Muhasabah Jiwa
Topik yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini adalah muhasabah jiwa, yaitu bagaimana agar kita melihat dan memeriksa diri kita sebelum tiba waktunya kita dipanggil oleh Allah, Allah berfirman di dalam Alquran, “Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18).
Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini merupakan Ushul fii alMuhasabah (dalil pokok dalam pembahasan muhasabah). Hal ini dikarenakan bahwa Allah memanggil orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah, kemudian Allah memerintahkan agar setiap jiwa melihat apa yang dia lakukan untuk hari esok, kemudian setelah itu Allah memerintahkan lagi untuk bertakwa, kemudian Allah mengingatkan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kita lakukan.
Allah menyuruh kita untuk memperhatikan hari esok kita agar kita sadar bahwa kehidupan kita di dunia hanya sementara. Oleh karenanya Rasulullah Saw juga telah menyebutkan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang telah mempersiapkan hari esoknya (akhirat) yang dia akan hidup selama-lamanya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah ditanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah orang mukmin yang utama?” beliau menjawab: “Orang yang paling baik akhlaknya.” Dia bertanya lagi; “Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling cerdas?” beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah 2/1423 no. 4259).
Dari hadits ini, terdapat dua baromoter kecerdasan menurut Nabi Saw. Dua perkara tersebut adalah sering mengingat kematian dan yang paling siap berhadapan dengan hari setelah kematian. Oleh karenanya Allah Swt memerintahkan kita untuk memperhatikan apa-apa yang kita siapkan untuk hari esok (akhirat).
Dalam hadits yang lain Nabi Saw bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi 4/638 no. 2459).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Menundukkan dirinya maksudnya adalah dia menghisab dirinya.” (Ighatsatu Al-Lahfan 1/78). Maksudnya adalah seseorang melihat kepada dirinya, mengecek amalan yang dia lakukan hari ini, dia menghisab dirinya sebelum dihisab oleh Allah Swt pada hari kiamat kelak. Kematian merupakan perkara yang pasti dan tidak ada yang meragukan akan kedatangannya. Seluruh manusia pasti meyakini bahwasanya dia akan mati, bahkan orang-orang musyrikin Arab dahulu yang diperangi oleh Nabi Saw yang mereka mengingkari akan adanya hari kebangkitan, akan tetapi mereka yakin akan adanya kematian. Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan.” (QS. Ath-Taghabun : 7).
“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, (disanalah) kita mati dan hidup dan tidak akan dibangkitkan (lagi).” (QS. Al-Mu’minun : 37). Begitu pula dengan orang-orang Atheis yang mengingkari adanya tuhan, mereka juga yakin bahwasanya ada yang namanya kematian dan mereka akan merasakannya, maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang beriman? Tentunya mereka lebih beriman dan yakin akan adanya kematian.
Akan tetapi kenyataannya, banyak orang yang yakin bahwasanya mereka akan mati, namun sikap dan perbuatannya menunjukkan seakan-akan mereka tidak akan mati. Oleh karenanya Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang meyakinkan tetapi seakan diragukan oleh manusia seperti keyakinan manusia terhadap kematian karena mereka tidak mempersiapkannya.” (Tafsir Al-Qutrhubi 10/64).
Maksudnya adalah kematian adalah perkara yang pasti dan tidak ada orang yang meragukannya. Akan tetapi sikap manusia tatkala menghadapi kematian tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa kematian itu tidak akan datang, buktinya adalah manusia tidak memiliki persiapan, maka jadilah kematian adalah perkara yang pasti namun seakan-akan itu perkara yang diragukan.
Padahal Allah Swt telah memberikan banyak peringatan yang menunjukkan bahwasanya kita akan meninggal. Di antaranya adalah perubahan yang ada pada diri kita, sebagaimana firman Allah, “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat : 21). Dan Allah Swt telah berfirman, “Dan telah datang kepadamu peringatan.” (QS. Fathir : 37). Sebagian ulama menafsirkan bahwa peringatan yang datang tersebut adalah uban yang ada di rambut kita. Intinya Allah Swt menjadikan manusia semakin lemah, kulit semakin keriput, rambut semakin memutih. Jika itu telah terjadi, maka itu adalah peringatan dari Allah Swt bahwasanya kita sedang menuju kepada kematian.
