Pengaruh Niat Terhadap Hal-Hal Yang Mubah dan Kebiasaan
Pengaruh niat sungguh dan sangatlah besar, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan, dapat bernilai ibadah dan jadi sesuatu amalan, pekerjaan mencari rizqi, bercocok tanam, berkarya, berdagang, mengajar dan profesi lainnya, dapat menjadikannya suatu ibadah dan jihad fi sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mencari yang halal, serta tidak bertentangan dengan perintah dan larangan dari Allah Swt dan Rasul-Nya.
Begitu pula makan minum, berpakaian, jika dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada Allah Swt dan melaksanakan kewajiban kepada Rabb-nya, maka akan diganjar berdasarkan niatnya, orang yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang lain, untuk membiayai dirinya dan keluarganya, akan diganjar atas niatnya, sebagaimana riwayat hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya jika engkau menafkahkan hartamu yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allah, maka engkau akan diberi pahala lantaran nafkahmu sampai apa yang engkau suapkan ke mulut isterimu.” (H.R Bukhari dan Muslim). Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,”Imam An-Nawawi mengambil istimbat dari hadits ini, bahwa memberikan suapan kepada istri, biasanya terjadi pada waktu bergurau, ketika timbul syahwat, dan yang demikian ini jelas, namun, bila dilakukan untuk mencari ganjaran pahala, maka ia akan memperolehnya dengan keutamaan dari Allah Swt.” (Kitab Fat-hul Bari, I/137).
Imam As-Suyuthi menjelaskan, dalil yang tepat untuk dijadikan dasar (oleh para ulama), bahwa seorang hamba akan mendapat ganjaran dengan niat yang baik dalam perkara yang mubah dan pada perkara adat kebiasaan ialah dari sabda Rasulullah Saw, yaitu : “Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Niat ini akan diganjar apabila dimaksudkan untuk taqarrub hanya kepada Allah Swt saja, sehingga, bila tidak dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala. Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang mukmin kepada istrinya pun dapat mendatangkan pahala di sisi Allah Swt, dalam sebuah hadits disebutkan : Dari Abu Dzaar Al-Ghifari Ra, ia berkata bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah Saw, yang berkata kepada Rasulullah Saw sebagai berikut : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi dengan banyak pahala, mereka shalat seperti kita shalat, berpuasa seperti kita berpuasa, dan bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Lalu Rasulullah Saw bersabda,“Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu bagi kalian yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya, bagi kamu, setiap kali tasbih adalah shadaqah, setiap kali tahmid adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah shadaqah, melarang kemungkaran adalah shadaqah, dan menggauli (bersetubuh dengan) istri adalah shadaqah.” Para sahabat bertanya lagi,”Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dia mendapatkan pahala?” Beliau bersabda,”Bagaimana pendapat kalian kalau ia melampiaskan syahwatnya kepada yang haram, apakah ia berdosa? Maka demikian pula jika dia melampiaskannya pada yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (H.R Muslim, Imam Ahmad, dan Abu Daud).
Imam An-Nawawi menjelaskan hadits ini : “Di dalam hadits ini ada dalil, bahwa perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar, jima’ (bersetubuh), bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk memenuhi hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik sebagaimana diperintahkan Allah Swt, atau untuk mendapat anak yang shalih, atau untuk menjaga dirinya dan istrinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan haram, atau memikirkan (mengkhayal) hal yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau yang lainnya.” (Terdapat dalam Syarah Shahih Muslim, VII/92).
Suatu perbuatan yang mubah, dapat dijadikan amal ibadah sehingga mendekatkan pelakunya kepada Allah Swt, namun ia tetap memiliki syarat-syarat tertentu untuk mengenai hal ini jika melakukannya, ketentuan-ketentuan itu adalah sebagai berikut :
1. Tidak boleh menjadikan perkara mubah menjadi suatu ibadah (qurbah) pada bentuk dan dzatnya, sebagaimana orang menduga sebagaimana hal ini, yaitu bahwa hanya semata-mata untuk berjalan-jalan ketempat maksiat, makan berdiri, atau berpakaian yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt, karena itu sebagaimana dicontohkan Nabi Saw larangannya sesuai sabdanya kepada Abu Israil, yaitu Rasulullah Saw mengingkari Abu Israil berdiri di terik panas matahari untuk memenuhi nadzarnya, maka Rasulullah Saw menyuruh ia berbicara, berteduh, duduk, dan menyempurnakan puasanya.” (H.R Bukhari, Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ath-Thahawi).
2. Hendaklah yang mubah itu hanya sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah : “Hendaknya yang mubah dikerjakan untuk membantu dirinya melaksanakan ketaatan.” (Majmu Fatawa, X/460).
3. Hendaklah seorang muslim memandang yang mubah dengan keyakinan bahwa hal itu memang benar dimubahkan (dihalalkan) oleh Allah Swt untuknya.
4. Hendaknya yang mubah (dibolehkan) itu tidak menyebabkan pelakunya celaka, atau membahayakan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan di atas, agar tidak menghalalkan segala cara dan supaya bernilai di sisi Allah Swt atas segala tindakan yang diperbuatnya hanya sesuai dengan syari’at Islam yang benar.
