Mengupas Perbedaan Ajaran Thariqat Shalahuddin Al-Ayubi Dengan Ajaran Bahauddin An-Naqsyabandi
Secara mendasar setiap thariqat pasti memiliki perbedaan dengan yang lainnya, meskipun thariqat yang sama, belum tentu memiliki ajaran yang sama pula, ajaran thariqat Naqsyabandiyah yang di bawa oleh Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran yang di bawa oleh Bahauddin Naqsyabandi terdapat perbedaan dalam metode ajarannya.
Shahuddin Al-Ayubi membawa jenis tasawuf falsafi, sedangkan Bahauddin Naqsyabandi berbasis tasawuf amali, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang dibawa oleh para filosof Islam yang menjelaskan tentang adanya Allah melalui media pikiran Ibnu ‘Arabi sebagai salah satu tokoh filsafat Islam lainnya, yang mengajarkan filsafat wahdatul wujud menjelaskan penyatuan Tuhan dengan mahluk (penghancuran sipat manusia di gantikan dengan sifat ketuhanan, (fana dan baqa).
Salah satu ajaran yang dibawa Shalahuddin Al-Ayubi berbasis tasawuf falsafi adalah wahdatul wujud. Wahdatul wujud diartikan dengan penyatuan jiwa manusia dengan dzat Allah setelah jiwa manusia tersebut hancur atau lebur (fana) lalu diganti dengan dzat Allah (baqa), artinya penyatuan jiwa manusia tersebut dapat terjadi setelah tercapai fana dan baqa.
Fana adalah leburnya jiwa manusia, sehingga tidak merasa lagi memiliki tubuhnya lalu merasa bahwa ketika menggerakkan tangan kaki dan seluruh anggota tubuh hanya karena pertolongan Allah semata-mata sebab dia tidak memiliki kekuatan untuk dapat menggerakkan apapun, keadaan tersebut dicapai setelah melakukan latihan secara terus-menerus sampai tidak merasa lagi bahwa jiwa manusia yang melakukannya atau dapat disebut dengan leburnya jiwa manusia.
Baqa yang dimaksud adalah keadaan jiwa manusia yang lebur digantikan dengan dzat Allah seperti seorang manusia yang tidak memiliki kekuatan apa-apa sebab yang ada hanya kekuatan Allah dan Allah yang menggerakkan semuanya, tangan yang bergerak adalah Allah yang menggerakkan, kaki yang berjalan adalah Allah yang menjalankan dan hidung yang dapat bernapas adalah Allah yang memberikan nafas.
Jadi kekalnya Allah dalam jiwa manusia dapat disebut dengan baqa. Shalahuddin Al-Ayubi memiliki ajaran yang sangat mirip dengan wahdatul wujud dan bahkan bisa dikatakan, bahwa semua ajarannya mengarah kepada wahdatul wujud, di antara ajarannya yang dimaksud adalah mengenai cara mengenal diri, manusia ini bermula dari tidak ada menjadi ada, seperti sifat Allah Wujud artinya ada.
Diri manusia diadakan oleh Allah yang kemudian dipersemayamkan ruh yaitu sebenar-benar diri, hal ini berdasarkan pendapat ulama yang mengatakan bahwa dalam diri manusia ada rahasia-Ku dan Aku bertajalli dalam diri manusia, sehingga mereka dapat bergerak, berdiri dan duduk, sebagai bukti adanya tajalli Allah dapat dilihat pada manusia yang mengalami kelumpuhan yang tidak bergerak meskipun telah berusaha sekuat tenaga.
Tanpa adanya tajalli Allah, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa layaknya seorang mayat, letak kemiripan ajaran Shalahuddin Al-Ayubi dengan wahdatul wujud adalah mengenai diri manusia yang dipersemayamkan ruh Ilahiyah atau yang disebut para ulama Allah bertajalli dalam diri manusia, bukti tajallinya Allah dalam diri manusia adalah logika bahwa tanpa adanya Allah, maka manusia tidak mugkin dapat bergerak walaupun pada awalnya manusia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan tanpa Allah dalam konteks peleburan jiwa.
Adapun tasawuf amali adalah amal zahiriyah yang dikerjakan oleh anggota tubuh seperti berdzikir menyebut nama Allah sebanyak mungkin, sehingga amalan tersebut melekat dalam hati, tasawuf amali diajarkan oleh ulama seperti Imam Al-Ghazali yang banyak sekali mengajarkan tentang ilmu tasawuf amali seperti yang dijelaskan dalam Kitab Ihya Ulumuddin.
Ajaran Bahauddin Naqsyabandi adalah tasawuf amali yang dalam hal ini sangat terlihat jelas seperti ketika dia mengajarkan awal mula pengikut thariqat harus membersihkan dirinya, para pengikut kemudian diwajibkan membaca taubat sebanyak mungkin, kemudian dilanjutkan berpuasa beberapa hari sekaligus membaca amalan yang diajarkannya.
Ajaran tersebut merupakan tingkatan pertama dan belum sampai kepada tingkatan yang kedua. Tingkatan kedua adalah masuk berdzikir para murid diwajibkan berdzikir mulai 100 hingga 100.000, kali dan berusaha menghadirkan hatinya dengan makna dzikir yang dibacanya. Jika ingin naik menuju tingkatan ketiga, maka harus menambah dzikir dan menghadirkan dzat Allah dalam hati sekaligus membayangkan syaikh dalam hatinya.
