Hakikat Taqwa Menurut Pandangan Sufi
Asy-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menulis di dalam kitabnya, Al-Ghunyah, Hal.142, beliau menafsirkan firman Allah : "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu." (Q.S. Al-Hujuraat 49/13).
Beliau berkata: Bahwa para ulama‘ berbeda pendapat dalam mengartikan ma‘na hakikat taqwa, maka pendapat yang di ambil adalah dari sabda baginda Nabi Saw bahwa beliau bersabda : Bahwa ma'na seluruh taqwa terkumpul dari firman Allah : "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang kamu berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q.S.16/90).
Yang di maksud adil adalah seimbang, dalam contoh pergaulan suatu komunitas manusia misalnya, apabila kebutuhan masing-masing orang baik untuk mendapatkan perhatian maupun memberikan perhatian tidak seimbang maka pergaulan itu pasti akan hancur.
Setelah keseimbangan itu dapat terwujud, kemudian ada tambahan kebaikan yang di laksanakan, baru yang demikian itu bisa di namakan suatu kebajikan, yaitu manakala porsi memberikan perhatian‘ sudah lebih besar daripada menuntut perhatian. Adapun ukuran memberi, yang paling utama, terlebih dahulu memberi kepada kerabat dekat baru kemudian kepada orang lain.
Kalau orang tidak berbuat adil, karena masing-masing orang bisanya hanya menuntut saja tetapi tidak pernah memberi, baik dengan perhatian maupun dengan pemberian, maka orang tersebut berarti telah berbuat keji dan munkar, selanjutnya, dari situlah awal terjadinya permusuhan, terlebih apabila yang berbuat tidak adil itu adalah seorang pimpinan.
Yang sedang di sampaikan adalah konsep dasar dalam pergaulan, tinggal manusia mau mengembangkan dalam pergaulan yang mana, itu merupakan pelajaran Qur‘ani yang sangat berharga, agar manusia mampu mengambil pelajaran darinya.
Ibnu Abbas Ra berkata : "Orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada syirik (menyekutukan Allah), dosa besar dan perbuatan keji." Dosa paling besar adalah dosa syirik, yaitu berharap dan takut kepada selain Allah Ta‘ala, hanya dosa syirik itulah, satu-satunya dosa yang tidak akan mendapat pengampunan dari Allah Ta‘ala.
Demikianlah pernyataan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya : "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang di kehendaki-Nya.
"Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (Q.S. An-Nisa‘ 4/116). Ibnu Umar Ra berkata : "At-Taqwa adalah apabila seseorang tidak melihat dirinya lebih baik di bandingkan orang lain.
Taqwa yang sesungguhnya adalah taqwa hati, dengan kehati-hatian itu, maka yang tampak dalam pandangan matahati seseorang hanyalah aib dirinya sendiri, sehingga di saat ia melihat orang lain yang tampak adalah kebaikan dan keutamaan orang itu, itulah pelaksanaan akhlakul karimah yang sempurna, yang demikian itu, karena kesibukannya dalam menjaga diri dari kesalahan telah mampu menyita perhatian sehingga tidak ada peluang lagi baginya untuk menoleh kepada kesalahan orang lain.
Al-Hasan Ra berkata : "Orang yang bertaqwa adalah bilamana melihat setiap orang, dia berkata bahwa : "Dia inilah lebih baik dari pada diriku." Itu adalah pelaksanaan taqwa hati itu yang telah mampu di munculkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan, hal itu di sebabkan, karena yang di dalam hati itulah yang hakiki, sedangkan yang tampak di luar adalah tanda-tanda yang membuktikannya, oleh karena itu apabila pagi-pagi ada orang mengaku yang paling bertaqwa, berarti sejatinya dia bukan orang yang bertaqwa, tapi orang yang ingin di anggap orang bertaqwa.
Umar bin Abdul Aziz Ra berkata : "Yang di maksud taqwa bukan hanya melaksanakan puasa pada siang hari dan shalat pada malam hari dan apa-apa yang terkait dari keduanya, akan tetapi meninggalkan yang haram dan mengerjakan yang wajib, setelah itu, rizqi yang di datangkan Allah kepadanya adalah rizqi yang baik dan yang bisa di pergunakan untuk berbuat kebaikan.
