12 Hal Yang Wajib Di Lakukan Oleh Orang Yang Sedang Sakit
Pertama : Bagi orang yang sedang sakit, hendaknya ia rela dengan apa yang telah menjadi ketentuan Allah, ia juga harus berlaku sabar atas apa yang telah ditakdirkan-Nya dan hendaknya berbaik sangka terhadap Rabb-nya.
Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh mengagumkan perkara orang mukmin karena semua urusannya adalah baik, dan hal itu tidak dimiliki seorangpun kecuali hanya orang mukmin, jika ia ditimpa kebaikan kemudian bersyukur, maka itu kebaikan untuknya dan bila ia ditimpa keburukan kemudian bersabar, maka itu pun kebaikan baginya."
"Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali berbaik sangka terhadap Allah Ta'ala." Kedua hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Muslim, Al-Baihaqi dan Imam Ahmad.
Kedua : Orang yang tengah sakit hendaknya selalu dalam kondisi antara takut dan penuh pengharapan (harap-harap cemas), merasa takut akan azab Allah akibat dosa yang dilakukannya dan mengharap akan rahmat-Nya.
Sikap seperti ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang diberitakan oleh Anas Ra, "Suatu ketika Rasulullah Saw datang menengok seorang pemuda yang tengah menghadapi kematian, maka beliau bertanya, 'Bagaimana engkau dapati dirimu?' Pemuda itu menjawab, 'Demi Allah, wahai Rasulullah, saya ini dalam keadaan yang sangat mengharap rahmat Allah dan merasa sangat takut akan (beban) dosa-dosaku.
Rasulullah Saw kemudian bersabda, 'Tidaklah kedua perasaan yang demikian itu menyatu dalam hati seorang hamba dalam keadaan yang demikian kecuali pastilah Allah akan menganugerahinya apa yang dimintanya dan menenteramkannya dari rasa takutnya.'" (H.R. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abdullah Ibnu Ahmad dan Ibnu Abid Dunya).
Ketiga : Bagaimanapun parah sakitnya, seseorang dilarang untuk mengharapkan kematian. Ummu Fadhl Ra, ia berkata, "Suatu ketika Rasulullah Saw datang menjenguk, lalu mendapatkan Abbas, paman beliau, tengah mengeluh sehingga mengharap kematian, maka Rasul pun berkata kepadanya, "Wahai Paman, janganlah engkau (sekali-kali) menginginkan kematian, karena bila engkau seorang yang banyak berbuat kebaikan, lalu diundurkan kematianmu, engkau akan semakin menambah kebaikan dan itu lebih baik bagimu dan bila engkau banyak berbuat keburukan lalu diundurkan ajalmu dan kemudian engkau bertobat dari dosa-dosamu, maka yang demikian adalah lebih baik bagimu, oleh karena itu, janganlah engkau menginginkan kematian." (H.R. Bukhari, Muslim dan Al-Hakim) dan lainnya dari hadits Anas bin Malik Ra secara marfu' sanadnya, didalam riwayat tersebut disebutkan sebagai berikut, "Dan apabila harus engkau lakukan (yakni mengharap mati), maka hendaknya ia berucap, 'Ya Allah, hidupkanlah hamba bila hidup itu lebih baik untukku dan matikanlah hamba bila mati itu lebih baik untukku."
Keempat : Apabila ada kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, hendaklah ia segera tunaikan kepada pemilik-pemiliknya bila hal itu mudah dilakukan, namun bila tidak, hendaknya ia berwasiat mengenai hal itu.
Rasulullah Saw telah bersabda, "Barangsiapa yang terdapat padanya kezaliman terhadap saudaranya berupa kehormatan atau hartanya, maka hendaknya ia mengembalikannya sebelum tiba hari kiamat, di mana tidak berlaku lagi dinar atau dirham. Bila ia memiliki amal kebaikan (amal saleh) maka akan diambil darinya dan diberikan kepada yang berhak, namun bila tak memiliki amal shaleh, maka akan diambil keburukan si pemilik hak dan dibebankan tanggungjawabnya kepadanya." (H.R. Bukhari dan Al-Baihaqi).