Berdasarkan penjelasan tersebut tampak sekali cermin dari ajaran tasawuf amali yang diajarkan oleh Bahauddin Naqsyabandi, bahkan hampir sama dengan yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali mengenai maqamat yang dimulai dari taubat kemudian sabar dan syukur dan selanjutnya.
Shalahuddin Al-Ayubi juga terpengaruh dengan seorang tokoh tasawuf bernama Abu Hamid Abulung. Abu Hamid Abulung sendiri terpengaruh dengan Ibnu ‘Arabi mengenai ajaran wahdatul wujud, dengan demikian, disimpulkan bahwa Shalahuddin Al-Ayubi juga terpengaruh dengan Al-Farabi meskipun tidak secara langsung melainkan melalui ajaran Abu Hamid Abulung.
Pengaruh Abu Hamid Abulung terlihat dari pemikiran Shalahuddin Al-Ayubi berdasarkan ungkapan Shalahuddin sendiri yang mengatakan, bahwa silsilah dari thariqat yang dianutnya berasal dari Abu Hamid Abulung, selain itu, dari segi ajaran pun terlihat bahwa adanya kemiripan meskipun dengan nama dan metode berbeda tapi tujuannya sama.
Ajaran wahdatul wujud Abu Hamid Abulung terlihat dari cerita Abu Hamid Abulung pernah akan ditangkap prajurit kerajaan Banjar pada masanya, ketika itu prajurit datang ke rumah Abu Hamid Abulung yang menanyakan adanya Abu Hamid Abulung.
Abu Hamid menjawab bahwa dia tidak ada dan yang ada hanya Tuhan, berdasarkan jawaban tersebut, maka pertanyaan yang selanjutnya ditanyakan adalah mengenai adanya Tuhan, maka Abu Hamid menjawab tidak ada dan yang ada adalah dirinya, terakhir ditanyalah keberadaan Abu Hamid dan Tuhan. Di sinilah tampak adanya indikasi ajaran wahdatul wujud dari Abu Hamid Abulung.
Kemiripan ajaran Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran Abulung juga terlihat dari konsep mengenai syari'at dan hakikat, menurut Shalahuddin Al-Ayubi, yang dimaksud dengan syari'at adalah amalan zahir yang dilakukan melalui anggota tubuh atau melalui harta yang dimiliki seperti membantu perbaikan langgar, masjid, jembatan dan lain sebagainya.
Adapun hakikat adalah amal yang dilakukan melalui hati perasaan dan pikiran seperti menyadari bahwa ketika dia menyumbangkan harta atau melakukan amal perbuatan yang sebenarnya adalah Allah bukan dirinya, sebab jika merasa diri yang membantu maka tidak ada artinya sama sekali di mata Allah, syari'at yang dimaksud dalam ajaran Abu Hamid Abulung terindikasi dari perkataan Abu Hamid tentang adanya Allah dan Abulung.
1. Jika menurut Bahauddin Naqsyabandi, meninggalkan hawa nafsu, meninggalkan dunia, melakukan amalan agama dengan sungguh-sungguh, berbuat ihsan dan mengerjakan amal kebaikan.
Sedangkan bagi Shalahuddin Al-Ayubi, seorang yang ingin belajar dengan thariqat yang dianutnya sudah pasti meninggalkan yang disebutkan di atas, karena orang yang menjadi pengikutnya sudah lulus dari hal yang di atas tadi.
2. Jika menurut Bahauddin Naqsyabandi, memegang teguh i’tikad ahlu sunnah wal jama’ah dan senantiasa muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia selain Allah, menghiasi diri dengan sifat-sifat bermanfaat dari ilmu agama, menghindari kealpaan terhadap Tuhan dan berakhlak yang baik.
Menurut Shalahuddin Al-Ayubi pengikutnya tidak lagi diajarkan mengenai i’tikad, sebab sudah matang i’tikad mereka, jika belum kuat i’tikadnya, maka Shalahuddin tidak menerima jadi pengikutnya, pengikutnya juga tidak boleh terpengaruh lagi dengan dunia sebab dalam hatinya hanya Allah.
3. Menurut Bahauddin Naqsyabandi, ajaran tentang nazar berqadam, yakni memperhatikan tiap langkah diri, tapi yang dilakukan oleh Bahauddin Naqsyabandi hanya zhahirnya saja, sedangkan yang dilakukan Shahuddin Al-Ayubi diri dan hatinya diperhatikan harus menyatukan anatara perbuatan dengan jiwa dalam tidak boleh lupa dengan Allah sedikit pun.
4. Menurut Bahauddin, ajaran tentang nazar berqadam adalah orang yang menjalankan khalwat suluk, apabila berjalan menundukkan kepala, melihat kearah kaki, apabila duduk tidak mendengarkan kiri dan kanan sebab memandang aneka ragam dapat mengalihkan pengingatan kepada Allah, apalagi orang awam yang tidak bisa memelihara.
Sedangkan yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayubi tidak melalui suluk yang demikian ini tetapi dia mengunakan metode media pikiran seperti jika bergerak yang menggerakkan adalah Allah, jika melihat yang melihat adalah Allah.
