Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

KONSEP WIHDATUL WUJUD

Wihdatul Wujud adalah salah satu konsep pemahaman dalam beribadah secara bathiniah dalam ajaran Islam yang mengemukakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari sifat-sifat-Nya. Keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan yang Maha menciptakan segala bentuk isi alam, dari yang kasar sampai yang halus-halus yaitu pada hakikatnya berasal dari wujud illahiyyah jua. Faham Tauhid Wujudiyah bahkan merupakan jadi panutan dalam pemikiran golongan sufi. Pemikiran yang selalu menjadi sorotan tajam dari kaum fuqaha.
Pemikiran inilah yang menjadi landasan konsep pendidikan, bahkan semua pola pikir ajaran ini berporos pada pemahaman wujud illahiyah. Pemahaman ini juga menjelaskan: “Ketahuilah bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, tujuan terakhir dari segala tujuan dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan, kepada-Nya lah isyarat yang di firmankan Allah kepada Rasul-Nya, bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir, karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan pertama (ta’ayyun awwal) dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini. Ketahuilah bahwa segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (essensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang di beri nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini. Sedang Haqiqatul Muhammadiyah merupakan gambaran dari nama ‘Allah’ yang menghimpunkan segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah sebagai Tuhannya. Haqiqat Muhammadiyah yang mengatur gambaran alam seluruhnya dengan Tuhan yang tampil padanya, di sebut dengan Rab al-arbab (Allah).”

Perlu di ketahui bahwa yang di maksud dengan Haqiqat Muhammadiyah di sini bukan hanya Rasulullah sebagai manusianya namun Haqiqat Muhammadiyah adalah Asma dan Sifat Allah serta Akhlaqnya. Rasulullah di sebut dengan Rasulullah karena Beliau mampu berakhlaq dengan seluruh akhlaq yang bersumberkan dari ketuhanan tersebut. Di alam ini terlihat adanya hanya sifat-sifat-Nya Allah, af’al-Nya, maka semuanya adalah Dia, dengan-Nya, dari-Nya dan kepada-Nya. Kalaulah ia terhijab dari alam ini walaupun sekejap, maka binasalah alam ini secara keseluruhan, kekalnya alam ini dengan penjagaan-NYa dan penglihatan-Nya kepada alam, akan tetapi jika sesuatu sangat tampak jelas dengan cahaya-Nya hingga pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya maka penampakan itulah yang di-sebut dengan hijab yang selanjutnya hijab ini terbagi beberapa bagian pula. Jadi asma dan sifat itulah yang di sebut dengan Haqiqat Muhammadiyah dan alam muncul dari hakikat tersebut. “Alam pada hakikatnya adalah satu namun yang hilang dan muncul adalah gambarnya saja”. Maksudnya hakikat alam tadi berasal dari Dzat Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi hilang dan muncul, artinya alam itu pada hakikatnya tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini adalah “Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu Dialah segala sesuatu tadi.” Artinya penampakannya tiada lain Dia juga, yang tampil dari-Nya adalah Dia juga. Syaikh Abdul Ar-Rauf Singkil menjelaskan dalam sebuah karyanya: “Wujud alam ini tidak benar-benar sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Yang di maksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah, seperti halnya alam ini bukan benar-benar Dzat Allah, karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Karena ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah.” Jadi alam bukanlah sebenarnya Allah namun hanyalah pancaran dari segala jenis dan bentuk sifat-Nya, dengan kata lain adalah hijabnya bagi atas sekalian makhluk. “Hanya satu wujud dan seluruh eksistensi tiada lain adalah pancaran dari Wujud Yang Satu.” Kesimpulannya yang tampak itulah makhluk ciptaan-Nya, sedang Dzat-Nya tetaplah ghaib. “Allah nyata di tinjau dari penampakan-Nya pada ciptaan-Nya dan bathin dari segi Dzatnya.”

