Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kaidah Sunnah Tarkiyyah

Perbuatan Nabi Saw termasuk rujukan dalam penetapan hukum syar'i, apabila Beliau mengerjakan perbuatan tersebut dalam rangka pensyariatan, demikian juga, apa yang Beliau tinggalkan pun menjadi rujukan dalam pensyariatan dan kaidah yang sedang kita bahas ini adalah berkaitan dengan apa-apa yang Beliau tinggalkan tersebut.

Kaidah Sunnah Tarkiyyah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang seharusnya bisa dan mudah dikerjakan oleh Nabi Saw, namun Beliau tidak melakukannya tanpa unsur paksaan, maka kita juga harus meninggalkan perbuatan itu dalam rangka beribadah kepada Allah Ta'ala, karena apabila perbuatan tersebut disyariatkan, tentu Nabi Saw tidak meninggalkannya.

Sesungguhnya Nabi Saw telah menyampaikan syariat kepada umatnya dengan tuntas dan jelas, Allah juga telah menyempurnakan agama ini dengan perantaraan Nabi-Nya, sehingga tidak ada satu kebaikan pun kecuali Beliau Saw telah menunjukkannya, dan tidak ada satu keburukan pun kecuali Beliau telah memperingatkan umat darinya.

Oleh karena itu, tindakan Beliau yang meninggalkan suatu perbuatan itu juga merupakan salah satu bentuk pensyariatan sebagaimana tindakan Beliau yang mengerjakan sesuatu, sebagaimana kita mengikuti Beliau dalam perbuatan Beliau, maka kita juga mencontoh Beliau dengan meninggalkan apa yang Beliau tinggalkan, terutama perbuatan yang Beliau mampu mengerjakannya, namun ternyata Beliau tinggalkan, padahal tidak ada yang menghalangi Beliau dari melakukannya, karena Beliau adalah contoh; suri teladan dan pemimpin kita.

Allah berfirman : "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Q.S. Al-Ahzab/33:21).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di berkata ketika menafsirkan ayat ini, "Maka keteladanan yang baik itu ada pada diri Rasulullah Saw, sesungguhnya orang yang mengikuti Beliau telah menempuh jalan yang mengantarkan kepada kemuliaan di sisi Allah dan itulah jalan yang lurus." (Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Cet. I, Tahun 1423 H/ 2002 M, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlm. 661).

Aplikasi Kaidah Sunnah Tarkiyyah

Kaidah ini bisa diaplikasikan dalam banyak permasalahan, berikut ini sekedar beberapa contoh darinya :

1. Sebagian pengikut tarekat shufiyah dan pengagung kuburan mengkaim bahwa thawaf di sekitar kuburan termasuk ibadah yang disyariatkan. Kita katakan bahwa di zaman Nabi Saw telah ada kuburan, bahkan Beliau melakukan ziarah kubur dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Akan tetapi Beliau tidak pernah thawaf (mengelilingi) kuburan, padahal sebab dan pendorongnya telah ada ketika itu. Ketika Beliau tidak mengerjakannya, ini menunjukkan bahwa yang disyariatkan adalah tidak thawaf di kuburan. Jika perbuatan itu termasuk ibadah tentu Beliau tidak akan meninggalkannya. Tatkala Beliau tidak mengerjakannya, itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan ibadah yang disyariatkan, bahkan masuk dalam keumuman.  Allah berfirman : "Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (Q.S. Asy-Syura/42:21).

2. Sebagian orang menyatakan tentang disyariatkannya dzikir jama'i, yaitu dzikir yang dilakukan bersama-sama dengan satu suara. Jika kita perhatikan, amalan tersebut termasuk amalan yang ada, sebabnya di zaman Nabi Saw yaitu Beliau dan para Shahabat melaksanakan shalat berjamaah kemudian berdzikir setelahnya. Namun, tidak pernah dinukil bahwa Beliau memerintahkan para Shahabat untuk berdzikir secara bersama-sama dengan satu suara, sekiranya perbuatan tersebut termasuk amal ibadah yang disyariatkan tentu Beliau mengerjakan dan memerintahkannya. Tatkala Beliau tidak mengerjakannya, ini menunjukkan bahwa amalan tersebut tidak termasuk ibadah yang disyariatkan.

