Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tujuh Pembuka Pintu Hati

Untuk membangun sebab-sebab agar hati seorang hamba menjadi khusu’, satu-satunya cara ialah, hendaklah seorang hamba melaksanakan mujahadah di jalan Allah Ta’ala, karena dengan mujahadah itu supaya Allah Ta’ala memberikan futuh (terbukanya penutup hati) sebagaimana yang telah di janjikan-Nya : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. Al-Ankabut 29/69).

Dalam kaitan terbukanya pintu hati tersebut, dengan di kaitkan kepada firman Allah Ta’ala berikut ini : "Sesungguhnya Waliku adalah Allah, yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an). Dan Dia memberikan Walayah kepada orang yang shaleh." (Q.S. Al-A’raaf 7/196).

Salah satu hasil yang dapat di peroleh dari pelaksanaan mujahadah dan riyadhah yang istiqamah(thariqah) yang benar, hati seorang salik akan mendapatkan futuh dari Allah Ta’ala, yaitu terbukanya mata hati untuk menerima hidayah yang di datangkan secara bertahap sampai tujuh tahap.

Dengan “tujuh tahap futuh” tersebut seorang hamba berpotensi mendapatkan “ma’rifatullah”, mencintai dan di cintai-Nya, tahapan futuh tersebut adalah :

1. Terhadap orang yang beribadah dengan bersungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Allah itu, sebagai buah dzikir yang di lakukan, tahap pertama, Allah akan membuka empat pintu dzikir di dalam hatinya. Empat pintu dzikir itu adalah :


• Pintu pertama, lesannya di mudahkan untuk berdzikir kepada Allah namun dengan hati masih dalam keadaan lupa kepada-Nya.
• Pintu kedua, lesannya berdzikir dengan hati yang sudah mulai ingat.
• Pintu ketiga, lisannya berdzikir dengan hati yang hadir di hadapan Allah.
• Pintu keempat, lisannya berdzikir dengan hati yang lupa kepada selain yang di dzikirkan.

Adalah empat tahap terbukanya pintu mata hati (futuh) untuk supaya seorang salik (berjalan di jalan Allah atau berthariqah) dapat merasakan kenikmatan berdzikir yang harus mampu di selesaikan di dalam riyadhah (latihan) yang di lakukan, sampai mereka benar-benar dapat merasakan kenikmatan “bermujalasah” (bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala).

Seperti menu makanan yang harus di makan setiap hari, setelah hati mampu menikmati kenikmatan dzikir itu, maka dzikir-dzikir yang harus di laksanakan setiap hari itu sebagai kewajiban pribadi yang sudah di bai’ati di hadapan guru mursyidnya tidak lagi menjadi beban hidup yang harus di tanggung, tapi malah menjadi kebutuhan hidup yang sudah tidak dapat di tinggalkan lagi.

Yang demikian itu karena hati seorang hamba telah wushul kepada Tuhannya sehingga mata hatinya mampu bermusyahadah kepada-Nya, melihat dan menyaksikan keelokan qadha’ dan qadar-Nya, seperti orang yang sedang kasmaran yang duduk di sisi kekasihnya, maka kenikmatan dalam kebersamaan itu mampu mengalahkan kenikmatan lain yang ada di alam sekitarnya.

2. Ketika seorang salik sudah dapat merasakan keni'matan berdzikir, maka di buka baginya pintu kedekatan dengan Allah Ta’ala, dengan di bukanya pintu kedekatan itu, maka mereka di manapun berada, seorang salik itu merasa berada di sisi Allah Ta’ala.

Berada dalam perlindungan, pemeliharaan dan pertolongan-Nya, sehingga kenikmatan-kenikmatan hidup yang selama ini terhijab oleh ketamakan dan kerakusan hati serta pengakuan hawa nafsu, kini, setelah mata hati itu menjadi cemerlang, anugerah-anugerah ilahi itu menjadi tampak terang di pelupuk mata, yang demikian itu menjadikan hatinya merasa malu kepada Allah Ta’ala, betapa selama ini dia belum pernah mensyukurinya.

Hasilnya, sejak itu hidupnya menjadi penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, tidak merasa ada yang kurang suatu apapun lagi sehingga mampu menerbitkan rasa syukur yang hakiki.

