Hadist Tentang Terlarangnya Melihat Kemaluan Isteri Palsu?
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, bahwa beliau bersabda : “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istri atau budaknya, maka janganlah dia melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan kebutaan.”
Hadits ini dihukumi oleh para ulama Ahli hadits sebagai hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Baqiyyah bin Al-Walid, dia banyak mentadlis (menyamarkan) riwayat dari perawi-perawi yang lemah (Lihat Taqribut Tahdzib hlm 126) dan hadits ini termasuk di antaranya.
Imam Ibnu Hibban berkata, "Baqiyyah (ini) biasa meriwayatkan hadits dari para pendusta maupun perawi-perawi yang terpercaya, kemudian dia mentadlis (menyamarkan)nya...Hadits ini didengarnya dari perawi yang lemah, dari Ibnu Juraij, kemudian dia menyamarkannya." (Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'at II/271).
Imam Abu Hatim Ar-Razi menghukumi hadits ini sebagai hadits yang palsu dan tidak ada asalnya, demikian pula Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnul Jauzi, Adz-Dzahabi dan Al-Albani dan para ulama Ahli hadits lainnya. (Lihat llalul Hadits II/295, Al-Kamil II/75, Al-Maudhu'at II/271, Mizanul I'tidal I/333 dan Adh-Dha'ifah I/351, No. 195).
Sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini, karena melihat di jalur sanad yang lain ada riwayat yang tidak terdapat tadlis padanya, tapi ini adalah kekeliruan dari para perawi yang meriwayatkan dari Baqiyyah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Abu Hatim Ar-Razi dan dibenarkan oleh Imam Adz-Dzahabi dan Al-Albani.
Hadits ini adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya, hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra dari Rasulullah Saw, dikeluarkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam Al-Maudha'at 11/271.
Hadits ini juga sangat lemah atau bahkan palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin Abdur Rahman Al-Qusyairi. Imam Ibnu Adi berkata tentangnya, "Haditsnya munkar (sangat lemah)". Imam Adz-Dzahabi berkata, "Dia tertuduh (memalsukan hadits) dan tidak terpercaya." (Lihat Mizanul I'tidal III/62 3-624).
Hadits riwayat Abu Hurairah ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Ibnul Jauzi dan Syaikh Al-Albani, makna hadits diatas juga diriwayatkan dari ucapan istri Rasulullah Saw, Aisyah Ra, beliau berkata, "Aku sama sekali tidak pernah melihat aurat Rasulullah Saw.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jamul Ausath 11/349 dan Al-Mu'jamush Shaghir 1/100 dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad IV/225.
Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Barakah bin Muhammad Al-Hubulli, Imam Ad-Daraquthni dan Al-Hakim mengatakan bahwa dia selalu memalsukan hadits. (Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Kitab Lisanul Mizan II/8).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu yang diriwayatkan oleh perawi ini, demikian pula Syaikh Al-Albani, hadits ini juga diriwayatkan dari dua jalur lain, tapi jalur yang pertama lemah dan jalur yang kedua palsu. (Lihat Adabuz Zifaf hlm. 37 pada catatan kaki).
Ada hadits lain yang semakna dengan hadits di atas, tentang larangan berhubungan intim dalam keadaan bertelanjang dari 'Utbah bin Abdin As-Sulami dari Rasulullah Saw dengan lafazh, "Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istrinya, maka hendaknya dia memakai (kain) penutup dan janganlah keduanya bertelanjang seperti telanjangnya keledai liar."
Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur, semuanya lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan dihukumi sebagai hadits lemah dan munkar oleh Imam An-Nasa'i, Al-Baihaqi, Al-Iraqi, Al-Bushiri dan Syaikh Al-Albani.
Kesimpulannya, hadits di atas adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya, demikian juga hadits yang semakna dengannya, semua lemah dan palsu, maka hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum untuk melarang suami atau istri melihat aurat atau kemaluan pasangannya.
