Istidlal Ahlus Sunnah Antara Naql dan 'Aql
Metode Istidlal Naql dan 'Aql
Manhaj Ahlussunnah mengharuskan untuk mengedepankan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dari selainnya dan memerintahkan untuk selalu berpegang teguh kepada keduanya, sebagaimana firman Allah : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya, demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (Q.S. 3:103).Yang dimaksud dengan tali Allah adalah Al-Qur’an sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Suraih Al-Khazza’I berkata: Rasulullah keluar menemui kami dan bersabda, “Kabar gembira, Kabar gembira, bukankah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku adalah Rasul-Nya?. Sahabat menjawab; Ya. Beliau berkata, “ Sesungguhnya Al-Qur’an adalah tali yang satu ujungnya ditangan Allah dan ujungnya yang lain ditangan kamu, maka berpeganglah dengannya. Sesungguhnya kamu tidak akan tersesat dan binasa selama-lamanya.” (H.R.Ibnu Hibban).
Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala urusan dan permasalahan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59).
Imam Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Mujahid dan lainnya tentang maksud ayat diatas mereka berkata,” Ini perintah Allah untuk mengembalikan semua permasalahan yang diperselisihkan baik pada masalah dasar-dasar agama atau cabangnya kepada Al-Qur’an dan sunnah”, (Tafsir Ibnu Katsir I/ 338).
Mafhumnya, menunjukkan larangan untuk menyandarkan permasalahan hanya kepada akal semata, karena hanya akan membuat kebinasaan. Sahl bin Hunaif berkata, “Tuduhlah akalmu, saya telah menyaksikan peristiwa Abi jandal, kalau saja boleh saya membantah keputusan Rasulullah, niscaya saya akan lakukan. Demi Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” (H.R. Bukhari).Begitu juga ketika membuat keputusan hendaknya dilandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana firman Allah, “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Rabbku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali. (Q.S. 42:10).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga melarang berbuat dan berkata tanpa didasari dengan ilmu dan argumentasi yang benar dari Al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana firman-Nya,” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya." (Q.S. 17:36).
Dan orang yang berkata dalam masalah agama tanpa dalil, berarti berkata atas nama Allah tanpa ilmu dan ini dilarang oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, “ Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (Q.S.2:169).
Begitu juga ketika seseorang berfatwa dan memberikan jawaban dalam masalah agama tanpa dalil yang benar, maka fatwa atau jawabannya hanya akan menyesatkan saja. Rasulullah bersabda, “ Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengambil ilmu dari manusia dengan mencabutnya, tetapi dengan mewafatkan para ulama’, dan ilmu akan ikut hilang bersamanya. Dan akan tinggal bersama manusia pemimpin-pemimpin bodoh yang berfatwa tanpa ilmu, maka dia telah tersesat dan akan menyesatkan.” (H.R.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amru bin Ash).
Al-Qur’an tidaklah diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali untuk dijadikan petunjuk oleh manusia, sehingga mereka mendapatkan keselamatan dan kebahagian dalam hidupnya baik di dunia dan di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “ Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mereka mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran.” (Q.S. Shaad: 29).
Ketika Umar bin Khattab memilih pegawai beliau mengangkat orang yang mempunyai ilmu yang tinggi tentang Al-Qur’an dan Sunnah. seperti yang dilakukannya pada Ibnu Abzi seorang budak yang diangkatnya menjadi pemimpin untuk ahlul wadi. Ketika ditanya mengapa mengangkat seorang budak menjadi pemimpin?, beliau menjawab, “Dialah yang paling bagus bacaan Al-Qur’annya, paling bisa dalam ilmu waris, bukankah Rasulullah telah bersabda, “ Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebuah kaum dengan Al-Qur’an dan merendahkan yang lain dengannya.” (H.R. Imam Muslim).
Mengamalkan Al-Qur’an juga mendatangkan keberuntungan dan rahmat dari Allah, sebagaimana firmanNya, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (Q.S. Al-An’am: 155). Ibnu Abbas Ra, berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjamin mereka yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, tidak akan tersesat di dunia dan tidak menderita di akhirat, kemudian beliau membaca ayat ini”, (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juz 19 hal. 77).
Adapun perintah mentaati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, disebutkan empat puluh kali dalam Al-Qur’an. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juz 19 hal. 83). Seperti firman Allah, “ Katakanlah; “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.3: 31).
Di waktu haji wada’ Rasulullah bersabda, “ Aku tinggalkan padamu yang kalau kamu berpegang teguh padanya tidak akan tersesat selama-lamanya; Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya.” (H.R. Imam Muslim). Al-Qur’an dan Sunnah merupakan wasiat yang paling besar yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Aufa ketika beliau ditanya; apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berwasiat?. Beliau berkata, “Ketika Nabi berada di tengah perjalanan menuju Madinah selesai melakukan haji wada’ beliau berwasiat dengan sabdanya, “ Saya tinggalkan padamu dua yang berat; pertama, kitabullah yang didalamnya ada petunjuk dan cahaya, dia tali Allah, barangsiapa yang mengikutinya maka dia akan mendapatkan petunjuk, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia akan tersesat. Beliau terus menganjurkan yang demikian dan berkata; keluargaku, aku peringatkan kamu pada keluargaku, beliau mengulanginya tiga kali.” (H.R. Imam Muslim).
