MAQAM IHSAN TIDAKLAH TERTUTUP
Rasulullah bersabda : “Siapa yang menuntut sesuatu dengan kesungguhan, dia pasti mendapat.” Jangan hendaknya terpengaruh dengan pendapat yang mengatakan bahwa pada masa-masa akhir zaman atau seperti yang di katakan orang-orang adalah masa-masa sekarang ini tidak akan ada lagi masanya bagi kita mendapatkan maqam ihsan sebagaimana para kyai, wali-wali atau orang-orang shalih terdahulu, pendapat dalam hal ini adalah “Mardud” (tertolak), pendapat ini menunjukkan adanya malas akan mendekati dan mengharapkan rahmat Allah dan lebih tebal ingkarnya daripada patuhnya pada himbauan Allah agar senantiasa mendekat pada-Nya.
Bila dalam i’tikad mereka itu tumbuh anggapan bahwa Allah tidak kuasa lagi mendatangkan karomah dan wilayah maqam kepada hamba-Nya, maka i’tikad sedemikian adalah kufur, padahal Allah tidak ada kesulitan bagi-Nya jika Dia berkehendak mengkaruniakan hal tersebut kepada hamba-hamba-Nya sepanjang hamba itu senantiasa patuh akan perintah dan menjauhi segala larangan serta rajin dan bahkan istiqamah selalu untuk mendekat kepada-Nya, kapan saja Dia mau, baik kini, masa yang akan datang atau kapanpun bisa saja Allah memberikan karunia tersebut kepada hamba-Nya, hal ini tidak ada keterbatasan waktu dan ruang bagi-Nya, karena Allah adalah Maha Kekal dan Maha Abadi.
Memperoleh tingkat kedekatan kepada Allah tentu sangat mensyaratkan kesungguhan, ketekunan, latihan-latihan rohani tertentu, sehingga mempercepat datangnya, menurut Syeikh Yusuf Al-Mishri, seaktu beliau mengajar di Masjidil Haram, ia berpendapat bahwasanya maqqam ihsan itu bisa di dapat sebagaimana usaha yang di sebutkan di atas adalah suatu pendapat mu’tamad (dapat di pertanggungjawabkan), mereka bisa meraih maqam tersebut adalah yang benar-benar tekun melakukan ibadat dan melawan hawa dan nafsunya sendiri, namun perlu pula di ingat hal tersebut bukanlah bisa di kejar dan di target, namun tetap seperti biasa, ibadah dengan tekun, dunia seperlunya dan istiqamah untuk itu.
Menurut perkataan Syeikh Muhammad Bin Abdul Karim dalam Risalah beliau yang bernama “Unwanul Jalwati Fi Sya’nilkhalwati”, bahwa seseorang akan mendapat pangkat kewalian dalam hal kerohanian agama pada umumnya dengan melaksanakan segala rukun-rukunnya.
Rukun-Rukunnya itu adalah :
1. Khalwat, artinya bersunyi diri dalam beribadah dan dunia seperlunya;
2. Tahan lapar, gemar puasa sesuai yang di syari’atkan;
3. Tidak banyak bicara, bicara yang baik-baik saja, bicara tak perlu puasakan, dan
4. Berjaga malam, tidak banyak tidur namun menghidupkan malam dengan ibadah.
Juga seperti apa yang di katakan Mahyuddin Ibnul ‘Arabi,“Wahai orang-orang yang menginginkan pangkat abdal, tapi tiada maksud untuk beramal, tidak mungkin dapat merasakannya dan kamu bukanlah ahlinya jika sedemikian, bila kamu tidak melaksanakan hal ahwalnya, maka istana kewalian itu terbagi atas rukun-rukun tertentu, sepanjang pendapat penghulu-penghulu kita yang di antaranya terdapat wali abdal, yaitu tidak banyak kata dan mengasing diri, menahan lapar dan terjaga, memuji dan tasbih kepada Allah yang Maha Tinggi.”
Selanjutnya bermujahadah dengan penuh kesungguhan hati dan melawan serta menahan getaran-getaran hawa nafsu dengan melakukan puasa, khalwat, menghidupkan malam dan berisitqamah atas kegiatan tersebut sepanjang hidup, maka orang yang beginilah yang bisa mencapai maqam ihsan, senantiasa muraqabah dan memperhatikan diri dengan sungguh-sungguh atas segala kekurangan, tidak pernah merasa cukup atas ibadah yang di lakukan, ia senantiasa lapar dan haus untuk beribadah secara normal dengan menjaga keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat, begitulah hal keadaannya sebagaimana apa yang di ucapkan oleh sementara arif billah “Ana atubu min qauli Laa ilaaha illallaah” ia berhati-hati dalam memahami ke-ESA-an Allah walau yang ia katakan di atas sangat berbahaya atas terjadinya syirik karena mengatakan aku, sebagaimana yang di qiaskan oleh Syeikh Abu ‘Abbas Al-Mursi, yaitu : “Andai kata aku terlindung dari Tuhanku meskipun sekejap mata, maka tidaklah aku terhitung manusia.”