Bahkan larangan ini sangat bertentangan dengan pemahaman fiqh yang benar, Syaikh Al-Albani berkata, "Pandangan (pemahaman) yang benar menunjukkan batil (rusak)-nya (makna) hadits ini, karena larangan melihat (aurat/kemaluan) ketika bersenggama berarti larangan terhadap pengantar (untuk melakukan senggama).
Jika Allah Ta'ala telah menghalalkan bagi seorang suami untuk mengumpuli istrinya, maka apakah masuk akal kalau Allah melarang suami tersebut untuk melihat kemaluan istrinya? (Silsilatul Ahaditsi Adh-Dhaifah wa Al-Maudhu'ah (1/353).
Kemudian larangan dalam hadits palsu di atas bertentangan dengan hadits shahih riwayat Aisyah Ra istri Rasulullah Saw, bahwa dia dan Rasulullah Saw pernah mandi bersama dari satu bejana. (H.R. Al-Bukhari No. 258 dan Imam Muslim No. 319).
Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan kandungan hadits shahih ini, beliau berkata: "(Imam) Ad-Dawudi berargumentasi dengan hadits ini tentang bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya, demikian pula sebaliknya.
Kebolehan ini dikuatkan dengan riwayat Imam Ibnu Hibban dari jalur Sulaiman bin Musa, bahwa dia pernah ditanya tentang (hukum) seorang suami melihat kemaluan istrinya? Maka, Sulaiman bin Musa berkata, "Aku pernah bertanya kepada Atha’ (tentang hal ini) dan dia berkata, Aku pernah bertanya kepada Aisyah Ra istri Rasulullah Saw tentang hal ini, maka Aisyah Ra menyebutkan hadits ini."
Dengan demikian, hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang kebolehan perkara ini (melihat kemaluan isteri atau sebaliknya." (Fathul Bari I/290). Wallahu a'lam.
Hadist Di Larang Melihat Kemaluan Isteri Palsu?
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 1/202, Ibnu Adi dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu'afa 11/75 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'at 11/271 dari jalur Hisyam bin Khalid, dari Baqiyyah bin Al-Walid, dari Ibnu Juraij, dari 'Atha' dari 'Abdullah bin Abbas Ra dari Rasulullah Saw.Hadits ini dihukumi oleh para ulama Ahli hadits sebagai hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Baqiyyah bin Al-Walid, dia banyak mentadlis (menyamarkan) riwayat dari perawi-perawi yang lemah (Lihat Taqribut Tahdzib hlm 126) dan hadits ini termasuk di antaranya.
Imam Ibnu Hibban berkata, "Baqiyyah (ini) biasa meriwayatkan hadits dari para pendusta maupun perawi-perawi yang terpercaya, kemudian dia mentadlis (menyamarkan)nya...Hadits ini didengarnya dari perawi yang lemah, dari Ibnu Juraij, kemudian dia menyamarkannya." (Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'at II/271).
Imam Abu Hatim Ar-Razi menghukumi hadits ini sebagai hadits yang palsu dan tidak ada asalnya, demikian pula Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnul Jauzi, Adz-Dzahabi dan Al-Albani dan para ulama Ahli hadits lainnya. (Lihat llalul Hadits II/295, Al-Kamil II/75, Al-Maudhu'at II/271, Mizanul I'tidal I/333 dan Adh-Dha'ifah I/351, No. 195).
Sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini, karena melihat di jalur sanad yang lain ada riwayat yang tidak terdapat tadlis padanya, tapi ini adalah kekeliruan dari para perawi yang meriwayatkan dari Baqiyyah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Abu Hatim Ar-Razi dan dibenarkan oleh Imam Adz-Dzahabi dan Al-Albani.
Hadits ini adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya, hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra dari Rasulullah Saw, dikeluarkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam Al-Maudha'at 11/271.
Hadits ini juga sangat lemah atau bahkan palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin Abdur Rahman Al-Qusyairi. Imam Ibnu Adi berkata tentangnya, "Haditsnya munkar (sangat lemah)". Imam Adz-Dzahabi berkata, "Dia tertuduh (memalsukan hadits) dan tidak terpercaya." (Lihat Mizanul I'tidal III/62 3-624).
