Khianat Horizontal
Khianat Kepada Sesama Manusia
Khianat yang kedua ini adalah khianat kepada komitmen yang dibangun dengan sesama manusia, apabila itu dikaitkan dengan khianat yang pertama, maka orang yang berbuat khianat kedua ini sejatinya sama saja dengan khianat kepada Tuhannya.Karena yang pertama adalah khianat kepada komitmen secara universal dan yang kedua khianat kepada komitmen secara individual yang seharusnya sebagai implementasi dari komitmen yang pertama, namun demikian, oleh karena secara lahir obyek yang dikhianati itu berbeda, maka dampaknya juga berbeda.
Hubungan antara suami dengan istrinya, istri dengan suaminya, guru dengan muridnya, murid dengan gurunya, antara sesama anggota masyarakat, walau secara hakiki hubungan tersebut sudah dibangun atas dasar komitmen secara universal, yaitu atas dasar hanya semata-mata perwujudan pelaksanaan pengabdian kepada Allah, namun demikian hubungan itu juga harus dibangun dengan komitmen secara individual.
Bahkan dari jenis dan sifat komitmen yang berbeda, dampak khianatnya juga akan menjadi berbeda pula, khianat seorang murid kepada gurunya dan seorang guru kepada muridnya, sama nilainya dengan khianat seorang ulama kepada umatnya dan umat kepada ulamanya.
Masing-masing itu akan membawa dampak, akan tetapi dampak khianat yang dilakukan seorang guru kepada muridnya atau seorang kyai kepada umatnya walaupun secara khusus lebih ringan akan tetapi secara umum jauh lebih berat dan lebih membahayakan.
Adapun khianat seorang murid atau umat kepada gurunya atau kepada ulamanya, walaupun secara khusus lebih berat namun secara umum lebih ringan, khianat yang dilakukan seorang murid thariqat kepada guru mursyidnya misalnya, walau dampaknya bisa sangat membahayakan bagi si murid, karena bisa mengakibatkan putusnya pertalian silsilah ruhani antara murid dengan guru mursyidnya, yang itu bisa jadi menjadi muasal turunnya musibah bagi murid itu di dunia, meskipun demikian, dampak itu akan ditanggung oleh murid itu sendiri.
Tidak demikian apabila khianat itu dilakukan oleh pihak kyai kepada umatnya, dampaknya akan menjadi sangat luas, bahkan mampu menjadi paradigma dan tradisi yang mengakar kepada generasi berikutnya.
Hubungan antara seorang kyai dengan santrinya misalnya, ketika seorang santri dalam perjalanan berguru itu, untuk mendapatkan kemanfaatan yang luas dan berkhidmah kepada gurunya, kemudian harus mengeluarkan biaya, sebesar apapun biaya hidup itu, bahkan sebagian besar diberikan kepada kyainya misalnya, maka yang demikian itu adalah hal yang lumrah.
Apabila hal tersebut diniatkan ibadah melalui berkhidmah kepada gurunya, maka murid itu akan mendapatkan kemanfaatan darinya, demikian pula seorang kyai, apabila di dalam perjalanan mengajarkan ilmu kepada murid itu menerima pemberian dari santrinya, sebesar apapun pemberian itu, itu juga tidak apa-apa asal bukan pemberian itu yang menjadi motivasi utamanya dalam mengajar.
Bahkan aturan-aturan yang ditetapkan untuk para santri, sebagian besar hanya disesuaikan untuk kepentingan pribadi bukan kemaslahatan santri, maka kalau ada orang mengamalkan ilmu agama dengan cara seperti itu, terlebih apabila niatnya semata untuk mendapatkan keuntungan duniawi, itulah gambaran orang yang berkhianat kepada ilmunya sendiri, baik kepada komitmen secara universal maupun individual.