Orang melakukan ibadah secara vertical, seperti puasa, shalat malam dan wirid-wirid khusus yang di dawamkan, dalam melaksanakan ibadah tersebut bisa jadi masih memungkinkan terjebak kesalahan dalam bertujuan, mereka bisa terpeleset dalam niat yang tidak benar.
Terkadang hanya menjadikan ibadah vertikal itu sebagai alat untuk menyampaikan tuntutan kepada Allah saja padahal dia tidak pernah merasa bersyukur atas segala pemberian, dengan melaksanakan segala perintah dan menghindari yang di haramkan, kesalahan dalam bertujuan itu tidak mungkin terjadi, bahkan akan menjadikan orang tersebut berhati-hati dalam berperilaku dan mencari sandang-pangan.
Oleh karena itu, sebagai tanda-tanda ketaqwaan yang ada dalam hatinya, rizqi yang di datangkan setelah kehati-hatian itu adalah rizqi yang baik, sehingga rizqi itu bisa di belanjakan untuk tujuan kebaikan.
Di katakan, bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah atas Nur dari Allah untuk mengharapkan pahala dari-Nya, di samping itu, dia juga malu kepada Allah serta meninggalkan perbuatan maksiat atas dasar Nur dari Allah karena takut akan siksa Allah.
Orang mampu mengerjakan amal kebaikan, sungguh itu semata-mata karena telah mendapat pertolongan atau inayah dari Allah Ta‘ala, jika tidak, maka tidak ada lagi pertolongan ibadah selain yang datang dari-Nya, terlebih yang di kerjakan itu urusan hati, taqwallah.
Tanpa kehendak dan hidayah Allah, tidak mungkin orang bisa berbuat taat kepada-Nya, oleh karenanya, hati orang bertaqwa itu merasa malu atas anugerah yang Agung itu, karena dia merasa, semestinya tidak pantas dirinya menerima anugerah dan karunia tersebut.
Demikian juga ketika orang yang bertaqwa itu mampu meninggalkan maksiat, maka dia hanya bisa bersyukur atas segala perlindungan dari-Nya, sehingga dirinya terhindarkan dari perbuatan maksiat.
Sufyan Ats-Tsauri Ra berkata : "Orang yang bertaqwa itu adalah mencintai menusia sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." Orang taat (bertaqwa), terkadang timbul dari rasa takut terkadang juga di sebabkan rasa cinta, tapi taqwa yang timbul dari buah cinta adalah taqwa yang lebih kuat daripada taqwa yang timbul dari buah takut.
Apabila yang membangkitkan taqwa itu rasa takut, ketika yang ditakuti sedang tidak ada di tempat, bisa jadi taqwanya menjadi luntur, namun apabila taqwa itu timbul dari buahnya cinta, di manapun dia berada, orang yang cinta akan selalu siap mengabdi dan berkorban kepada yang orang yang di cintai.
Ketika ketaqwaan itu adalah buah cinta dan yang di cintai itu adalah Allah Ta‘ala, maka cintanya itu akan memantulkan cinta lagi kepada manusia, karena manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang paling utama, oleh karena itu, ukuran taqwa yang hakiki itu seperti juga tanda-tanda sempurnanya iman, yakni manakala orang tersebut telah mencintai manusia melebihi cintanya kepada diri sendiri.
Fudhail bin Iyadh Ra berkata : "Orang tidak di katakan bertaqwa sebelum musuhnya merasa aman kepada dirinya sebagaimana sahabatnya." Oleh karena demikian besarnya kecintaan seorang hamba kepada Allah Ta‘ala, sehingga ketika ia melihat manusia, yang tampak adalah Penciptanya, dengan penglihatan yang demikian itu, maka di dalam pandangan orang bertaqwa itu, kedudukan musuh menjadi sama dengan kedudukan teman, yaitu sama-sama bentuk pemberian dari Sang Kekasih.
Dengan yang demikian itu, akhirnya musuhnya merasa aman terhadap dirinya sebagaimana temannya juga merasakan yang demikian, bagi orang yang takut berbuat salah (bertaqwa), musuh dan teman merupakan bagian konsekwensi hidup yang harus di hadapi dengan sikap yang sama, orang tidak dapat merasakan nikmatnya punya teman sebelum pernah merasakan pahitnya punya musuh, maka kadang-kadang kejelekan musuhnya itu bahkan di pelihara.
