TENTANG NAFSU DIRI
Ketahuilah, bahwa mengenal atau menyadari diri itu adalah suatu hal yang amat penting bagi tiap individu atau perorangan, karena siapa saja yang mengerti terhadap dirinya pasti dia akan mengerti tentang Tuhannya, tegasnya siapa yang mengerti, mengenali, menyadari tentang dirinya yang memang hina, lemah, penuh kekurangan dan fana, pasti ia mengenali, mengerti dan menyadari terhadap Allah yang memiliki kemuliaan, kekuasaan dan keabadian, begitu pula sebaliknya, siapa yang tidak mengerti tentang dirinya berarti dia tidak mengerti tentang Tuhannya.
Seharusnyalah orang yang benar-benar berakal menyingsingkan lengan bajunya untuk menuntut ilmu ma’rifat dengan penuh kesungguhan tanpa putus asa dan rasa lemah untuk menuntut, agar supaya jangan sampai terjadi, bila maut datang menjelang padahal ia mengidap penyakit buta karena kebodohan, karena apabila sesudah kematian itu, tidak mungkin dia mendapat jalan terang sebagaimana firman Allah : "Siapapun selagi masih hidup di dunia ini tetap dalam kebutaan, maka di akhirat kelak dia akan lebih buta dan sesat jalan.” Selanjutnya hendaklah mengetahui bahwa nafsu atau diri itu adalah suatu lathifah rabbaniyah atau cahaya ketuhanan yang amat halus.
Itulah yang di namakan dengan roh sebelum berhubungan dengan jasad, Allah ciptakan roh-roh itu sebelum di ciptakan jasad, pada waktu itu keadaan roh adalah bertetangga dengan Allah dan dekat sekali, manakala Allah perintahkan roh-roh tersebut berhubungan dengan jasad, barulah roh-roh itu mengenal tentang al-ghair atau yang selain dari Allah, maka sejak itu roh-roh tersebut terdinding dari hidratul haqqi atau hidrat ketuhanan, maka karena itulah roh-roh itu berhajat sekali kepada Al-Mudzakkir (yang bisa memberi peringatan) sebagaimana firman Allah : “Berilah peringatan (Hai Muhammad), karena ingat itu bermanfaat bagi orang yang beriman.”
Roh adalah suatu jauhar yang cemerlang pada tubuh, apabila jauhar itu memancar pada lahir dan bathin seseorang, berhasillah ia mencapai tingkat kesadaran, tapi bila jauhar itu hanya memancar pada bathin saja, tidak pada lahirnya, berarti orang sedemikian masih dalam keadaan tidur, apabila terputus kecemerlangan jauhar tersebut berarti mati.
Pokok pangkal dari segala maksiat, kelalaian, nafsu syahwat dan syirik, adalah senang dan mau terhadap desakan hawa nafsunya sendiri, apakah tidak memperhatikan bahwasanya fir’aun adalah pertanda orang yang rela terhadap desakan hawa nafsunya sendiri secara menyeluruh, sampai pada tingkatan pendurhakaan yang melebihi batas, hingga ia berkata seperti yang ada dalam Al-Qur’an : “Akulah (fir’aun) yang maha tinggi.” Pokok pangkal segala macam ketaatan, kesadaran, kasih sayang dan musyahadah, adalah tidak ada kemauan untuk menerima desakan nafsu, pada waktu itu tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seseorang dari pada mendidik atau meneliti dirinya sendiri, untuk penelitian itu di lihat dari kesan-kesan yang timbul pada nafsu, dengan melatih diri secara sungguh-sungguh pada tujuh tingkatan nafsu, yaitu :
1. NAFSUL AMMARAH, nafsu ini cenderung kepada tabiat badaniah, mendorong untuk berfoya-foya dengan kelezatan duniawi dan birahi terlarang menurut hukum dan selalu menarik hati kepada sifat kerendahan menghinakan diri terhadap angkara murka kejahatan, di sinilah tempat atau sumber dari segala macam kejahatan dan sifat tercela, seperti sombong, tamak, syahwat, kedengkian, kemarahan membabi buta dan kedekut. Inilah suatu tingkatan yang umum bagi nafsu yang belum di latih secara sungguh-sungguh (mujahadah).
2. NAFSUL LAWAMAH, nafsu ini mendapat cahaya dengan cahaya hati, maka tunduklah ia kepada kekuatan akal sehat, tapi kadang-kadang ia membangkang terhadap desakan akal sehat itu sendiri, lalu timbul penyesalan dan jiwanya terasa pedih, nafsu ini adalah sumber dari segala rasa penyesalan.
3. NAFSUL MUTHMA’INNAH, nafsu ini bercahaya dengan cahaya hati hingga terasa kosong dari sifat-sifat yang tercela dan tenang tenteram menuju kesempurnaan, maqamnya adalah permulaan kesempurnaan ibadah, apabila seorang salik meletakkan pendiriannya pada jiwa yang tenteraam ini, terhitunglah dia seorang ahli thariqat yang berpindah dari kehidupan warna warni yang tak menentu kepada kehidupan yang tetap berpendirian, temannya adalah mabuk ketuhanan, orang-orang yang telah sampai membangunkannya, penuh rasa ketergantungan kepada Tuhan yang Maha Tinggi.