Bahkan orang yang seperti itu adalah termasuk berbuat dosa besar, alasannya, karena orang datang kepada dirinya untuk mencari akhirat, sedangkan dirinya menerima orang yang datang itu untuk mencari keuntungan duniawi.
Khianat seperti itu akan membawa dampak yang berat dan luas terhadap kyai tersebut dan keluarganya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, jangka pendek akan berdampak kepada dirinya sendiri, yaitu karena telah menikmati kenikmatan hidup hanya dengan dasar kemauan nafsu syahwat belaka, terlebih datangnya kenikmatan itu dari fasilitas agama, maka kenikmatan itu harus mereka pertanggungjawabkan dengan hisaban yang panjang dan berat di akhirat.
Sedangkan jangka panjang, oleh karena yang mengerjakan cara itu adalah seorang panutan umat, maka segala perbuatan itu dianggap benar dan akan di ikuti generasi penerusnya, baik santrinya maupun anak cucunya, sehingga akhirnya sama saja membangun tradisi negatif yang tidak mudah disadari oleh pengikutnya.
Sebabnya, ilmu yang diajarkan itu adalah ilmu yang baik tapi akhlak yang dicontohkan bukanlah akhlak yang mulia seperti akhlak para Nabi, para Rasul dan ulama salafush sholeh pewaris Nabi.
Akibatnya, ketika penerus-penerus itu sudah mendapatkan ilmu Agama dengan tanpa dasar akhlak yang baik itu, akhirnya ilmu itu juga akan dijual kepada manusia dengan harga yang murah sebagaimana yang dicontohkan pendahulunya.
Demikian juga seorang mubaligh yang memberikan ceramah agama dari panggung yang satu kepada panggung yang lain misalnya, apabila dengan ceramah itu kemudian mendapat ongkos ceramah, sebesar apapun ongkos yang diterima, itu tidak apa-apa, mubaligh itu tidak berdosa asal tujuan ceramah itu benar-benar niat beribadah kepada Allah, ikhlas menyampaikan ilmu agama agar umat menjadi mengerti dan mengikuti hidayah Allah : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl : 125).
Akan tetapi kalau ternyata hanya ongkos jalan itu yang sejatinya menjadi tujuan utama berceramah, karena kegiatan ceramah itu adalah satu-satunya sarana untuk mencukupi kebutuhan sandang pangan keluarganya, sehingga mereka terjebak tipu daya nafsu dan syetan, yaitu memperdagangkan pola berceramah yang divariasikan dengan hiburan agar para pendengarnya merasa senang dan mengundang lagi di lain kesempatan, ceramah yang hanya mengundang gelak tawa yang konsumtif untuk senam perut, bukan membangkitkan semangat ibadah spiritual yang dapat menggugah hati yang lalai menuju jalan Ilahi.
Kalau seperti itu keadaannya, sehingga orang sulit bisa membedakan, artis yang sedang memberikan ceramah atau penceramah yang ingin sekaligus menjadi artis, maka berarti mubaligh tersebut telah berkhianat terhadap komitmen ilmunya.
Secara individual, khianat itu akan membawa dampak negatif kepada diri sendiri, yang demikian itu, karena mereka sejatinya telah menjual ilmu agama dengan harga murah, terlebih secara universal, dampak negatif itu bahkan akan mampu membangun paradigma jelek yang akan di ikuti oleh siapa saja.
Sebabnya, bukannya dengan ceramah seperti itu dapat menyelamatkan umat dari gelombang godaan zaman, akan tetapi justru menghanyutkan umat kepada arus tipu daya nafsu dan syetan, karena umat menjadi buta, tidak mampu membedakan mana yang tuntunan dan mana yang tontonan.
Kalau yang semestinya tuntunan kemudian menjadi tontonan, maka yang tontonan pasti dengan sendirinya akan menjadi tuntunan, selanjutnya yang tuntunan itu akan ditinggalkan umat dan beralih menjadikan tontonan menjadi tuntunan.