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda, "Tahukah kalian, siapakah orang yang pailit (bangkrut) itu? Para sahabat menjawab, 'Orang yang pailit adalah yang tidak memiliki uang ataupun benda di antara kita.' Rasulullah Saw bersabda, 'Sesungguh-nya orang yang pailit dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalatnya, puasanya dan zakatnya, namun ia telah mencaci, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan telah memukul serta menyakiti orang lain, maka ia diberi kebaikan-kebaikannya dan bila kebaikannya telah habis sebelum melunasi kewajibannya, maka diambillah keburukan-keburukan mereka lalu dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.'" (H.R. Imam Muslim).
Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Ibnu Majah dan Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang meninggal sedang dia masih berutang, maka di sana tidak lagi berlaku dinar ataupun dirham akan tetapi yang ada adalah kebaikan dan keburukan."
Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir sebagai berikut : "Utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati sedang ia berniat membayarnya, maka akulah sebagai walinya, sedangkan siapa yang mati namun ia tidak berniat membayarnya, maka yang akan diambil dari semua kebaikannya, di mana pada saat itu tak ada dinar ataupun dirham."
Jabir bin Abdillah berkata, "Pada suatu malam menjelang terjadinya Perang Uhud, ayah memanggilku seraya berkata, 'Tidaklah aku melihat diriku kecuali sebagai orang yang pertama mati terbunuh dari para sahabat Rasulullah Saw dan aku tidak meninggalkan sesudahku yang lebih mulia daripada kau bagiku kecuali Rasulullah Saw, aku meninggalkan utang maka bayarkanlah dan saling berpesanlah dengan kebaikan bersama saudaramu.' Maka keesokan harinya, ternyata dialah orang pertama yang mati terbunuh...." (H.R. Imam Bukhari).
Kelima : Hendaklah menyegerakan untuk berwasiat sebagaimana sabda Rasulullah Saw : "Tidaklah bagi seseorang itu hak untuk menunda lebih dari dua malam sedang ia mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkannya, kecuali wasiat tertulis (terletak) disamping kepalanya." Ibnu Umar berkata, "Tidaklah setiap malam berlalu sejak aku mendengar sabda Rasulullah Saw tersebut kecuali aku telah siapkan wasiatku." (H.R. Bukhari, Muslim dan Ashabus-Sunan).
Keenam : Wajib baginya berwasiat untuk para kerabat yang tidak mewarisinya, berdasarkan firman Allah : "Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, ini adalah kewajiban atas orang orang yang bertaqwa." (Q.S. Al-Baqarah : 180).
Ketujuh : Ia berhak berwasiat dengan sepertiga hartanya dan tidak boleh lebih dari itu, bahkan lebih afdal kurang dari sepertiga berdasarkan hadits Sa'ad bin Abi Waqqash Ra, "Aku bersama Rasulullah Saw ketika melakukan haji wada' dan aku menderita sakit yang nyaris mengantarkanku pada kematian. Rasulullah Saw menjengukku dan aku katakan kepada beliau, Wahai Rasulullah, aku ini dianugerahi Allah harta dan tak ada pewaris kecuali seorang anak putri. Apakah aku boleh berwasiat dua pertiga dari hartaku?' Beliau menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya lagi, 'Bagaimana dengan setengahnya?' Beliau menjawab, 'Juga tidak.' 'Dan bagaimana bila sepertiga hartaku?' Beliau menjawab, ‘Ya sepertiga saja dan sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya wahai Sa'ad, bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik ketimbang engkau meninggalkan mereka dalam kondisi kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang-orang.' Kemudian beliau bersabda dengan menunjuk tangannya, 'Sesungguhnya engkau Sa'ad, engkau tidak menafkahkan sesuatu dengan mengharapkan keridhaan Allah Ta'ala kecuali engkau diganjar pahalanya meskipun makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.'" (H.R. Imam Ahmad, Bukhari dan Imam Muslim).
Ibnu Abbas Ra berkata, "Aku berharap kalau saja manusia dapat mengekang dari bersedekah sepertiga menjadi seperempat ketika berwasiat, sebab Nabi Saw telah menyatakan bahwa sepertiga adalah banyak."
