Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Tentang Ilmu Dan Iman

Ilmu dan Iman
Secara qudrati, sifat akal manusia memang selalu ingin tahu, karena akal adalah rumah tempat kediaman ilmu pengetahuan, namun demikian, terhadap ilmu tentang pemahaman agama, terlebih yang menyangkut urusan qada’ dan qadar, yang di dalamnya tidak hanya mengandung hal-hal yang dhahir, tapi juga yang batin.


Oleh karena akal manusia hanya mampu menampung ilmu pengetahuan yang dhahir saja, maka yang pasti, akal tidaklah selalu mampu mencerna pemahaman agama itu, maka akal dan ilmu pengetahuan harus di sinari dengan nur iman, supaya kemudian dapat di tindaklanjuti dengan amal perbuatan.

Ketika Allah Ta’ala menghendaki membuka mata hati hamba-Nya, maka dengan sendirinya kepada hal-hal yang sifatnya ghaib dari bagian urusan qada’ dan qadar itu, akal akan menjadi mengerti dan memahami.

Rasulullah Saw telah menegaskan yang demikian itu dengan sabdanya : Di riwayatkan dari Abu Hurairah Ra, ia berkata : “Rasulullah Saw bersabda : “Manusia tidak akan pernah berhenti bertanya, sehingga di katakan bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan makhluk, lalu mereka bertanya lagi : “Siapakah yang menciptakan Allah?”.

Barang siapa yang mendapati pertanyaan Maksudnya, seperti nafsu, kehendak akal juga tidak selamanya boleh di perturutkan oleh manusia, akan tetapi harus mampu di atur sedemikian rupa dan di kendalikan dengan kuat, dalam hal ini hati yang harus mampu memposisikan diri sebagai pengendali itu, karena hati adalah ibarat raja sedangkan angota tubuh yang lain adalah bala tentaranya. Oleh karena itu di sabdakan di dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal darah, apabila baik maka seluruh anggota tubuh akan menjadi baik dan apabila rusak maka seluruh angota tubuh akan menjadi rusak pula, ingatlah ia adalah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim.

Ketika akal dengan ilmu mengajak manusia berbuat berlebihan melewati batas kemampuan yang ada, sebelum hawa nafsu ikut mengambil keuntungan di dalamnya, maka hati dan iman harus cepat-cepat tanggap serta sanggup menahannya, memotong gerak langkah akal dan kemudian di sandarkan kepada qada’ dan qadar Allah Ta’ala sesuai dengan kekuatan iman yang ada dalam dada.

Seperti yang telah di contohkan Rasulullah Saw dalam haditsnya di atas, oleh karena itu, di dalam hati manusia harus ada iman yang kuat, kalau tidak maka aktifitas akal sulit untuk dapat di kendalikan, akibat hati tanpa iman itu, ketika kenyataan dalam realita kehidupan yang di alami manusia itu ternyata tidak seperti yang di harapkan kemauan akalnya, di dalam batas-batas tertentu, yaitu ketika tekanan hidup manusia semakin menghimpit akalnya, maka manusia rentan menjadi terkena penyakit strees dan bahkan kehilangan diri atau gila, yang demikian itu, karena akal itu tidak mampu lagi menanggung beban berat akibat kelebihan muatan yang ada di dalam biliknya maka dampaknya, jaringan akal itu menjadi konslet dan rusak.

Untuk itu, memadukan antara qada’ dan qadar di dalam kesatuan amal ibadah adalah pilihan hidup yang sangat tepat, menjadi sarana latihan yang evektif, agar kemauan nafsu dan akal dapat selalu terkendali oleh hati dengan sehat dan sempurna. Dengan yang demikian itu, manusia akan terhindar dari pola fikir dan pola hidup yang berlebihan (berbuat fasik) yang akhirnya terjaga dari rasa kekecewaan yang mendalam dan putus asa.

Namun demikian, manusia tidak akan mampu menentukan pilihan jalan hidupnya itu dengan benar kecuali terlebih dahulu mereka telah mendapatkan inayah dari Allah Ta’ala, padahal inayah itu adalah mutlak semata-mata hanya kehendak Allah Ta’ala kepada seorang hamba yang di pilih-Nya.

Oleh karena itu, maka Asy-Syeikh Ibnu Athaillah Ra, ia berkata: “Inayah Allah di dalam dirimu bukanlah karena sesuatu yang terbit darimu, di mana kamu berada di saat Allah menghadapkan inayah-Nya kepadamu dan di mana kamu berada ketika Allah menetapkan pemeliharaan-Nya kepadamu.

