Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

TENTANG NAFSU DIRI DAN TINGKATANNYA

Setelah fanafillah,
Jadilah apa yang di mau,
Ilmu itu tiada kebodohan,
Laku tingkah jaga tiada dosa….

Mengenal atau menyadari diri itu adalah suatu hal yang amat penting bagi tiap individu atau perorangan, karena siapa sajayang mengerti terhadap dirinya pasti pula dia bisa mengerti akan tentang Tuhannya, tegasnya siapa yang mengerti, mengenali, menyadari tentang dirinya yang rendah di hadapan Allah, penuh kekurangan dan bersifat fana, bila ia mengerti dan telah menyadari terhadap Allah yang memiliki kemuliaan, kekuasaan dan keabadian, begitu pula sebaliknya, siapa yang tidak mengerti tentang dirinya, berarti ia lebih-lebih lagi tak akan mengenal akan Tuhannya.

Sudah seharusnyalah orang yang benar-benar berakal menyingsingkan lengan bajunya untuk menuntut ilmu syari’at, thariqat, hakikat dan makrifat dengan penuh kesungguhan tanpa putus asa dan rasa lemah untuk menuntut ilmu, agar jangan sampai terjadi padanya datang penyakit buta hati karena kebodohan akan ilmu agama, sebab manusia dan makhluk hidup lainnya pasti akan mati, hanya selama hidup dapat untuk beramal ibadah dan mengenal-Nya, Allah berfirman,”Siapapun selagi masih hidup di dunia ini, tetap dalam kebutaan, maka di akhirat kelak dia akan lebih buta dan sesat jalan.” karena itu berusahalah dengan keras agar menghindarkan diri dari kebutaan mata hati dan sesat untuk menuju kejalan Allah. Selanjutnya hendaklah di ketahui bahwa nafsu diri itu adalah sesungguhnhya suatu Lathifah Rabbaniyah (cahaya ketuhanan yang amat halus) dan itulah yang di namakan ruh, sebelum ruh itu berhubungan dengan jasad, atau di tiupkan ke jasad (hidup), Allah memang telah menciptakan ruh-ruh itu sebelum di adakan jasad.

Pada waktu itu keadaan ruh adalah dekat dengan Allah, manakala Allah perintahkan ruh-ruh tersebut untuk masuk kedalam jasad, barulah ruh itu mengenal Al-Ghair (yang selain dari tuhan), maka sejak itu ruh-ruh akan terhijab (terdinding) dari Hidratul Haqqi (Hidrat Ketuhanan), maka karena itulah ruh-ruh itu akan berhajat banyak sekali kepada Allah yang Al-Mudzakkir (yang Maha Memberi Peringatan), sebagaimana firman Allah,”Berilah peringatan (Hai Muhammad), karena ingat itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Ruh adalah suatu intan yang cemerlang pada tubuh atau jasmani, apabila ia bersinar dan memancar kepada lahir dan bathin seseorang, maka berhasillah ia mencapai tingkat kesadaran terhadap Tuhannya, tapi bila tidak bersinar dan hanya memnacar pada bathin saja dan tidak pada lahirnya, berarti orang sedemikian masih dalam keadaan tidur, apabila terputus kecemerlangan sinar tersebut, itulah yang di namakan dengan buta hati, sebab sinar itu mesti memancar pada lahir dan bathin, artinya jika lahir dan bathin tidak bersinar, maka itu sudah jelas dalam kesesatan yang nyata, apabila hanya bersinar pada lahir saja, berarti itu munafik dan apabila hanya pada bathin saja yang bersinar sementara lahir tidak maka itu adalah penipu ulung yang sama saja dengan kufur.

