Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Al-HIRAH (TAKJUB, BINGUNG)

AL-Hirah merupakan ketakjuban dan puncak dari pengenalan akan Allah yang dalam hal ini di jelaskan: “’Uluhiyyat (ketuhanan) dapat di katakan karena ia merupakan tawajjuh (kehendak) Dzat untuk mewujudkan semua hal yang mungkin, adapun Dzat tidaklah dapat di katakan namun di saksikan.” Dzat Allah Esa dan Tunggal adanya namun tidaksatu makhlukpun dapat mengetahui hakikat Dzat tersebut serta segala potensi yang ada pada Dzat Allah. Penyaksian akan Dzat-Nya bisa terjadi pada orang tertentu dan penyaksian itu bukanlah meliputi akan keadaan Dzat-Nya, oleh sebab itu tidak bisa di katakan karena segalanya luluh dan fana ketika penyaksian itu terjadi.
Sedangkan ‘Uluhiyat bisa di katakan karena Ia berhubungan dengan segala yang mungkin. Dalam Al-Quran Allah berfirman : “Wayuhazzirukumullahu nafsah”. Artinya: “Allah melarang kamu untuk berpikir tentang diri (Dzat)Nya.” (Q.S. Ali Imran : 28. Pada ayat yang lain, Allah berfirman : “Wamaa qadarullahu haqqa qadrih”. Artinya: “Dan mereka tidak mampu memperkirakan Allah dengan sebenar-benar perkiraan.” (Q.S. Al-An’am : 91). Di samping itu Kalimat Allah atau segala yang mewujud karena-Nya atau segala yang berasal dari-Nya tidak terhingga atau tidak terbatas, oleh sebab itu tidak ada batas dalam mengenal Allah. 

Jadi yang di ketahui hanya keesaan-Nya sedang kuasa-Nya tanpa batas. “Katakanlah jika lautan huyuli (asal keberadaan alam semesta) yang menerima berbagi macam gambar yang mewujudkan segala ilmu Allah di jadikan sebagai tinta untuk menuliskan segala makna dan hakikat dan ruh yang ada pada Dzat-Nya, maka air lautan akan habis sebelum habisnya kalimat Allah, karena ia tidak terhingga adanya. Tidak mungkin satu yang terbatas bisa mengibaratkan Yang Tidak Terbatas. 

Jika di kaitkan dengan dua aspek yaitu tanzih dan tasybih, maka aspek tanzih-Nya adalah ketidak terbatasan Dzat Allah atau Maha Suci-Nya Ia dari segala ikatan dan keterbatasan. 
Sedang aspek tasybih-Nya adalah kalimat-Nya atau fenomena segala alam ini yang mewujud dengan-Nya. Alam ini sendiri juga tidak terbatas, sebagaimana kalimat Allah tidak terbatas. Jadi puncak pengenalan akan Allah adalah ketidak mampuan untuk mengenal-Nya dan ketakjban akan keMaha Besaran-Nya.

Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Allahumma la nuhshi tsanaan ‘alaika anta kama atsnaita ‘ala nafsika”. Artinya: “Ya Tuhan kami, kami tidak mampu menghimpunkan pujian kepada-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu Sendiri.” Abu Bakar berkata: “ketidak sanggupan untuk mengenal Allah adalah pengenalan.”

Rasulullah merupakan jalan petunjuk kepada ketakjuban yang membawa panji pujian kelak di hari kiamat. Ialah hamba yang paling mengenal Allah. Oleh sebab itu seorang tidak akan mampu mengenal Allah kecuali melalui jalan atau cermin jejak cara ibadahnya Rasulullah. “Allah berfirman : “Sesungguhnya sahabatmu tidaklah sesat dan salah.” (Q.S. An-An’am : 2), atau Ia tidak takut dalam keheranannya karena Ia mengetahui bahwa puncak dalam pengenalan akan Allah adalah hirah (ketakjuban), maka barang siapa yang sampai dalam keadaan ini maka ia telah beroleh petunjuk dan dia adalah yang menunjuki dan menjelaskan dalam penetapan ketakjuban.

“Pensucian dari orang yang mensucikan merupakan pembatasan bagi yang di sucikan, karena ia telah mengistimewakan Allah dan memisahkan-Nya dari sesuatu yang menyerupai, jadi pensucian-Nya dari suatu sifat yang wajib merupakan keterikatan dan keterbatasan, maka tidak ada di sana kecuali Yang terikat dan Maha Tinggi dengan kemutlakan-Nya dan ketidak terbatasan-Nya.” ‘Abd Al-Raziq Al-Qasyani menjelaskan mengenai hal ini, bahwa tanzih berarti mengistimewakan Allah dari segala yang baharu yang sifatnya materi dan dari segala yang tidak pantas baginya pensucian dari sifat materi, hal ini berarti bahwa setiap sesuatu yang berbeda dari yang lain maka ia tentu memiliki sifat yang bertentangan dari yang lain tersebut. Dengan begitu ia menjadi terikat dengan suatu sifat dan terbatas dengan satu batasan. Jadi tanzih tersebut merupakan pembatasan. 