Kalau sekiranya tubuh kita senantiasa muda, senantiasa sehat, mungkin kita akan merasa sombong dan lupa bahwa kita akan mati, akan tetapi karena kasih sayang Allah Swt, maka Allah berikan kita peringatan dengan berbagai peringatan diantaranya adalah rambut yang memutih. Oleh karenanya Nabi Saw melarang seseorang untuk menyemir rambut dengan warna hitam. Rasulullah Saw bersabda, “Semirlah (rambut dan jenggot Anda) selain dengan warna hitam.” (HR. Muslim No. 2102).
Jika seseorang menyemir rambutnya dengan warna hitam, maka seseorang akan merasa muda terus. Sedangkan jika dia menyemir dengan warna yang lain, maka dia akan sadar bahwasanya asal rambutnya itu berwarna putih yang artinya dia telah menua dan akan meninggal dunia. Bagaimanapun seseorang berusaha untuk pergi ke tempat-tempat perawatan untuk mempercantik dirinya, namun tetap saja kulitnya akan keriput, dan tubuhnya akan melemah, maka bagaimanapun seseorang yang sombong, tetap saja dia akan mencapai suatu titik yang bernama kematian dan kita semua sedang mengantri untuk mencapai titik tersebut untuk bertemu dengan Allah dan tidak di antara kita yang keluar dari antrian tersebut. Hanya saja tidak ada di antara kita yang tahu siapa yang berada di depan dan di belakang kita dalam antrean tersebut.
Para salaf juga telah mengingatkan kita akan hal ini. Di antaranya adalah perkataan Hasan Al-Bashri, “Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari. Maka apabila telah pergi sebagian hari-hari, maka pergi pula sebagian dari dirimu. Dan dikhawatirkan jika telah pergi sebagian dari dirimu, maka akan hilang seluruh dari dirimu.” (Fashal Khitab Zuhud, Raqaaiq, dan Adab 3/555).
Sesungguhnya seseorang itu ibarat umur. Semakin hari melewati diri seseorang, maka semakin dekat orang tersebut kepada Allah Swt, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Sesungguhnya dunia telah beralih ke belakang dan akhirat telah beralih ke hadapan (semakin mendekat), pada tiap-tiap keduanya terdapat anak-anaknya (pengikutnya). Maka jadilah pengikut akhirat dan jangan jadi pengikut dunia. Sesungguhnya hari ini adalah untuk beramal dan tidak ada hisab, dan esok adalah hari penghisaban bukan lagi untuk beramal.” (Ighatsatu Al-Lahfan 1/71).
Setiap hari, kita semakin meninggalkan dunia menuju akhirat. Sehingga akhirat semkain dekat dan dunia semakin menjauh. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa kalau sekarang seseorang masih bisa beramal, masih bisa berangan-angan dan mewujudkannya. Jika ada di antara kita yang bercita-cita untuk menghafal juz 30, membangun masjid, ingin shalat malam tiap hari, maka cita-cita dan angan-angan tersebut masih bisa untuk dilakukan. Akan tetapi jika seseorang telah meninggal dunia maka tidak bisa lagi melakukan apa-apa.
Oleh karenanya Allah Swt menyebutkan bahwasanya orangorang yang sudah meninggal akan menyesal. Allah Swt berfirman, “Dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.” (QS. Al-Fajr : 25). Penyesalan tersebut akan diungkapkan oleh orang kafir maupun orang beriman. Orang-orang kafir jelas menyesal karena di hadapan mereka telah ada neraka jahannam dan mereka akan dilemparkan ke dalamnya, mereka menyesal kenapa dahulu tidak beriman.
Para pelaku maksiat juga menyesal kenapa dahulu di dunia mereka bermaksiat kepada Allah Swt, bahkan orang-orang yang beriman juga menyesal karena mengapa mereka sedikit beramal dan sedikit ibadahnya, maka saat ini kita masih bisa beramal dan tidak ada hisab bagi kita, akan tetapi tatkala kita telah meninggal dunia maka yang ada hanyalah hisab dan tidak bisa beramal lagi.