Kedelapan : Hendaklah seseorang ketika berwasiat disaksikan oleh dua orang muslim yang adil dan dapat dipercaya, bila tidak ada, maka dua orang dari non muslim yang terpercaya, seperti yang ditegaskan Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an, "Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kamu menghadapi kematian sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah atas nama Allah jika kamu ragu-ragu. (Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang) walaupun dia karib kerabat dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa. Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang lain di antara ahli waris yang lebih berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah atas nama Allah, 'Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada kesaksian kedua saksi itu dan kami tidak akan melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian, tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Itu lebih dekat (untuk menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah dan bertaqwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya) Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Q.S. Al-Maa'idah : 106-108).
Kesembilan : Adapun memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang menjadi ahli waris tidaklah diperbolehkan, sebab hal ini telah di-mansukh-kan oleh ayat-ayat waris dan telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw dengan rinci, seperti yang dikemukakan beliau Saw ketika dalam Khutbah Wada', "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, maka tidak ada hak bagi ahli waris mendapatkan wasiat." (H.R. Abu Daud, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi).
Dalam hal ini, yang me-mansukh adalah Al-Qur'an, sedangkan, hadits Nabi Saw hanyalah sebagai penjelas seperti yang tampak pada Khutbah Wada', kebalikan dari apa yang diduga kebanyakan orang, bahwa yang me-mansukh adalah hadits.
Selain itu, di kalangan orang sekarang ada yang mencoba menabur keraguan seraya mendebat, bahwa hadits itu adalah riwayat ahad yang tidak ada kekuatan untuk me-munsukh Al-Qur'an, dakwaan tersebut memang batil, sebab yang sebenarnya adalah bahwa hadits ahad dapat pula me-mansukh Al-Qur'an dengan ketentuan, bahwa hadits tersebut mutawatir.
Inilah pemahaman yang diterima jumhur ulama, namun dalam masalah ini yang me-mansukh adalah Al-Qur'an bukan As-Sunnah. (Lihat, Irwa'ul Ghalil (hadits nomor 16).
Kesepuluh : Diharamkan bagi seseorang mewasiatkan sesuatu yang berdampak negatif atau membuat mudarat, seperti mewasiatkan untuk tidak memberikan hak waris kepada salah seorang ahli waris atau mewasiatkan untuk mengutamakan salah seorang ahli waris dari yang lainnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala yang ditegaskan-Nya dalam Surat An-Nisa' ayat 7-12 dan juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw : "Janganlah di antara kalian menimpakan mudarat kepada yang lain. Barangsiapa menimpakan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan menimpakan mudarat kepadanya dan barangsiapa yang memusuhi (seseorang), maka Allah akan memusuhinya." (H.R Ad-Daruquthni, Al-Hakim mengatakan, "Riwayat ini sahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim, kemudian disetujui oleh Adz-Dzahabi dan dinilai hasan sanadnya oleh Imam Nawawi dalam Hadits Arba'in-nya, demikian juga Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa, mengingat banyaknya saksi penguat dan sanadnya yang beraneka ragam.
Ibnu Rajab pun telah menyebutkannya demikian dalam mensyarah hadits Arba'in dan ia sendiri telah mengeluarkannya dalam Kitab Irwaa'ul-Ghalil.
Kesebelas : Wasiat yang ada unsur kezalimannya adalah batil dan tertolak, berdasarkan sabda Rasulullah Saw : "Siapa saja yang mengada-ada dalam perkara (ajaran)-ku, yang tidak termasuk darinya, maka itu tertolak." (H.R. Asy-Syaikhan dalam Shahih-nya dan Imam Ahmad).
Hal ini juga berdasarkan hadits yang dikisahkan oleh Imran bin Husain, bahwa seseorang telah memerdekakan enam orang budak laki-lakinya di saat ia mendekati kematiannya, kemudian ahli warisnya dari pedalaman mendatangi Rasulullah Saw memberitahukan kepada beliau apa yang telah dilakukan orang itu, lalu Rasulullah bertanya, "Apakah ia melakukan yang demikian? Kalau aku mengetahui sejak awalnya, maka aku tidak akan menshalatinya." Imran berkata, "Kemudian Rasulullah Saw mengundi di antara keenam budak itu dan memilih dua orang untuk dimerdekakan dan mengembalikan empat budak yang lain untuk dimiliki ahli warisnya." (H.R. Imam Ahmad, Imam Muslim, Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi).