Itulah muasal yang menjadikan sebab umat menjadi sesat dan menyesatkan, karena mereka kehilangan pegangan yang benar, apabila hal tersebut tidak segera ada perbaikan, boleh jadi kehancuran bagi umat Islam secara keseluruhan tinggal menunggu saatnya saja.
Memang yang dapat mengaburkan ajaran Islam hanyalah orang Islam sendiri, bukan orang lain, demikian yang disinyalir dengan sabda Nabi Saw : “(kebesaran) Islam akan ditutupi oleh orang Islam sendiri.” Al-Hadits.
Siapa saja orangnya, baik Santri, Mubaligh maupun Kyai, sebelum menyampaikan ilmunya kepada orang lain, seharusnya ilmu itu terlebih dahulu mampu diamalkan untuk diri sendiri, dijadikan pelita akal dan hati agar akhlaknya mampu yang memancarkan nur hidayah Allah, memancarkan nur ilmu dan nur iman yang sudah terpendam didalam pelaksanaan akhlak yang mulia.
Sehingga ketika ilmu itu giliran harus menyinari orang lain, supaya para Mubaligh itu tidak menjadi seperti lilin, orang lain mendapatkan sinar tapi dirinya sendiri terbakar dengan apinya, karena yang didapatkan dari ilmu yang disampaikan itu hanya keuntungan duniawi yang akan membawa kehancuran bagi diri sendiri.
Hendaknya para penyampai ilmu itu ingat bahwa Allah sudah mengatur kehidupan dakwah mereka, yaitu seperti yang sudah diamalkan para pendahulu-pendahulu mereka, para Nabi dan para
Rasul dan juga Ulama-Ulama pewarisnya, bahwa Allah telah menyatakan aturan itu dengan firman-Nya : “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (Q.S. Asy-Syu'ara (26) : 109).
Ulama sejati itu tidak minta imbalan upah dari da‘wah yang mereka lakukan, meski juga tidak menolak pemberian yang datang, bahkan sebagian mereka membiayai sendiri perjuangan dan pengabdian yang mereka kembangkan.
Mereka berdagang sambil berdakwah bukan berdakwah sambil berdagang seperti yang dilakukan banyak orang, terlebih dengan memperdagangkan berdakwah dengan cara murahan, baik di panggung hiburan maupun di hotel berbintang, seperti yang sedang marak zaman sekarang.
Ulama‘ sejati itu tidak seperti itu, bahkan dengan potensi dunia yang mereka miliki bagaimana kehidupan akhirat mereka menjadi kuat, bukan sebaliknya, dengan fasilitas agama bagaimana kehidupan dunia mereka menjadi terangkat.
Itulah gambaran Ulama sejati, orang yang mampu membangun rumah akhirat bukan hanya dengan ibadah, do‘a dan dakwah saja, tapi juga dengan harta benda yang sudah mereka kuasai : “Dan carilah pada apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash : 77).
Ayat tersebut di atas, yang menyatakan larangan bagi para Mubaligh untuk minta upah dari kegiatan dakwah mereka, diulang sebelas kali dalam Al-Qur‘an Al-Karim, enam kali di dalam QS. Asy-Syu‘araa‘ : ayat 109, 127, 145, 164, 180, dengan kalimat dan arti yang sama. Satu kali dalam QS al-An‘am : ayat 90 dan dua kali dalam QS. Hud ayat 29 dan 51, serta satu kali di dalam QS. Al-Furqan ayat 57, juga satu kali di dalam QS. Shad ayat 82 dan satu kali dalam QS. Asy-Syura ayat 23.
Meskipun dari sekian peringatan Allah itu ada yang datang dengan kalimat agak berbeda, tapi semuanya substansi sama yaitu: Apabila tujuan dakwah ujung-ujungnya adalah keuntungan duniawi bukan ridha Allah di syurga, maka siapapun pelaksananya, berarti mereka telah berbuat khianat kepada Allah, karena telah menyalahgunakan ilmu Allah yang diamanatkan kepada mereka.