Tajalli Allah pada tingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Dzatnya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan keagungan-Nya. Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil dan di kenal olleh makhluk-Nya. Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendaharaan tersembunyi tersebut dengan Tajalli akan atas Haq-Nya yang tentunya yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya dalam pentas alam yang maha luas ini tiada terbatas bagi-Nya. “Alam maujud atau ada dengan-Nya”. Tajalliyatul-Wujud dengan gambaran global dalam tiga hadirat, yakni Hadirat Dzat (Tajalliyatuwwujudiyazzatiya) yaitu pernyataan dengan diri-Nya untuk diri-Nya dan dari diri-Nya. Dalam hal ini Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan. Ini di kenal dengan nama Ahadiyat yang dalam kajian dzikir naqsyabandi ada pada Muraqabatul Ahdiyah. Pada keadaan ini tampak Dzat Allah terbebas dari segala sifat, nama, kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Dzat Yang Suci yang di kenal dengan rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala yang gaib, sebagaimana ia merupakan penampakan Dzat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat keberadaan yang mutlak.

Tajalliyatuwwujudiyassifatiya yang merupakan pernyataan Allah dengan diri-Nya, untuk diri-Nya, pada penampakan kesempurnaan-Nya (asma) dan penampakan sifat-sifat-Nya yang azali, dalam hal keadaan ini di kenal dengan wahdah. Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang mutlak dalam hiasan kesempurnaan ini lah yang di kenal dengan Haqiqatul Muhammadiyah (kebenaran yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak dengan jalan faid al-aqdas (atau limpahan yang paling suci karena ia langsung dari Dzat Allah). Dalam keadaan ini tampillah Al-A’yanAs-Sabitah (essensi-essensi yang tetap) atau ma’lumat Allah. Tajalliyatuwwujudiyah Fi’liyah (Af’aliyah) yaitu pernyataan Haq dengan diri-Nya untuk diri-Nya dalam fenomena essensi-essensi yang luar (A’yan Kharijah) atau hakikat-hakikat alam semesta. Keadaan ini di kenal dengan mutlaq dengan DzatNya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya dengan jalan limpahan yang suci (Al-faid Al-Muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran essensi-essensi luar (A’yan Kharijah), baik yang abstrak maupun yang kongkrit yang merupakan asal dari alam semesta seluruhnya.

Allah merupakan awal dari tajalliyatuwwujud dengan bentuk, jenis dan ragam segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak berasal dari ketiadaan dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang berada pada tingkatan yang absolut, ia berasal dari yang Haq dengan Haq dan kepada yang Haq, baik dalam tahap Dzat, Sifat dan Af’al. semuanya adalah penampakan dari hakikat yang satu jua. Namun apakah berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Bisa di katakan ‘ya’ atau ‘tidak’, “Dalam hal ini ada sebagian golongan sufi yang terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya, mereka berkata tidak ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan Allah adalah alam tiada lain. Sebabnya kesaksian ini terjadi karena mereka belim benar benar mencapai apa yang di capai oleh muhaqqiqun. Kalau mereka mencapai apa yang di capai oleh muhaqqiqin maka meraka tidak akan berkata demikian dan menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan.” Di samping itu penyatuan antara manusia dan hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat adalah juga mustahil. Hal ini ia jelaskan dengan “Ittihad adalah mustahil karena dua dzat menjadi satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba dan Tuhan pada satu wajah selamanya di tinjau dari DzatNya.”

Dzat Allah adalah sumber segalanya. Jadi yang di sebut eksistensi atau wujud adalah Dzat tersebut. Sedangkan keadaan yang di kenal dngan Haqiqatul Muhammadiyah (A’yan sabitah, wahdah, tajalliyatuwwujudiyah sifatiyah merupakan penampakan atau bayangan dari Dzat Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama Wahdaniyat (tajalliyatuwwujudiyah fi’liyah atau a’yan kharijiyah) adalah bayangan dari wahdah atau Haqiqatul Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Dzat Yang Suci. Lebih jelasnya alam ini (a’yan kharijiyah) penampakan atau bayangan dari Asma Allah yang di kenal dengan Haqiqatul Muhammadiyah ataupun A’yan Sabitah. Sedangkan Asma adalah penampakan dari Dzat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah sesuatu yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Dzat Allah, sebagaimana bayangan suatu benda. “Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap bayangan terbentang. Arasy bagi Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang, apakah engkau tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki bayangan apabila di liputi oleh cahaya maka bayangannya ada padanya.”

Bayangan yang di maksud di sini adalah alam semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia di sinari oleh beberapa cahaya yang datang dari berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun di pantulkan oleh beragam cermin. Begitu pula Allah yang Esa dari segi Dzat-Nya dan berbilang dari segi penampakan-Nya dalam gambaran serta bayangan-Nya dalam cahaya. 