Keduabelas : Mengingat kebanyakan orang, khususnya pada masa sekarang, melakukan berbagai bid'ah dalam ajaran agama, terlebih dalam masalah jenazah, maka sudah merupakan keharusan seorang muslim untuk mewasiatkan kelak mayatnya diurus dan dikebumikan sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw sesuai firman Allah : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikatyang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S. At-Tahrim : 6).
Oleh karena itu, para sahabat Rasulullah Saw pada saat menghadapi kematian mewasiatkan kepada keluarganya agar dikebumikan dan diurus jenazahnya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Saw.
Contoh konkret tentang ini banyak kita jumpai dalam riwayat-riwayat seperti berikut :
a. Abu Burdah berkata, "Abu Musa Ra telah berwasiat menjelang wafatnya, 'Bila kalian membawa jenazahku nanti maka percepatlah jalan kalian dan janganlah ada yang mengiringi jenazahku dengan membawa setanggi. Jangan pula kalian membuat batas di dalam liang lahatku nanti antara jasadku dengan tanah dan jangan ada yang membangun di atas kuburku nanti dan aku bersaksi bahwa aku bebas dari ratapan yang berupa mencukur rambutnya atau yang memukul-mukul pipinya atau yang merobek-robek pakaiannya.' Dikatakan kepadanya, 'Apakah engkau pernah mendengar sesuatu?' Abu Musa menjawab, 'Ya benar, aku telah mendengarnya dari Rasulullah Saw." (H.R. Imam Ahmad, Al-Baihaqi dan Ibnu Majah).
b. Dari Hudzaifah Ra berkata, "Apabila aku mati nanti, janganlah ada seorang di antara kalian yang melakukan sesuatu terhadapku, karena aku takut kalau itu ratapan dan aku mendengar Rasulullah Saw melarang meratapi mayat." (H.R. Imam At-Tirmidzi).
Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Adzkaar berkata, "Adalah disukai secara muakkad (pasti) seseorang sebelum wafatnya mewasiatkan supaya meninggalkan kebiasaan yang termasuk bid'ah dalam pengurusan jenazah dan hendaknya ia menegaskan wasiat itu."
Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh mengagumkan perkara orang mukmin karena semua urusannya adalah baik, dan hal itu tidak dimiliki seorangpun kecuali hanya orang mukmin, jika ia ditimpa kebaikan kemudian bersyukur, maka itu kebaikan untuknya dan bila ia ditimpa keburukan kemudian bersabar, maka itu pun kebaikan baginya."
"Janganlah salah seorang di antara kalian mati kecuali berbaik sangka terhadap Allah Ta'ala." Kedua hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Muslim, Al-Baihaqi dan Imam Ahmad.
Kedua : Orang yang tengah sakit hendaknya selalu dalam kondisi antara takut dan penuh pengharapan (harap-harap cemas), merasa takut akan azab Allah akibat dosa yang dilakukannya dan mengharap akan rahmat-Nya.
Sikap seperti ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang diberitakan oleh Anas Ra, "Suatu ketika Rasulullah Saw datang menengok seorang pemuda yang tengah menghadapi kematian, maka beliau bertanya, 'Bagaimana engkau dapati dirimu?' Pemuda itu menjawab, 'Demi Allah, wahai Rasulullah, saya ini dalam keadaan yang sangat mengharap rahmat Allah dan merasa sangat takut akan (beban) dosa-dosaku.
Rasulullah Saw kemudian bersabda, 'Tidaklah kedua perasaan yang demikian itu menyatu dalam hati seorang hamba dalam keadaan yang demikian kecuali pastilah Allah akan menganugerahinya apa yang dimintanya dan menenteramkannya dari rasa takutnya.'" (H.R. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abdullah Ibnu Ahmad dan Ibnu Abid Dunya).