Oleh karenanya kita harus sadar bahwa kehidupan kita ini hanya sementara. Maka kita harus mempersiapkan diri kita untuk bertemu dengan kehidupan kita yang sesungguhnya yaitu kehidupan setelah kematian. Karena Allah Swt telah berfirman, “Dan kehidupan dunia ini hanya senda-gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Ar-Rum : 64).
Kehidupan yang kita jalani saat ini adalah kehidupan yang semu dan kehidupan sesungguhnya dimulai tatkala seseorang meninggal dunia. Kita harus sadar bahwasanya umur kita sesungguhnya tidaklah panjang. Rasulullah Saw bersabda, “Umur umatku berkisar antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit di antara mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidzi 5/553 No. 3550).
Namun yang jadi perhatian kita adalah kematian tidak mensyaratkan harus tua. Banyak orang yang meninggal dunia dalam usia muda. Bahkan ada yaang masih bayi telah meninggal dunia, dalam janin juga ada yang telah meninggal dunia. Oleh karenanya seorang penyair berkata, Betapa banyak anak muda yang masih tertawa di pagi dan petang hari, akan tetapi malam hari dia dimasukkan ke dalam gelapnya kubur.
Demikian juga kematian tidak mempersyaratkan harus sakit terlebih dahulu. Banyak orang yang meninggal secara tiba-tiba dan tanpa di dahului sakit. Seorang penyair berkata, Betapa banyak orang sehat meninggal tanpa didahului sakit. Betapa banyak orang sakit yang disangka akan meninggal akan tetapi masih hidup.
Betapa sering seseorang keluar dari rumahnya tanpa terbetik dalam benaknya bahwa dia akan meninggal dunia, akan tetapi tiba-tiba Allah Swt mencabut nyawanya dan kita tahu bahwa sebab-sebab kematian itu banyak. Seorang penyair berkata, Terdapat banyak sebab-sebab yang mengantarkan pada satu tujuan yaitu kematian Oleh karenanya hendaknya seseorang berusaha untuk mempersiapkan dirinya untuk hari akhiratnya. Karena Allah Swt berfirman, “dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18).
Kehidupan kita saat ini adalah kehidupan yang semu, dan semua kita akan meninggal dunia. Akan tetapi yang menjadi perhatian kita adalah bagaimanakah kehidupan kita yang sesungguhnya di kampung akhirat? Sudahkah kita mempersiapkan untuk kehidupan kita yang abadi di akhirat kelak?
Ingatlah bahwa kesuksesan yang sesungguhnya adalah kesuksesan di akhirat, serta kerugian yang sesungguhnya adalah kerugian di akhirat pula. Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.” Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. AzZumar : 15).
Percuma seseorang sukses di dunia, punya rumah banyak, punya mobil banyak, punya pakaian yang mewah, punya pembantu yang banyak, akan tetapi tidak sukses di akhirat. Sesungguhnya seluruh perbendaharaan dunia tersebut akan ditinggalkan dan tidak akan ada yang dibawa masuk ke kuburan.
Lihatlah ke kuburan-kuburan, terdapat banyak model orang di bawahnya, ada yang mantan pejabat, mantan pimpinan perusahaan, orang miskin, dan yang lainnya. Akan tetapi mereka semua sama saat ini, seluruh jabatan mereka tanggalkan, seluruh harta mereka tinggalkan, dan yang tersisa hanyalah mereka dan amal mereka. Oleh karenanya saya ingatkan bahwa kesuksesan yang sesungguhnya adalah kesuksesan di akhirat. Jika sukses dunia dan akhirat bisa diraih, maka ini lebih bagus. Namun jika hanya salah satunya, maka sukseslah di akhirat, dan jangan sampai sukses di dunia namun merugi di akhirat.
Maka dari sini kita sadar tentang pentingnya pembahasan muhasabah. Para ulama menjelaskan bahwasanya muhasabah adalah langkah awal agar kita memperbaiki diri kita. Dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa meninggalkan muhasabah adalah di antara sebab seseorang mudah bermaksiat kepada Allah Swt. Orang yang hilang dari dirinya muhasabah, maka dia akan terus berjalan menjalani hari-hari tanpa kepedulian, hingga akhirnya mudah baginya terjerumus ke dalam kemaksiatan.
Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18).
Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini merupakan Ushul fii alMuhasabah (dalil pokok dalam pembahasan muhasabah). Hal ini dikarenakan bahwa Allah memanggil orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah, kemudian Allah memerintahkan agar setiap jiwa melihat apa yang dia lakukan untuk hari esok, kemudian setelah itu Allah memerintahkan lagi untuk bertakwa, kemudian Allah mengingatkan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kita lakukan.
Allah menyuruh kita untuk memperhatikan hari esok kita agar kita sadar bahwa kehidupan kita di dunia hanya sementara. Oleh karenanya Rasulullah Saw juga telah menyebutkan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang telah mempersiapkan hari esoknya (akhirat) yang dia akan hidup selama-lamanya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw pernah ditanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah orang mukmin yang utama?” beliau menjawab: “Orang yang paling baik akhlaknya.” Dia bertanya lagi; “Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling cerdas?” beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah 2/1423 no. 4259).
Dari hadits ini, terdapat dua baromoter kecerdasan menurut Nabi Saw. Dua perkara tersebut adalah sering mengingat kematian dan yang paling siap berhadapan dengan hari setelah kematian. Oleh karenanya Allah Swt memerintahkan kita untuk memperhatikan apa-apa yang kita siapkan untuk hari esok (akhirat).
Dalam hadits yang lain Nabi Saw bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi 4/638 no. 2459).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Menundukkan dirinya maksudnya adalah dia menghisab dirinya.” (Ighatsatu Al-Lahfan 1/78). Maksudnya adalah seseorang melihat kepada dirinya, mengecek amalan yang dia lakukan hari ini, dia menghisab dirinya sebelum dihisab oleh Allah Swt pada hari kiamat kelak. Kematian merupakan perkara yang pasti dan tidak ada yang meragukan akan kedatangannya. Seluruh manusia pasti meyakini bahwasanya dia akan mati, bahkan orang-orang musyrikin Arab dahulu yang diperangi oleh Nabi Saw yang mereka mengingkari akan adanya hari kebangkitan, akan tetapi mereka yakin akan adanya kematian. Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan.” (QS. Ath-Taghabun : 7).
“Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, (disanalah) kita mati dan hidup dan tidak akan dibangkitkan (lagi).” (QS. Al-Mu’minun : 37). Begitu pula dengan orang-orang Atheis yang mengingkari adanya tuhan, mereka juga yakin bahwasanya ada yang namanya kematian dan mereka akan merasakannya, maka bagaimana lagi dengan orang-orang yang beriman? Tentunya mereka lebih beriman dan yakin akan adanya kematian.
Akan tetapi kenyataannya, banyak orang yang yakin bahwasanya mereka akan mati, namun sikap dan perbuatannya menunjukkan seakan-akan mereka tidak akan mati. Oleh karenanya Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang meyakinkan tetapi seakan diragukan oleh manusia seperti keyakinan manusia terhadap kematian karena mereka tidak mempersiapkannya.” (Tafsir Al-Qutrhubi 10/64).
Maksudnya adalah kematian adalah perkara yang pasti dan tidak ada orang yang meragukannya. Akan tetapi sikap manusia tatkala menghadapi kematian tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa kematian itu tidak akan datang, buktinya adalah manusia tidak memiliki persiapan, maka jadilah kematian adalah perkara yang pasti namun seakan-akan itu perkara yang diragukan.
Padahal Allah Swt telah memberikan banyak peringatan yang menunjukkan bahwasanya kita akan meninggal. Di antaranya adalah perubahan yang ada pada diri kita, sebagaimana firman Allah, “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat : 21). Dan Allah Swt telah berfirman, “Dan telah datang kepadamu peringatan.” (QS. Fathir : 37). Sebagian ulama menafsirkan bahwa peringatan yang datang tersebut adalah uban yang ada di rambut kita. Intinya Allah Swt menjadikan manusia semakin lemah, kulit semakin keriput, rambut semakin memutih. Jika itu telah terjadi, maka itu adalah peringatan dari Allah Swt bahwasanya kita sedang menuju kepada kematian.