5. Menurut Bahauddin, ajaran tentang khalwat dar anjuman adalah khalwat lahir dan batin. Khalwat lahir yaitu seseorang yang melakukan suluk mangasingkan diri ke sebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai, dalam hal ini Shalahuddin tidak mengunakan khalwat mengasingkan diri tetapi masih bisa dilakukan di tempat ramai yang penting hatinya ingat dengan Allah semata-mata.
6. Menurut Bahauddin ajaran tentang Yad kadr yakni berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ismu dzat (menyebut Allah) maupun dzikir nafi itsbat (menyebut Laa Ilaaha Ilallaah), sedangkan metode yang digunakan oleh Shalahuddin Al-Ayubi melalui napas yang berhembus sudah menyebut nama Allah, keluar diartikan Hu yaitu hu Allah, sedangkan masuk Allah, dengan terus menerus mengingat yang demikian itu.
7. Menurut Bahauddin ajaran tentang Wukuf ‘adadi yaitu memeriksa hitungan dzikir, yakni dengan penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali, adapun yang diajarkan Bahauddin Naqsyabandi harus memeriksa hitungan mendetail sedangkan yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayubi tidak perlu mengingat hitungan, karena hati selalu ingat Allah dan nafas yang berhembus adalah mengeluarkan Asma Allah maka tidak perlu lagi menghitung, karena jiwa dan napas sudah menyatu.
8. Ajaran tentang Ma’rifat, yaqin, shakha, sadaq, syukur dan tafakur. Menurut Bahauddin Naqsyabandi ma’rifat merupakan suatu maqam yang dicapai dengan metode tertentu. Shalahuddin Al-Ayubi agak berbeda dalam menjelaskan tentang ma’rifat.
Menurut Shahuddin Al-Ayubi ma’rifat adalah pengenalan diri karena sesuai ungkapan Man A’rafa Nafsahu faqat A’rafa Rabbahu. Jadi manusia akan mengenal Allah melalui dirinya sendiri, maka di dalam diri itulah dapat mengetahui dengan Allah.
9. Menurut Bahauddin ajaran tentang Rabithah atau Wasilah diartikan dengan suatu mediasi seorang mursyid suatu hal yang dibutuhkan untuk sampai kepada Sang Mutlak, seseorang tidak hanya perlu pembimbing saja tetapi harus campur tangan pembimbing termasuk Nabi Muhammad Saw.
Menurut Bahauddin Naqsyabandi, seseorang harus menghubungkan dirinya dengan Nabi atau menemukan mata rantai yang menghubungkan dirinya dengan Nabi, yang berlanjut kepada hubungan dengan Allah, inilah yang dinamakan dengan Rabithah.
Rabithah itu adalah menghadirkannya di depan mata dengan sempurna atau menghayalkan rupa guru di tengah-tengah dahi karena dapat menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah, menghadirkan rupa guru di tengah-tengah hati, menghayalkan rupa guru di kening kemudian ke hati, serta menafikan diri dan menetapkan keberadaan guru.
Shalahuddin Al-Ayubi tidak menggunakan rabithah dan wasilah karena mengingat Shalahuddin Al-Ayubi hanya mengunakan metode dari media pikiran, jika sudah sering mengunakan pemikirannya maka sudah pasti jiwanya selalu ingat Allah, sudah pasti akan sampai ke Sang Mutlak, yaitu Allah.
Kesamaan yang ajaran guru Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran Bahauddin Naqsyabandi terlihat dari tujuan mereka yang sama, yaitu ingin menjadikan hamba Allah agar tidak terpengaruh dengan duniawi dan tidak terombang ambing dengan zaman, kita dapat melihat ketika kedua tokoh berusaha menanamkan dalam jiwa baik Bahauddin Naqsyabandi maupun Shalahuddin Al-Ayubi sangatlah berusaha menjadikan para pengikut menjadi seorang manusia yang berpegang teguh dan tidak terombang-ambing dengan hal dunia dalam mengarungi perjalanan kehidupan, meskipun metode dan penjelasan mereka berbeda tetapi mereka memiliki tujuan yang sama.
Jika metode dari Bahauddin Naqsyabandi adalah metode amal zariyah, dimana seorang pengikut disibukkan dengan amalan yang banyak dan menjadikan jiwa para pengikut thariqat menjadi seorang yang sabar dan selalu mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah, pelajaran tersebut bertujuan untuk menciptakan jiwa agar selalu berpegang teguh dengan i’tikad yang dianutnya, tidak sulit bagi para pengikut dari thariqat menyikapi hal duniawi.
Sebagai contoh para pengikut dari Thariqat Naqsyabandiyah yang dipimpin Bahauddin Naqsyabandi, sering kita temui orang-orang dari pengikut thariqat hidup dengan pas-pasan bahkan kadang kekurangan, namun hal yang demikian tadi tidak menyulitkan mereka karena mereka sudah mantap dalam hati merasa cukup dengan apa yang Allah berikan dan bahkan mereka bersyukur dengan nikmat yang sudah diberikan Allah.