Lebih jelasnya, bahwa yang mensucikan telah mensucikan Allah dari sifat materi dan menyamakan-Nya dengan sifat rohani yang suci. Dengan begitu ia telah mensucikan Allah dari keterbatasan namun dengan sendirinya ia telah membatas-Nya dengan kemutlakan, sedang Allah Maha Suci dari ikatan keterbatasan dan kemutlakan, akan tetapi Ia Maha Mutlaq tidak terikat oleh tanzih maupun tasybih juga tidak menafikan keduanya. “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” potongan ayat ini mengisyaratkan tanzih dan “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” potongan ayat ini mengisyaratkan tasybih. Abdul Karim Al-Jily menerangkan mengenai hal ini sebagai berikut: “Yang mensucikan mengosongkan Tuhan dari segala sifat sehingga dia menghilangkan kuasa Tuhan, yang menyerupakan Tuhan menghiasi-Nya dengan sifat yang tak pantas, artinya memakaikan Tuhan dengan sifat selain-Nya (Mujassimah) sedang yang berada di antara keduanya (tidak mengosongkan dan tidak memakaikan) artinya seorang yang ‘arif yang beada antara tasybih dan tanzih tidak menanggalkan apa yang pantas bagi Allah dan menyifatiNya dengan pakaian atau sifat yang tidak pantas bagi-Nya. 

Bahkan ia berkata Allah adalah Yang Lahir dan Yang Batin atau ia menyifati Allah dengan Lahir dan Batin. Aspek Batin merupakan hukum kesempurnaan bagi-Nya sedang aspek Lahir merupakan nyatanya Ia dalam segala yang ada.” Di jelaskan dalam sebuah syair: “Jika engkau mengatakan dengan tanzih, maka engkau membuat-Nya terikat, jika engkau mengatakan dengan tasybih engkau membuat-Nya terbatas jika engkau mengatakan dengan dua hal tadi, maka engkau benar engkau menjadi imam dalam ma’rifat dan menjadi penghulu.”

Penafsiran tentang tanzih dan tasybih sesuai dengan wihdatulwujud, yang bertumpu pada: “Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa) sebagai jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan. Dalam hal ini terkandung dua bagian positif, yaitu ‘Dia’ dan bagian negatif, yaitu ‘bukan Dia’. Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Bagian terakhir menegaskan aspek tanzih Tuhan. Dapat pula di katakan bahwa penafsiran tentang tanzih dan tasybih sejalan denagn prinsip memadukan segala hal yang bertentangan, misalnya antara Yang Satu dan yang banyak, Yang Lahir dan Yang Bathin. Oleh sebab itu di nyatakan Hakikat Muhammad lah yang menghimpun antar aspek tanzih dan tasybih antara Qur’an dan Furqan antara Jama’ dan Tafsil. Ada ungkapan-ungkapan kaum sufi yang mengisyaratkan tasybih yang di kenal dengan syatahat seperti ungkapan Abu Yazid : “Maha Suci Aku betapa Agung keadaanKu.” Begitu juga Imam Junaid : “Tidak ada dalam jubah ini selain Allah.” Al-Hallaj juga berkata : “Ana al-Haq.” Abu Bakar As-Syibli berkata : “Aku adalah titik di bawah Ba.” Perkatan ini semua mengandung tasybih al-Haq dengan yang baharu. Ada sebagian kaum yang mengkafifkan orang yang berkata demikian dan ada yang menta’wilkan. 


Kaum sufi berkata demikian dalam keadaan illuminasi dan menyaksikan Wajah Yang Satu hingga mereka menyatakan ungkapan syatahat (ungkapan yang janggal dalam keadaan fana). Sedangkan fir’aun mengatakannya dalam kesadaran penuh akan keberadaan nafsunya dan keberadaan dirinya sebagi Tuhan dan tidak mengaku adanya Allah, inilah perbedaannya lontaran kata-kata beerbahaya tersebut di atas antara kaum sufi dengan fir’aun yang jelas kafir. Ini juga semua berkaitan dengan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. 