Ketiga : Bagaimanapun parah sakitnya, seseorang dilarang untuk mengharapkan kematian. Ummu Fadhl Ra, ia berkata, "Suatu ketika Rasulullah Saw datang menjenguk, lalu mendapatkan Abbas, paman beliau, tengah mengeluh sehingga mengharap kematian, maka Rasul pun berkata kepadanya, "Wahai Paman, janganlah engkau (sekali-kali) menginginkan kematian, karena bila engkau seorang yang banyak berbuat kebaikan, lalu diundurkan kematianmu, engkau akan semakin menambah kebaikan dan itu lebih baik bagimu dan bila engkau banyak berbuat keburukan lalu diundurkan ajalmu dan kemudian engkau bertobat dari dosa-dosamu, maka yang demikian adalah lebih baik bagimu, oleh karena itu, janganlah engkau menginginkan kematian." (H.R. Bukhari, Muslim dan Al-Hakim) dan lainnya dari hadits Anas bin Malik Ra secara marfu' sanadnya, didalam riwayat tersebut disebutkan sebagai berikut, "Dan apabila harus engkau lakukan (yakni mengharap mati), maka hendaknya ia berucap, 'Ya Allah, hidupkanlah hamba bila hidup itu lebih baik untukku dan matikanlah hamba bila mati itu lebih baik untukku."
Keempat : Apabila ada kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, hendaklah ia segera tunaikan kepada pemilik-pemiliknya bila hal itu mudah dilakukan, namun bila tidak, hendaknya ia berwasiat mengenai hal itu.
Rasulullah Saw telah bersabda, "Barangsiapa yang terdapat padanya kezaliman terhadap saudaranya berupa kehormatan atau hartanya, maka hendaknya ia mengembalikannya sebelum tiba hari kiamat, di mana tidak berlaku lagi dinar atau dirham. Bila ia memiliki amal kebaikan (amal saleh) maka akan diambil darinya dan diberikan kepada yang berhak, namun bila tak memiliki amal shaleh, maka akan diambil keburukan si pemilik hak dan dibebankan tanggungjawabnya kepadanya." (H.R. Bukhari dan Al-Baihaqi).
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda, "Tahukah kalian, siapakah orang yang pailit (bangkrut) itu? Para sahabat menjawab, 'Orang yang pailit adalah yang tidak memiliki uang ataupun benda di antara kita.' Rasulullah Saw bersabda, 'Sesungguh-nya orang yang pailit dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalatnya, puasanya dan zakatnya, namun ia telah mencaci, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan telah memukul serta menyakiti orang lain, maka ia diberi kebaikan-kebaikannya dan bila kebaikannya telah habis sebelum melunasi kewajibannya, maka diambillah keburukan-keburukan mereka lalu dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.'" (H.R. Imam Muslim).
Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Ibnu Majah dan Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang meninggal sedang dia masih berutang, maka di sana tidak lagi berlaku dinar ataupun dirham akan tetapi yang ada adalah kebaikan dan keburukan."
Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir sebagai berikut : "Utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati sedang ia berniat membayarnya, maka akulah sebagai walinya, sedangkan siapa yang mati namun ia tidak berniat membayarnya, maka yang akan diambil dari semua kebaikannya, di mana pada saat itu tak ada dinar ataupun dirham."
Jabir bin Abdillah berkata, "Pada suatu malam menjelang terjadinya Perang Uhud, ayah memanggilku seraya berkata, 'Tidaklah aku melihat diriku kecuali sebagai orang yang pertama mati terbunuh dari para sahabat Rasulullah Saw dan aku tidak meninggalkan sesudahku yang lebih mulia daripada kau bagiku kecuali Rasulullah Saw, aku meninggalkan utang maka bayarkanlah dan saling berpesanlah dengan kebaikan bersama saudaramu.' Maka keesokan harinya, ternyata dialah orang pertama yang mati terbunuh...." (H.R. Imam Bukhari).
Kelima : Hendaklah menyegerakan untuk berwasiat sebagaimana sabda Rasulullah Saw : "Tidaklah bagi seseorang itu hak untuk menunda lebih dari dua malam sedang ia mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkannya, kecuali wasiat tertulis (terletak) disamping kepalanya." Ibnu Umar berkata, "Tidaklah setiap malam berlalu sejak aku mendengar sabda Rasulullah Saw tersebut kecuali aku telah siapkan wasiatku." (H.R. Bukhari, Muslim dan Ashabus-Sunan).
Keenam : Wajib baginya berwasiat untuk para kerabat yang tidak mewarisinya, berdasarkan firman Allah : "Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, ini adalah kewajiban atas orang orang yang bertaqwa." (Q.S. Al-Baqarah : 180).