Adapun metode Shalahuddin Al-Ayubi adalah metode hakikat. Hakikat adalah ajaran yang mengarah kepada thariqat, dimana pikiran dan jiwa ditujukan hanya untuk Allah, walaupun kedua tokoh berbicara berlainan tetapi antara zhahir dan hakikat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seperti jika tidak ada jiwa maka bukan dikatakan manusia dan jika tidak ada anggota tubuh maka juga tidak bisa dikatakan manusia.
Tubuh adalah kesatuan jiwa dan tubuh yang tidak dapat dipisahkan, Shalahuddin Al-Ayubi mengajarkan kepada para pengikutnya untuk tidak terpengaruh pada hal dunia, menurut Shalahuddin Al-Ayubi memberikan ajaran melalui gambaran harta, wanita dan tahta sebagai perhiasan dunia yang sifatnya hanya mendatangkan kebinasaan.
Oleh karena itu, seharusnya seseorang menyerahkan diri kepada Allah dan menjadikan jiwa dipenuhi Allah dengan mengunakan metode wahdatul wujud, metode ini merasakan adanya Allah atau hanya Allah yang pasti ada, sehingga tidak terombang-ambing dengan dunia.
Jiwa yang sudah tertanam hanya Allah, merasakan semua yang dimiliki adalah milik Allah, bahkan dalam jiwa mereka sudah dipenuhi dzat Allah, ajaran Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi memang memiliki tujuan sama, tetapi metode yang digunakan berlainan.
Shalahuddin Al-Ayubi mengunakan ilmu hakikat seperti mengunakan pikiran, hakikat harta biasa mendatangkan perhiasan dan perlu berhati-hati dalam menyikapinya, sedangkan Bahauddin Naqsyabandi amal zahir seperti sabar syukur dan qana’ah, melalui jalan ini tampak sekali keduanya berpegang teguh tidak terpengaruh hal dunia melalui metode penyerahan diri.
C. Persamaan lain yang terlihat dari ajaran Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran Thariqat Bahauddin Naqsyabandi sebagai berikut, yaitu :
1. Shalahuddin Al-Ayubi dan Bahauddin Naqsyabandi sama-sama mengajarkan tentang ruh yang berasal dari Nur Muhammad dan berasal dari Nur Ilahiyah, yang dinamakan oleh Bahauddin Naqsyabandi Lathifatul Qalbi atau Lathifah Rabbaniyah ruh suci yang bersemayam dalam tubuh insan sebagai hakikat insan yang sebenarnya, adapun Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan istilah apapun menjelaskan ruh.
2. Baik Bahauddin Naqsyabandi maupun Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan, bahwa nafas yang keluar masuk dari manusia tidak boleh alpa dari mengingat Allah, nafas berhembus keluar dan masuk, ketika menyebut nama Allah, nafas yang keluar disebut Hu, yaitu Allah, kemudian terus berdzikir dengan nama Allah. Bahauddin Naqsyabandi meng-istilah seperti Hawasy dardam, adapun Shalahuddin tidak mengunakan istilah apa-apa.
3. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan adanya perpindahan dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat malaikat yang terpuji. Bahauddin mengistilahkan dengan Safar darwathan, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan nama istilah apa-apa.
4. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang batin dan mata hati yang menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam bergaul dengan sesama makhluk. Bahauddin menyebut dengan istilah Khalwat, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan istilah apapun.
5. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang (penyatuan diri) dengan Nur Dzat Allah Yang Maha Esa tanpa berkata-kata, pada hakikatnya menghadapkan atau mencurahkan perhatian diri kepada Nur Dzat Allah tidak dapat dilakukan kecuali melalui fana (hilang kesadaran diri) dengan sempurna. Bahauddin mengistilahkan dengan Bad dasyat adalah tawajjuh, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi mengistilah wahdatul wujud.
6. Bahauddin Naqsyabandi dengan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang menjaga kehadiran hati dan perhatian secara sempurna dalam berdzikir menghayati maknanya, tidak ada kebenaran selain kebenaran Allah, dalam hati tidak boleh menyimpang hati dari kepada selain Allah, hati orang yang berdzikir hanya menghadapkan hatinya kepada Allah (wuquf) dengan lafadz-lafadz Allah, Bahauddin mengistilahkan dengan rol, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan istilah apapun.
7. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang fana, yaitu penghancuran sifat manusia menuju dengan dzat Allah, setelah sifat manusia lenyap, maka akan menyaksikan peristiwa kebesaran Allah, ketika manusia sudah sampai melihat kebesaran Allah maka akan sampai pada fana, kemudian berlanjut menuju Nur Allah, yang dapat menembus alam-alam gaib.
8. Ritual Thariqat Naqsyabandiyah dengan ritual guru Shalahuddin Al-Ayubi sama dengan ritual thariqat pada umumnya, misalnya seorang murid yang ingin menempuh perjalanan menuju Allah harus melalui perjuangan yang sungguh-sungguh, seperti harus berkhalwat (mengasingkan diri dari orang ramai), berpuasa selama 40 hari, serta membaca bacaan dzikir dan shalawat yang telah ditentukan oleh guru Shalahuddin Al-Ayubi.