Al-Qur’an memerintahkan untuk selalu berkumpul dalam kebenaran dan melarang berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “ (Q.S. Ali Imran: 103). Ibnu Katsir berkata, “Allah menyuruh mereka untuk berjama’ah (bersatu) dan melarangnya dari perpecahan dan banyak sekali hadits yang melarang berpecah-belah dan memerintahkan untuk berjama’ah.
Sebagaimana sabda Nabi, “ Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai dari kamu tiga perkara dan membenci darimu tiga perkara. Dia
Menyukai darimu untuk menyembahNya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Berpegang teguh pada tali Allah, dan jangan berpecah belah dan membenci dari kamu banyak bicara, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta”, (H.R. Imam Muslim dari Abu Hurairah).
Juga memerintahkan untuk selalu mengikuti petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. 4:115) Maksudnya barangsiapa yang mengamalkan syariat yang bukan syariat yang dibawa oleh Rasulullah dengan cara sengaja, padahal sudah jelas baginya kebenaran dan menempuh jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka akan dibalas dengan balasan seperti yang tersebut di atas, (Tafsir Ibnu KatsirI/ 3361).
Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah akan menyelamatkan dari fitnah. Irbadh bin Saariyah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama kami suatu hari. Beliau menghadapkan mukanya kepada kami dan memberikan nasihat yang sangat menyentuh, sampai kami meneteskan air mata dan menggetarkan hati. Seorang berkata; Ya Rasulullah, sepertinya nasihat perpisahan, apa yang engkau pesan pada kami?. Beliau bersabda, “Kami wasiatkan padamu sekalian untuk bertakwa kepada Allah. Selalu mendengar dan mentaati pemimpin, sekalipun seorang hamba habasy. Sesungguhnya barangsiapa yang hidup di antara kamu akan menyaksikan setelahku perpecahan yang banyak. Maka ikutilah tuntunanku dan tuntunan Khulafaa’urrsyidin setelahku. Dan berpegangteguhlah dengannnya dan gigitlah dengan gerahangmu dan jangan sekali-kali melakukan sesuatu yang baru dalam urusan agama, karena setiap yang baru dalam masalah agama adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.” (H.R. Abu Daud, Kitabussunnah, bab fii luzuumi Assunnah, No; 4607 dan Tirmidzi, Kitabul ilmi, bab Al’akhzi bissunnah No;2676).
Sejarah juga mencontohkan bagaimana ketaatan sahabat kepada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membuahkan kemenangan yang gemilang. Itu terjadi ketik perjanjian Hudaibiyah yaitu ketika Suhail bin Amru melarang Nabi menulis namanya dengan nama Muhammad Rasulullah dan Nabi menggantinya dengan menulis Muhammad bin Abdullah. Kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan, orang muslimin harus mengembalikan orang musyrik yang masuk Islam, dan tidak mengembalikan orang muslim yang ikut orang musyrik. Melihat persyaratan yang semuanya memberatkan kaum muslimin dan menguntungkan orang musyrik itu, para sahabat marah, termasuk Umar bin Khattab berkata, “Bukankah kita dalam kebenaran dan mereka dalam kebatilan? Kenapa kita membiarkan agama dihina?. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Saya adalah utusan Allah, tidak mungkin saya menentang-Nya dan Dialah yang akan menolongku”. Ketika Nabi memerintahkan setiap orang untuk menyembelih ontanya dan mencukur rambutnya masing-masing. Kemudian beliau masuk menemui Umu Salamah dan menceritakan permasalahannya. Ummu Salamah menyuruh Rasulullah menyembelih ontanya dan mencukur rambutnya. Melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan itu, seluruh sahabat mengikutinya, (H.R.Bukhari dan Muslim).
Peristiwa ini menjadi awal kemenangan bagi kaum muslimin, terbukti pada tahun kedelapan kaum muslimin bisa menaklukkan kota Makkah dan orang-orang berbondong-bondong masuk Islam sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya,” dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong," (Q.S. 110:2). Semuanya ini karena kepatuhan sahabat dalam menjalani perintah Rasulullah, yang sekaligus menunjukkan loyalitas sahabat kepada Rasulullah walaupun dalam keadaan yang genting.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berlindung dari fitnah dan memerintahkan untuk selalu tetap dalam jamaah bersama orang muslim. Beliau menjelaskan tidak datang suatu masa kecuali setelahnya itu lebih jelek dari sebelumnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Dzubair bin Adi berkata; saya mendatangi Anas bin Malik mengadukan kekejaman Hajjaj bin Yusuf. Anas berkata; Bersabarlah, sesungguhnya tidak datang kepadamu satu masa kecuali yang setelahnya lebih jelek darinya sampai engkau menemui Tuhanmu. Itulah yang saya dengar dari Rasulullah.” (H.R. Bukhari).
