Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Unsur-Unsur Aqidah Islam

Aqidah kepada Allah dalam Islam terbentuk daripada unsur-unsur berikut ini :

1. Beri'tiqad dengan kewujudan Allah yang Wajib bagi zat-Nya, yang tidak mengambil daripada lainnya, Allah bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan (Al-Kamal), yang semuanya itu kita ambil kesimpulan atau natijah daripada menyaksikan alam semesta ini. Allah itu wajib ada, bersifat dengan ’ilmu (Al-’Ilmu), Qudrat (Al-Qudrah), hidup (Al-Hayah), mendengar (As-Sam’u), melihat (Al-Basar), bersifat dengan sifat-sifat Jamal (keindahan), Bijaksana (Al-Hikmah), berkehendak (Al-Iradah) dan seterusnya, yang demikian itu adalah jelas dan di maklumi dengan pengetahuan yang yakin bagi setiap mereka yang merenung dan meneliti kepada alam semesta yang indah ciptaannya ini, maka Penciptanya itu tentulah Maha Bijaksana (Al-Hakim), karena telah begitu terang sekali rahasia-rahasia kebijaksanaan ini terkandung di dalam sekalian makhluk ini.

Dia juga Maha Kuasa, Maha Mengetahui dengan sepenuh makna ilmu dan Qudrat yang setinggi-tingginya, karena alam semesta yang indah ini tidak mungkin terjadi melainkan dengan sebab ilmu yang luas dan qudrat yang meliputi. Al-Quranul-Karim mengulangi akan sifat-sifat ini dalam berbagai-bagai tempat yang munasabah.

Di antara ayat-ayatnya yang lengkap menerangkan sifat-sifat ini adalah terlihat pada akhir Surah Al-Hasyr, yaitu : "Dialah Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia, yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemarah lagi Maha Penyayang, Dialah Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia, Raja, yang Maha Quddus, yang Maha Sejahtera, yang Mengkaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dan apa yang mereka persekutukan.

Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk Rupa, yang Mempunyai Nama-Nama yang paling baik, bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Q.S. Al-Hasyr Ayat 22-24).

2. Menafikan sifat-sifat keserupaan (Al-Musyabahah) dan sifat kekurangan daripada Tuhan Pencipta (Al-Khaliq), maka sifat berjisim itu ternafikan daripada Allah, karena benda itu berubah-ubah, sedang Al-Khaliq jauh sekali daripada sifat-sifat berubah dan sifat berbilang-bilang juga ternafi daripada-Nya, karena sifat berbilang itu bersusun, sedang Tuhan pasti Esa, sementara sifat kebapaan (menjadi bapa) dan keanakan (ada anak), kedua-duanya jauh daripada sifat-Nya, karena kedua-dua sifat itu berbagi-bagi dan berpisah-pisah, sedangkan Al-Khaliq tidak berjuzu’-juzu’ dan begitulah seterusnya.

Al-Quranul Karirn mengakui hal ini dengan jelas dan membahaskannya dengan cara logik yang halus dan hujjah yang memuaskan. Dalam menafikan sifat-sifat keserupaan, Al-Qur'an menjelaskan : "(Dia) Pencipta langit dan bumi, Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), di jadikannya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. Asy-Syura Ayat 11).

Allah berfirman : ”Katakanlah Dialah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula di peranakkan dan tidak ada seseorang pun yang setara dengan Dia." (Q.S. Al-Ikhlas Ayat 1-4).

Dalam menafikan sifat berbilang-bilang, Al-Qur'an menerangkan : "Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati)? Sekiranya ada di langit dan di bumi, tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keadaannya itu telah rusak binasa, maka Maha Suci Allah yang mempunyai ’Arasy daripada apa yang mereka sifatkan." (Q.S. Al-Anbiya’ Ayat 21-22).

Dalam menafikan sifat beranak pinak dan berbilang-bilang, AL-Qur'an menjelaskan, yaitu : "Allah sekali-kali tidak mempanyai anak dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) besertanya, kalau ada tuhan bersertanya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang di ciptakannya dan sebahagian daripada tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain, Maha Suci Allah dan apa yang mereka sifatkan itu." (Al-Mukminun Ayat 91).

Keterangan-keterangan yang seperti ini dapat kita lihat dengan jelas dalam banyak ayat Al-Qur'an yang membincangkan mengenai aqidah umat-umat yang lampau. Ayat-ayat itu menafikan segala sifat yang membawa kekurangan, penyerupaan dan yang menunjukkan kelemahan Al-Khaliq.