Shahuddin Al-Ayubi membawa jenis tasawuf falsafi, sedangkan Bahauddin Naqsyabandi berbasis tasawuf amali, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang dibawa oleh para filosof Islam yang menjelaskan tentang adanya Allah melalui media pikiran Ibnu ‘Arabi sebagai salah satu tokoh filsafat Islam lainnya, yang mengajarkan filsafat wahdatul wujud menjelaskan penyatuan Tuhan dengan mahluk (penghancuran sipat manusia di gantikan dengan sifat ketuhanan, (fana dan baqa).
Salah satu ajaran yang dibawa Shalahuddin Al-Ayubi berbasis tasawuf falsafi adalah wahdatul wujud. Wahdatul wujud diartikan dengan penyatuan jiwa manusia dengan dzat Allah setelah jiwa manusia tersebut hancur atau lebur (fana) lalu diganti dengan dzat Allah (baqa), artinya penyatuan jiwa manusia tersebut dapat terjadi setelah tercapai fana dan baqa.
Fana adalah leburnya jiwa manusia, sehingga tidak merasa lagi memiliki tubuhnya lalu merasa bahwa ketika menggerakkan tangan kaki dan seluruh anggota tubuh hanya karena pertolongan Allah semata-mata sebab dia tidak memiliki kekuatan untuk dapat menggerakkan apapun, keadaan tersebut dicapai setelah melakukan latihan secara terus-menerus sampai tidak merasa lagi bahwa jiwa manusia yang melakukannya atau dapat disebut dengan leburnya jiwa manusia.
Baqa yang dimaksud adalah keadaan jiwa manusia yang lebur digantikan dengan dzat Allah seperti seorang manusia yang tidak memiliki kekuatan apa-apa sebab yang ada hanya kekuatan Allah dan Allah yang menggerakkan semuanya, tangan yang bergerak adalah Allah yang menggerakkan, kaki yang berjalan adalah Allah yang menjalankan dan hidung yang dapat bernapas adalah Allah yang memberikan nafas.
Jadi kekalnya Allah dalam jiwa manusia dapat disebut dengan baqa. Shalahuddin Al-Ayubi memiliki ajaran yang sangat mirip dengan wahdatul wujud dan bahkan bisa dikatakan, bahwa semua ajarannya mengarah kepada wahdatul wujud, di antara ajarannya yang dimaksud adalah mengenai cara mengenal diri, manusia ini bermula dari tidak ada menjadi ada, seperti sifat Allah Wujud artinya ada.
Diri manusia diadakan oleh Allah yang kemudian dipersemayamkan ruh yaitu sebenar-benar diri, hal ini berdasarkan pendapat ulama yang mengatakan bahwa dalam diri manusia ada rahasia-Ku dan Aku bertajalli dalam diri manusia, sehingga mereka dapat bergerak, berdiri dan duduk, sebagai bukti adanya tajalli Allah dapat dilihat pada manusia yang mengalami kelumpuhan yang tidak bergerak meskipun telah berusaha sekuat tenaga.
Tanpa adanya tajalli Allah, maka manusia tidak bisa berbuat apa-apa layaknya seorang mayat, letak kemiripan ajaran Shalahuddin Al-Ayubi dengan wahdatul wujud adalah mengenai diri manusia yang dipersemayamkan ruh Ilahiyah atau yang disebut para ulama Allah bertajalli dalam diri manusia, bukti tajallinya Allah dalam diri manusia adalah logika bahwa tanpa adanya Allah, maka manusia tidak mugkin dapat bergerak walaupun pada awalnya manusia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan tanpa Allah dalam konteks peleburan jiwa.
Adapun tasawuf amali adalah amal zahiriyah yang dikerjakan oleh anggota tubuh seperti berdzikir menyebut nama Allah sebanyak mungkin, sehingga amalan tersebut melekat dalam hati, tasawuf amali diajarkan oleh ulama seperti Imam Al-Ghazali yang banyak sekali mengajarkan tentang ilmu tasawuf amali seperti yang dijelaskan dalam Kitab Ihya Ulumuddin.
Ajaran Bahauddin Naqsyabandi adalah tasawuf amali yang dalam hal ini sangat terlihat jelas seperti ketika dia mengajarkan awal mula pengikut thariqat harus membersihkan dirinya, para pengikut kemudian diwajibkan membaca taubat sebanyak mungkin, kemudian dilanjutkan berpuasa beberapa hari sekaligus membaca amalan yang diajarkannya.
Ajaran tersebut merupakan tingkatan pertama dan belum sampai kepada tingkatan yang kedua. Tingkatan kedua adalah masuk berdzikir para murid diwajibkan berdzikir mulai 100 hingga 100.000, kali dan berusaha menghadirkan hatinya dengan makna dzikir yang dibacanya. Jika ingin naik menuju tingkatan ketiga, maka harus menambah dzikir dan menghadirkan dzat Allah dalam hati sekaligus membayangkan syaikh dalam hatinya.
Berdasarkan penjelasan tersebut tampak sekali cermin dari ajaran tasawuf amali yang diajarkan oleh Bahauddin Naqsyabandi, bahkan hampir sama dengan yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali mengenai maqamat yang dimulai dari taubat kemudian sabar dan syukur dan selanjutnya.