Di zaman azali itu belum ada apapun, baik keikhlasan amal maupun wujud sikap mental tertentu, bahkan belum ada sesuatupun di sana, kecuali semata-mata hanya keutamaan dan kebesaran pemberian-Nya.” Maksudnya, bahwa inayah yang telah di anugerahkan kepada hamba-Nya tersebut, sehingga seorang hamba itu mampu berbakti kepada Tuhannya dengan benar, sematamata adalah terbit dari kehendak-Nya yang azaliyah, bukan kehendak seorang hamba.

Itulah anugrah dasar yang terbesar, karena hanya dengan inayah itu hidup seorang hamba akan selalu mendapat bimbingan menuju kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat nanti, inayah itu bukan di datangkan dari hasil sebuah amal dan ibadah, bukan pula karena buah ketaatan dan keikhlasan, karena saat itu, di zaman azali, belum ada apa-apa, kecuali yang ada hanyalah keagungan anugrah-Nya semata, namun demikian, jalan satu-satunya untuk mendapatkan inayah itu adalah pelaksanaan iman, yaitu ilmu dan iman yang dipadukan secara komulatif di dalam pelaksanaan amal ibadah dan perbuatan, yang dengan itu manusia akan mendapat-kan pemahaman hati secara intuitif yang di sebut dengan “Ilmu Laduni”.

Allah Ta’ala telah menjanjikan hal tersebut melalui sabda Nabi-Nya yang artinya : “Barang siapa beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewariskan ilmu pengetahuan dari hal yang belum pernah di ketahuinya.” Adapun tanda-tanda bagi orang yang telah mendapatkan inayah tersebut adalah sebagaimana yang telah di nyatakan Allah Ta’ala dengan firman-Nya berikut ini. Allah berfirman : “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah di beri petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Q.S. Ali Imran 3/101).

Artinya, tanda-tanda inayah azaliyah itu hanya dapat di baca sendiri oleh orang yang sudah mendapatkannya, yaitu di dalam kekhusyu’an hatinya sendiri, kemana sejatinya arah tujuan ibadah yang di lakukannya selama ini.

Apabila arah tujuan ibadah itu untuk mencari kenikmatan di syurga, berarti inayah azaliyah itu akan membimbing pemiliknya masuk syurga, apabila arah tujuan ibadah itu semata mengharapkan ridha Allah Ta’ala, berarti inayah azaliyah itu akan menghantarkannya wushul kepada-Nya. Namun apabila arah tujuan ibadah itu ujung-ujungnya ternyata bermuarakan kepada kenikmatan duniawi, baik harta benda maupun derajat kehormatan dunia, maka orang itu akan mendapatkan bagian dunianya, namun setelah matinya akan di masukkan ke Neraka. Sebab, pahala ibadah itu sudah di habiskan di dunia, yaitu berupa kesenangan dan kehormatan duniawi yang selalu di pertahankan dengan mati-matian.

Yaitu, dengan segala cara bahkan kadang-kadang dengan membudayakan kemunafikan dan menebarkan fitnah-fitnah yang keji kepada sesama teman, kalau demikian, maka setelah matinya, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa lagi kecuali hanya siksa neraka yang abadi. Allah telah memperingatkan yang demikian itu
dengan firman-Nya : “Maka di antara manusia ada orang yang berdo`a : " Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah 2/200).

Orang-orang yang tidak mendapatkan bagian pahala di akhirat itu adalah dari golongan orang-orang yang selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala juga, baik dengan berjama’ah maupun sendiri-sendiri, bahkan mereka juga kadang-kadang dari golongan orang-orang yang sudah mengikuti komunitas dzikir dan jalan ibadah (thariqah) yang di bimbing oleh seorang guru mursyid yang suci lagi mulia.

Setiap saat mereka juga sudah berkumpul di majelis dzikir bersama-sama ahli dzikir yang sejati, sehingga dhahir mereka seakan-akan tampak sama, yaitu sama-sama memakai baju koko dan penutup kepala yang masing-masing berwarna putih serta tasbih yang tidak pernah tertinggal dari kantong baju putih mereka.

Namun yang berbeda adalah hatinya, yaitu tujuan ibadah itu sejatinya hanya untuk mencari kebahagiaan duniawi bukan ukhrawi, bahkan sekedar titip hidup, tanda-tandanya, tujuan yang semestinya tersembunyi di dalam hati itu tanpa sadar selalu mereka munculkan sendiri dengan cara bicara mereka, yaitu dengan kebiasaan membicarakan kejelekan teman-nya sendiri, baik dengan ghibah maupun fitnah-fitnah.