Setelah kesyukuran itu mampu menjiwai prilaku dan karakter kehidupannya, maka Allah akan menurunkan tambahan kenikmatan lagi, sehingga, di dalam menempuh kehidupan selanjutnya, mereka tidak merasa takut dan khawatir lagi untuk selama-lamanya.

Itulah ilmu yakin yang didapatkan dari buah ibadah yang tidak mungkin bisa didapatkan melalui proses belajar mengajar, ilmu yakin itu adalah ilmu yang maha luas, seperti samudera tidak bertepi dan dari situlah kemudian hati seorang hamba menjadi hati
yang khusu’.

3. Kemudian di angkat kepada maqam kerinduan dengan Allah, setelah hijab-hijab yang menyelimuti mata hati itu menjadi sirna, sehingga hati itu mampu merasakan setiap kenikmatan yang ada, terlebih di saat salik itu mengadakan pendekatan(taqarrub) dengan ibadah dan mujahadah, selanjutnya timbullah rasa rindu kepada Allah Ta’ala. Rindu untuk selalu mendekat ke hariba’an-Nya.

Hasilnya, dalam keadaan yang bagaimana dan di manapun berada, kecemerlangan hati itu selalu di jaganya, mereka takut kalau-kalau kejernihan itu menjadi keruh kembali, sehingga apapun yang di lakukan, baik ibadah vertikal maupun horizontal, di laksanakannya semata-mata untuk menjaga hati itu supaya tidak menjadi keruh lagi.

Allah menggambarkan keadaan itu dengan firman-Nya : “Laki-laki yang tidak di lalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat, mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (Q.S. An-Nur 24/37).

4. Selanjutnya seorang salik itu di dudukkan di atas kursi-kursi ketauhidan, artinya, dalam keadaan bagaimanapun hatinya akan selalu mampu bertauhid kepada Allah Ta’ala.

• Pertama : Bertauhid di dalam tujuan (tauhiidul qashdi).
• Kedua : Bertauhid di dalam perbuatan (tauhiidul fi'li).
• Ketiga : Bertauhid di dalam pemilikan (tauhiidul milki).
• Keempat : Bertauhid di dalam kejadian (tauhiidul wujud).

Dengan terbukanya empat tahap pintu tauhid itu, menjadikan seorang hamba dapat terhindar dari perbuatan syirik, baik syirik di dalam tujuan amal, di dalam amal perbuatan, di dalam hak pemilikan dan syirik di dalam wujud, selanjutnya menjadikan seorang salik itu mampu tidak takut dan tidak berharap lagi kecuali hanya kepada Allah Ta’ala.

Itulah kekuatan aqidah yang tidak cukup hanya di bangun dengan penguasaan ilmu pengetahuan saja, namun juga harus di bangun dengan pelaksanaan amal ibadah yang istiqamah.

Kalau orang hanya mengerti tentang tauhid secara teori saja, bukan kekuatan tauhid yang di bangun dengan dzikir dan wirid yang istiqamah di dalam hati, maka tauhid itu dominan di lahirkan dengan ucapan di bibir saja, bahkan seringkali di aktualisasikan dengan mensyirikkan dan membid’ahkan amal ibadah orang lain.

Akibatnya, di samping seperti maling teriak maling, karena sejatinya, tanpa terasa mereka sendirilah yang suka berbuat syirik dan bid’ah itu, juga statemen itu dapat meresahkan umat dan perpecahan masyarakat di mana-mana.

Demikianlah yang banyak di lakukan oleh para pendatang baru di dalam komunitas masyarakat, di komplek-komplek perumahan yang masyarakatnya heterogen, sebelum mereka datang, aktifitas keagamaan di tengah masyarakat yang heterogen itu berjalan dengan damai.

Namun setelah mereka datang, dengan mengatasnamakan amal ma’ruf nahi munkar, mereka malah memporak-porandakan kedamaian tersebut dengan statemen “syirik dan bid’ah” yang mereka budayakan, sebagai ciri khas yang paten akan keberadaan mereka di mana-mana.