Shalahuddin Al-Ayubi juga terpengaruh dengan seorang tokoh tasawuf bernama Abu Hamid Abulung. Abu Hamid Abulung sendiri terpengaruh dengan Ibnu ‘Arabi mengenai ajaran wahdatul wujud, dengan demikian, disimpulkan bahwa Shalahuddin Al-Ayubi juga terpengaruh dengan Al-Farabi meskipun tidak secara langsung melainkan melalui ajaran Abu Hamid Abulung.
Pengaruh Abu Hamid Abulung terlihat dari pemikiran Shalahuddin Al-Ayubi berdasarkan ungkapan Shalahuddin sendiri yang mengatakan, bahwa silsilah dari thariqat yang dianutnya berasal dari Abu Hamid Abulung, selain itu, dari segi ajaran pun terlihat bahwa adanya kemiripan meskipun dengan nama dan metode berbeda tapi tujuannya sama.
Ajaran wahdatul wujud Abu Hamid Abulung terlihat dari cerita Abu Hamid Abulung pernah akan ditangkap prajurit kerajaan Banjar pada masanya, ketika itu prajurit datang ke rumah Abu Hamid Abulung yang menanyakan adanya Abu Hamid Abulung.
Abu Hamid menjawab bahwa dia tidak ada dan yang ada hanya Tuhan, berdasarkan jawaban tersebut, maka pertanyaan yang selanjutnya ditanyakan adalah mengenai adanya Tuhan, maka Abu Hamid menjawab tidak ada dan yang ada adalah dirinya, terakhir ditanyalah keberadaan Abu Hamid dan Tuhan. Di sinilah tampak adanya indikasi ajaran wahdatul wujud dari Abu Hamid Abulung.
Kemiripan ajaran Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran Abulung juga terlihat dari konsep mengenai syari'at dan hakikat, menurut Shalahuddin Al-Ayubi, yang dimaksud dengan syari'at adalah amalan zahir yang dilakukan melalui anggota tubuh atau melalui harta yang dimiliki seperti membantu perbaikan langgar, masjid, jembatan dan lain sebagainya.
Adapun hakikat adalah amal yang dilakukan melalui hati perasaan dan pikiran seperti menyadari bahwa ketika dia menyumbangkan harta atau melakukan amal perbuatan yang sebenarnya adalah Allah bukan dirinya, sebab jika merasa diri yang membantu maka tidak ada artinya sama sekali di mata Allah, syari'at yang dimaksud dalam ajaran Abu Hamid Abulung terindikasi dari perkataan Abu Hamid tentang adanya Allah dan Abulung.
A. Gambaran perbedaan Thariqat Naqsyabandiyah yang diajarkan Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran Bahauddin Naqsyabandi adalah :
1. Jika menurut Bahauddin Naqsyabandi, meninggalkan hawa nafsu, meninggalkan dunia, melakukan amalan agama dengan sungguh-sungguh, berbuat ihsan dan mengerjakan amal kebaikan.
Sedangkan bagi Shalahuddin Al-Ayubi, seorang yang ingin belajar dengan thariqat yang dianutnya sudah pasti meninggalkan yang disebutkan di atas, karena orang yang menjadi pengikutnya sudah lulus dari hal yang di atas tadi.
2. Jika menurut Bahauddin Naqsyabandi, memegang teguh i’tikad ahlu sunnah wal jama’ah dan senantiasa muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia selain Allah, menghiasi diri dengan sifat-sifat bermanfaat dari ilmu agama, menghindari kealpaan terhadap Tuhan dan berakhlak yang baik.
Menurut Shalahuddin Al-Ayubi pengikutnya tidak lagi diajarkan mengenai i’tikad, sebab sudah matang i’tikad mereka, jika belum kuat i’tikadnya, maka Shalahuddin tidak menerima jadi pengikutnya, pengikutnya juga tidak boleh terpengaruh lagi dengan dunia sebab dalam hatinya hanya Allah.
3. Menurut Bahauddin Naqsyabandi, ajaran tentang nazar berqadam, yakni memperhatikan tiap langkah diri, tapi yang dilakukan oleh Bahauddin Naqsyabandi hanya zhahirnya saja, sedangkan yang dilakukan Shahuddin Al-Ayubi diri dan hatinya diperhatikan harus menyatukan anatara perbuatan dengan jiwa dalam tidak boleh lupa dengan Allah sedikit pun.
4. Menurut Bahauddin, ajaran tentang nazar berqadam adalah orang yang menjalankan khalwat suluk, apabila berjalan menundukkan kepala, melihat kearah kaki, apabila duduk tidak mendengarkan kiri dan kanan sebab memandang aneka ragam dapat mengalihkan pengingatan kepada Allah, apalagi orang awam yang tidak bisa memelihara.
Sedangkan yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayubi tidak melalui suluk yang demikian ini tetapi dia mengunakan metode media pikiran seperti jika bergerak yang menggerakkan adalah Allah, jika melihat yang melihat adalah Allah.
5. Menurut Bahauddin, ajaran tentang khalwat dar anjuman adalah khalwat lahir dan batin. Khalwat lahir yaitu seseorang yang melakukan suluk mangasingkan diri ke sebuah tempat tersisih dari masyarakat ramai, dalam hal ini Shalahuddin tidak mengunakan khalwat mengasingkan diri tetapi masih bisa dilakukan di tempat ramai yang penting hatinya ingat dengan Allah semata-mata.