Jadi jelas bahwa sebenarnya alam ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau di kenal dengan bathil. “Sesungguhnya engkau tidak pernah ada sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di dalam-Nya atau bersama-Nya dan bukan pula engkau binasa ataupun ada.” Untuk menjelaskan perkataan ini di kutip perkataan Abu Said Al-Kharraj menyatakan: “Aku mengenal Allah dengan menghimpun segala dua hal yang bertentangan.” Artinya Dialah Yang Lahir dan Yang Bathin tanpa keadaan yang lain. Di jelaskan juga dalam kitabnya Ar-Risalah Al-Wujudiyah: “Dialah Yang Awal tanpa berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Bathin tanpa tersembunyi.” Hal ini jika di fahami, berarti bahwa manusia tidak memiliki keberadaan yang independen, dalam arti kata keberadaannya pada hakikatnya adalah bayangan dari keadaan Allah yang Maha Ada dan bagi makhluk adalah ada karena di “ada”kan oleh Allah. 

Karena pada hakikatnya manusia tiada yang ada selain Allah yang mengadakannya. Jadi manusia adalah penampakan, bayangan atau ayat Allah yang pada hakikatnya adalah tiada atau khayal. Karena suatu yang sifatnya khayal berjumpa dengan khayal seolah kelihatan nyata. Oleh karena itu dalam hal ini adalah di larang keras menggunakan khayal dan angan-angan dalam ilmu ketuhanan, itu sebabnya ada maqamat lathifatunnafsin natiqah dalam ajaran dzikir An-Naqsyabandi. 

Dalam Fusus al-Hikam mengungkapkan: “Ketahuilah bahwa hadirat khayal merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup segala sesuatu dan yang bukan sesuatu.” “Tidak ada dalam wujud ini selain Allah, kita walupun ada (Maujudun) maka sesungguhnya keberadaan kita dengan-Nya, barang siap yang keberadaannya dengan selain Allah maka ia masuk dalam hukum ketiadaan.” Maksudnya ialah bahwa Allah ada dengan sendiriw-Nya dan tidak mengambil keberadaannya dari yang lain. Sedangkan alam adalah ada karena Allah mengadakannya. 

Jadi alam adalah keberadaan yang mungkin ada yang pada hakikatnya tiada. Di sini kita harus membedakan antara wujud dan maujud. Wujud merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan Maujud merupakan isim maf’ul berarti sesuatu yang mengada karena pengaruh lain . Bisa di tafsirkan bahwa Allah adalah keberadaan itu sendiri atau Dzat Yang Maha Ada, sedang maujud adalah sesuatu yang menjadi ada di sebabkan hal lain. Maujud merupakan ‘objek’ yang berarti sesuatu yang menerima pengaruh perbuatan yang lain. 

Jadi sesuatu yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain bukanlah keberadaan yang sejati namun keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati. Keberadaannya di sebut dengan khayal, artinya ia ada karena bergantung pada Wujud Sejati, namun jika sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia tiada, karena siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas yang di maksud dengan Wahdatul-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam.

Kesatuan wujud ini juga dapat di fahami dari sebuah hadis yaitu: “Kanallahu wala syai’a ma’ahu”, artinya “Dahulu Allah tiada sesuatu apapun beserta-Nya”. Di sempurnakan dengan perkataan “Wahuwal aana ‘ala makaana” artinya “Sekarang Ia sebagaimana keadaan-Nya dahulu”. 


Maksud dari kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segala-Nya pada sisi-Nya adalah tiada. “Tiada Tuhan selain Allah” artinya segala sesuatu berupa alam yang gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Karena segala sesuatu yang tiada bisa di jadikan Tuhan oleh manusia dan yang pada hakikatnya yang ada hanya Dzat Allah Yang Maha Suci yang bernama Allah. Di lihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah. 

Namun jika di lihat bahwa alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujud di samping Allah ataupun diatas-Nya atau di bawah-Nya atau di tengah-Nya atau di dalam-Nya atau di luar-Nya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain Allah jua adanya. Di balik itu semua dalam memahami hal ini bukanlah cukup dengan logika namun harus di buktikan dengan penyaksian, yaitu “Tauhid adalah penyaksian dan bukan pengetahuan, barang siapa menyaksikan maka ia telah bertauhid barang siapa hanya mengetahui ia belum bertauhid.”

Posting Komentar untuk "KONSEP WIHDATUL WUJUD"