Dalil-Dalil Tawassul
Tawasul di dalam kali ini maksudnya adalah melaksanakan hubungan kepada orang lain secara ruhaniah (interaksi ruhaniah), yang di laksanakan antara orang yang sedang beribadah kepada Allah dengan guru-guru pembimbing ruhaniah (guru mursyid), baik orang tersebut masih hidup maupun sudah mati.
Ini di lakukan dalam rangka mengambil jalan untuk sampai (wushul) kepada Allah serta bersama-sama dalam rasa dan nuansa di dalam pelaksanaan ibadah dan pengabdian yang sedang di jalani.
Adapun secara naqliyah dalil-dalilnya, termaktub di dalam ayat-ayat Al-Qur‘an Al-Karim, yaitu :
Pertama : Surat Al-Ma'idah Ayat 35 : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya." (Q.S. Al-Ma‘idah: 5/35).
Kedua : Surat At-Taubah Ayat 119 : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang shiddiq." (Q.S. At-Taubah : 9/119).
Ketiga : Surat Al-Baqarah Ayat 43 : "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama sama orang-orang yang ruku'." (Q.S. Al-Baqarah : 2/43).
Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa tawasul adalah perintah Allah bagi orang yang percaya (beriman), supaya ibadah yang sedang mereka jalankan dapat di lakukan dengan khusyu, orang yang ibadah tersebut dapat lebih terfasilitasi untuk wushul kepada-Nya, do‘a-do‘a yang mereka panjatkan lebih mendekati kepada terbukanya pintu ijabah.
Bagi mereka yang tidak percaya, lebih-lebih yang menolak, maka tawasul itu tidak akan membawa kemanfaatan apa-apa baginya, meskipun tawasul merupakan perintah Allah, akan tetapi keadaannya bisa menjadi lain ketika makna tawasul itu di anggap oleh orang yang tidak memahami rahasia bertawasul sebagai pemberian penghormatan kepada orang lain.
Dengan pandangan seperti itu menjadi maklum ketika kemudian kebanyakan nafsu manusia menolak melakukannya, bahkan mereka menuduh orang yang bertawasul itu telah mengkultus individukan orang yang di tawasuli.
Terlebih bagi orang yang memang sebelumnya telah mempunyai benih penyakit kepada orang yang harus di tawasuli tersebut, barangkali seperti itulah keadaan orang yang menolak melaksanakan tawasul kepada orang lain.
Hal tersebut seperti peristiwa sejarah kejadian manusia pertama yang di abadikan Allah dalam Al-Qur‘an Al-Karim, ketika Iblis yang asalnya bernama Al-Abid atau orang yang ahli ibadah di perintah Allah bersama-sama dengan para malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam As di syurga, segera saja para malaikat bersujud kepadanya sedangkan Al-Abid menolak perintah tersebut.
Penolakan itu di sebabkan karena Al-Abid merasa lebih mulia dari Nabi Adam As sekedar karena Al-Abid di ciptakan Allah dari api, sedangkan Nabi Adam As di ciptakan dari tanah, akibatnya namanya yang asalnya Al-Abid di ganti menjadi Iblis dan mendapatkan laknat Allah sampai hari kiamat.
Barangkali seperti peristiwa itulah ketika perintah tawasul tersebut di salah artikan oleh orang yang hatinya ada bibit sombong sebagai pemberian penghormatan kepada orang yang di tawasuli, maka tawasul tersebut tidak begitu saja bisa mereka lakukan.
Hawa nafsu mereka berat melaksanakan perintah Tuhan tersebut di sebabkan karena takut harga dirinya jatuh di depan manusia, buktinya, di majelis-majelis pengajian yang di adakan oleh sebagian masyarakat awam sering timbul pertanyaan, "Mengapa orang harus bertawasul kepada Asy-Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, tidak kepada sahabat Abu Bakar Ra? Lebih mulia mana Asy-Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di banding sahabat Rasulullah Saw yang paling utama itu…?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini apabila di jawab secara ilmiah, jawabannya akan menjadi panjang lebar, padahal bagi orang-orang yang sama sekali belum pernah bertawasul, oleh karena tawasul bukan urusan teori ilmiah tetapi amaliah atau praktek, maka sedikitpun mereka tidak mungkin dapat memahami jawaban tersebut, berarti jawaban panjang itu akan menjadi sia-sia dan hanya akan membuang-buang waktu saja.