Mereka kurang menyadari, bahwa selama manusia ada, kejelekan-kejelekan itu pasti juga tetap ada, karena itu adalah bagian kehidupan manusia yang seharusnya mampu di hilangkan dengan kekuatan amal ibadah dan dzikir yang mereka tekuni, tanpa peduli meskipun bagi diri mereka sendiri.

Terlebih bagi orang yang ahli dzikir dengan jalan thariqat itu, kejelekan-kejelakan itu bahkan seharusnya juga di jadikan parameter untuk melihat keadaan hatinya sendiri, apakah hati itu sudah menjadi baik atau belum, yaitu apabila kejelekan-kejelekan itu ternyata sedikitpun sudah tidak mempengaruhi keadaan hatinya, mampu di redam di dalam hati sehingga tidak sempat mewarnai cara bicara, berarti hati itu telah selamat dari kejelekan temannya sendiri.

Namun apabila kejelekan itu ternyata malah betah tinggal di dalam hati mereka, bahkan di pelihara dengan kemunafikan yang selalu di lahirkan melalui ucapan sehari-hari, berarti menunjukkan, bahwa boleh jadi di hati mereka.

Apabila kejelekan yang di bicarakan itu memang ada, maka namanya ghibah, namun apabila tidak jelek tapi di katakan jelek, maka berarti fitnah, sendirilah sebenarnya letak sumber kejelekan itu, berarti pula, bahwa dzikirnya selama ini belum mampu membuahkan hasil yang positif untuk diri mereka sendiri.

Kalau demikian, maka orang tersebut harus segera benah-benah diri, mencari tahu di mana letak salahnya, padahal mereka telah berkumpul dengan orang-orang yang baik, kalau ternyata hati mereka belum juga menjadi baik, terlebih apabila kejelekan itu sampai di bawa mati karena selama ini kebiasaan jelek itu tidak pernah di sadari, maka mereka adalah orang yang sangat merugi.

Seperti itik berenang tapi mati kehausan, sebab setiap hari mereka sudah berkumpul dengan golongan ahli syurga tapi komunitas itu ternyata tidak dapat membantu dirinya untuk masuk syurga, bahkan jalan syurga itu malah yang telah menjerumuskan masuk ke jurang neraka.

Kalau ada orang yang sehari-hari hidupnya selalu bergulat dengan kejahatan dan kemungkaran, kemudian mereka di masukkan neraka sebab kejahatan tersebut, maka yang demikian itu lumrah dan wajar-wajar saja, namun bagi orang yang setiap hari hidupnya sudah menghirup wewangian syurga yang di pancarkan oleh kepedulian hati dan do’a-do’a yang di panjatkan oleh sang guru yang suci lagi mulia.

Menikmati kenikmatan syurga yang di gelar di dunia melalui majelis dzikir orang-orang shaleh yang mereka ikuti, kemudian hanya di sebabkan karena cara mengelola hati yang kurang sempurna itu, kemudian mereka ternyata di masukkan neraka sebab kelalaian itu, betapa ironisnya yang demikian itu.

Terlebih lagi ketika tempatnya di neraka itu di tunjukkan Allah Ta’ala di saat “sakaratul maut” mereka datang, di saat malaikat maut menjemput ruh mereka karena ajal mereka sudah tiba dan saat itu mereka melihat, bahwa orang yang selama ini di jelek-jelekkan itu ternyata ada di halaman syurga, sedang dirinya di giring ke pintu neraka, padahal saat itu kesempatan untuk berbuat benah-benah dan taubat telah tiada, betapa menyesalnya hati mereka saat itu, ini boleh jadi yang demikian itu akan menjadi penyebab “su’ul khatimah”(akhir yang jelek) bagi mereka.

Oleh karena itu, mumpung sekarang masih ada kesempatan untuk berbuat benah-benah, khususnya kepada orang-orang yang sudah berpakaian serba putih itu dan juga kita semua, hendaknya bukan hanya baju dan penutup kepala itu saja yang di putihkan, namun juga hati kita.

Di jaga putihnya hati itu melalui lubang-lubang anggota tubuh kita, terutama dari mulut kita, menghindari ucapan yang tidak bermanfaat, terutama bicara yang jelas-jelas tidak pantas di lakukan oleh orang-orang yang ahli dzikir, semoga dengan itu kita semua selalu mendapatkan inayah dan perlindungan dari Allah Ta’ala, sehingga kita semua terhindar dari tipu daya hawa nafsu dan tentara-tentara syetan yang selalu menggoda di tengah jalan, jauh-jauh Allah Ta’ala telah memberi peringatan dengan firman-Nya : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah di turunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Hadiid/16).

Posting Komentar untuk "Tentang Ilmu Dan Iman"