Menegaskan tentang muraqabah, adalah selalu memelihara hati dan memusatkan pandangan kepada Allah semisal laksana kucing yang mengintip buruannya, buruan tidak akan lari jika memang pandai mengintip, demikianlah hal keadaan seseorang yang bermuraqabah, Syeikh Umar AlFardih berkata : “Andaikata tergetar kehendak dalam hati, selain pada-Mu Yaa Allah, karena lalai dan lupa, kuhukumkan diriku terjerumus, hancur berkeping di lembah murtad."
Bila dalam i’tikad mereka itu tumbuh anggapan bahwa Allah tidak kuasa lagi mendatangkan karomah dan wilayah maqam kepada hamba-Nya, maka i’tikad sedemikian adalah kufur, padahal Allah tidak ada kesulitan bagi-Nya jika Dia berkehendak mengkaruniakan hal tersebut kepada hamba-hamba-Nya sepanjang hamba itu senantiasa patuh akan perintah dan menjauhi segala larangan serta rajin dan bahkan istiqamah selalu untuk mendekat kepada-Nya, kapan saja Dia mau, baik kini, masa yang akan datang atau kapanpun bisa saja Allah memberikan karunia tersebut kepada hamba-Nya, hal ini tidak ada keterbatasan waktu dan ruang bagi-Nya, karena Allah adalah Maha Kekal dan Maha Abadi.
Memperoleh tingkat kedekatan kepada Allah tentu sangat mensyaratkan kesungguhan, ketekunan, latihan-latihan rohani tertentu, sehingga mempercepat datangnya, menurut Syeikh Yusuf Al-Mishri, seaktu beliau mengajar di Masjidil Haram, ia berpendapat bahwasanya maqqam ihsan itu bisa di dapat sebagaimana usaha yang di sebutkan di atas adalah suatu pendapat mu’tamad (dapat di pertanggungjawabkan), mereka bisa meraih maqam tersebut adalah yang benar-benar tekun melakukan ibadat dan melawan hawa dan nafsunya sendiri, namun perlu pula di ingat hal tersebut bukanlah bisa di kejar dan di target, namun tetap seperti biasa, ibadah dengan tekun, dunia seperlunya dan istiqamah untuk itu.
Menurut perkataan Syeikh Muhammad Bin Abdul Karim dalam Risalah beliau yang bernama “Unwanul Jalwati Fi Sya’nilkhalwati”, bahwa seseorang akan mendapat pangkat kewalian dalam hal kerohanian agama pada umumnya dengan melaksanakan segala rukun-rukunnya.
Rukun-Rukunnya itu adalah :
1. Khalwat, artinya bersunyi diri dalam beribadah dan dunia seperlunya;
2. Tahan lapar, gemar puasa sesuai yang di syari’atkan;
3. Tidak banyak bicara, bicara yang baik-baik saja, bicara tak perlu puasakan, dan
4. Berjaga malam, tidak banyak tidur namun menghidupkan malam dengan ibadah.
Juga seperti apa yang di katakan Mahyuddin Ibnul ‘Arabi,“Wahai orang-orang yang menginginkan pangkat abdal, tapi tiada maksud untuk beramal, tidak mungkin dapat merasakannya dan kamu bukanlah ahlinya jika sedemikian, bila kamu tidak melaksanakan hal ahwalnya, maka istana kewalian itu terbagi atas rukun-rukun tertentu, sepanjang pendapat penghulu-penghulu kita yang di antaranya terdapat wali abdal, yaitu tidak banyak kata dan mengasing diri, menahan lapar dan terjaga, memuji dan tasbih kepada Allah yang Maha Tinggi.”
Selanjutnya bermujahadah dengan penuh kesungguhan hati dan melawan serta menahan getaran-getaran hawa nafsu dengan melakukan puasa, khalwat, menghidupkan malam dan berisitqamah atas kegiatan tersebut sepanjang hidup, maka orang yang beginilah yang bisa mencapai maqam ihsan, senantiasa muraqabah dan memperhatikan diri dengan sungguh-sungguh atas segala kekurangan, tidak pernah merasa cukup atas ibadah yang di lakukan, ia senantiasa lapar dan haus untuk beribadah secara normal dengan menjaga keseimbangan kehidupan antara dunia dan akhirat, begitulah hal keadaannya sebagaimana apa yang di ucapkan oleh sementara arif billah “Ana atubu min qauli Laa ilaaha illallaah” ia berhati-hati dalam memahami ke-ESA-an Allah walau yang ia katakan di atas sangat berbahaya atas terjadinya syirik karena mengatakan aku, sebagaimana yang di qiaskan oleh Syeikh Abu ‘Abbas Al-Mursi, yaitu : “Andai kata aku terlindung dari Tuhanku meskipun sekejap mata, maka tidaklah aku terhitung manusia.”
Menegaskan tentang muraqabah, adalah selalu memelihara hati dan memusatkan pandangan kepada Allah semisal laksana kucing yang mengintip buruannya, buruan tidak akan lari jika memang pandai mengintip, demikianlah hal keadaan seseorang yang bermuraqabah, Syeikh Umar AlFardih berkata : “Andaikata tergetar kehendak dalam hati, selain pada-Mu Yaa Allah, karena lalai dan lupa, kuhukumkan diriku terjerumus, hancur berkeping di lembah murtad."
Posting Komentar untuk "MAQAM IHSAN TIDAKLAH TERTUTUP"
Terimakasih atas kunjungan anda...