Definisi Dzikir Laa Ilaaha Illallah Dalam Pandangan Naqsyabandi
Definisi dalam dzikir kalimat (Laa Ilaaha Illallah) terhimpun banyak keutamaan, dan faedah yang bermacam-macam, akan tetapi keutamaan tersebut tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya jika sekedar di ucapkan saja, dia baru memberikan manfaat bagi orang yang mengucapkannya dengan keimanan dan melakukan kandungan-kandungannya.
Di antara keutamaan yang paling utama adalah bahwa orang yang mengucapkannya dengan ikhlas semata-mata karena mencari ridha-Nya, maka Allah Ta’ala haramkan baginya api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi siapa yang mengatakan: Laa Ilaaha Illallah semata-mata karena mencari ridha-Nya.” (H.R. Muttafaq Alaih).
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dari api neraka, akan tetapi ada syarat yang di jelaskan oleh hadits-hadits tersebut.
Banyak orang yang mengucapkannya, namun di saat kematian dia di khawatirkan terkena fitnah sehingga dia terhalang dari kalimat tersebut karena dosa-dosa yang selama ini selalu di lakukannya dan di anggapnya remeh, banyak juga orang yang mengucapkannya dengan dasar ikut-ikutan atau rutinitas semata, sementara keimanan tidak meresap kedalam hatinya, justru itulah, selain sudah mengetahui secara umum (syari'at) tentang dzikir laa ilaaha illallah, maka sangat penting pula untuk memahami definisi dzikir laa ilaaha illallah dalam pandangan Naqsyabandi ini.
Orang-orang yang di sebutkan di atas yang sering mendapatkan fitnah saat kematiannya dan saat di kubur sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits : “Saya mendengarkan manusia mengatakannya, maka saya mengatakannya.” (H.R. Imam Ahmad dan Abu Daud).
Dengan demikian, maka tidak ada kontradiksi antara hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan ucapan Laa Ilaaha Illallah, karena jika seseorang mengucapkannya dengan ikhlas dan penuh keyakinan, maka dia tidak mungkin berbuat dosa terus menerus, lantaran kesempurnaan keikhlasan dan keyakinan menuntutnya untuk menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih di cintainya dari segala sesuatu, maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan terhadap apa yang di haramkan Allah Ta’ala dan membenci apa yang Allah perintahkan, hal seperti itu yang membuatnya di haramkan dari api neraka meskipun dia melakukan dosa sebelumnya, karena keimanan, taubat, keikhlasan, kecintaan dan keyakinannya membuat dosa yang ada padanya terhapus bagaikan malam yang menghapus siang.
1. Peniadaan (Nafi) dalam kalimat: “Laa Ilaaha”.
2. Penetapan (Itsbat) dalam kalimat: “Illallah”.
Maka “Laa Ilaaha” berarti meniadakan segala tuhan selain Allah dan “Illallah” berani menetapkan bahwa sifat ketuhanan hanya milik Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tujuan utama kalimat tauhid bukan sekedar menghitung lafazd-lafazd dan menghafalnya, sebab betapa banyak orang yang hafal kalimatnya akan tetapi ia bagaikan anak panah yang melesat (keluar dari Islam), sehingga anda lihat dia banyak melakukan perbuatan yang menyimpang.
Berikut ini syarat-syaratnya guna memahami dzikir laa ilaaha illallah dalam pandangan Naqsyabandi, yaitu :
l. Berilmu
Yang di maksud adalah memiliki ilmu terhadap makna kalimat (Laa Ilaaha Illallah), baik dalam hal nafi, maupun itsbat dan segala amal yang di tuntut darinya, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah semata-mata yang di sembah dan bahwa penyembahan kepada selain-Nya adalah bathil, kemudian dia mengamalkan sesuai dengan ilmunya tersebut.
Lawan dari ilmu adalah bodoh, karena dia tidak mengetahui wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah, bahkan dia meyakini bolehnya beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya, Allah Ta’ala berfirman : “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Q.S. Muhammad : 19). “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat adalah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya)." (Q.S. AZ-Zukhruf : 86).
Maksudnya adalah: orang-orang yang bersaksi dan hati mereka mengetahui apa yang di ucapkan lisan mereka.