4. NAFSUL MULHIMAH, Allah mengilhamkan kepadanya ilmu pengetahuan, rasa tawaddhu’, qana’ah dan sakhawah atau murah hati, hal itu bersumber dari kesabaran, tabah dan kesyukuran.
5. NAFSUL ARRADLIYAH, nafsu ini adalah rela dan ridha terhadap segala ketentuan Allah kepada dirinya, sebagaimana yang di firmankan Allah “Wa Radlu ‘Anhu” artinya mereka rela kepada-Nya, keadaan jiwa dan nafsu ini adalah penuh penyerahan kepada Allah dan selalu merasa kelezatan dengan timbulnya “Hairah” (kekaguman) karena nyatanya Allah buat dia, sebagaimana tersebut pada sebuah ungkapan para kaum sufi seperti do’a, yaitu “Yaa Tuhanku, tambahkan bagiku rasa hairah, karena cintaku pada-Mu melebihi batas, sayangilah sepenuh panas membara.”
6. NAFSUL AL-MARDHIYAH, nafsu ini mendapat ridha Allah, tampak bekas ridha Allah padanya, seperti adanya karomah dan do’a sangat mudah di kabulkan Allah, ia sangat berhati-hati bicara karena ucapannya kabul bagi Allah, jika tersalah maka saja dengan seperti mengutuk sesuatu. Apapun ia lakukan tampak ikhlas, selalu ingat pada Allah tiada lekang walau sekejap, dalam tidurpun seperti berdzikir, namun pada tingkat ini menurut kaum sufi adalah langkah pertama untuk ma’rifat kepada Allah dengan pengamalan yang benar, pada jiwa ini merasakan atau mendapatkan Tajalli Af’al.
7. NAFSUL KAMILAH, terjadinya kesempurnaan dengan sepenuhnya, tercetak sebagai tabiat yang mendalam, dengan ini meningkat terus pada tingkatan yang lebih tinggi lalu kemudian jiwa kamilah ini mendorong untuk kembali kepada manusia, memberikan petunjuk-petunjuk kepada hamba Allah, maqamnya adalah keseluruhan maqam, yaitu maqam tajalli af’al, tajalli asma, tajalli sifat dan tajalli baqa billah, berjalan selalu bersama Allah dan kembali juga bersama Allah, tiada ruang dan waktu baginya kecuali hanya Allah, ilmunya berfaedah hanya kepada Allah, sebagaimana yang di siratkan para kaum sufi,
Setelah fana fillah…
Jadilah apa yang di mau…
Ilmu, tiada kebodohan…
Laku tingkah tiada dosa…
Seharusnyalah orang yang benar-benar berakal menyingsingkan lengan bajunya untuk menuntut ilmu ma’rifat dengan penuh kesungguhan tanpa putus asa dan rasa lemah untuk menuntut, agar supaya jangan sampai terjadi, bila maut datang menjelang padahal ia mengidap penyakit buta karena kebodohan, karena apabila sesudah kematian itu, tidak mungkin dia mendapat jalan terang sebagaimana firman Allah : "Siapapun selagi masih hidup di dunia ini tetap dalam kebutaan, maka di akhirat kelak dia akan lebih buta dan sesat jalan.” Selanjutnya hendaklah mengetahui bahwa nafsu atau diri itu adalah suatu lathifah rabbaniyah atau cahaya ketuhanan yang amat halus.
Itulah yang di namakan dengan roh sebelum berhubungan dengan jasad, Allah ciptakan roh-roh itu sebelum di ciptakan jasad, pada waktu itu keadaan roh adalah bertetangga dengan Allah dan dekat sekali, manakala Allah perintahkan roh-roh tersebut berhubungan dengan jasad, barulah roh-roh itu mengenal tentang al-ghair atau yang selain dari Allah, maka sejak itu roh-roh tersebut terdinding dari hidratul haqqi atau hidrat ketuhanan, maka karena itulah roh-roh itu berhajat sekali kepada Al-Mudzakkir (yang bisa memberi peringatan) sebagaimana firman Allah : “Berilah peringatan (Hai Muhammad), karena ingat itu bermanfaat bagi orang yang beriman.”
Roh adalah suatu jauhar yang cemerlang pada tubuh, apabila jauhar itu memancar pada lahir dan bathin seseorang, berhasillah ia mencapai tingkat kesadaran, tapi bila jauhar itu hanya memancar pada bathin saja, tidak pada lahirnya, berarti orang sedemikian masih dalam keadaan tidur, apabila terputus kecemerlangan jauhar tersebut berarti mati.