6. Menurut Bahauddin ajaran tentang Yad kadr yakni berdzikir terus menerus mengingat Allah, baik dzikir ismu dzat (menyebut Allah) maupun dzikir nafi itsbat (menyebut Laa Ilaaha Ilallaah), sedangkan metode yang digunakan oleh Shalahuddin Al-Ayubi melalui napas yang berhembus sudah menyebut nama Allah, keluar diartikan Hu yaitu hu Allah, sedangkan masuk Allah, dengan terus menerus mengingat yang demikian itu.
7. Menurut Bahauddin ajaran tentang Wukuf ‘adadi yaitu memeriksa hitungan dzikir, yakni dengan penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada dzikir nafi itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali, adapun yang diajarkan Bahauddin Naqsyabandi harus memeriksa hitungan mendetail sedangkan yang dilakukan Shalahuddin Al-Ayubi tidak perlu mengingat hitungan, karena hati selalu ingat Allah dan nafas yang berhembus adalah mengeluarkan Asma Allah maka tidak perlu lagi menghitung, karena jiwa dan napas sudah menyatu.
8. Ajaran tentang Ma’rifat, yaqin, shakha, sadaq, syukur dan tafakur. Menurut Bahauddin Naqsyabandi ma’rifat merupakan suatu maqam yang dicapai dengan metode tertentu. Shalahuddin Al-Ayubi agak berbeda dalam menjelaskan tentang ma’rifat.
Menurut Shahuddin Al-Ayubi ma’rifat adalah pengenalan diri karena sesuai ungkapan Man A’rafa Nafsahu faqat A’rafa Rabbahu. Jadi manusia akan mengenal Allah melalui dirinya sendiri, maka di dalam diri itulah dapat mengetahui dengan Allah.
9. Menurut Bahauddin ajaran tentang Rabithah atau Wasilah diartikan dengan suatu mediasi seorang mursyid suatu hal yang dibutuhkan untuk sampai kepada Sang Mutlak, seseorang tidak hanya perlu pembimbing saja tetapi harus campur tangan pembimbing termasuk Nabi Muhammad Saw.
Menurut Bahauddin Naqsyabandi, seseorang harus menghubungkan dirinya dengan Nabi atau menemukan mata rantai yang menghubungkan dirinya dengan Nabi, yang berlanjut kepada hubungan dengan Allah, inilah yang dinamakan dengan Rabithah.
Rabithah itu adalah menghadirkannya di depan mata dengan sempurna atau menghayalkan rupa guru di tengah-tengah dahi karena dapat menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah, menghadirkan rupa guru di tengah-tengah hati, menghayalkan rupa guru di kening kemudian ke hati, serta menafikan diri dan menetapkan keberadaan guru.
Shalahuddin Al-Ayubi tidak menggunakan rabithah dan wasilah karena mengingat Shalahuddin Al-Ayubi hanya mengunakan metode dari media pikiran, jika sudah sering mengunakan pemikirannya maka sudah pasti jiwanya selalu ingat Allah, sudah pasti akan sampai ke Sang Mutlak, yaitu Allah.
B. Persamaan Ajaran Shalahuddin Al-Ayubi dengan Ajaran Bahauddin Naqsyabandi.
Kesamaan yang ajaran guru Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran Bahauddin Naqsyabandi terlihat dari tujuan mereka yang sama, yaitu ingin menjadikan hamba Allah agar tidak terpengaruh dengan duniawi dan tidak terombang ambing dengan zaman, kita dapat melihat ketika kedua tokoh berusaha menanamkan dalam jiwa baik Bahauddin Naqsyabandi maupun Shalahuddin Al-Ayubi sangatlah berusaha menjadikan para pengikut menjadi seorang manusia yang berpegang teguh dan tidak terombang-ambing dengan hal dunia dalam mengarungi perjalanan kehidupan, meskipun metode dan penjelasan mereka berbeda tetapi mereka memiliki tujuan yang sama.
Jika metode dari Bahauddin Naqsyabandi adalah metode amal zariyah, dimana seorang pengikut disibukkan dengan amalan yang banyak dan menjadikan jiwa para pengikut thariqat menjadi seorang yang sabar dan selalu mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah, pelajaran tersebut bertujuan untuk menciptakan jiwa agar selalu berpegang teguh dengan i’tikad yang dianutnya, tidak sulit bagi para pengikut dari thariqat menyikapi hal duniawi.
Sebagai contoh para pengikut dari Thariqat Naqsyabandiyah yang dipimpin Bahauddin Naqsyabandi, sering kita temui orang-orang dari pengikut thariqat hidup dengan pas-pasan bahkan kadang kekurangan, namun hal yang demikian tadi tidak menyulitkan mereka karena mereka sudah mantap dalam hati merasa cukup dengan apa yang Allah berikan dan bahkan mereka bersyukur dengan nikmat yang sudah diberikan Allah.
Adapun metode Shalahuddin Al-Ayubi adalah metode hakikat. Hakikat adalah ajaran yang mengarah kepada thariqat, dimana pikiran dan jiwa ditujukan hanya untuk Allah, walaupun kedua tokoh berbicara berlainan tetapi antara zhahir dan hakikat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seperti jika tidak ada jiwa maka bukan dikatakan manusia dan jika tidak ada anggota tubuh maka juga tidak bisa dikatakan manusia.