2. Yakin
Yaitu seseorang mengucapkan syahadat dengan penuh keyakinan sehingga hatinya tenang, tanpa ada sedikitpun pengaruh keraguan yang di sebarkan oleh syetan-syetan jin dan manusia, bahkan dia mengucapkannya dengan penuh keyakinan atas kandungan yang ada di dalamnya.
Siapa yang mengucapkannya, maka ia wajib meyakininya di dalam hati dan mempercayai kebenaran apa yang di ucapkannya, yaitu: adanya hak ketuhanan yang di miliki Allah Ta’ala dan tidak adanya sifat ketuhanan segala sesuatu selain-Nya, juga berkeyakinan bahwa ibadah dan penghambaan tidak boleh di tujukan kepada selain Allah.
Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau tidak mengakui bathilnya sifat ketuhanan selain Allah Ta’ala, misalnya dengan mengucapkan : “Saya meyakini akan ketuhanan Allah Ta’ala, akan tetapi saya ragu akan bathilnya ketuhanan selain-Nya”, maka syahadatnya batal dan tidak bermanfaat baginya. Allah Ta’ala berfirman : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu." (Q.S. Al-Hujurat : 15).
3. Menerima
Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat dalam kalimat tersebut dalam hati dan lisannya, dia membenarkan dan beriman kepada semua berita dan apa yang di sampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada sedikitpun yang di tolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang keliru atau perubahan atas nash-nash yang ada, Allah Ta’ala melarang hal tersebut sebagaimana Dia berfirman : "Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang di turunkan kepada kami.” (Q.S. Al-Baqarah : 136).
Lawan dari menerima adalah menolak, ada sebagian orang yang mengetahui makna syahadatain dan yakin akan kandungan yang ada di dalamnya akan tetapi dia menolaknya karena kesombongannya dan kedengkiannya. Allah Ta’ala berfirman : "Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Q.S. Al-An’am : 33).
Termasuk di katakan menolak, jika seseorang menentang atau membenci sebagian hukum-hukum syari’at atau hudud (hukum pidana Islam). Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya." (Q.S. Al-Baqarah : 208).
3. Tunduk
Yang di maksud adalah tunduk atas apa yang di ajarkan dalam kalimat Tauhid, yaitu dengan menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak membantah hukum-hukum Allah. Allah Ta’ala berfirman : "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya...” (Q.S. Az-Zumar : 54).
Termasuk juga tunduk terhadap apa yang di bawa Rasulullah Saw dengan di iringi sikap ridha dan mengamalkannya tanpa bantahan serta tidak menambah atau mengurangi, jika seseorang telah mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dan yakin serta menerimanya, akan tetapi dia tidak tunduk dan menyerahkan diri dalam melaksanakan kandungannya, maka semua itu tidak berguna, termasuk di katakan tidak tunduk juga adalah tidak menjadikan syariat Allah sebagai sumber hukum dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia.
5. Jujur
Maksudnya jujur dengan keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud maka dia di katakan orang yang membenarkan terhadap kitab Allah Ta’ala dan sunnah Nabi-Nya, lawan dari jujur adalah dusta, jika seorang hamba berdusta dalam keimanannya, maka dia tidak di anggap beriman bahkan dia di katakan munafik walaupun dia mengucapkan syahadat dengan lisannya, maka syahadat tersebut tidak dapat menyelamatkannya.
Termasuk yang menggugurkan sahnya syahadat adalah mendustakan apa yang di bawa Rasulullah Saw atau mendustakan sebagian yang di bawa oleh beliau, karena Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk ta’at kepada beliau dan membenarkannya, dan mengaitkan ketaatan kepada beliau dengan ketaatan kepada-Nya.
6. Ikhlas
Maksudnya adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni dari kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dan tampak dalam perkataan dan perbuatan yang semata-mata karena Allah Ta’ala dan karena mencari ridha-Nya, tidak ada di dalamnya kotoran riya’ dan sum‘ah (ingin di kenal) atau tujuan duniawi dan pribadi atau juga melakukan sesuatu karena kecintaannya terhadap seseorang atau golongannya atau partainya di mana dia menyerahkan diri kepadanya tanpa petunjuk Allah Ta’ala.