Sebelum terjadi fitnah Rasulullah menganjurkan untuk segera melakukan kebajikan agar tidak dihalang dan disibukkan olehnya. Rasulullah, “ Bersegeralah kamu melakukan kebaikan, sebelum muncul fitnah laksana malam yang gelam gulita, di waktu pagi seorang beriman, tetapi waktu sore mereka kafir atau di waktu sore mereka beriman, di waktu pagi mereka kafir. Ia menjual agamanya dengan sebagian dari urusan dunia (H.R. Imam Muslim).
Dalam keadaan seperti itu orang yang duduk lebih baik dari yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik dari yang berlari. Barangsiapa yang mendapatkan jalan untuk melindungi dirinya maka hendaknya dia melakukannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dan jalan untuk melindungi diri dari fitnah tersebut adalah berpegang teguh pada Kitab dan Sunnah.
Menyalahi Kitab dan Sunnah adalah sumber malapetaka bagi kaum muslimin di dunia dan di akhirat. Allah berfirman,” Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".
Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat" Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan". (QS.20:124-126). Rasulullah Saw bersabda, “Dijadikan kehinaan dan kekerdilan bagi orang yang menyelisihi perintahku, barangsiapa yang meyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongannya”, (H.R. Imam Ahmad dari Ibnu Umar).
Juga Rasulullah bersabda, “Semua umatku akan masuk ke surga kecuali yang enggan. Sahabat bertanya; siapa mereka yang enggan Ya Rasulullah?. Beliau bersabda, “Siapa yang mentaatiku akan masuk ke surga, dan siapa yang menentangku akan masuk ke neraka”, (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “ Wajib bagi setiap muslim untuk tidak berbicara pada masalah agama kecuali mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi, tidak mendahuluinya tetapi melihat sabda Nabi sehingga perkataannya mengikuti perkataan Nabi dan perbuatannya mengikuti perbuatan Nabi. Begitulah yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’iin dan orang-orang yang mengikutinya.
Itulah sebabnya tidak seorangpun di antara mereka yang menyalahi nash dengan akalnya. Mereka tidak menyandarkan agamanya pada bukan yang dibawa oleh Nabi. Apabila mereka ingin mengetahui sesuatu dari agama, mereka merujuk kepada perkataan Allah dan Rasul-Nya. Dengan itu mereka belajar, berbicara dan berdalil dan inilah manhaj Ahlussunnah’, (Majmu’ Fatawa, 13/ 63).
Perbedaan hanya membuat perpecahan dan permusuhan. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyerupai orang yang bercerai berai dan berselisih, setelah datang keterangan yang jelas pada mereka, mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”, (Q.S.3:105).
Rasulullah Saw juga menjelaskan bahwa orang Yahudi terpecah menjadi tujuhpuluh satu golongan, orang Nashrani terpecah menjadi tujuhpuluh dua golongan, dan akan terpecah umat ini (Islam) menjadi tujuhpuluh tiga, semuanya di neraka kecuali satu. Sahabat bertanya; siapa mereka Ya Rasulullah?. Beliau berkata, “ Siapa yang mengikuti aku dan sahabatku”. Dalam riwayat lain”Mereka itu al-Jama’ah”. Yaitu mereka yang selalu mencontohi beliau dan sahabatnya (H.R. Tirmidzi).
Ketika menghadapi perpecahan seperti di atas, Rasulullah Saw memerintahkan untuk selalu bersama jamaah kaum muslimin dan pemimpinnya dan kalau tidak terdapat jamaah kaum muslimin, beliau memerintahkan untuk beruzlah (mengasingkan diri) dari kelompok-kelompok itu semuanya, walaupun harus berpegang hanya pada akar pohon sampai Allah mencabut ajal tetap dalam keadaan demikian’, (Muttafaq Alaih).
Imam Nawawi berkata, “ Hadits ini memerintahkan untuk selalu bersama jamaah kaun muslimin dan pemimpin mereka dan wajib mentatinya, sekalipun dia fasik, melakukan maksiat, mengambil harta, dan lainnya, wajib mentaatinya selama tidak memerintahkan dalam kemaksiatan”, (Syarah Nawawi Ala shahih Muslim juz 12 hal. 479).
Dan yang akan bisa selalu kokoh dan bertahan hanyalah umat Muhammad yang mengikuti beliau. Itulah yang disebut dengan Thaifah Manshurah (golongan yang mendapat pertolongan). Tidak akan ada yang mampu menggoyahkan mereka dan menyalahi mereka sampai hari kiamat. Sebagaimana sabda Nabi, “ Senantiasa sekelompok dari umatku tegak dalam perintah Allah, mereka tidak goyah dengan mereka yang menyelisihinya, sampai datang keputusan Allah mereka senantiasa tampil di tengah-tengah manusia” (Muttafaq Alaih). Semoga kita sekalian termasuk dalam golongan mereka, Aamiiin!.
Posting Komentar untuk "Istidlal Ahlus Sunnah Antara Naql dan 'Aql"
Terimakasih atas kunjungan anda...