3. Aqidah Islamiah sama sekali tidak menyentuh tentang hakikat dan keadaan zat dan sifat-sifat Allah, tetapi sebaliknya dengan cara yang hati-hati dan halus menetapkan segi perbedaan dengan arti kata yang sebenar-benarnya antara keadaan zat Tuhan dan sifat-Nya dengan keadaan makhluk-makhluk dan sifat-sifat mereka, dalam Surah Al-An’am, Al-Qur'an menjelaskan : "Yang memiliki sifat-sifat yang demikian itu adalah Allah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu, Dia tidak dapat di capai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Q.S. Al-An’am Ayat 102-103).

Rasulullah Saw bersabda : "Pikirkanlah tentang keadaan makhluk Allah, tetapi jangan kamu memikirkan tentang zat Allah, nanti kamu akan binasa." Memang suatu perkara yang jelas, bahwa sikap yang demikian itu tidak boleh sedikit pun di salahkan kepada Islam dan tidak boleh di katakan, bahwa Islam merupakan batu penghalang yang menyekat akal dan mengurangi kebebasan berfikir, karena akal manusia adalah merupakan tiang atau tonggak aqidah di dalam Islam, namun demikian, sehingga hari ini ia tetap merupakan pendirian atau keadaan lemah yang mutlak berhadapan dengan hakikat semua benda, segala apa yang telah dapat di tanggap olehnya hanyalah perkara-perkara yang tertentu saja dan setengah-setengah sifat dan kesan-kesan yang zahir semata-mata.

Adapun unsur-unsur abstrak belum lagi dapat di capainya. Islam tidaklah memaksa atau memberatkan manusia untuk mencapai sesuatu yang tidak mampu di tanggap oleh akal dan kefahaman manusia.

4. Aqidah Islamiah menggariskan jalan ke arah mengenal sifat-sifat Al-Khaliq dan mengetahui sifat-sifat kesempurnaan ketuhanan, keistimewaan-keistimewaan dan kesan-kesannya, untuk sarnpai kepada yang demikian itu mestilah dengan merenung dan memperhatikan alam jagat ini dengan pandangan yang betul dan membebaskan akal pikiran daripada kepercayaan-kepercayaan yang di pusakai dari nenek moyang, daripada hawa nafsu dan tujuan-tujuan tertentu, sehingga dapat mencapai kepada hukum yang betul dan tepat. Al-Quranul-Karim senantiasa menggalakkan supaya memerhatikan kejadian alam dan meneliti keadaan makhluk-makhluk.

Al-Qur'an juga telah mengangkat dan menyanjung tinggi nilai akal dan rneninggikan derajat akal, sehingga menyebut akan ”akal" lebih daripada empat puluh ternpat, di sertai dengan sanjungan dan pujian, di samping itu Al-Qur'an juga menggalakkan supaya bersungguh-sungguh untuk mencapai hakikat benda-benda dan menyingkap rahasia alam yang terselindung dan tersirat di sebalik alam nyata ini, sebagaimana firman Allah : "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dan langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan putaran angin dan awan yang di kendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan." (Q.S. Al-Baqarah Ayat 164).

Allah berfirman : "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dan siksa neraka." (Q.S. Ali Imran Ayat 190-191).

Dan firman Allah : "Tidakkah kamu rnelihat, bahwa Allah menurunkan hujan dan langit lalu Kami keluarkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macarn jenisnya dan di antara bukit-bukit itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat dan demikian (pula) di antara rnanusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya, hanyalah ulama." (Q.S. Fatir Ayat 27-28).

Dalam ayat yang akhir ini Al-Qur'an menggalakkan manusia supaya menyelidik dan menyingkap rahasia tumbuh-tumbuhan,haiwan dan kejadian-kejadian yang tidak bernyawa, dan sebagai natijah daripada penyelidikan itu timbul rasa takut kepada Allah, ini menunjukkan bahwa mengetahui rahasia alam, mengenal dan mengetahui Allah yang menciptakan alam ini dan mengenal Penciptanya dan mengenal benda-benda yang di ciptakan-Nya itu adalah mempunyai hubungan antara satu sama lain yang tidak boleh di sia-siakan.

5. Aqidah Islamiah menguatkan hubungan antara perasaan hati manusia dengan Al-Khaliq, sehingga dengan demikian itu manusia akan sampai kepada suatu jenis ma'rifat ruhaniah yang paling manis dan yang paling tinggi daripada jenis-jenis ma’rifat semuanya. Ini adalah karena perasaan hati manusia adalah lebih mampu untuk menyingkap rahasia-rahasia alam yang terlindung selain daripada benda-benda yang dapat di pikirkan secara terbatas, yang hanya dapat di jangka oleh perasaan pancaindera.

Oleh sebab itulah Islam sering mengutarakan arahannya kepada perasaan hati manusia dan membangkitkan kekuatan batin yang tersembunyi di dalam jiwa manusia supaya rnemuncak tinggi sampai ke Hadrat Ilahi dan menikmati kelezatan ma’rifatullah tabaraka wa ta’ala, sebagairnana di nyatakan oleh firman Allah : "Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingati Allah, ingatlah, hanya dengan mengingati Allah, hati menjadi tenteram." (Q.S. Ar-Ra'd Ayat 28).

