Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

KELEMAHAN PENGLIHATAN MANUSIA DALAM MELIHAT ALLAH

Bahwasanya yang menghalangi Allah darimu itu sebab terlalu dekat-Nya dari kamu dan bahwasa-Nya Dia bisa terhalang sebab sangat terang-Nya dan samar dari penglihatan sebab sinar cahaya-Nya yang besar dan agung. Jangankan jarak yang jauh bisa menghalangi penglihatan mata, maka jarak yang dekat dan bahkan yang lebih dekat dapat menghalangi mata, tak ada bedanya dengan cahaya matahari yang begitu kuat melebihi cahaya-cahaya lain di dunia ini sehingga apabila orang memandangnya, maka matanya akan tersilau oleh cahaya itu hingga pandangan menjadi rabun, kedua sebab yang telah tersebutkan itu sebagai misal di atas bila terhadap Allah sesungguhnya bukan penghalang yang bisa menghalangi pandangan terhadap Allah, karena bila sesuatu itu ada pada kehendak-Nya maka tidak ada yang mustahil, karena segala sesuatu itu tidak dapat menjadi penghalang bagi Dzat-Nya sendiri, begitu pula dzat Allah tidak bisa menjadi penghalang bagi Dzat-Nya sendiri juga, jadi dalam hal ini adalah kelemahan alat penglihatan manusia sendiri yang menyebabkan penghalang dalam melihat Allah.

Hal ini pernah di alami oleh Nabi Musa As, ia ingin mengetahui bentuk dan rupa Tuhan yang sebenarnya, di situ baru Allah menampakkan sinarnya ketika Musa langsung jatuh dan pingsan, sebab pandangannya tidak kuat untuk mencapai Nur Allah, Allah berfirman : “Dan tatkala Musa datang untuk meunajat kepada Kami pada waktu Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata : “Ya Tuhanku, nampakkanlah diri engkau agar aku dapat melihat kepada engkau.” Tuhan berfirman : “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat Aku, tatkala Tuhan menampakkan diri-Nya bagi gunung itu maka kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan, setelah Musa sadar kembali, dia berkata : “Maha Suci engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” 


Allah berfirman dalam hadist qudsyi kepada Musa : “Hai Musa, engkau sekali-kali tidak dapat melihat-Ku, sungguh, makhluk hidup pasti mati bila melihat-Ku, yang basah pasti mengering kerontang, yang kering bertaburan, yang dapat melihat-Ku hanyalah para penghuni syurga yang tidak akan mati pandangannya dan tidak akan hancur binasa tubuhnya.” (H.R. Al-Hakim dari Ibnu Abbas). Allah telah mewahyukan kepada Nabi Musa yang menerangkan bahwa beliau tidak akan dapat melihat Tuhannya selama masih hidup dalam dunia ini dan selama dalam keadaan kemanusiaannya, tidak akan kesanggupan untuk yang sedemikian itu dan tidak akan ada kesiapan untuk melakukan hal itu. Allah tidak akan dapat di pandang oleh mata dan tidak pula dapat di rasa dengan alat panca indera, Dia tidak dapat di serupakan dengan sesuatu makhluk atau di bandingkan dengan benda, hal ini jelas di katakan di katakan dalam Al-Qur’an : “Dia tidak dapat di capai dengan penglihatan, sedang Dia dapat mencapai segala penglihatan, karena Dialah yang Maha Halus Lagi Maha Mengetahui.” (H.R. Al-An’am : 103).

Kemungkinan sekali Allah mewahyukan kepada Nabi Musa seperti di atas, karena Nabi Musa sendiri memohon kepada Allah untuk dapat melihat-Nya. Tafsir Baidhawi dalam menafsirkan ayat di atas mengemukan bahwa tatkala Musa datang pada waktu yang telah di tentukan oleh Allah untuk menerima wahyu, Musa memohon kepada Tuhannya : “Perlihatkanlah diri-Mu dengan cara yang memungkinkan aku dapat melihat-Mu atau Engkau nampakkan diri kepadaku sehingga aku dapat melihat-Mu.” Permohonan Musa ini terbukti, bahwa melihat dan memandang Tuhan itu adalah hal yang mustahil, sebab mustahil bagi seorang Nabi memohon hal yang mustahil, namun walau demikian tetap di utarakan dan Allah menolaknya dengan firman-Nya : “Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku.” Sesungguhnya melihat Tuhan itu tergantung kepada kesiapan khusus, kekhususan ini tidak di miliki Musa, sebagai bukti ketidaksiapannya Nabi Musa Allah berfirman : “Lihatlah gunung itu, jika ia tetap pada tempatnya semula, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku, Allah memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan-Nya pada gunung itu, ternyata hancur luluh menjadi rata dan Musapun jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan karena dahsyatnya, ketika ia siuman Musa berkata kepada Allah : “Maha Suci Engkau ya Tuhanku, aku bertaubat kepada-Mu karena kelancanganku untuk memohon agar dapat melihat-Mu, tanpa izin-Mu dan akulah yang pertama beriman kepada-Mu.”