Kalau sekiranya tubuh kita senantiasa muda, senantiasa sehat, mungkin kita akan merasa sombong dan lupa bahwa kita akan mati, akan tetapi karena kasih sayang Allah Swt, maka Allah berikan kita peringatan dengan berbagai peringatan diantaranya adalah rambut yang memutih. Oleh karenanya Nabi Saw melarang seseorang untuk menyemir rambut dengan warna hitam. Rasulullah Saw bersabda, “Semirlah (rambut dan jenggot Anda) selain dengan warna hitam.” (HR. Muslim No. 2102).
Jika seseorang menyemir rambutnya dengan warna hitam, maka seseorang akan merasa muda terus. Sedangkan jika dia menyemir dengan warna yang lain, maka dia akan sadar bahwasanya asal rambutnya itu berwarna putih yang artinya dia telah menua dan akan meninggal dunia. Bagaimanapun seseorang berusaha untuk pergi ke tempat-tempat perawatan untuk mempercantik dirinya, namun tetap saja kulitnya akan keriput, dan tubuhnya akan melemah, maka bagaimanapun seseorang yang sombong, tetap saja dia akan mencapai suatu titik yang bernama kematian dan kita semua sedang mengantri untuk mencapai titik tersebut untuk bertemu dengan Allah dan tidak di antara kita yang keluar dari antrian tersebut. Hanya saja tidak ada di antara kita yang tahu siapa yang berada di depan dan di belakang kita dalam antrean tersebut.
Para salaf juga telah mengingatkan kita akan hal ini. Di antaranya adalah perkataan Hasan Al-Bashri, “Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari. Maka apabila telah pergi sebagian hari-hari, maka pergi pula sebagian dari dirimu. Dan dikhawatirkan jika telah pergi sebagian dari dirimu, maka akan hilang seluruh dari dirimu.” (Fashal Khitab Zuhud, Raqaaiq, dan Adab 3/555).
Sesungguhnya seseorang itu ibarat umur. Semakin hari melewati diri seseorang, maka semakin dekat orang tersebut kepada Allah Swt, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Sesungguhnya dunia telah beralih ke belakang dan akhirat telah beralih ke hadapan (semakin mendekat), pada tiap-tiap keduanya terdapat anak-anaknya (pengikutnya). Maka jadilah pengikut akhirat dan jangan jadi pengikut dunia. Sesungguhnya hari ini adalah untuk beramal dan tidak ada hisab, dan esok adalah hari penghisaban bukan lagi untuk beramal.” (Ighatsatu Al-Lahfan 1/71).
Setiap hari, kita semakin meninggalkan dunia menuju akhirat. Sehingga akhirat semkain dekat dan dunia semakin menjauh. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa kalau sekarang seseorang masih bisa beramal, masih bisa berangan-angan dan mewujudkannya. Jika ada di antara kita yang bercita-cita untuk menghafal juz 30, membangun masjid, ingin shalat malam tiap hari, maka cita-cita dan angan-angan tersebut masih bisa untuk dilakukan. Akan tetapi jika seseorang telah meninggal dunia maka tidak bisa lagi melakukan apa-apa.
Oleh karenanya Allah Swt menyebutkan bahwasanya orangorang yang sudah meninggal akan menyesal. Allah Swt berfirman, “Dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.” (QS. Al-Fajr : 25). Penyesalan tersebut akan diungkapkan oleh orang kafir maupun orang beriman. Orang-orang kafir jelas menyesal karena di hadapan mereka telah ada neraka jahannam dan mereka akan dilemparkan ke dalamnya, mereka menyesal kenapa dahulu tidak beriman.
Para pelaku maksiat juga menyesal kenapa dahulu di dunia mereka bermaksiat kepada Allah Swt, bahkan orang-orang yang beriman juga menyesal karena mengapa mereka sedikit beramal dan sedikit ibadahnya, maka saat ini kita masih bisa beramal dan tidak ada hisab bagi kita, akan tetapi tatkala kita telah meninggal dunia maka yang ada hanyalah hisab dan tidak bisa beramal lagi.