Lebih tegas lagi, wujudnya hubungan yang tersembunyi antara hati nurani manusia dengan Al-Khaliq, adalah ketika berlakunya kesusahan-kesusahan yang mencemaskan, yang membuatkan putus segala harapan kecuali kepada Allah saja. Al-Qur'an menggambarkan keadaan ini sebagaimana firman Allah, yaitu : "Dan apabila kamu di timpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru, kecuali Dia." (Q.S. Al-Isra' Ayat 67).

Dan firman-Nya : "Dialah yang menjalankan kamu di daratan dan di lautan, sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai dan gelombang dan segenap penjuru menimpa mereka dan mereka yakin, bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdo'a kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) : "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dan bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur." (Q.S. Yunus Ayat 22).

6. Aqidah Islamiah menuntut orang-orang mu’min supaya kesan-kesan daripada unsur-unsur aqidah ini di manifestasikan dalam tuturkata dan segala perbuatan rnereka, seseorang mu’min itu bila telah beritiqad, bahwa Tuhan yang menjadikannya itu bersifat Maha Kuasa, maka sebagai natijah secara praktik dan aqidah ini hendaklah ia bertawakkal sepenuhnya kepada Allah menumpukkan segala harapan kepada-Nya dan apabila ia beritiqad, bahwa Allah itu Maha mengetahui, tentulah ia senantiasa berhati-hati terhadap-Nya dan senantiasa di liputi rasa takut kepada Allah untuk melakukan maksiat dan apabila ia beri'tiqad bahwa Allah itu Esa, tentulah ia tidak memohon selain daripada-Nya dan tidak meminta kepada yang lain daripada Allah dan tidak pula menghadap atau menghalalkan mukanya melainkan kepada Allah dan begitulah seterusnya, ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan keadaan ini memanglah banyak.

Umpamanya firman Allah : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila di sebut Allah, takutlah hati mereka dan apabila di bacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebahagian daripada rizqi yang Kami berikan kepada mereka. ltulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya, mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhan mereka dan keampunan serta rizqi yang mulia." (Q.S. Al-Anfal Ayat 2-4).

Dengan ringkasan dan gambaran yang indah dan halus ini, Islam telah merangkumkan segala apa yang berkaitan dengan masalah aqidah terhadap Allah dan telah meletakkan suatu sekatan yang menahan daripada segala keadaan meraba-raba, penyelewengan, soal-soal falsafah yang palsu dan perdebatan-perdebatan yang remeh dalam semurni-murni aqidah dan sepenting-pentingnya dalam kehidupan manusia, baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi.

Orang-orang yang benar-benar memahami dengan pengertian sebagaimana yang di terangkan ini serta menikmati cita rasanya yang sungguh-sungguh, tidak lagi perlu menghafal sifat-sifat wajib bagi hak Allah yang tiga belas sifat itu, yaitu :

1. Wujud
2. Qidam
3. Baqa’
4. Mukhalafatuhu taala lil-hawadith
5. Qiyamuhi bi-nafsi-hi
6. Qudrat
7. Wahdaniyyah
8. Iradat
9. 'Ilmu
10. Hayat
11. Sama'
12. Bashar
13. Kalam dan lain-lain sifat dua puluh.

Sifat-sifat mustahil bagi hak Allah ta’ala, yaitu lawan kepada sifat-sifat wajib dan juga sifat harus, yaitu membuat segala yang mungkin atau pun tidak membuatnya sebagaimana kita telah menghafalnya dahulu, mereka juga tidak lagi berkehendakkan kepada kupasan yang panjang lebar ketika membicarakan masalah-masalah furu' yang berhubung dengan soal aqidah seperti bahasan mengenai sifat-sifat dan nama Tuhan, adakah yaitu ”Tauqifiyyah" (ketetapan oleh syara’) atau merupakan perkara kias dan segala kaitan sifat-sifat itu adakah “Al-Musamma” (yang di nama) itulah "Ainul Ismi” (zat nama itu) atau lainnya dan adakah beramal itu menjadi syarat pada iman atau bukan syarat padanya dan lain-lain lagi daripada soal-soal yang lebih banyak berhubung dengan falsafah dan bahasan akal daripada berhubung dengan aqidah dan ketenangan hati.

Hendaklah juga selalu memperhatikan dan meneliti tujuan-tujuan murni yang telah di terangkan di atas ketika membaca Kitab Suci Al-Qur'an dan hendaklah bersungguh-sungguh memahami kandungan Al-Qur'an ketika membacanya dengan cara memperhatikan maksud-maksudnya itu di bawah sinaran cahaya panduan Al-Qur'an.

Posting Komentar untuk "Unsur-Unsur Aqidah Islam"