Seperti tentara-tentara syetan yang bertugas mengadu domba manusia, bisanya mereka hanya menyalahkan kebiasaan yang di lakukan masyarakat setempat yang jelas-jelas telah menunjukkan hasil yang positif, yaitu kerukunan dalam pergaulan bermasyarakat, karena masyarakat telah terbiasa menerima perbedaan yang ada, namun setelah mereka datang, masyarakat malah menjadi bingung dan terpecah belah.

Mereka mengatakan yang demikian itu amar makruf nahi munkar, tapi mengapa hasilnya justru “kemunkaran” yang akhirnya menjadikan kekacauan dan perpecahan yang berkepanjangan?.

Yang demikian itu, karena sejatinya tauhid mereka hanya di bibir saja, sedang hatinya penuh dengan syirik dan kemunkaran telah mampu di buktikan sendiri oleh hasil kinerja mereka di tengah-tengah masyarakat.

Ironisnya, sarang mereka justru di masjid-masjid yang di bangun oleh jerih payah masyarakat yang kemudian mampu di kuasai oleh keserakahan hati mereka yang di bungkus dengan managemen secara professional dan sistematis, melengserkan kepengurusan terdahulu yang notabene masyarakat tradisional dan awam.

5. Setelah tauhid yang ada dalam hati salik itu semakin mapan, kemudian hijab-hijab hatinya di angkat dan hati mereka di masukkan ke dalam pintu Wahdaniyat.

Kekuatan suluk(mistikisme) yang mampu di aktualisasikan di dalam pelaksanaan dzikir dan wirid istiqamah yang di dasari tauhid yang hakiki, menjadikan hati seorang hamba fana di hadapan Tuhannya.

Nuraninya menyatu di dalam rahasia keEsaan-Nya, seperti segelas racun ketika di tuangkan di tengah samudera, maka air yang campur dengan racun itu seketika menjadi air murni lagi.

Demikianlah, hati manusia yang telah tercemari kotoran basyariyah itu, dengan pelaksanaan suluk yang terkendali, akhirnya hati itu kembali kepada fithrahnya lagi, yang demikian itu, karena sejatinya asal mula air racun dan air samudera itu memang terlahir dari benda yang sama, seandainya yang satu dari minyak dan satunya air, meski di campur dengan cara yang bagaimanapun kuatnya, keduanya pasti tidak dapat bersatu untuk selama-lamanya.

Itulah gambaran hati yang beriman dan hati yang kafir, meski kadang-kadang mereka telah mampu menunjukkan penampilan dhahir yang sama, sama-sama melaksanakan ibadah di bawah satu atap masjid yang sama, bahkan sama-sama memakai baju dan pecis putih di dalam suatu komunitas majlis dzikir yang di bimbing oleh seorang guru mursyid yang suci lagi mulia, namun kehidupan mereka ternyata tidak mampu menunjukkan sikap persaudaraan yang hakiki, bahkan selalu saling bermusuhan dan sikut-sikutan dengan dasar kemunafikan hati yang tidak berkesudahan.

6. Setelah yang asalnya berbeda itu telah mampu kembali ke asalnya, kembali ke Haribaan-Nya di dunia fana, maka selanjutnya di buka penutup-penutup Keagungan dan Kebesaran Allah yang selama ini menutupi sorot mata hati-nya dan ketika mata hati yang tembus pandang itu selalu melihat Keagungan dan Kebesaran Tuhannya, maka jadilah hati itu menjadi fana dengan dirinya sendiri.

7. Selanjutnya, di sampaikannya kepada-Nya, penjagaan dan pemeliharaan Allah, adapun penjagaan dan pemeliharaan pertama kali yang di berikan adalah, seorang hamba itu, di jaga dan di pelihara dari pengakuan nafsunya sendiri, maka jadilah ia seorang
yang telah mendapatkan Walayah atau seorang waliyullah.

Tujuh tahapan futuh tersebut adalah tahapan terbukanya matahati seorang hamba untuk dapat bermusyahadah dan berma’rifat kepada Allah Ta’ala yang harus di capai melalui tahapan suluk (meditasi
secara islami).

Untuk yang demikian itu, seorang hamba harus menjalani jalan ibadah(thariqah) yang terbimbing oleh guru ahlinya (guru mursyid yang suci lagi mulia).

Posting Komentar untuk "Tujuh Pembuka Pintu Hati"