Pokok pangkal daripada segala maksiat, kelalaian, nafsu syahwat dan syirik adalah senang dan rela serta maunya hanya terhadap memenuhi kebutuhan hawa, nafsu dan syahwatnya saja. Pokok pangkal dari segala macam ketaatan, kesadaran, kasih sayang, kepatuhan dan musyahadah, adalah tidak adanya kemauan untuk menerima desakan dari kebutuhan hawa, nafsu dan syahwatnya, namun ia tetap berusahan keras untuk mendidik dan membimbingnya agar tetap terkontrol hanya paada kebaikan saja. Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seseorang daripada mendidik dan meneliti atau instropeksi dirinya sendiri aagar tetap dalam koridor kebaikan, untuk hak ini bisa terlihat dari segala bentuk kesan-kesan pada perbuatan hawa dan nafsunya dengan melatih secara bersungguh-sungguh pada pengontrolan 7 (tujuh) tingkatan nafsu, yaitu :
  1. NAFSU AMMARAH, nafsu yang berperan untuk memerintahkan kepada hal-hal yang jelek atau keburukan, nafsu ini cenderung kepada tabiat badaniah, mendorong nafsu untuk kesenangan dunia secaraa berlebih-lebihan atau berfoya-foya dengan cara terlarang berdasarkan syari’at, senantiasa menarik hati untuk berbuat kejahatan dan sebagai sumber daripada akhlak yang tercela, seperti, dengki, sombong, iri, kemarahan, pelit dan lain sebagainya sifat yang senada, inilah suatu tingkatan umum bagi nafsu terhadap manusia, apalagi yang tidak di kontrol dan di bimbing, maka otomatis nafsu akan berbuat ammarah. Sebab ini, maka berlatihlah untuk memerangi bisikan dan hasutan pada nafsu tersebut agar lahir tidak terbawa berbuat kemaksiatan dan kejahatan, rutinkan berdzikir kepada Allah untuk memerangi ini.
  2. NAFSU LAWWAMAH, nafsu ini mendapat cahaya dengan cahaya hati, maka tunduklah ia kepada kekuatan akal sehat, tapi kadang-kadang ia membangkang terhadap desakan akal sehat itu, lalu timbul penyesalan dan jiwa terasa kosong dan pedih secara tidak menentu, lalu timbul penyesalan yang sesat dan akhirnya terjun kepada berbuat kenistaan, dendam, sakit hati dan lain sebagainya, akibatnya jelas merusak diri sendiri, maka buatlah dengan latihan yang rutin untuk membimbing nafsu ini dengan kuat-kuat berdzikir kepada Allah agar hati tumbuh dan bercahaya berupa nur keimanan yang stabil.
  3. NAFSU MUTHMA’INNAH, nafsu yang tenang dan tenteram, nafsu ini bercahaya dengan cahaya hati karena lawwamah telah terkikis, sehingga terasa kosong dari hal-hal yang berbau kemaksiatan dan kejahatan, sifatnya hanya tenang, tenteram dan damai menuju kebaikan saja, ini adalah permulaan untuk meletakkan pendiriannya pada dasar pondasi istiqamah, keduniaan terkontrol dengan baik dan ia senantiasa mabuk ketuhanan dan penuh rasa ketergantungan kepada Al’A’laa (Yang Maha Tinggi).
  4. NAFSU MULHIMAH, jiwa yang mendapat ilham, Allah mengilhamkan kepadanya pemahaman daripada ilmu pengetahuan yang ada padanya dan Allah senantiasa menambahkan hal tersebut, senantiasa di liputi rasa tawaddhu’, qana’ah dan sakhawah, hal itu adalah bersumber dari kesabaran, ketabahan dan kesyukuran dalam memerangi hawa, nafsu dan syahwat yang buruk untuk hanya melakukan kebaikan saja.
  5. NAFSU ARRADLIYAH, jiwa yang rela, nafsu ini adalah yang rela dan ridha terhadap Allah dan segala bentuk ketentuan Allah kepadanya, hal ini sebagaimana firman Allah “Wa radlu’anhu” mereka yang rela kepada-Nya, keadaan nafsu ini adalah penuh penyerahan yang mutlak atas segala bentuk takdir kehidupan dunia dan akhiratnya hanya paada keputusan Allah semata, ia hanya tahu beramal ibadah karena Allah, makan karena Allah, bergaul dan berteman atau bersahabat hanya di jalan Allah, inilah pengembangan dan hasil daripada hasil kontrol terhadap nafsu-nafsu di atas.
  6. NAFSU MARDHIYAH, jiwa yang di ridhai Allah, nafsu ini yang mendapat ridha Allah, tampak berbekas keridhaan Allah kepadanya, apapun keperluan ia mutlak karena pemberian Allah yang Maaha Pemberi, segala hal ia ikhlas dan selalu ingat kepada Khaliq-Nya, ini adalah langkah pertama pengenalan kepada Allah secara benar dan jiwa serta ruh inilah yang merasakan Tajalli Af’al.
  7. NAFSU KAMILAH, nafsu yang sempurna, terjadilah ksempurnaan syari’at yang hakiki, tercetak dalam amal ibadah yang secara ilmu dan amal, amal dan amal yang senantiasa meningkat terus akan pengenalannya tterhadap Tuhannya dan semakin takluk atas kebesaran dan kemulian Allah, hal ini yang mendorong kepada kembali dengan jiwa yang tenang kepada Allah yang Maha Besar dan Maha Suci, memperoleh pemahaman tentang ilmu pengetahuan sesungguhnya untuk apa ia di hadirkan Allah ke dunia ini dan untuk apa ia di ciptakan dan untuk apa ia di perintahkan Allah agar berbuat baik (amal ibadah) dan mengerti dengan secara hakikat kehadirannya di dunia yang fana ini hanyalah sebagai persinggahan semata untuk menuju kepada keabadian sesuai yang di janjikan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mulia serta Maha Abadi. Hal keadaan seseorang hamba pada nafsu ini adalah tajalli asma dan sifat dengan kondisi baqabillah, berjalan karena Allah, hanya kepada Allah dan menuju kepada Allah semata, tiada ruang sedikitpun baginya selain Allah, ilmunya hanya untuk pengabdian kepada Allah.
Untuk sarana pengontrolan nafsu-nafsu di atas, bagi orang-orang sufi melakukan latihan rohaniyah berupa rutinitas melaksanakan dzikir secara lahir dan bathin pada maqamat-maqamat yang telah di sebutkan terdahulu.

Posting Komentar untuk "TENTANG NAFSU DIRI DAN TINGKATANNYA"