Sepanjang sejarah pembicaraan ini tidak pernah habisnya, karena kasus Keesaan Tuhan terus bergulir. Ulama salaf mengimani ayat mutasyabihat dalam batasan tidak menta’wilkan sebagaimana ungkapan Imam Malik : “Istiwa’ itu di ketahui artinya, kaifiyyahnya tidak di ketahui, beriman dengannya adalah wajib, ulama khalaf menta’wilkannya, ada yang menta’wilkannya dengan berkuasa dan mengatur. Sedang kaum Mu’tazilah mensucikan Tuhan dari segala sifat apa lagi sifat yang baharu dengan alasan jika sifat itu qadim maka akan banyaklah yang qadim. Kaum mujassimah menyamakan-Nya dengan yang baharu dan seterusnya. Berkaitan dengan muhkamat dan mutasyabihat ini di jelaskan dalam Al-Quran Surah Ali-Imran Ayat 7, yaitu : “Huwal lazi anzala…..Artinya : “Dialah yang menurunkan Al-Quran kepadamu, di antaranya ada yang muhkamat, itulah ummul kitab (induk kitab) dan yang lainnya mutasyabihat.” Jadi ayat yang muhkamat mewakili aspek tanzih sedang yang mutasyabihat mewakili aspek tasybih. 

Mengenai ayat ini Ibnu Arabi menafsirkan ayat muhkamat adalah yang mengandung makna yang satu yang merupakan asal kitab dan tidak di masuki penyerupaan dengan yang baharu, sedang yang lain mutasyabihat. Mutasyabihat ini yang mungkin memiliki dua makna atau lebih atas samar, di situ antara yang haq dan yang batil, hal ini di karenakan bahwa Allah memiliki Wajah Yang Esa dan Kekal setelah fananya makhluk yang tidak mengandung pluralitas dan keterbilangan, di samping itu Allah juga memiliki wajah-wajah yang banyak sesuai dengan cermin-cermin penampakan-Nya berdasarkan potensi penampakan-Nya dan seluruhnya bersumber dari Wajah Yang Satu tadi. Pada wajah yang banyak inilah samar antara Haq dan yang batil, maka turunlah ayat Al-Qur’an agar ayat-ayat mutasyabihat di letakkan pada wajah-wajah yang sesuai dengan potensinya hingga setiap sesuatu berkaitan dengan yang lain sesuai dengan kesiapannya, maka dari sinilah timbul ujian dan cobaan. Adapun orang ‘arif yang muhaqqa yang mengenal Wajah Yang Kekal dalam berbagai gambaran dan bentuk mengenal wajah tersebut dari wajah-wajah yang mustasyabihat maka ia mengembalikannya kepada muhkamat.

Adapun orang yang terhijab (atau orang yang bengkok hatinya) dari kebenaran, maka dia akan mengikuti yang mutasyabihat karena ia terhijab dari Yang Satu oleh yang banyak dan memilih keyakinan sesuai dengan seleranya untuk menyebarkan fitnah. Jalan untuk mengenal yang muhkamat dan mutasyabihat adalah lewat cermin Rasulullah dengan mengikuti ajarannya dengan memasrahkan pengetahuan mengenai hal tersebut kepada Allah agar Allah membukakan kepada kita dan mengenalkan diri-Nya kepada kita. “Ketahuilah, bahwa Allah menuntut dari hambanya untuk mengenal-Nya sebagaimana yang telah di terangkan oleh Lisan segala syari’at dalam menyifati-Nya, maka akal tidaklah boleh melampaui-Nya sebelum datangnya syari’at, ilmu mengenai-Nya pensucian dari sifat-sifat baharu, jadi seorang ‘arif adalah orang yang memiliki dua pengenalan tentang Allah, pengenalan sebelum datangnya syari’at dan pengenalan yang ia peroleh dari syara’, akan tetapi syaratnya hendaklah ia menyerahkan ilmu tersebut kepada Allah, jika Allah menyingkapkan baginya tentang ilmu itu maka hal itu merupakan anugerah dari pintu pemberian Dzat Allah.” 


Dalam kata lain Allah Mutlak dari segi Dzat-Nya Yang Maha Suci dari segala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, af’al, dan mazahir kauniyah (fenomena-fenomena alam) yang merupakan tajalliyat-Nya yang tak terhingga. 

Jadi penampakan-Nya itu sendiri tidak terbatas, karena kalimat-Nya tidak pernah habis. Inilah yang di sebut sebagai lautan yang tak bertepi. Dialah Yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak adalah pada hakikatnya wajah-wajah dari Dzat Yang Esa. Yang banyak adalah tiada dan yang ada hanya Dzat yang Esa. Dialah jami’ atau penghimpun segalanya dan fariq yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa. 

Aspek Jamal-Nya (keindahan) mewakili tasybih dan aspek Jalal-Nya (keagungan) mewakili tanzih keduanya mewujudkan Kamal (kesempurnaan) bagi Dzat-Nya. Namun keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga. Di atas semua itu, pengenalan akan Allah adalah ketidak tahuan. 

Kelemahan untuk mengenal-Nya adalah pengenalan. Mengutip perkataan Abu Talib Al-Makki, yaitu : “Tiada ada yang mampu mengenal, “tidak ada yagn setara dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat,” kecuali “Tidak ada yang setara dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.

Posting Komentar untuk "Al-HIRAH (TAKJUB, BINGUNG)"