusta atau pernah berdusta dalam meriwayatkan hadits).” Wallahu a’lam.
Imam At-Tirmidzi berkomentar: “Hadits ini hasan shahih, dan di riwayatkan dari beberapa jalur yang berasal dari Abu Hurairah secara marfu’.” Sedangkan Imam Muslim (8/72) dan Ibnu Majah (2/418) telah mentakhrij hadits yaang sama dengan redaksi nya yaitu : “Beberapa orang duduk-duduk di suatu tempat dengan berdzikir (mengingat Allah), niscaya di lindungi oleh para malaikat. Rahmat-Nya pun akan turun kepada mereka dan ketenteraman akan tumbuh di hati mereka. Allah juga akan mengingat mereka sebagai makhluk yang ada di sisi-Nya.” Redaksi hadits itu milik Ibnu Majah dan sebelumnya di riwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, yang mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.” Hadits yang di riwayatkan ini juga di riwayatkan dari jalur lain tapi tetap dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan redaksi: “…Beberapa orang yang berkumpul di ‘rumah’ Allah dengan membaca Al-Qur’an dan mendiskusikannya, maka Allah pasti akan menurunkan ketentraman di (hati) mereka...” Hadits selanjutnya sama dengan hadits di atas. Juga terdapat dengan pengertiaan yang sama, yaitu “Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa berdzikir dan bershalawat, maka mereka akan menderita kerugian kelak di hari kiamat, meskipun mereka akan masuk surga karena memiliki pahala (keimanannya).” Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad (2/463), Ibnu Hibban di dalam kitab shahihnya (hadits no.2322), Imam Al-Hakim (1/492) dan Al-Khatib di dalam Al-Faqih Wal Mutafaqqih (237/2) dari jalur Al-A’masy dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah secara marfu’. Sanad hadits ini shahih. Al-Haitsami dalam hal ini berkomentar: “Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad, dan perawi-perawi tsiqah (perawi shahih).”
“Orang-orang yang berdiri dari suatu tempat tanpa berdzikir, maka mereka ibarat bangkai himar. Mereka akan merasakan penyesalan kelak di hari kiamat.” Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud (4588), Ath-Thahawi (2/367), Abu Asy-Syaikh di dalam Tabhaqatul Ashbariyyin (229), Ibnu Bisyran di dalam Al-Amali (30/6/1 tahun 1927), Ibnu Sina (439), Al-Hakim (1/492), Abu Na’im (2/207) dan Imam Ahmad (2/389, 515, 527). Al-Hakim berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria yang di pakai oleh Imam Muslim.” Sementara Adz-Dzahabi juga sependapat dengan penilaian ini.
Perawi lain yang meriwayatkan hadits senada Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqabari, dengan redaksi: “Orang yang duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, maka ia akan mendapatkan kekurangan (dosa) dari Allah. Dan orang tidur di suatu tempat tidur tanpa menyebut nama Allah, maka ia juga akan mendapatkan dosa dari-Nya.” Hadits ini di riwayatkan oleh Abu Dawud (4856.5059), Al-Humaidi di dalam kitab Musnadnya (hadits no, 1158) pada bagian pertama, dan Ibnu Sina (743) untuk bagian kedua melalui Muhammad bin Ijlan dari Sa’id bin Abu Sa’id Al-Maqbari.
Al-Mundziri di dalam kitabnya At-Targhib (2/235) menyandarkan hadits tersebut kepada Abu Dawud, dengan tambahan: “Orang yang berjalan di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, pasti akan mendapat dosa dari Allah.” Kemudian ia berkomentar, “Hadits itu di riwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Abid Dun-ya, An-Nasa’i, dan Ibnu HIbban di dalam kitab shahihnya dengan redaksi yang sama dengan redaksi Abu Dawud.” Ada lagi dengan redaksi lainnya namun senada pengertiannya, yaitu : “Orang yang duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya. Orang yang berjalan di suatu tempat tanpa menyebutkan nama Allah pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya. Dan orang yang datang ke tempat tidur tanpa menyebut nama Allah pasti akan mendapatkan dosa dari-Nya.”
Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad (3/432), Ibnus Sina (375), Al-Hakim (1/550), dari Sa’id bin Abu Sa’id dari Abu Ishaq. Imam Ahmad mengatakan, “…Dari Ishaq.” Sedangkan Imam Hakim mengatakan. “…dari Ishaq bin Abdillah bin Al-Harits,” dan berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat (kriteria) Imam Bukhari.” Adz-Dzahabi mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria Imam Muslim.” Hadits ini juga memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar dengan redaksi: “Beberapa orang yang duduk-duduk di suatu tempat tanpa menyebut nama Allah, maka mereka pasti akan melihatnya sebagai suatu penyesalan kelak di hari kiamat.” Hadits ini juga di takhrij oleh Imam Ahmad (2/124) dengan sanad hasan. Al-Haitsami berkata, “Hadits ini di riwayatkan oleh Imam Ahmad. Perawi-perawinya adalah perawi shahih.”