Dengan kejadian di atas Allah seakan-akan menunjukkan kepada Musa akan kekuatan diri pribadi Musa, apabila permohonannya di kabulkan. Hal itu di buktikan dengan hancur leburnya gunung yang lebih tangguh dan tegap yang terpancang tegak dengan megahnya, kehancuran gunung itu akibat tidak sanggup melihat kebesaran dan keagungan Allah, ini gunung, apalagi tubuh manusia yang serba lembut di banding gunung, makin tak mampu melihat kebesaran dan keagungan Allah.

Menurut sebagian perawi hadist, bahwa Rasulullah Saw melihat Allah pada malam Isra’ dan Mi’raj, hal ini dapat kita katakan bahwa Rasulullah Saw di saat itu sebagai manusia biasa yang di karuniai ketahanan, kesanggupan dan kesiapan yang khusus oleh Allah, sehingga dapat menikmati dan memandang Dzat Allah yang Maha Esa. Allah Maha Kuasa menciptakan apa-apa yang di kehendaki-Nya.

Berdasarkan kejadian tersebut di atas, dapatlah di ambil kesimpulan bahwa Nabi Musa tidak di karuniai kesiapan khusus untuk memandang Dzat Allah, sedangkan Rasulullah Saw mendapatkan hal itu. Dalam hadist qudsyi menyebut juga dan menegaskan bahwa tidak mungkin makhluk yang hidup mampu melihat Tuhan tanpa ada kesiapan dan karunia dari-Nya, malah makhluk hidup itu pasti mati karena kebesaran dan kehebatan Allah, demikian halnya benda-benda seperti gunung sebagaimana kejadian pada Nabi Musa, lalu di tegaskan lagi untuk segenap hamba Allah bahwasanya adalah penduduk dan penghuni syurgalah yang bisa melihat Tuhan, itupu di akhirat kelak, mereka sekaliannya di berikan karunia berupa kesanggupan untuk melihat Allah, hal ini adalah nikmat tertinggi di akhirat kelak setelah sekalian manusia di bangkitkan kembali setelah kiamat dan setelah melalui berbagai proses hisab.

Dalam masalah memandang Tuhan terdapat beberapa pendapat para ulama, ada yang berpendapat bahwa kita kelak dapat melihat secara, mutlak dan ada pula yang berpendapat bahwa kita tidak dapat melihat sama sekali, yang terdekat kepada akal kita adalah soal memandang Tuhan ini yang jelas tidak terjadi di dunia ini dan mungkin saja terjadi kelak di akhirat sesuai dengan amal ibadah manusia itu sendiri dan atau bagi orang yang di kehendaki oleh Allah itu sendiri untuk dapat menikmati nikmat ini.

Mungkin timbul pertanyaan : Bagaimana cara memandang Allah itu? Hakikatnya memandang itu tidak dapat di ketahui dan kitapun tidak memperoleh keterangan tentang hal itu, kita tidak dapat mengatakan cara-caranya. Para ulama salaf mengatakan, bahwa soal ru’yah (memandang) itu berpokok pada “Bilaa Kaifa” (Tidak tahu bagaimana cara dan kaifiyatnya), sehingga kita tidak dapat menggambarkannya, wallahu a’lam.

Dalam tafsir Al-Mannar Muhammad Rasyid Ridha menerangkan soal ini adalah :

Nikmat Ru’yatullah (Memandang), memandang Tuhan itu adalah nikmat rohani yang tertinggi dan sempurna, manusia dapat menikmati dan mencapainya kelak di dalam syurga sebagai karunia dan keridhaan Allah terhadap hamba-Nya.
Memandang Tuhan kelak di akhirat adalah hak dan benar bagi hamba-hamba yang di ridhai Allah. 


Ru’yah (Memandang) itu lebih tepat di tuju oleh firman Allah : “Tidaklah satupun yang dapat mengetahui apa yang di sembunyikan dan di rahasiakan kepada mereka dari yang menyedapkan pandangan mata.” (Q.S. As-Sajadah : 17). Dalam hadist qudsy yang di riwayatkan Rasulullah Saw di sebutkan Allah berfirman : “Aku telah sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shaleh, nikmat-nikmat kesenangan yang tidak pernah terlihat oleh pandangan mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak terlintas di dalam hati manusia.” (H.R. Ahmad).
Para ulama salaf sepakat, bahwa ru’yatullah (Memandang Allah) itu Bilaa Kaifaa (Tidak di ketahui bagaimana caranya), Wallahu a’lam.

Memang dalam hal ini, pendapat salaf itu rasanya bisa menenteramkan hati dan menetapkan pikiran yang di kuatkan ilmi dan akli serta berserah diri kepada Allah yang Maha Mengetahui hakikat yang sebenarnya dan Maha Mengetahui segala sesuatunya. Allah berfirman : “Wajah-wajah kaum muslimin pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya bagus memandang.” (Q.S. Al-Qiyamah : 22-23).

Posting Komentar untuk "KELEMAHAN PENGLIHATAN MANUSIA DALAM MELIHAT ALLAH"