DASAR ILMU FIQH ISLAM
APA ITU FIQH DAN PENGERTIAN FIQH?
Fiqh menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah Swt :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (Q.S.An Nisa : 78).
Dan sabda Rasulullah Saw : “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (H.R Bukhari dan Muslim).
Fiqh mengandung dua arti :
Diantara keistimewaan fiqh Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah Swt dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain, terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah Swt-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan, sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram, maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hamba-Nya.
Misalnya :
FIQH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur, manakala fiqh Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah Swt syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Di jelaskan sebagai berikut :
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqh yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah Swt, Sunnah Rasul-Nya, serta Ijma' (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat, kita rinci sebagai berikut :
SUMBER-SUMBER FIQH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqh Islam kembali kepada empat sumber, yaitu :
AL-QUR’AN adalah Kalamullah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqh Islam, jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitabullah guna mencari hukumnya.
Contoh :
a. Bila kita ditanya tentang hukum khamr (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib serta ramal-meramal, maka jika kita merujuk kepada Al-Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Maidah : 90.
b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitabullah QS. Al-Baqarah : 275, dan masih banyak contoh-contoh yang lain dalam Al-Qur'an tersebut.
AS-SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi Saw, berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau atas sesuatu.
Contoh :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang pernah ditanya : "Apa yang biasa dilakukan Rasulullah Saw dirumahnya ? 'Aisyah menjawab : “Beliau membantu keluarganya, kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
(H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Contoh persetujuan :
Apa yang diriwayatkan dalam hadist, bahwa Nabi Saw pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi Saw berkata kepadanya : “Shalat subuh itu dua raka'at.” orang tersebut menjawab,“Sesungguhnya saya belum shalat sunat dua raka'at sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi Saw terdiam.” Maka diamnya beliau Saw berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah perbuatan dan gerak gerik Rasulullah Saw yang merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an, bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahan dalam Al-Qur’an, maka kita merujuk kepada As-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut, dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi Saw dengan sanad yang shahih.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan atas Al-Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum, seperti perintah shalat; maka bagaimana tata caranya didapati dalam As-Sunnah. Oleh karena itu Nabi Saw bersabda,“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Sebagaimana pula As-Sunnah yang menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an, seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
IJMA’
Ijma’ bermakna : "Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Nabi Muhammad Saw dari suatu generasi ke generasi atas sesuatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut, baik pada generasi sahabat atau sesudahnya akan suatu hukum syari’at, maka kesepakatan mereka adalah dinamakan dengan ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi Saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah Ra, bahwa Nabi Saw bersabda,“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (bersepakat) di atas suatu kesesatan.” (H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Contohnya :
Ijma' para sahabat Ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak. Ijma’ ini merupakan sumber rujukan ketiga, jika kita tidak mendapatkan didalam Al-Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakati oleh para ulama muslimin yang terpercaya, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
QIYAS
Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash dan yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab atau alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun :
1. Dasar (dalil),
2. Masalah yang akan diqiyaskan,
3. Hukum yang terdapat pada dalil, dan
4. Kesamaan sebab atau alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah Swt mengharamkan khamr dengan dalil Al-Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran, jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamr, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamr, karena sebab atau alasan pengharaman khamr yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamr.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqh Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam.
Fiqh menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah Swt :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (Q.S.An Nisa : 78).
Dan sabda Rasulullah Saw : “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (H.R Bukhari dan Muslim).
Fiqh mengandung dua arti :
- 1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
- 2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri, jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Diantara keistimewaan fiqh Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah Swt dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain, terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah Swt-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan, sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram, maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hamba-Nya.
Misalnya :
- Allah Swt memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Q.S.Al-Maidah : 6).
- Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya : “(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (Q.S. An-Naml : 3).
FIQH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur, manakala fiqh Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah Swt syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Di jelaskan sebagai berikut :
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqh yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah Swt, Sunnah Rasul-Nya, serta Ijma' (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat, kita rinci sebagai berikut :
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah Swt, seperti wudhu', shalat, puasa, haji dan yang lain sebagainya, ini disebut dengan Fiqh Ibadah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan, seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya, ini disebut dengan Fiqh Al-ahwal As-sakhsiyah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqh mu’amalah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya, ini disebut dengan Fiqh siasah syar’iah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqh Al‘ukubat.
- Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqh As-Siyar.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak
SUMBER-SUMBER FIQH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqh Islam kembali kepada empat sumber, yaitu :
AL-QUR’AN adalah Kalamullah yang di turunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqh Islam, jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitabullah guna mencari hukumnya.
Contoh :
a. Bila kita ditanya tentang hukum khamr (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib serta ramal-meramal, maka jika kita merujuk kepada Al-Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Maidah : 90.
b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitabullah QS. Al-Baqarah : 275, dan masih banyak contoh-contoh yang lain dalam Al-Qur'an tersebut.
AS-SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi Saw, berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan beliau atas sesuatu.
Contoh :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang pernah ditanya : "Apa yang biasa dilakukan Rasulullah Saw dirumahnya ? 'Aisyah menjawab : “Beliau membantu keluarganya, kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
(H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Contoh persetujuan :
Apa yang diriwayatkan dalam hadist, bahwa Nabi Saw pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi Saw berkata kepadanya : “Shalat subuh itu dua raka'at.” orang tersebut menjawab,“Sesungguhnya saya belum shalat sunat dua raka'at sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi Saw terdiam.” Maka diamnya beliau Saw berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah perbuatan dan gerak gerik Rasulullah Saw yang merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an, bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahan dalam Al-Qur’an, maka kita merujuk kepada As-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut, dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi Saw dengan sanad yang shahih.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan atas Al-Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum, seperti perintah shalat; maka bagaimana tata caranya didapati dalam As-Sunnah. Oleh karena itu Nabi Saw bersabda,“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Sebagaimana pula As-Sunnah yang menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an, seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
IJMA’
Ijma’ bermakna : "Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Nabi Muhammad Saw dari suatu generasi ke generasi atas sesuatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut, baik pada generasi sahabat atau sesudahnya akan suatu hukum syari’at, maka kesepakatan mereka adalah dinamakan dengan ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi Saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah Ra, bahwa Nabi Saw bersabda,“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (bersepakat) di atas suatu kesesatan.” (H.R Bukhari, Muslim, At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).
Contohnya :
Ijma' para sahabat Ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak. Ijma’ ini merupakan sumber rujukan ketiga, jika kita tidak mendapatkan didalam Al-Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakati oleh para ulama muslimin yang terpercaya, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
QIYAS
Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash dan yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab atau alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun :
1. Dasar (dalil),
2. Masalah yang akan diqiyaskan,
3. Hukum yang terdapat pada dalil, dan
4. Kesamaan sebab atau alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah Swt mengharamkan khamr dengan dalil Al-Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran, jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamr, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamr, karena sebab atau alasan pengharaman khamr yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamr.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqh Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam.
Thank you for nice information. Please visit our web:
BalasHapusKampus Favorit
Kampus Favorit