Namun boleh jadi ada baiknya kita balik bertanya kepada mereka : "Mengapa mereka merasa rugi ketika ada orang memuliakan orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan diri mereka, jika hal tersebut bukan sekedar karena di dalam hati mereka sudah ada penyakit iri dan hasut terhadap orang yang mendapat kehormatan tersebut? Atau dengan pertanyaan lain, jika sekiranya perintah tawasul tersebut di tujukan kepada sahabat Abu Bakar Ra, maukah mereka melakukannya?
Sesungguhnya bagi orang yang di dalam hatinya ada penyakit hasut kepada orang lain, sebelum penyakit itu terlebih dahulu mampu di hilangkan, jangankan pelaksanaan tawasul, Al-Qur‘an sekalipun, yang di dalamnya ada obat penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, bagi orang yang hatinya hasut tersebut, sedikitpun Al-Qur‘an itu tidak dapat membawa kemanfaatan, bahkan hanya akan menambah kerugian bagi mereka.
Allah telah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya : "Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong dan apabila dia di timpa kesusahan, niscaya dia berputus asa. Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya." (Q.S. Al-Isra‘ 17/82-83).
Hal itu di sebabkan, karena rahmat dan obat yang ada dalam Al-Qur‘an tersebut terlebih dahulu telah di tolak oleh hatinya sendiri, kesembuhan yang di datangkan untuk jiwanya tidak sampai karena jalan kesembuhan itu telah tersumbat oleh kesombongan hatinya sendiri.
Itulah orang yang menzalimi dirinya sendiri, mereka selalu terlewatkan dari kesempatan mendapatkan keutamaan yang di datangkan Allah untuk dirinya sendiri akibat sikap dan perilaku yang mereka perbuat sendiri sehingga hidup mereka menjadi merugi.
Ini di lakukan dalam rangka mengambil jalan untuk sampai (wushul) kepada Allah serta bersama-sama dalam rasa dan nuansa di dalam pelaksanaan ibadah dan pengabdian yang sedang di jalani.
Adapun secara naqliyah dalil-dalilnya, termaktub di dalam ayat-ayat Al-Qur‘an Al-Karim, yaitu :
Pertama : Surat Al-Ma'idah Ayat 35 : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya." (Q.S. Al-Ma‘idah: 5/35).
Kedua : Surat At-Taubah Ayat 119 : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang shiddiq." (Q.S. At-Taubah : 9/119).
Ketiga : Surat Al-Baqarah Ayat 43 : "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama sama orang-orang yang ruku'." (Q.S. Al-Baqarah : 2/43).
Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa tawasul adalah perintah Allah bagi orang yang percaya (beriman), supaya ibadah yang sedang mereka jalankan dapat di lakukan dengan khusyu, orang yang ibadah tersebut dapat lebih terfasilitasi untuk wushul kepada-Nya, do‘a-do‘a yang mereka panjatkan lebih mendekati kepada terbukanya pintu ijabah.
Bagi mereka yang tidak percaya, lebih-lebih yang menolak, maka tawasul itu tidak akan membawa kemanfaatan apa-apa baginya, meskipun tawasul merupakan perintah Allah, akan tetapi keadaannya bisa menjadi lain ketika makna tawasul itu di anggap oleh orang yang tidak memahami rahasia bertawasul sebagai pemberian penghormatan kepada orang lain.
Dengan pandangan seperti itu menjadi maklum ketika kemudian kebanyakan nafsu manusia menolak melakukannya, bahkan mereka menuduh orang yang bertawasul itu telah mengkultus individukan orang yang di tawasuli.