Hal itu bisa terjadi, karena di samping orang yang bertaqwa itu yakin bahwa apapun yang di datangkan Allah Ta‘ala untuk dirinya pasti yang terbaik baginya, juga supaya orang yang bertaqwa itu masih tetap dapat menikmati kebaikan yang di lakukan oleh teman-temannya, karena munculnya pembelaan dari teman-teman itu pasti disebabkan karena terlebih dahulu adanya kejahatan yang di perbuat oleh musuh-musuhnya.
Oleh karenanya, apabila orang menginginkan pembelaan dari temannya, maka terlebih dahulu ia harus mampu menerima kejelekan dari musuh-musuhnya, bahkan tidak ada yang di namakan teman sebelum terlebih dahulu adanya istilah musuh, seandainya tidak ada istilah musuh maka selamanya tidak akan ada yang istilahnya teman, yang demikian itu karena Allah telah menciptakan segala makhluk-Nya dengan berpasangan.
Sebagian dari mereka berkata : "Yang menunjukkan ketaqwaan seseorang adalah tiga hal, yaitu :
1. Baik tawakalnya akan sesuatu yang belum di dapatkan.
2. Baik ridhanya terhadap sesuatu yang sudah di dapatkan.
3. Baik sabarnya terhadap sesuatu yang hilang.
Oleh karena keyakinan yang ada dalam hati sudah berbuah, maka orang yang bertaqwa itu selalu mampu berbaik sangka kepada Allah Ta‘ala, adalah sorot mata hati yang cemerlang dan tembus pandang sehingga terhadap apa saja yang sedang di alami, orang yang bertaqwa itu mampu melihat bahwa Allah Ta‘ala saat itu sedang berkomunikasi dengan dirinya.
Ibnu Athiyah Ra berkata : "Bagi orang yang bertaqwa itu melingkupi keadaan yang lahir dan bathin, lahirnya adalah menjaga batas-batas dan bathinnya adalah niat dan ikhlas." Bahkan dengan dasar niat yang baik itulah, maka segala perbuatan orang-orang yang bertaqwa itu dapat di lakukan dengan menjaga batas-batas, dengan kehati-hatian itu, orang yang bertaqwa kadang-kadang harus menjaga diri dari sesuatu yang tidak apa-apa karena takut adanya apa-apa yang dapat di timbulkan dari sesuatu yang tidak apa-apa itu.
Beliau berkata: Bahwa para ulama‘ berbeda pendapat dalam mengartikan ma‘na hakikat taqwa, maka pendapat yang di ambil adalah dari sabda baginda Nabi Saw bahwa beliau bersabda : Bahwa ma'na seluruh taqwa terkumpul dari firman Allah : "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang kamu berbuat keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q.S.16/90).
Yang di maksud adil adalah seimbang, dalam contoh pergaulan suatu komunitas manusia misalnya, apabila kebutuhan masing-masing orang baik untuk mendapatkan perhatian maupun memberikan perhatian tidak seimbang maka pergaulan itu pasti akan hancur.
Setelah keseimbangan itu dapat terwujud, kemudian ada tambahan kebaikan yang di laksanakan, baru yang demikian itu bisa di namakan suatu kebajikan, yaitu manakala porsi memberikan perhatian‘ sudah lebih besar daripada menuntut perhatian. Adapun ukuran memberi, yang paling utama, terlebih dahulu memberi kepada kerabat dekat baru kemudian kepada orang lain.
Kalau orang tidak berbuat adil, karena masing-masing orang bisanya hanya menuntut saja tetapi tidak pernah memberi, baik dengan perhatian maupun dengan pemberian, maka orang tersebut berarti telah berbuat keji dan munkar, selanjutnya, dari situlah awal terjadinya permusuhan, terlebih apabila yang berbuat tidak adil itu adalah seorang pimpinan.
Yang sedang di sampaikan adalah konsep dasar dalam pergaulan, tinggal manusia mau mengembangkan dalam pergaulan yang mana, itu merupakan pelajaran Qur‘ani yang sangat berharga, agar manusia mampu mengambil pelajaran darinya.
Ibnu Abbas Ra berkata : "Orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada syirik (menyekutukan Allah), dosa besar dan perbuatan keji." Dosa paling besar adalah dosa syirik, yaitu berharap dan takut kepada selain Allah Ta‘ala, hanya dosa syirik itulah, satu-satunya dosa yang tidak akan mendapat pengampunan dari Allah Ta‘ala.
Demikianlah pernyataan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya : "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang di kehendaki-Nya.
"Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (Q.S. An-Nisa‘ 4/116). Ibnu Umar Ra berkata : "At-Taqwa adalah apabila seseorang tidak melihat dirinya lebih baik di bandingkan orang lain.
Taqwa yang sesungguhnya adalah taqwa hati, dengan kehati-hatian itu, maka yang tampak dalam pandangan matahati seseorang hanyalah aib dirinya sendiri, sehingga di saat ia melihat orang lain yang tampak adalah kebaikan dan keutamaan orang itu, itulah pelaksanaan akhlakul karimah yang sempurna, yang demikian itu, karena kesibukannya dalam menjaga diri dari kesalahan telah mampu menyita perhatian sehingga tidak ada peluang lagi baginya untuk menoleh kepada kesalahan orang lain.
Al-Hasan Ra berkata : "Orang yang bertaqwa adalah bilamana melihat setiap orang, dia berkata bahwa : "Dia inilah lebih baik dari pada diriku." Itu adalah pelaksanaan taqwa hati itu yang telah mampu di munculkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan, hal itu di sebabkan, karena yang di dalam hati itulah yang hakiki, sedangkan yang tampak di luar adalah tanda-tanda yang membuktikannya, oleh karena itu apabila pagi-pagi ada orang mengaku yang paling bertaqwa, berarti sejatinya dia bukan orang yang bertaqwa, tapi orang yang ingin di anggap orang bertaqwa.
Umar bin Abdul Aziz Ra berkata : "Yang di maksud taqwa bukan hanya melaksanakan puasa pada siang hari dan shalat pada malam hari dan apa-apa yang terkait dari keduanya, akan tetapi meninggalkan yang haram dan mengerjakan yang wajib, setelah itu, rizqi yang di datangkan Allah kepadanya adalah rizqi yang baik dan yang bisa di pergunakan untuk berbuat kebaikan.
Orang melakukan ibadah secara vertical, seperti puasa, shalat malam dan wirid-wirid khusus yang di dawamkan, dalam melaksanakan ibadah tersebut bisa jadi masih memungkinkan terjebak kesalahan dalam bertujuan, mereka bisa terpeleset dalam niat yang tidak benar.
Terkadang hanya menjadikan ibadah vertikal itu sebagai alat untuk menyampaikan tuntutan kepada Allah saja padahal dia tidak pernah merasa bersyukur atas segala pemberian, dengan melaksanakan segala perintah dan menghindari yang di haramkan, kesalahan dalam bertujuan itu tidak mungkin terjadi, bahkan akan menjadikan orang tersebut berhati-hati dalam berperilaku dan mencari sandang-pangan.
Oleh karena itu, sebagai tanda-tanda ketaqwaan yang ada dalam hatinya, rizqi yang di datangkan setelah kehati-hatian itu adalah rizqi yang baik, sehingga rizqi itu bisa di belanjakan untuk tujuan kebaikan.
Di katakan, bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah atas Nur dari Allah untuk mengharapkan pahala dari-Nya, di samping itu, dia juga malu kepada Allah serta meninggalkan perbuatan maksiat atas dasar Nur dari Allah karena takut akan siksa Allah.
Orang mampu mengerjakan amal kebaikan, sungguh itu semata-mata karena telah mendapat pertolongan atau inayah dari Allah Ta‘ala, jika tidak, maka tidak ada lagi pertolongan ibadah selain yang datang dari-Nya, terlebih yang di kerjakan itu urusan hati, taqwallah.
Tanpa kehendak dan hidayah Allah, tidak mungkin orang bisa berbuat taat kepada-Nya, oleh karenanya, hati orang bertaqwa itu merasa malu atas anugerah yang Agung itu, karena dia merasa, semestinya tidak pantas dirinya menerima anugerah dan karunia tersebut.
Demikian juga ketika orang yang bertaqwa itu mampu meninggalkan maksiat, maka dia hanya bisa bersyukur atas segala perlindungan dari-Nya, sehingga dirinya terhindarkan dari perbuatan maksiat.
Sufyan Ats-Tsauri Ra berkata : "Orang yang bertaqwa itu adalah mencintai menusia sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." Orang taat (bertaqwa), terkadang timbul dari rasa takut terkadang juga di sebabkan rasa cinta, tapi taqwa yang timbul dari buah cinta adalah taqwa yang lebih kuat daripada taqwa yang timbul dari buah takut.