Allah berfirman : “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (Q.S. Az-Zumar : 3). “Padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus." (Q.S. Al-Bayyinah : 5).
Lawan dari ikhlas adalah syirik dan riya’, yaitu: mencari keridhaan selain Allah Ta’ala, jika seseorang telah kehilangan dasar keikhlasannya, maka syahadatnya tidak berguna. Allah Ta’ala berfirman : “Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Q.S. Al-Furqan : 23).
Maka dengan demikian, semua amalnya tidak ada manfaat baginya, karena dia telah kehilangan landasannya. Allah Ta'ala berfirman : "Sesungguhnya Allah ttdak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang di kehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (Q.S. An-Nisa : 48).
7. Cinta
Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran dan konsekwensi yang terkandung di dalamnya, maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua kecintaan kepada yang lain, serta melakukan semua syarat-syarat dan konsekwensinya.
Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang di iringi dengan rasa peng-agungan dan rasa takut serta pengharapan, termasuk cinta kepada Allah adalah mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang di cintai oleh hawa nafsu dan segala tuntutannya, termasuk juga konsekwensi mencintai kalimat tauhid adalah membenci apa yang Allah benci, maka dirinya membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka, Dia juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Termasuk tanda cinta adalah tunduk terhadap syari'at Allah dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman : “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Ali Imran : 30).
Lawan dari cinta adalah benci, yaitu membenci kalimat ini dan semua ajaran yang terkandung di dalamnya atau mencinta sesuatu yang di sembah selain Allah bersama kecintaannya terhadap Allah. Allah Ta’ala berfirman : "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di turunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amalan mereka." (Q.S. Muhammad : 9).
Termasuk yang menghilangkan cinta dengan kalimat tauhid adalah: membenci Rasulullah Saw dan mencintai musuh-musuh Allah serta membenci wali-wali Allah dari golongan orang beriman, demikianlah pembahasan singkat kita tentang dzikir laa ilaaha illallah dalam pandangan Naqsyabandi.
Di antara keutamaan yang paling utama adalah bahwa orang yang mengucapkannya dengan ikhlas semata-mata karena mencari ridha-Nya, maka Allah Ta’ala haramkan baginya api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi siapa yang mengatakan: Laa Ilaaha Illallah semata-mata karena mencari ridha-Nya.” (H.R. Muttafaq Alaih).
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain yang menyatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dari api neraka, akan tetapi ada syarat yang di jelaskan oleh hadits-hadits tersebut.
Banyak orang yang mengucapkannya, namun di saat kematian dia di khawatirkan terkena fitnah sehingga dia terhalang dari kalimat tersebut karena dosa-dosa yang selama ini selalu di lakukannya dan di anggapnya remeh, banyak juga orang yang mengucapkannya dengan dasar ikut-ikutan atau rutinitas semata, sementara keimanan tidak meresap kedalam hatinya, justru itulah, selain sudah mengetahui secara umum (syari'at) tentang dzikir laa ilaaha illallah, maka sangat penting pula untuk memahami definisi dzikir laa ilaaha illallah dalam pandangan Naqsyabandi ini.
Orang-orang yang di sebutkan di atas yang sering mendapatkan fitnah saat kematiannya dan saat di kubur sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits : “Saya mendengarkan manusia mengatakannya, maka saya mengatakannya.” (H.R. Imam Ahmad dan Abu Daud).
Dengan demikian, maka tidak ada kontradiksi antara hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan ucapan Laa Ilaaha Illallah, karena jika seseorang mengucapkannya dengan ikhlas dan penuh keyakinan, maka dia tidak mungkin berbuat dosa terus menerus, lantaran kesempurnaan keikhlasan dan keyakinan menuntutnya untuk menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih di cintainya dari segala sesuatu, maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan terhadap apa yang di haramkan Allah Ta’ala dan membenci apa yang Allah perintahkan, hal seperti itu yang membuatnya di haramkan dari api neraka meskipun dia melakukan dosa sebelumnya, karena keimanan, taubat, keikhlasan, kecintaan dan keyakinannya membuat dosa yang ada padanya terhapus bagaikan malam yang menghapus siang.
Rukun Laa Ilaaha Illallah
Syahadat memiliki dua rukun :1. Peniadaan (Nafi) dalam kalimat: “Laa Ilaaha”.