Terlebih bagi orang yang memang sebelumnya telah mempunyai benih penyakit kepada orang yang harus di tawasuli tersebut, barangkali seperti itulah keadaan orang yang menolak melaksanakan tawasul kepada orang lain.
Hal tersebut seperti peristiwa sejarah kejadian manusia pertama yang di abadikan Allah dalam Al-Qur‘an Al-Karim, ketika Iblis yang asalnya bernama Al-Abid atau orang yang ahli ibadah di perintah Allah bersama-sama dengan para malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam As di syurga, segera saja para malaikat bersujud kepadanya sedangkan Al-Abid menolak perintah tersebut.
Penolakan itu di sebabkan karena Al-Abid merasa lebih mulia dari Nabi Adam As sekedar karena Al-Abid di ciptakan Allah dari api, sedangkan Nabi Adam As di ciptakan dari tanah, akibatnya namanya yang asalnya Al-Abid di ganti menjadi Iblis dan mendapatkan laknat Allah sampai hari kiamat.
Barangkali seperti peristiwa itulah ketika perintah tawasul tersebut di salah artikan oleh orang yang hatinya ada bibit sombong sebagai pemberian penghormatan kepada orang yang di tawasuli, maka tawasul tersebut tidak begitu saja bisa mereka lakukan.
Hawa nafsu mereka berat melaksanakan perintah Tuhan tersebut di sebabkan karena takut harga dirinya jatuh di depan manusia, buktinya, di majelis-majelis pengajian yang di adakan oleh sebagian masyarakat awam sering timbul pertanyaan, "Mengapa orang harus bertawasul kepada Asy-Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, tidak kepada sahabat Abu Bakar Ra? Lebih mulia mana Asy-Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani di banding sahabat Rasulullah Saw yang paling utama itu…?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini apabila di jawab secara ilmiah, jawabannya akan menjadi panjang lebar, padahal bagi orang-orang yang sama sekali belum pernah bertawasul, oleh karena tawasul bukan urusan teori ilmiah tetapi amaliah atau praktek, maka sedikitpun mereka tidak mungkin dapat memahami jawaban tersebut, berarti jawaban panjang itu akan menjadi sia-sia dan hanya akan membuang-buang waktu saja.
Namun boleh jadi ada baiknya kita balik bertanya kepada mereka : "Mengapa mereka merasa rugi ketika ada orang memuliakan orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan diri mereka, jika hal tersebut bukan sekedar karena di dalam hati mereka sudah ada penyakit iri dan hasut terhadap orang yang mendapat kehormatan tersebut? Atau dengan pertanyaan lain, jika sekiranya perintah tawasul tersebut di tujukan kepada sahabat Abu Bakar Ra, maukah mereka melakukannya?
Sesungguhnya bagi orang yang di dalam hatinya ada penyakit hasut kepada orang lain, sebelum penyakit itu terlebih dahulu mampu di hilangkan, jangankan pelaksanaan tawasul, Al-Qur‘an sekalipun, yang di dalamnya ada obat penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, bagi orang yang hatinya hasut tersebut, sedikitpun Al-Qur‘an itu tidak dapat membawa kemanfaatan, bahkan hanya akan menambah kerugian bagi mereka.
Allah telah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya : "Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong dan apabila dia di timpa kesusahan, niscaya dia berputus asa. Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya." (Q.S. Al-Isra‘ 17/82-83).
Hal itu di sebabkan, karena rahmat dan obat yang ada dalam Al-Qur‘an tersebut terlebih dahulu telah di tolak oleh hatinya sendiri, kesembuhan yang di datangkan untuk jiwanya tidak sampai karena jalan kesembuhan itu telah tersumbat oleh kesombongan hatinya sendiri.
Itulah orang yang menzalimi dirinya sendiri, mereka selalu terlewatkan dari kesempatan mendapatkan keutamaan yang di datangkan Allah untuk dirinya sendiri akibat sikap dan perilaku yang mereka perbuat sendiri sehingga hidup mereka menjadi merugi.
Posting Komentar untuk "Dalil-Dalil Tawassul"
Terimakasih atas kunjungan anda...