Apabila yang membangkitkan taqwa itu rasa takut, ketika yang ditakuti sedang tidak ada di tempat, bisa jadi taqwanya menjadi luntur, namun apabila taqwa itu timbul dari buahnya cinta, di manapun dia berada, orang yang cinta akan selalu siap mengabdi dan berkorban kepada yang orang yang di cintai.
Ketika ketaqwaan itu adalah buah cinta dan yang di cintai itu adalah Allah Ta‘ala, maka cintanya itu akan memantulkan cinta lagi kepada manusia, karena manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang paling utama, oleh karena itu, ukuran taqwa yang hakiki itu seperti juga tanda-tanda sempurnanya iman, yakni manakala orang tersebut telah mencintai manusia melebihi cintanya kepada diri sendiri.
Fudhail bin Iyadh Ra berkata : "Orang tidak di katakan bertaqwa sebelum musuhnya merasa aman kepada dirinya sebagaimana sahabatnya." Oleh karena demikian besarnya kecintaan seorang hamba kepada Allah Ta‘ala, sehingga ketika ia melihat manusia, yang tampak adalah Penciptanya, dengan penglihatan yang demikian itu, maka di dalam pandangan orang bertaqwa itu, kedudukan musuh menjadi sama dengan kedudukan teman, yaitu sama-sama bentuk pemberian dari Sang Kekasih.
Dengan yang demikian itu, akhirnya musuhnya merasa aman terhadap dirinya sebagaimana temannya juga merasakan yang demikian, bagi orang yang takut berbuat salah (bertaqwa), musuh dan teman merupakan bagian konsekwensi hidup yang harus di hadapi dengan sikap yang sama, orang tidak dapat merasakan nikmatnya punya teman sebelum pernah merasakan pahitnya punya musuh, maka kadang-kadang kejelekan musuhnya itu bahkan di pelihara.
Hal itu bisa terjadi, karena di samping orang yang bertaqwa itu yakin bahwa apapun yang di datangkan Allah Ta‘ala untuk dirinya pasti yang terbaik baginya, juga supaya orang yang bertaqwa itu masih tetap dapat menikmati kebaikan yang di lakukan oleh teman-temannya, karena munculnya pembelaan dari teman-teman itu pasti disebabkan karena terlebih dahulu adanya kejahatan yang di perbuat oleh musuh-musuhnya.
Oleh karenanya, apabila orang menginginkan pembelaan dari temannya, maka terlebih dahulu ia harus mampu menerima kejelekan dari musuh-musuhnya, bahkan tidak ada yang di namakan teman sebelum terlebih dahulu adanya istilah musuh, seandainya tidak ada istilah musuh maka selamanya tidak akan ada yang istilahnya teman, yang demikian itu karena Allah telah menciptakan segala makhluk-Nya dengan berpasangan.
Sebagian dari mereka berkata : "Yang menunjukkan ketaqwaan seseorang adalah tiga hal, yaitu :
1. Baik tawakalnya akan sesuatu yang belum di dapatkan.
2. Baik ridhanya terhadap sesuatu yang sudah di dapatkan.
3. Baik sabarnya terhadap sesuatu yang hilang.
Oleh karena keyakinan yang ada dalam hati sudah berbuah, maka orang yang bertaqwa itu selalu mampu berbaik sangka kepada Allah Ta‘ala, adalah sorot mata hati yang cemerlang dan tembus pandang sehingga terhadap apa saja yang sedang di alami, orang yang bertaqwa itu mampu melihat bahwa Allah Ta‘ala saat itu sedang berkomunikasi dengan dirinya.
Ibnu Athiyah Ra berkata : "Bagi orang yang bertaqwa itu melingkupi keadaan yang lahir dan bathin, lahirnya adalah menjaga batas-batas dan bathinnya adalah niat dan ikhlas." Bahkan dengan dasar niat yang baik itulah, maka segala perbuatan orang-orang yang bertaqwa itu dapat di lakukan dengan menjaga batas-batas, dengan kehati-hatian itu, orang yang bertaqwa kadang-kadang harus menjaga diri dari sesuatu yang tidak apa-apa karena takut adanya apa-apa yang dapat di timbulkan dari sesuatu yang tidak apa-apa itu.
Posting Komentar untuk "Hakikat Taqwa Menurut Pandangan Sufi"
Terimakasih atas kunjungan anda...