Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

DEFINISI AS-SUNNAH

kali ini kita membicarakan apa itu definisi As-Sunnah dan yang terkait dengan hal ini yaitu As-Sunnah, As-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan pembenaran Rasulullah Saw, dimana semua yang berasal dari beliau selain al-Qur’an, juga merupakan dari dasar wahyu Illahi.
Batasan “perkataan, perbuatan dan pembenaran Rasulullah Saw” menegaskan, bahwa susunan kalimat yang ada dalam As-Sunnah adalah berasal dari beliau, bukan dari Allah Swt, meskipun maknanya adalah wahyu dari Allah Swt, sama dengan Al-Qur’an, tapi di sini ada perbedaan antara Al-Qur’an dengan As-Sunnah, jika Al-Qur’an merupakan wahyu, baik susunan lafadz maupun maknanya, dari Allah Swt, maka As-Sunnah maknanya dari Allah, sedangkan susunan lafadznya berasal dari Nabi Saw selain Al-Qur’an ini merupakan mu’jizat bagi beliau Saw.

Keqath’iyan As-Sunnah Sebagai Hujjah

Kedudukan As-Sunnah sebagai dalil qath’i, bahwa ia merupakan sesuatu yang dibawa oleh wahyu, dengan makna dari Allah Swt dan lafadz dari Rasululullah Saw, jelas sebagaimana yang di nyatakan oleh Allah Swt, yaitu : ]إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى[ “Dan apa saja yang dia (Muhammad) ucapkan itu sesungguhnya bukanlah bersumber dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Q.S. An-Najm : 4).

Dan banyak nash-nash Al-Qur’an yang lain, karena itu, menolak As-Sunnah atau ingkar sunnah atau anti hadits, bisa dihukumi kufur, sebab telah menolak As-Sunnah sebagai hujah, ini berbeda dengan orang yang menolak salah satu hadis, karena dianggap lemah atau palsu.


Dalalah (Makna) As-Sunnah
Dalalah (makna) As-Sunnah, sebagaimana Al-Qur’an, dapat dibagi menjadi dua, yaitu : (1) Qath’iyyah dan (2) dhanniyyah, tetapi dalam hal ini, tidak ada istilah khusus sebagaimana yang digunakan dalam Al-Qur’an, contoh dalalah qath’iyyah dalam As-Sunnah adalah : «مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ عَامِدًا مُتَعَمِّدً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ» “Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, hendaknya ia bersiap-siap untuk mengambil tempat duduknya di neraka.” (H.R. At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i).

Contoh dalalah dhanniyah dalam As-Sunnah adalah : «إِنَّ مَنْ كَانَ سَامِعًا مُطِيْعاً فَلاَ يُصَلِّيْنَ الْعَصْرَ إِلاَّ بِبَنِي قُرَيْضَةَ» “Siapa saja yang mau mendengarkan dan mau menta’ati (aku), maka hendaklah tidak shalat Ashar kecuali di Bani Quraydhah.” (H.R. Ibnu Humaid dari Ibn Syihab Az-Zuhri).

Riwayah As-Sunnah
As-Sunnah, berbeda dengan Al-Qur’an, jika dilihat dari segi proses penyampaian informasi (riwayah)-nya kepada kita, jika Al-Qur’an sampai kepada kita dengan cara nukil, atau menyampaikan apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi, sebagaimana yang diturunkan oleh Allah Swt, maka As-Sunnah disampaikan kepada kita melalui penuturan (riwayah) seorang perawi, sehingga perawilah yang menyampaikan kepada kita apa saja yang didengarkan dan disaksikannya dari perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi Saw, karena itu yang menentukan riwayat tersebut disebut hadits atau bukan adalah perawinya.

Orang yang meriwayatkan, bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu : (1) sahabat dan (2) non-sahabat, jika sahabat yang menyampaikan riwayat, pasti bisa diterima, sebab secara keseluruhan mereka dinyatakan adil, berbeda dengan orang lain, non-sahabat, baik tabi’in atau para pengikut tabi’in dan seterusnya.

Dari sini, tidak mengherankan jika ulama’ ushul mengklasifikasikan riwayah As-Sunnah menjadi dua, yaitu : (1) Qath’iyyah dan (2) Dhanniyah. Hal ini tentu tidak terjadi terhadap Al-Qur’an, adapun As-Sunnah yang Qath’i Ar-riwayah (riwayat qath’i) adalah Hadits Mutawatir, sedangkan yang dhanni ar-riwayah (riwayat zanni) adalah Hadits Ahad.

Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang hiterogen (ghafir) pada tiga periode, yang umumnya mustahil sepakat melakukan dusta, maksud “sejumlah orang yang hiterogen” adalah dari kelompok dari berbagai elemen, bukan satu elemen saja, sedangkan “tiga periode” adalah : (1) periode sahabat, (2) Tabi’in, dan (3) Tabi’i at-tabi’in. 


Riwayat tersebut juga berdasarkan penginderaan, baik dengan mendengarkan atau melihat langsung, misalnya ketika perawi hadits mengatakan : “Saya mendengar...” atau “Saya melihat...”

Hadits Mutawatir sendiri bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) Mutawatir Lafdzi dan (2) Mutawatir Ma’nawi. Mutawatir lafdzi adalah hadits yang lafaznya di riwayatkan secara mutawatir, misalnya : “Siapa saja yang sengaja berdusta atas namaku, hendaknya dia bersiap-siap untuk mengambil tempat duduknya di neraka.” (H.R. At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i).

Mutawatir ma’nawi adalah hadis yang maknanya di riwayatkan secara mutawatir, misalnya, hadits shalat lima waktu, hadits mengangkat tangan, hadits tentang keluarnya air dari jari-jari tangan beliau Saw.

Posting Komentar untuk "DEFINISI AS-SUNNAH"