Begitu pula makan minum, berpakaian, jika dikerjakan dengan niat untuk ketaatan kepada Allah Swt dan melaksanakan kewajiban kepada Rabb-nya, maka akan diganjar berdasarkan niatnya, orang yang mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang lain, untuk membiayai dirinya dan keluarganya, akan diganjar atas niatnya, sebagaimana riwayat hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya jika engkau menafkahkan hartamu yang dengannya engkau mengharapkan wajah Allah, maka engkau akan diberi pahala lantaran nafkahmu sampai apa yang engkau suapkan ke mulut isterimu.” (H.R Bukhari dan Muslim). Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,”Imam An-Nawawi mengambil istimbat dari hadits ini, bahwa memberikan suapan kepada istri, biasanya terjadi pada waktu bergurau, ketika timbul syahwat, dan yang demikian ini jelas, namun, bila dilakukan untuk mencari ganjaran pahala, maka ia akan memperolehnya dengan keutamaan dari Allah Swt.” (Kitab Fat-hul Bari, I/137).
Imam As-Suyuthi menjelaskan, dalil yang tepat untuk dijadikan dasar (oleh para ulama), bahwa seorang hamba akan mendapat ganjaran dengan niat yang baik dalam perkara yang mubah dan pada perkara adat kebiasaan ialah dari sabda Rasulullah Saw, yaitu : “Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Niat ini akan diganjar apabila dimaksudkan untuk taqarrub hanya kepada Allah Swt saja, sehingga, bila tidak dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala. Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang mukmin kepada istrinya pun dapat mendatangkan pahala di sisi Allah Swt, dalam sebuah hadits disebutkan : Dari Abu Dzaar Al-Ghifari Ra, ia berkata bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah Saw, yang berkata kepada Rasulullah Saw sebagai berikut : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi dengan banyak pahala, mereka shalat seperti kita shalat, berpuasa seperti kita berpuasa, dan bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Lalu Rasulullah Saw bersabda,“Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu bagi kalian yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya, bagi kamu, setiap kali tasbih adalah shadaqah, setiap kali tahmid adalah shadaqah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah shadaqah, melarang kemungkaran adalah shadaqah, dan menggauli (bersetubuh dengan) istri adalah shadaqah.” Para sahabat bertanya lagi,”Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dia mendapatkan pahala?” Beliau bersabda,”Bagaimana pendapat kalian kalau ia melampiaskan syahwatnya kepada yang haram, apakah ia berdosa? Maka demikian pula jika dia melampiaskannya pada yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (H.R Muslim, Imam Ahmad, dan Abu Daud).
Imam An-Nawawi menjelaskan hadits ini : “Di dalam hadits ini ada dalil, bahwa perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar, jima’ (bersetubuh), bisa menjadi ibadah apabila ia niatkan untuk memenuhi hak istrinya, bergaul dengan cara yang baik sebagaimana diperintahkan Allah Swt, atau untuk mendapat anak yang shalih, atau untuk menjaga dirinya dan istrinya agar tidak terjatuh kepada perbuatan haram, atau memikirkan (mengkhayal) hal yang haram, atau berkeinginan untuk itu, atau yang lainnya.” (Terdapat dalam Syarah Shahih Muslim, VII/92).
Suatu perbuatan yang mubah, dapat dijadikan amal ibadah sehingga mendekatkan pelakunya kepada Allah Swt, namun ia tetap memiliki syarat-syarat tertentu untuk mengenai hal ini jika melakukannya, ketentuan-ketentuan itu adalah sebagai berikut :
1. Tidak boleh menjadikan perkara mubah menjadi suatu ibadah (qurbah) pada bentuk dan dzatnya, sebagaimana orang menduga sebagaimana hal ini, yaitu bahwa hanya semata-mata untuk berjalan-jalan ketempat maksiat, makan berdiri, atau berpakaian yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt, karena itu sebagaimana dicontohkan Nabi Saw larangannya sesuai sabdanya kepada Abu Israil, yaitu Rasulullah Saw mengingkari Abu Israil berdiri di terik panas matahari untuk memenuhi nadzarnya, maka Rasulullah Saw menyuruh ia berbicara, berteduh, duduk, dan menyempurnakan puasanya.” (H.R Bukhari, Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ath-Thahawi).
2. Hendaklah yang mubah itu hanya sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah : “Hendaknya yang mubah dikerjakan untuk membantu dirinya melaksanakan ketaatan.” (Majmu Fatawa, X/460).
3. Hendaklah seorang muslim memandang yang mubah dengan keyakinan bahwa hal itu memang benar dimubahkan (dihalalkan) oleh Allah Swt untuknya.
4. Hendaknya yang mubah (dibolehkan) itu tidak menyebabkan pelakunya celaka, atau membahayakan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan di atas, agar tidak menghalalkan segala cara dan supaya bernilai di sisi Allah Swt atas segala tindakan yang diperbuatnya hanya sesuai dengan syari’at Islam yang benar.
Posting Komentar untuk "Pengaruh Niat Terhadap Hal-Hal Yang Mubah dan Kebiasaan"
Terimakasih atas kunjungan anda...