Ketujuh : Ia berhak berwasiat dengan sepertiga hartanya dan tidak boleh lebih dari itu, bahkan lebih afdal kurang dari sepertiga berdasarkan hadits Sa'ad bin Abi Waqqash Ra, "Aku bersama Rasulullah Saw ketika melakukan haji wada' dan aku menderita sakit yang nyaris mengantarkanku pada kematian. Rasulullah Saw menjengukku dan aku katakan kepada beliau, Wahai Rasulullah, aku ini dianugerahi Allah harta dan tak ada pewaris kecuali seorang anak putri. Apakah aku boleh berwasiat dua pertiga dari hartaku?' Beliau menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya lagi, 'Bagaimana dengan setengahnya?' Beliau menjawab, 'Juga tidak.' 'Dan bagaimana bila sepertiga hartaku?' Beliau menjawab, ‘Ya sepertiga saja dan sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya wahai Sa'ad, bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik ketimbang engkau meninggalkan mereka dalam kondisi kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang-orang.' Kemudian beliau bersabda dengan menunjuk tangannya, 'Sesungguhnya engkau Sa'ad, engkau tidak menafkahkan sesuatu dengan mengharapkan keridhaan Allah Ta'ala kecuali engkau diganjar pahalanya meskipun makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.'" (H.R. Imam Ahmad, Bukhari dan Imam Muslim).
Ibnu Abbas Ra berkata, "Aku berharap kalau saja manusia dapat mengekang dari bersedekah sepertiga menjadi seperempat ketika berwasiat, sebab Nabi Saw telah menyatakan bahwa sepertiga adalah banyak."
Kedelapan : Hendaklah seseorang ketika berwasiat disaksikan oleh dua orang muslim yang adil dan dapat dipercaya, bila tidak ada, maka dua orang dari non muslim yang terpercaya, seperti yang ditegaskan Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an, "Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kamu menghadapi kematian sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah atas nama Allah jika kamu ragu-ragu. (Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang) walaupun dia karib kerabat dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa. Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang lain di antara ahli waris yang lebih berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah atas nama Allah, 'Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada kesaksian kedua saksi itu dan kami tidak akan melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian, tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Itu lebih dekat (untuk menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah dan bertaqwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya) Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Q.S. Al-Maa'idah : 106-108).
Kesembilan : Adapun memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat yang menjadi ahli waris tidaklah diperbolehkan, sebab hal ini telah di-mansukh-kan oleh ayat-ayat waris dan telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw dengan rinci, seperti yang dikemukakan beliau Saw ketika dalam Khutbah Wada', "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap pemilik hak akan haknya, maka tidak ada hak bagi ahli waris mendapatkan wasiat." (H.R. Abu Daud, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi).
Dalam hal ini, yang me-mansukh adalah Al-Qur'an, sedangkan, hadits Nabi Saw hanyalah sebagai penjelas seperti yang tampak pada Khutbah Wada', kebalikan dari apa yang diduga kebanyakan orang, bahwa yang me-mansukh adalah hadits.
Selain itu, di kalangan orang sekarang ada yang mencoba menabur keraguan seraya mendebat, bahwa hadits itu adalah riwayat ahad yang tidak ada kekuatan untuk me-munsukh Al-Qur'an, dakwaan tersebut memang batil, sebab yang sebenarnya adalah bahwa hadits ahad dapat pula me-mansukh Al-Qur'an dengan ketentuan, bahwa hadits tersebut mutawatir.
Inilah pemahaman yang diterima jumhur ulama, namun dalam masalah ini yang me-mansukh adalah Al-Qur'an bukan As-Sunnah. (Lihat, Irwa'ul Ghalil (hadits nomor 16).