Kandungan Hukumnya
Hadits ini dan hadits-hadits lain yang sejenis menunjukkan adanya kewajiban berdzikir dan bershalawat di mana pun kita berada dan dalam keadaan apapun juga, terutama berdzikir (ingat) kepada Allah. Hal ini di tunjukkan oleh beberapa dalil di atas. Selanjutnya sehubungan dengan perkataan Rasulullah yang sebagai dasar untuk ingat (dzikir) selalu kepada Allah dengan di tambah lagi dengan bershalawat kepada Rasulullah, yakni :
Pertama: Sabda Rasulullah: “Allah bisa menyiksa mereka dan bisa mengampuni mereka.” Perkataan semacam ini tidak pernah di pakai kecuali untuk menunjukkan suatu perkara yang wajib di lakukan yang apabila di tinggalkan merupakan suatu kedurhakaan.”
Kedua: Sabda Rasulullah: “Meskipun mereka akan masuk syurga karena mereka memiliki pahala (keimanan mereka).”
Dengan sabda ini jelas bahwa orang yang tidak berdzikir dan bershalawat akan masuk neraka, sekalipun akhirnya ia bertempat di syurga sebagai pahala keimanannya.
Ketiga: Sabda Rasulullah: “Jika tidak, maka mereka akan berdiri seperti bangkai himar.” Tamsil semacam ini merupakan pernyataan bahwa tindakan semacam ini (tidak berdzikir dan bershalawat). Dan hal ini tidak mungkin beliau sinyalirkan kewajibannya kecuali terhadap hal yang jelas haram. Wallahu a’lam. Oleh karena itu sudah seharusnya setiap orang muslim memperhatikan hal itu dan jangan sampai tidak berdzikir dan bershalawat di manapun ia berada. Jika tidak, maka keraguan dan penyesalan lah yang akan di perolehnya kelak di hari kiamat.
Dengan demikian kokohlah ajaran berdzikir dan bershalawat itu dan bisa di peroleh dengan bacaan yang berbeda-beda, tetapi perenungan makna dzikir yang baik adalah dengan ‘Iktikad dan makna bacaan berikut ini: “Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan senantiasa memuji kepada-Mu. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (Yang pantas di sembah) kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” Bacaan shalawat yang paling baik adalah seperti yang ada pada bagian akhir tasyahud (tahiyyat).” Dzikir yang di sebutkan di atas itulah yang di kenal dengan istilah Kaffaratul Majlis (orang sufi mengatakannya dengan bertawajjuh berjama’ah). Mengenai hal itu ada beberapa hadits yang menjelaskannya.
Berikut ini di sebutkan hadits yang terlengkap, yaitu: “Orang yang berdo’a: Maha Suci Allah. Dan senantiasa memuji kepada-Nya. Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan senantiasa memuji kepada-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu (pula). Lalu ia mengucapkan do’a itu di tempat dzikir, maka ia tak ubahnya seperti tukang cetak yang membubuhkan mesin cetaknya. Dan barangsiapa membacanya di tempat omong kosong, maka do’a itu akan menjadi kaffarat (pelebur dosa baginya).
Hadits ini di takhrij oleh Imam Ath-Thabrani (1/79/2) dan Imam Al-Hakim (1/573) melalui Nafi’ bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya secara marfu’. Imam Al-Hakim berkomentar: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim.” Al-Mundziri (2/236) menyandarkan hadits itu kepada Imam Nasa’i dan Imam Ath-Thabrani serta berkomentar. “Perawi-perawi yang di pakai oleh keduanya adalah perawi-perawi shahih.” Sedangkan Al-Haitsami (10/142, 423) berkata: “Hadits ini di riwayatkan oleh Ath-Thabrani. Perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih.
Imam Ath-Thabrani di dalam riwayatnya yang lain memiliki tambahan namun jadi kontroversi atas tambahan redaksi tersebut, yaitu ada tambahan dengan: “…yang di ucapkannya tiga kali…”, jadi kalimat hadist di atas yang di tambah dengan pengulangan tiga kali itulah yang katakan sebagai tambahan hadist dari jalur lain periwayatannya dan itu di nyatakan palsu dan juga mengenai kalimat tambahan itu, Al-Haitsami tidak berkomentar. Hadits itu memang tidak baik (jayyid), artinya yang shahih adalah tidak ada kata-kata “…yang di ucapkannya tiga kali…”, sebab di dalam hadits (yang memuat tambahan) itu terdapat Khalid bin Yazid Al-Umari yang oleh Abu Hatim dan Yahya menilainya seorang pembohong, sedangkan Ibnu Hibban mengatakan: “Hadits ini di riwayatkan oleh perawi-perawi maudhu’ (pendusta atau pernah berdusta dalam meriwayatkan hadits).” Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk "KEWAJIBAN BERDZIKIR DAN BERSHALAWAT DI MANAPUN BERADA"
Terimakasih atas kunjungan anda...