2. Penetapan (Itsbat) dalam kalimat: “Illallah”.
Maka “Laa Ilaaha” berarti meniadakan segala tuhan selain Allah dan “Illallah” berani menetapkan bahwa sifat ketuhanan hanya milik Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Syarat-syarat Laa Ilaaha Illallah
Para ulama menyatakan, bahwa ada tujuh syarat bagi kalimat Laa Ilaaha Illallah, kalimat tersebut tidak sah selama ketujuh syarat tersebut tidak terhimpun dengan sempurna dalam diri seseorang, serta mengamalkan segala apa yang terdapat di dalamnya serta tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengannya.Tujuan utama kalimat tauhid bukan sekedar menghitung lafazd-lafazd dan menghafalnya, sebab betapa banyak orang yang hafal kalimatnya akan tetapi ia bagaikan anak panah yang melesat (keluar dari Islam), sehingga anda lihat dia banyak melakukan perbuatan yang menyimpang.
Berikut ini syarat-syaratnya guna memahami dzikir laa ilaaha illallah dalam pandangan Naqsyabandi, yaitu :
l. Berilmu
Yang di maksud adalah memiliki ilmu terhadap makna kalimat (Laa Ilaaha Illallah), baik dalam hal nafi, maupun itsbat dan segala amal yang di tuntut darinya, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah semata-mata yang di sembah dan bahwa penyembahan kepada selain-Nya adalah bathil, kemudian dia mengamalkan sesuai dengan ilmunya tersebut.
Lawan dari ilmu adalah bodoh, karena dia tidak mengetahui wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah, bahkan dia meyakini bolehnya beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya, Allah Ta’ala berfirman : “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Q.S. Muhammad : 19). “Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat adalah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka mengetahui(nya)." (Q.S. AZ-Zukhruf : 86).
Maksudnya adalah: orang-orang yang bersaksi dan hati mereka mengetahui apa yang di ucapkan lisan mereka.
2. Yakin
Yaitu seseorang mengucapkan syahadat dengan penuh keyakinan sehingga hatinya tenang, tanpa ada sedikitpun pengaruh keraguan yang di sebarkan oleh syetan-syetan jin dan manusia, bahkan dia mengucapkannya dengan penuh keyakinan atas kandungan yang ada di dalamnya.
Siapa yang mengucapkannya, maka ia wajib meyakininya di dalam hati dan mempercayai kebenaran apa yang di ucapkannya, yaitu: adanya hak ketuhanan yang di miliki Allah Ta’ala dan tidak adanya sifat ketuhanan segala sesuatu selain-Nya, juga berkeyakinan bahwa ibadah dan penghambaan tidak boleh di tujukan kepada selain Allah.
Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau tidak mengakui bathilnya sifat ketuhanan selain Allah Ta’ala, misalnya dengan mengucapkan : “Saya meyakini akan ketuhanan Allah Ta’ala, akan tetapi saya ragu akan bathilnya ketuhanan selain-Nya”, maka syahadatnya batal dan tidak bermanfaat baginya. Allah Ta’ala berfirman : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu." (Q.S. Al-Hujurat : 15).
3. Menerima
Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat dalam kalimat tersebut dalam hati dan lisannya, dia membenarkan dan beriman kepada semua berita dan apa yang di sampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada sedikitpun yang di tolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang keliru atau perubahan atas nash-nash yang ada, Allah Ta’ala melarang hal tersebut sebagaimana Dia berfirman : "Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang di turunkan kepada kami.” (Q.S. Al-Baqarah : 136).
Lawan dari menerima adalah menolak, ada sebagian orang yang mengetahui makna syahadatain dan yakin akan kandungan yang ada di dalamnya akan tetapi dia menolaknya karena kesombongannya dan kedengkiannya. Allah Ta’ala berfirman : "Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Q.S. Al-An’am : 33).
Termasuk di katakan menolak, jika seseorang menentang atau membenci sebagian hukum-hukum syari’at atau hudud (hukum pidana Islam). Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya." (Q.S. Al-Baqarah : 208).