Demikian itu menunjukkan betapa sangat pentingnya urusan belajar dan mengajar ilmu Allah ini, sekaligus menjadi indikasi bahwa urusan inilah yang paling banyak dilanggar oleh para pelakunya, yaitu orang-orang yang mengaku pembawa panji-panji agama Allah, namun dengan ilmu yang mulia itu malah menjadikan mereka hina, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebabnya, mereka hanya berlomba-lomba dalam hal urusan lahir saja dan melupakan yang batin, mengemas semenarik mungkin pola ceramah yang dilakukan, seperti mengemas komoditi pasar, agar dakwahnya selalu laku di pasaran.
Kalau orientasi dakwah itu hanya kemasan luarnya saja, terlebih dengan dihiasi musik campur sari dan dangdutan, sebagaimana yang sedang marak dewasa ini, maka jangan-jangan yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah di bawah ini : “Dan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan mereka, lalu ia menghalangi mereka dari jalan (Allah), sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.” (QS. Al-'Ankaabut (29) : 38).
Orang yang terhalang dari jalan Allah itu adalah “Orang yang berpandangan tajam”, demikian yang dinyatakan Allah di dalam ayat yang mengandung peringatan, berarti mereka itu bukan dari golongan orang yang bodoh dan awam, tapi orang yang berilmu tinggi dan pengertian rasional yang mapan.
Namun karena mereka melupakan perjanjian, maka mereka menjadi terhalang dari jalan yang terpampang, disebabkan syetan menjadikan mereka memandang baik perbuatan yang mereka lakukan.
Seperti itulah yang pernah terjadi pada kaum 'Aad dan kaum Tsamud, sehingga mereka akhirnya dihancurkan, karena peringatan yang didatangkan tidak mampu menjadi perhatian.
Bukannya orang tidak boleh mengemas bagian luar kehidupan agamanya dengan baik, itu boleh saja, asal dengan kesadaran yang mendalam, bahwa kemasan yang di luar itu hanya buih yang akan hilang tiada berarti, sedangkan yang bermanfaat adalah niat yang ada dalam hati, demikian yang telah ditegaskan Allah dengan firman-Nya : “Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi, demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Q.S. Ar-Ra'd (13) : 17).
Ayat di atas juga mengandung peringatan, bahwa orang beriman hendaknya tidak banyak harapan kepada amal ibadah yang dapat dilihat orang, karena itu hanya sekedar buih yang sebentar akan hilang, namun demikian, buih seperti itu boleh ditampakkan, asal sebagai tanda bahwa di dalam hati sedang ada pekerjaan, yaitu nur ilmu dan nur iman yang sedang memancarkan kasih-sayang kepada semua orang meski bukan sanak dan kadang.
Kalau tidak demikian, barangkali umat ini memang sedang menunggu giliran, datangnya gempa bumi yang pernah menghancurkan Negeri kaum 'Aad dan kaum Tsamud yang kini tinggal kenangan.
Sejarah bumi memang seringkali datang berulang, seperti angin sedih malam hari ditiup syetan yang datang bergiliran, karena bumi memang tempatnya orang yang suka lupa perjanjian, dibuai mimpi siang hari sehingga menjadikan lupa daratan, dari dahulu dan sekarang juga demikian, sebab syetan menjadi teman manusia di dalam perjalanan, berjalan seiring mengejar bayangan yang tidak kunjung datang, sehingga peringatan Tuhan tidak membawa kemanfaatan, kecuali gempa dan siksa sudah datang di depan mata telanjang maka kehancuran generasi menjadi tidak terelakkan.
Semoga kita dan handai taulan dimasukkan di dalam golongan orang beriman yang mendapat perlindungan.
Posting Komentar untuk "Khianat Horizontal"
Terimakasih atas kunjungan anda...