Tubuh adalah kesatuan jiwa dan tubuh yang tidak dapat dipisahkan, Shalahuddin Al-Ayubi mengajarkan kepada para pengikutnya untuk tidak terpengaruh pada hal dunia, menurut Shalahuddin Al-Ayubi memberikan ajaran melalui gambaran harta, wanita dan tahta sebagai perhiasan dunia yang sifatnya hanya mendatangkan kebinasaan.
Oleh karena itu, seharusnya seseorang menyerahkan diri kepada Allah dan menjadikan jiwa dipenuhi Allah dengan mengunakan metode wahdatul wujud, metode ini merasakan adanya Allah atau hanya Allah yang pasti ada, sehingga tidak terombang-ambing dengan dunia.
Jiwa yang sudah tertanam hanya Allah, merasakan semua yang dimiliki adalah milik Allah, bahkan dalam jiwa mereka sudah dipenuhi dzat Allah, ajaran Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi memang memiliki tujuan sama, tetapi metode yang digunakan berlainan.
Shalahuddin Al-Ayubi mengunakan ilmu hakikat seperti mengunakan pikiran, hakikat harta biasa mendatangkan perhiasan dan perlu berhati-hati dalam menyikapinya, sedangkan Bahauddin Naqsyabandi amal zahir seperti sabar syukur dan qana’ah, melalui jalan ini tampak sekali keduanya berpegang teguh tidak terpengaruh hal dunia melalui metode penyerahan diri.
C. Persamaan lain yang terlihat dari ajaran Shalahuddin Al-Ayubi dengan ajaran Thariqat Bahauddin Naqsyabandi sebagai berikut, yaitu :
1. Shalahuddin Al-Ayubi dan Bahauddin Naqsyabandi sama-sama mengajarkan tentang ruh yang berasal dari Nur Muhammad dan berasal dari Nur Ilahiyah, yang dinamakan oleh Bahauddin Naqsyabandi Lathifatul Qalbi atau Lathifah Rabbaniyah ruh suci yang bersemayam dalam tubuh insan sebagai hakikat insan yang sebenarnya, adapun Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan istilah apapun menjelaskan ruh.
2. Baik Bahauddin Naqsyabandi maupun Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan, bahwa nafas yang keluar masuk dari manusia tidak boleh alpa dari mengingat Allah, nafas berhembus keluar dan masuk, ketika menyebut nama Allah, nafas yang keluar disebut Hu, yaitu Allah, kemudian terus berdzikir dengan nama Allah. Bahauddin Naqsyabandi meng-istilah seperti Hawasy dardam, adapun Shalahuddin tidak mengunakan istilah apa-apa.
3. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan adanya perpindahan dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat malaikat yang terpuji. Bahauddin mengistilahkan dengan Safar darwathan, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan nama istilah apa-apa.
4. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang batin dan mata hati yang menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam bergaul dengan sesama makhluk. Bahauddin menyebut dengan istilah Khalwat, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan istilah apapun.
5. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang (penyatuan diri) dengan Nur Dzat Allah Yang Maha Esa tanpa berkata-kata, pada hakikatnya menghadapkan atau mencurahkan perhatian diri kepada Nur Dzat Allah tidak dapat dilakukan kecuali melalui fana (hilang kesadaran diri) dengan sempurna. Bahauddin mengistilahkan dengan Bad dasyat adalah tawajjuh, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi mengistilah wahdatul wujud.
6. Bahauddin Naqsyabandi dengan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang menjaga kehadiran hati dan perhatian secara sempurna dalam berdzikir menghayati maknanya, tidak ada kebenaran selain kebenaran Allah, dalam hati tidak boleh menyimpang hati dari kepada selain Allah, hati orang yang berdzikir hanya menghadapkan hatinya kepada Allah (wuquf) dengan lafadz-lafadz Allah, Bahauddin mengistilahkan dengan rol, sedangkan Shalahuddin Al-Ayubi tidak mengunakan istilah apapun.
7. Bahauddin Naqsyabandi dan Shalahuddin Al-Ayubi sama-sama mengajarkan tentang fana, yaitu penghancuran sifat manusia menuju dengan dzat Allah, setelah sifat manusia lenyap, maka akan menyaksikan peristiwa kebesaran Allah, ketika manusia sudah sampai melihat kebesaran Allah maka akan sampai pada fana, kemudian berlanjut menuju Nur Allah, yang dapat menembus alam-alam gaib.
8. Ritual Thariqat Naqsyabandiyah dengan ritual guru Shalahuddin Al-Ayubi sama dengan ritual thariqat pada umumnya, misalnya seorang murid yang ingin menempuh perjalanan menuju Allah harus melalui perjuangan yang sungguh-sungguh, seperti harus berkhalwat (mengasingkan diri dari orang ramai), berpuasa selama 40 hari, serta membaca bacaan dzikir dan shalawat yang telah ditentukan oleh guru Shalahuddin Al-Ayubi.
Posting Komentar untuk "Mengupas Perbedaan Ajaran Thariqat Shalahuddin Al-Ayubi Dengan Ajaran Bahauddin An-Naqsyabandi"
Terimakasih atas kunjungan anda...