Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Perjanjian (Bai'at) Yang Pertama

Perjanjian pertama itu adalah pernyataan janji (bai'at) yang disampaikan anak manusia kepada Penciptanya, saat itu manusia masih berada di alam ruh, sebelum ditiupkan ruhnya dalam janin di rahim seorang ibu. Di saat kondisi anak Adam masih dalam keadaan bersih (fitrah) sesuai takdir yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta baginya, saat lembaran hidupnya masih putih bersih dan sedikitpun belum tergores apapun, sekalipun hanya oleh sehelai benang, kemudian Allah memasukkan ilmu (pengenalan) yang datangnya langsung dari urusan-Nya, bahwa Allah adalah Rabb (Tuhan)nya.

Selanjutnya manusia menjawab: "Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi". Itulah "ilmu" yang pertama kali dimasukkan Allah ke dalam memori khazanah keilmuan anak manusia, dengan pengenalan itu, maka setiap anak manusia yang terlahir di dunia pasti dengan membawa pengertian bahwa di alam ini ada Tuhan yang menciptakannya.

Oleh sebab itu, meski manusia tinggal di tempat sangat terpencil, mereka pasti cenderung mencari siapa sebenarnya Tuhan mereka, kecuali orang yang mata hatinya telah buta, disebabkan karena ditutup oleh rasa ingkar dan penyakit hati yang tidak mampu disembuhkan.

Perjanjian pertama itu sesungguhnya adalah "ilmu hakikat" yang pertama kali dimiliki oleh anak manusia, namun karena masuknya ilmu hakikat itu langsung secara ruhaniah, maka ilmu itu harus dilengkapi lagi dengan ilmu syari‘at secara jasmaniah (rasional ilmiah).

Untuk tujuan inilah Allah mengutus para Nabi dan Rasul serta menurunkan kitab-kitab samawi di muka bumi, sehingga manusia yang secara naluriah terlahir dengan rasa ingin tahu akan tuhannya itu kemudian di dalam pencariannya benar-benar dapat menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya.

Apabila ilmu hakikat itu tidak dilandasi dengan ilmu syari‘at yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul yang kemudian dilanjutkan oleh para ulama pewaris Nabi, maka kecenderungan orang mencari tuhan itu seringkali terjebak dengan daya imajinasinya sendiri.

Akibatnya, bintang, bulan matahari, pohon, batu, gunung, api dan bahkan bagian anggota tubuhnya sendiri dipuja dan disembah, dikira itu adalah tuhan mereka, keadaan seperti itu telah digambarkan Allah di dalam tahapan perjalanan ruhaniah Nabi Ibrahim As melalui firman-Nya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat." Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-An‘am : 75-79).

Ayat di atas merupakan ungkapan luar biasa, yang hanya mampu diungkapkan oleh Firman Allah dengan ilustrasi pengembaraan ruhaniah manusia melalui kemampuan rasional dengan melihat tanda-tanda yang dapat di baca.

Apabila manusia mampu mencermatinya maka mereka akan mampu menemukan Tuhannya seperti yang pernah di temukan oleh seorang manusia utama yang menjadi panutan manusia sepanjang zaman tersebut, yaitu Nabiyullah Ibrahim As.

Adapun perjanjian pertama yang dilakukan manusia tersebut telah diabadikan Allah dalam firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman ): “Bukankah Aku adalah Tuhan-Mu" dan dia saat itu telah menjawab: "Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lupa terhadap (persaksian) ini.” (Q.S. Al-A‘raaf : 7/172).

Ketika peristiwa yang terjadi di alam ruh itu dibeberkan secara rasional ilmiah dengan Firman-Nya, maka berarti dengan ayat di atas, Allah tidak sekedar memberi kabar akan siapa sesungguhnya Tuhan manusia itu, namun juga menegaskan bahwa sebelum manusia dilahirkan oleh ibunya di dunia, sesungguhnya mereka telah melaksanakan bai'at yang pertama kepada Tuhannya “Bukankah Aku adalah Tuhan-Mu" dan dia saat itu telah menjawab: "Ya Engkau adalah Tuhanku dan aku bersaksi."

Dengan perjanjian tersebut, supaya di hari kiamat nanti manusia tidak ingkar dan mengatakan: "Sesungguhnya kami orang-orang yang lupa terhadap (persaksian) ini, sungguh ini merupakan bagian keajaiban Al-Qur‘an Al-Karim, bahwa rahasia kejadian di alam gaib dari bagian perjalanan hidup anak manusia telah dikuak.

Dialog antara seorang hamba dengan Tuhannya di alam ruh itu bukan sekedar perkenalan antara seorang hamba dengan Tuhannya saja, namun juga penegasan, bahwa Sang Pencipta dan Sang Pemelihara itu hanyalah Allah dan tidak ada yang lain lagi selain-Nya.

Dengan ayat itu, seharusnya manusia tidak ragu lagi, bahwa sesungguhnya tiada Tuhan yang patut disembah kecuali hanya Allah, namun ternyata dari sebagian orang yang mengaku beriman ada yang mengingkari peristiwa tersebut, mereka berkata: "Itu hanya pengakuan Al-Qur‘an saja, sesungguhnya persaksian itu tidak pernah terjadi, buktinya tidak ada seorangpun ingat akan peristiwa tersebut, orang yang mengatakan seperti itu, terlebih mereka mengaku beriman, sejatinya itu semata-mata karena kebodohan hatinya belaka, sehingga mereka menjadi kafir kepada Tuhannya.

Hal itu, karena mereka tidak bisa membedakan, mana yang harus diketahui dan mana yang harus di imani. Ilmu pengetahuan manusia semestinya tidak mengadakan observasi terhadap hal gaib yang hanya bisa dikabarkan oleh wahyu saja, karena arena akal manusia tidak mungkin dapat mencapainya.

Terhadap apa-apa yang disampaikan oleh wahyu tersebut, manusia hanya wajib beriman, karena iman itu dirasakan dengan hati bukan dengan akal, inilah hidayah azaliah yang jika manusia tidak mendapatkannya, ia berada di jurang kekufuran kepada Tuhannya.

Jangankan peristiwa yang terjadi di alam ruh yang memang akal belum tercipta manusia mampu mengingatnya, terhadap peristiwa yang jelas-jelas di alami semua orang saja, yaitu saat mereka masih menjadi seorang bayi dan menyusu kepada ibunya, pengalaman nyata itu tidak ada seorangpun dapat mengingatnya, meski kadang-kadang mereka pernah menyusu kepada ibunya selama dua tahun.

Kalau kejadian yang dialami di alam lahir saja, bahkan sepanjang dua tahun tersebut ada yang tidak terekam oleh memori akal, apalagi peristiwa yang terjadi di alam Ruh, yang saat itu akal belum ada.

Posting Komentar untuk "Perjanjian (Bai'at) Yang Pertama"