Kesepuluh : Diharamkan bagi seseorang mewasiatkan sesuatu yang berdampak negatif atau membuat mudarat, seperti mewasiatkan untuk tidak memberikan hak waris kepada salah seorang ahli waris atau mewasiatkan untuk mengutamakan salah seorang ahli waris dari yang lainnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala yang ditegaskan-Nya dalam Surat An-Nisa' ayat 7-12 dan juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw : "Janganlah di antara kalian menimpakan mudarat kepada yang lain. Barangsiapa menimpakan mudarat kepada orang lain, maka Allah akan menimpakan mudarat kepadanya dan barangsiapa yang memusuhi (seseorang), maka Allah akan memusuhinya." (H.R Ad-Daruquthni, Al-Hakim mengatakan, "Riwayat ini sahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim, kemudian disetujui oleh Adz-Dzahabi dan dinilai hasan sanadnya oleh Imam Nawawi dalam Hadits Arba'in-nya, demikian juga Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa, mengingat banyaknya saksi penguat dan sanadnya yang beraneka ragam.
Ibnu Rajab pun telah menyebutkannya demikian dalam mensyarah hadits Arba'in dan ia sendiri telah mengeluarkannya dalam Kitab Irwaa'ul-Ghalil.
Kesebelas : Wasiat yang ada unsur kezalimannya adalah batil dan tertolak, berdasarkan sabda Rasulullah Saw : "Siapa saja yang mengada-ada dalam perkara (ajaran)-ku, yang tidak termasuk darinya, maka itu tertolak." (H.R. Asy-Syaikhan dalam Shahih-nya dan Imam Ahmad).
Hal ini juga berdasarkan hadits yang dikisahkan oleh Imran bin Husain, bahwa seseorang telah memerdekakan enam orang budak laki-lakinya di saat ia mendekati kematiannya, kemudian ahli warisnya dari pedalaman mendatangi Rasulullah Saw memberitahukan kepada beliau apa yang telah dilakukan orang itu, lalu Rasulullah bertanya, "Apakah ia melakukan yang demikian? Kalau aku mengetahui sejak awalnya, maka aku tidak akan menshalatinya." Imran berkata, "Kemudian Rasulullah Saw mengundi di antara keenam budak itu dan memilih dua orang untuk dimerdekakan dan mengembalikan empat budak yang lain untuk dimiliki ahli warisnya." (H.R. Imam Ahmad, Imam Muslim, Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi).
Keduabelas : Mengingat kebanyakan orang, khususnya pada masa sekarang, melakukan berbagai bid'ah dalam ajaran agama, terlebih dalam masalah jenazah, maka sudah merupakan keharusan seorang muslim untuk mewasiatkan kelak mayatnya diurus dan dikebumikan sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw sesuai firman Allah : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikatyang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S. At-Tahrim : 6).
Oleh karena itu, para sahabat Rasulullah Saw pada saat menghadapi kematian mewasiatkan kepada keluarganya agar dikebumikan dan diurus jenazahnya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Saw.
Contoh konkret tentang ini banyak kita jumpai dalam riwayat-riwayat seperti berikut :
a. Abu Burdah berkata, "Abu Musa Ra telah berwasiat menjelang wafatnya, 'Bila kalian membawa jenazahku nanti maka percepatlah jalan kalian dan janganlah ada yang mengiringi jenazahku dengan membawa setanggi. Jangan pula kalian membuat batas di dalam liang lahatku nanti antara jasadku dengan tanah dan jangan ada yang membangun di atas kuburku nanti dan aku bersaksi bahwa aku bebas dari ratapan yang berupa mencukur rambutnya atau yang memukul-mukul pipinya atau yang merobek-robek pakaiannya.' Dikatakan kepadanya, 'Apakah engkau pernah mendengar sesuatu?' Abu Musa menjawab, 'Ya benar, aku telah mendengarnya dari Rasulullah Saw." (H.R. Imam Ahmad, Al-Baihaqi dan Ibnu Majah).
b. Dari Hudzaifah Ra berkata, "Apabila aku mati nanti, janganlah ada seorang di antara kalian yang melakukan sesuatu terhadapku, karena aku takut kalau itu ratapan dan aku mendengar Rasulullah Saw melarang meratapi mayat." (H.R. Imam At-Tirmidzi).
Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Adzkaar berkata, "Adalah disukai secara muakkad (pasti) seseorang sebelum wafatnya mewasiatkan supaya meninggalkan kebiasaan yang termasuk bid'ah dalam pengurusan jenazah dan hendaknya ia menegaskan wasiat itu."
Posting Komentar untuk "12 Hal Yang Wajib Di Lakukan Oleh Orang Yang Sedang Sakit"
Terimakasih atas kunjungan anda...