Hadits riwayat Abu Hurairah ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Ibnul Jauzi dan Syaikh Al-Albani, makna hadits diatas juga diriwayatkan dari ucapan istri Rasulullah Saw, Aisyah Ra, beliau berkata, "Aku sama sekali tidak pernah melihat aurat Rasulullah Saw.
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jamul Ausath 11/349 dan Al-Mu'jamush Shaghir 1/100 dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad IV/225.
Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang bernama Barakah bin Muhammad Al-Hubulli, Imam Ad-Daraquthni dan Al-Hakim mengatakan bahwa dia selalu memalsukan hadits. (Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Kitab Lisanul Mizan II/8).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu yang diriwayatkan oleh perawi ini, demikian pula Syaikh Al-Albani, hadits ini juga diriwayatkan dari dua jalur lain, tapi jalur yang pertama lemah dan jalur yang kedua palsu. (Lihat Adabuz Zifaf hlm. 37 pada catatan kaki).
Ada hadits lain yang semakna dengan hadits di atas, tentang larangan berhubungan intim dalam keadaan bertelanjang dari 'Utbah bin Abdin As-Sulami dari Rasulullah Saw dengan lafazh, "Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istrinya, maka hendaknya dia memakai (kain) penutup dan janganlah keduanya bertelanjang seperti telanjangnya keledai liar."
Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur, semuanya lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dan dihukumi sebagai hadits lemah dan munkar oleh Imam An-Nasa'i, Al-Baihaqi, Al-Iraqi, Al-Bushiri dan Syaikh Al-Albani.
Kesimpulannya, hadits di atas adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya, demikian juga hadits yang semakna dengannya, semua lemah dan palsu, maka hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum untuk melarang suami atau istri melihat aurat atau kemaluan pasangannya.
Bahkan larangan ini sangat bertentangan dengan pemahaman fiqh yang benar, Syaikh Al-Albani berkata, "Pandangan (pemahaman) yang benar menunjukkan batil (rusak)-nya (makna) hadits ini, karena larangan melihat (aurat/kemaluan) ketika bersenggama berarti larangan terhadap pengantar (untuk melakukan senggama).
Jika Allah Ta'ala telah menghalalkan bagi seorang suami untuk mengumpuli istrinya, maka apakah masuk akal kalau Allah melarang suami tersebut untuk melihat kemaluan istrinya? (Silsilatul Ahaditsi Adh-Dhaifah wa Al-Maudhu'ah (1/353).
Kemudian larangan dalam hadits palsu di atas bertentangan dengan hadits shahih riwayat Aisyah Ra istri Rasulullah Saw, bahwa dia dan Rasulullah Saw pernah mandi bersama dari satu bejana. (H.R. Al-Bukhari No. 258 dan Imam Muslim No. 319).
Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan kandungan hadits shahih ini, beliau berkata: "(Imam) Ad-Dawudi berargumentasi dengan hadits ini tentang bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya, demikian pula sebaliknya.
Kebolehan ini dikuatkan dengan riwayat Imam Ibnu Hibban dari jalur Sulaiman bin Musa, bahwa dia pernah ditanya tentang (hukum) seorang suami melihat kemaluan istrinya? Maka, Sulaiman bin Musa berkata, "Aku pernah bertanya kepada Atha’ (tentang hal ini) dan dia berkata, Aku pernah bertanya kepada Aisyah Ra istri Rasulullah Saw tentang hal ini, maka Aisyah Ra menyebutkan hadits ini."
Dengan demikian, hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang kebolehan perkara ini (melihat kemaluan isteri atau sebaliknya." (Fathul Bari I/290). Wallahu a'lam.
Posting Komentar untuk "Hadist Tentang Terlarangnya Melihat Kemaluan Isteri Palsu?"
Terimakasih atas kunjungan anda...