3. Sebagian orang beranggapan bahwa bersiwak ketika memasuki masjid secara khusus disunnahkan, apabila sebagian Ulama' madzhab Hanabilah berpendapat akan disunnahkannya bersiwak ketika masuk masjid dengan dalil qiyas kita cermati, amalan tersebut telah ada sebabnya di masa Nabi Saw, karena ketika itu siwak telah ada dan Beliau sangat sering memasuki masjid, namun bersamaan dengan itu tidak ada nukilan yang menjelaskan bahwa Beliau bersiwak ketika masuk masjid. Oleh karena itu, tidak sepantasnya meyakini keutamaan bersiwak ketika itu secara khusus, bahkan bersiwak disunnahkan di setiap waktu.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah Ra, Nabi Saw bersabda : "Siwak itu menyucikan mulut dan mendatangkan keridhaan Allah." (H.R. Al-Bukhari secara mu'allaq, An-Nasa'i No. 5, Ibnu Majah No. 289, Imam Ahmad No. 23072).

4. Sebagian makmum dalam shalat mengucapkan اِ ْ ستَ َ عنّا ِ بِ ِ لل atau ِ بِللِ أَستَعُِْ ي ketika imam membaca إِّ يَّ َ ك نَْ عبُُ د وإِّ يَّ َ ك نَ ْ ستَعِ ُ ي, Jika kita perhatikan, ucapan tersebut telah ada pendorongnya di zaman Nabi Saw, karena Beliau Saw biasa melaksanakan terhadap kesunnahan bersiwak ketika masuk rumah. (Lihat Syarh Zad ai-Mustaqni' karya Syaikh Hamd bin Abditlah Al-Hamd).

Shalat berjamaah bersama para Shahabat, namun Beliau tidak pernah memerintahkan Shahabat untuk mengucapkannya, seandainya perkataan tersebut termasuk sunnah, tentulah Beliau memerintahkan dan mengerjakannya, ketika Beliau Saw tidak memerintahkan dan tidak pula mengerjakannya, itu menunjukkan bahwa yang diyari'atkan adalah tidak melakukannya.

5. Sebagian orang melaksanakan puasa pada bulan Rajab seluruhnya atau sebagiannya dengan meyakini keutamaan khusus padanya. ini adalah suatu amalan yang telah ada sebabnya di zaman Nabi Saw, namun tidak pernah dinukil bahwa Beliau mengerjakannya, ini menunjukkan bahwa yang disyariatkan adalah meninggalkannya.

Mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa hukumnya makruh, karena hal itu termasuk syi'ar orang-orang jahiliyah, mereka dahulu sangat mengagungkan bulan Rajab apabila seseorang berpuasa pada bulan Rajab disertai puasa pada bulan lainnya, maka tidak dimakruhkan, karena ketika itu ia tidak dianggap mengkhususkan bulan tersebut untuk berpuasa. (Kitab Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhau' Al-Kitab wa As-Sunnah, Nukhbah min Al-'Ulama', 1424 H, Majma' Al-Malik Fahd li Taba'at Al-Mus-haf As-Syarif, Al-Madinah Al-Munawwarah, hlm. 164-165).

Dengan beberapa contoh di atas, kiranya substansi kaidah ini telah menjadi jelas, intinya ketika seseorang mendapati suatu amalan yang diklaim sebagai amalan yang bisa mendekatkan kepada Allah Ta'ala, maka hendaklah ia melihat apakah amalan itu pernah dilakukan oleh Nabi Saw?

Jika Beliau Saw pernah melakukannya atau memerintahkannya, maka tidak ada masalah jika dia mengamalkannya, namun jika ternyata tidak pernah dilakukan Nabi Saw dan tidak pernah Beliau perintahkan, padahal sebab pendorongnya telah ada, maka hal itu menunjukkan bahwa yang disyariatkan adalah meninggalkan amalan tersebut.

Posting Komentar untuk "Kaidah Sunnah Tarkiyyah"