Oleh karenanya kita harus sadar bahwa kehidupan kita ini hanya sementara. Maka kita harus mempersiapkan diri kita untuk bertemu dengan kehidupan kita yang sesungguhnya yaitu kehidupan setelah kematian. Karena Allah Swt telah berfirman, “Dan kehidupan dunia ini hanya senda-gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Ar-Rum : 64).
Kehidupan yang kita jalani saat ini adalah kehidupan yang semu dan kehidupan sesungguhnya dimulai tatkala seseorang meninggal dunia. Kita harus sadar bahwasanya umur kita sesungguhnya tidaklah panjang. Rasulullah Saw bersabda, “Umur umatku berkisar antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit di antara mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidzi 5/553 No. 3550).
Namun yang jadi perhatian kita adalah kematian tidak mensyaratkan harus tua. Banyak orang yang meninggal dunia dalam usia muda. Bahkan ada yaang masih bayi telah meninggal dunia, dalam janin juga ada yang telah meninggal dunia. Oleh karenanya seorang penyair berkata, Betapa banyak anak muda yang masih tertawa di pagi dan petang hari, akan tetapi malam hari dia dimasukkan ke dalam gelapnya kubur.
Demikian juga kematian tidak mempersyaratkan harus sakit terlebih dahulu. Banyak orang yang meninggal secara tiba-tiba dan tanpa di dahului sakit. Seorang penyair berkata, Betapa banyak orang sehat meninggal tanpa didahului sakit. Betapa banyak orang sakit yang disangka akan meninggal akan tetapi masih hidup.
Betapa sering seseorang keluar dari rumahnya tanpa terbetik dalam benaknya bahwa dia akan meninggal dunia, akan tetapi tiba-tiba Allah Swt mencabut nyawanya dan kita tahu bahwa sebab-sebab kematian itu banyak. Seorang penyair berkata, Terdapat banyak sebab-sebab yang mengantarkan pada satu tujuan yaitu kematian Oleh karenanya hendaknya seseorang berusaha untuk mempersiapkan dirinya untuk hari akhiratnya. Karena Allah Swt berfirman, “dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18).
Kehidupan kita saat ini adalah kehidupan yang semu, dan semua kita akan meninggal dunia. Akan tetapi yang menjadi perhatian kita adalah bagaimanakah kehidupan kita yang sesungguhnya di kampung akhirat? Sudahkah kita mempersiapkan untuk kehidupan kita yang abadi di akhirat kelak?
Ingatlah bahwa kesuksesan yang sesungguhnya adalah kesuksesan di akhirat, serta kerugian yang sesungguhnya adalah kerugian di akhirat pula. Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.” Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. AzZumar : 15).
Percuma seseorang sukses di dunia, punya rumah banyak, punya mobil banyak, punya pakaian yang mewah, punya pembantu yang banyak, akan tetapi tidak sukses di akhirat. Sesungguhnya seluruh perbendaharaan dunia tersebut akan ditinggalkan dan tidak akan ada yang dibawa masuk ke kuburan.
Lihatlah ke kuburan-kuburan, terdapat banyak model orang di bawahnya, ada yang mantan pejabat, mantan pimpinan perusahaan, orang miskin, dan yang lainnya. Akan tetapi mereka semua sama saat ini, seluruh jabatan mereka tanggalkan, seluruh harta mereka tinggalkan, dan yang tersisa hanyalah mereka dan amal mereka. Oleh karenanya saya ingatkan bahwa kesuksesan yang sesungguhnya adalah kesuksesan di akhirat. Jika sukses dunia dan akhirat bisa diraih, maka ini lebih bagus. Namun jika hanya salah satunya, maka sukseslah di akhirat, dan jangan sampai sukses di dunia namun merugi di akhirat.
Maka dari sini kita sadar tentang pentingnya pembahasan muhasabah. Para ulama menjelaskan bahwasanya muhasabah adalah langkah awal agar kita memperbaiki diri kita. Dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa meninggalkan muhasabah adalah di antara sebab seseorang mudah bermaksiat kepada Allah Swt. Orang yang hilang dari dirinya muhasabah, maka dia akan terus berjalan menjalani hari-hari tanpa kepedulian, hingga akhirnya mudah baginya terjerumus ke dalam kemaksiatan.
Posting Komentar untuk "Muhasabah Jiwa"
Terimakasih atas kunjungan anda...