3. Tunduk
Yang di maksud adalah tunduk atas apa yang di ajarkan dalam kalimat Tauhid, yaitu dengan menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak membantah hukum-hukum Allah. Allah Ta’ala berfirman : "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya...” (Q.S. Az-Zumar : 54).
Termasuk juga tunduk terhadap apa yang di bawa Rasulullah Saw dengan di iringi sikap ridha dan mengamalkannya tanpa bantahan serta tidak menambah atau mengurangi, jika seseorang telah mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dan yakin serta menerimanya, akan tetapi dia tidak tunduk dan menyerahkan diri dalam melaksanakan kandungannya, maka semua itu tidak berguna, termasuk di katakan tidak tunduk juga adalah tidak menjadikan syariat Allah sebagai sumber hukum dan menggantinya dengan undang-undang buatan manusia.
5. Jujur
Maksudnya jujur dengan keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud maka dia di katakan orang yang membenarkan terhadap kitab Allah Ta’ala dan sunnah Nabi-Nya, lawan dari jujur adalah dusta, jika seorang hamba berdusta dalam keimanannya, maka dia tidak di anggap beriman bahkan dia di katakan munafik walaupun dia mengucapkan syahadat dengan lisannya, maka syahadat tersebut tidak dapat menyelamatkannya.
Termasuk yang menggugurkan sahnya syahadat adalah mendustakan apa yang di bawa Rasulullah Saw atau mendustakan sebagian yang di bawa oleh beliau, karena Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk ta’at kepada beliau dan membenarkannya, dan mengaitkan ketaatan kepada beliau dengan ketaatan kepada-Nya.
6. Ikhlas
Maksudnya adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni dari kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dan tampak dalam perkataan dan perbuatan yang semata-mata karena Allah Ta’ala dan karena mencari ridha-Nya, tidak ada di dalamnya kotoran riya’ dan sum‘ah (ingin di kenal) atau tujuan duniawi dan pribadi atau juga melakukan sesuatu karena kecintaannya terhadap seseorang atau golongannya atau partainya di mana dia menyerahkan diri kepadanya tanpa petunjuk Allah Ta’ala.
Allah berfirman : “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (Q.S. Az-Zumar : 3). “Padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus." (Q.S. Al-Bayyinah : 5).
Lawan dari ikhlas adalah syirik dan riya’, yaitu: mencari keridhaan selain Allah Ta’ala, jika seseorang telah kehilangan dasar keikhlasannya, maka syahadatnya tidak berguna. Allah Ta’ala berfirman : “Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Q.S. Al-Furqan : 23).
Maka dengan demikian, semua amalnya tidak ada manfaat baginya, karena dia telah kehilangan landasannya. Allah Ta'ala berfirman : "Sesungguhnya Allah ttdak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang di kehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." (Q.S. An-Nisa : 48).
7. Cinta
Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran dan konsekwensi yang terkandung di dalamnya, maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua kecintaan kepada yang lain, serta melakukan semua syarat-syarat dan konsekwensinya.
Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang di iringi dengan rasa peng-agungan dan rasa takut serta pengharapan, termasuk cinta kepada Allah adalah mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang di cintai oleh hawa nafsu dan segala tuntutannya, termasuk juga konsekwensi mencintai kalimat tauhid adalah membenci apa yang Allah benci, maka dirinya membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka, Dia juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Termasuk tanda cinta adalah tunduk terhadap syari'at Allah dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw dalam setiap urusan. Allah Ta’ala berfirman : “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Ali Imran : 30).
Lawan dari cinta adalah benci, yaitu membenci kalimat ini dan semua ajaran yang terkandung di dalamnya atau mencinta sesuatu yang di sembah selain Allah bersama kecintaannya terhadap Allah. Allah Ta’ala berfirman : "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di turunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amalan mereka." (Q.S. Muhammad : 9).
Termasuk yang menghilangkan cinta dengan kalimat tauhid adalah: membenci Rasulullah Saw dan mencintai musuh-musuh Allah serta membenci wali-wali Allah dari golongan orang beriman, demikianlah pembahasan singkat kita tentang dzikir laa ilaaha illallah dalam pandangan Naqsyabandi.
Tidak Ada Tuhan, Hanya Ada Allah, dan Allah Bukan Tuhan !!!
BalasHapus