Pokok pangkal dari segala maksiat, kelalaian, nafsu syahwat dan syirik, adalah senang dan mau terhadap desakan hawa nafsunya sendiri, apakah tidak memperhatikan bahwasanya fir’aun adalah pertanda orang yang rela terhadap desakan hawa nafsunya sendiri secara menyeluruh, sampai pada tingkatan pendurhakaan yang melebihi batas, hingga ia berkata seperti yang ada dalam Al-Qur’an : “Akulah (fir’aun) yang maha tinggi.” Pokok pangkal segala macam ketaatan, kesadaran, kasih sayang dan musyahadah, adalah tidak ada kemauan untuk menerima desakan nafsu, pada waktu itu tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seseorang dari pada mendidik atau meneliti dirinya sendiri, untuk penelitian itu di lihat dari kesan-kesan yang timbul pada nafsu, dengan melatih diri secara sungguh-sungguh pada tujuh tingkatan nafsu, yaitu :
1. NAFSUL AMMARAH, nafsu ini cenderung kepada tabiat badaniah, mendorong untuk berfoya-foya dengan kelezatan duniawi dan birahi terlarang menurut hukum dan selalu menarik hati kepada sifat kerendahan menghinakan diri terhadap angkara murka kejahatan, di sinilah tempat atau sumber dari segala macam kejahatan dan sifat tercela, seperti sombong, tamak, syahwat, kedengkian, kemarahan membabi buta dan kedekut. Inilah suatu tingkatan yang umum bagi nafsu yang belum di latih secara sungguh-sungguh (mujahadah).
2. NAFSUL LAWAMAH, nafsu ini mendapat cahaya dengan cahaya hati, maka tunduklah ia kepada kekuatan akal sehat, tapi kadang-kadang ia membangkang terhadap desakan akal sehat itu sendiri, lalu timbul penyesalan dan jiwanya terasa pedih, nafsu ini adalah sumber dari segala rasa penyesalan.
3. NAFSUL MUTHMA’INNAH, nafsu ini bercahaya dengan cahaya hati hingga terasa kosong dari sifat-sifat yang tercela dan tenang tenteram menuju kesempurnaan, maqamnya adalah permulaan kesempurnaan ibadah, apabila seorang salik meletakkan pendiriannya pada jiwa yang tenteraam ini, terhitunglah dia seorang ahli thariqat yang berpindah dari kehidupan warna warni yang tak menentu kepada kehidupan yang tetap berpendirian, temannya adalah mabuk ketuhanan, orang-orang yang telah sampai membangunkannya, penuh rasa ketergantungan kepada Tuhan yang Maha Tinggi.
4. NAFSUL MULHIMAH, Allah mengilhamkan kepadanya ilmu pengetahuan, rasa tawaddhu’, qana’ah dan sakhawah atau murah hati, hal itu bersumber dari kesabaran, tabah dan kesyukuran.
5. NAFSUL ARRADLIYAH, nafsu ini adalah rela dan ridha terhadap segala ketentuan Allah kepada dirinya, sebagaimana yang di firmankan Allah “Wa Radlu ‘Anhu” artinya mereka rela kepada-Nya, keadaan jiwa dan nafsu ini adalah penuh penyerahan kepada Allah dan selalu merasa kelezatan dengan timbulnya “Hairah” (kekaguman) karena nyatanya Allah buat dia, sebagaimana tersebut pada sebuah ungkapan para kaum sufi seperti do’a, yaitu “Yaa Tuhanku, tambahkan bagiku rasa hairah, karena cintaku pada-Mu melebihi batas, sayangilah sepenuh panas membara.”
6. NAFSUL AL-MARDHIYAH, nafsu ini mendapat ridha Allah, tampak bekas ridha Allah padanya, seperti adanya karomah dan do’a sangat mudah di kabulkan Allah, ia sangat berhati-hati bicara karena ucapannya kabul bagi Allah, jika tersalah maka saja dengan seperti mengutuk sesuatu. Apapun ia lakukan tampak ikhlas, selalu ingat pada Allah tiada lekang walau sekejap, dalam tidurpun seperti berdzikir, namun pada tingkat ini menurut kaum sufi adalah langkah pertama untuk ma’rifat kepada Allah dengan pengamalan yang benar, pada jiwa ini merasakan atau mendapatkan Tajalli Af’al.
7. NAFSUL KAMILAH, terjadinya kesempurnaan dengan sepenuhnya, tercetak sebagai tabiat yang mendalam, dengan ini meningkat terus pada tingkatan yang lebih tinggi lalu kemudian jiwa kamilah ini mendorong untuk kembali kepada manusia, memberikan petunjuk-petunjuk kepada hamba Allah, maqamnya adalah keseluruhan maqam, yaitu maqam tajalli af’al, tajalli asma, tajalli sifat dan tajalli baqa billah, berjalan selalu bersama Allah dan kembali juga bersama Allah, tiada ruang dan waktu baginya kecuali hanya Allah, ilmunya berfaedah hanya kepada Allah, sebagaimana yang di siratkan para kaum sufi,
Setelah fana fillah…
Jadilah apa yang di mau…
Ilmu, tiada kebodohan…
Laku tingkah tiada dosa…
Posting Komentar untuk "TENTANG NAFSU DIRI"
Terimakasih atas kunjungan anda...