Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

MENGENAL CARA RASULULLAH

Rasulullah Saw bersabda,“Shalatlah kalian seperti kalian melihat bagaimana aku shalat.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Imam Ahmad).
Rasulullah Saw bersabda,“Pertama kali yang dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat, jika baik shalatnya, maka baiklah seluruh amalnya dan jika buruk, maka buruklah seluruh amalnya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan At-Thabrani).
“Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia kafir terang-terangan.” (H.R. Imam Ahmad).


“Yang pertama-tama dipertanyakan (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari kiamat dari amal perbuatannya adalah tentang shalatnya, apabila shalatnya baik maka dia beruntung dan sukses dan apabila shalatnya buruk maka dia kecewa dan merugi.” (H.R. An-Nasaa'i dan At-Tarmidzi). “Barangsiapa lupa shalat atau ketiduran maka tebusannya ialah melakukannya pada saat dia ingat.” (H.R. Imam Ahmad).

“Shalatlah sambil berdiri! Jika tidak bisa, maka sambil duduk, jika tidak bisa, maka sambil berbaring.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
“Batas pemisah antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (H.R. Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah).


Agar shalat kita mengikuti pada aturan dan cara Rasulullah Saw, maka Imam-Imam Ahlussunnah (4 Madzab) telah menyusun kitab-kitab fiqh shalat, dalam kitab ini telah dikumpulkan dan dibahas dengan lengkap mengenai rukun shalat dan juga rukun tiap-tiap rukun shalat tersebut, syarat sahnya shalat , sunnah-sunnah dalam shalat dan sebagainya dengan dalil-dalil dan hujjah yg shahih. 


Fiqh Shalat inilah yg dipegang dan dipelihara oleh ulama-ulama ahlussunnah dan umat muslim diseluruh dunia jika ingin melaksanakan shalat sebagaimana Rasulullah Saw, yang mana adalah bagaimana Rasulullah Saw mencontohkan shalat, maka yang sedemikianlah hendaknya umat muslim untuk mengikuti aturan dan cara-cara beliau.
 

Kebanyakan muslimin sekarang tidak tahu mana yang rukun wajib dalam shalat dan mana yang sunnah (tidak wajib) dalam shalat, musuh-musuh Islam dengan berkedok Islam-salafy-ahlusunnah telah menyesatkan umat ini dengan membuat cara-cara shalat dengan membuat dusta dengan dalil-dalil yang tidak lengkap dan tidak shahih, adapun “rukun shalat” menurut dasar yang jelas adalah seperti dibawah ini yang dirangkumkan dari riwayat hadist yang shahih :
 

1. Hadist 1 tentang shalat, sebagaimana yang diambil dari hadits Rasullullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra sesungguhnya Rasullulah Saw berkata,“Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat maka berwudhu’lah dengan sempurna, kemudian menghadap kiblat, kemudian engkau bertakbir kemudian bacalah yang termudah bagimu dari Al-Qur’an, kemudian engkau ruku’ hingga tuma’ninah, ketika ruku’ kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal), kemudian bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud, kemudian angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu kemudian engkau sujud kedua kalinya hingga bertuma’ninah dalam sujud, kemudian lakukanlah seperti yang tadi diseluruh shalatmu.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim Rasullulah Saw berkata : “Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu.”
 

2. Riwayat dari Ibnu Umar Ra, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda,“Ketika duduk untuk bertassyahud dengan menaruh tangan kiri diatas lutut sebelah kiri dan tangan kanannya diatas lutut sebelah kanan, dan memajukan jari telunjuk, dalam riwayat Muslim (mengumpulkan semua jarinya dan menunjuk dengan jari yang setelah jari jempol).
 

3. Riwayat Abu Mas’ud Ra dari sahabat Basyir bin Sya’id, ia berkata : “Kita diperintah untuk bershalat, maka bagaimana kami bershalawat keatasmu, kemudian Rasullulah Saw terdiam, lalu Rasulullah Saw menjawab,“ Katakanlah, Allahumma Shali’alla Muhammad wa’alla ali Muhammad kama shalaita ala Ibrahimma…” sampai dengan akhir shalawat Ibrahimiyah. (H.R. Bukhari dan Muslim).
 

4. Rasulullah Saw menutup shalatnya dengan salam.” (H.R. Bukhari dan Muslim). dan dari Wail bin Hujr Ra “Aku shalat bersama Rasullulah Saw dan beliau salam awal sebelah kanan (Assalamu’alaikum warrahmatullahhi wabarakatuh) dan salam akhir sebelah kiri (Assalamu’alaikum warrahmatullahhi wabarakatuh)”. (H.R. Abu Daud).
Sebagaimana pada hadist diatas tentang pelaksanaan shalat adalah sebagai berikut :
 

1. Niat, Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat, sesungguhnya amal itu dengan niat. Berniat dalam hati untuk melakukan shalat dan menjelaskan sebabnya atau waktunya (kalau memang shalat tersebut memiliki sebab atau waktu tertentu) dan diniatkan fardliyahnya (kewajibannya) pada shalat fardlu. Masalah lafadz niat itu adalah untuk ta’kid saja, (penguat dari apa yang diniatkan), lafadz dari apa apa yang diniatkan itu adalah demi penguat niat saja dan ingatlah bahwa lafadz niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja. Niat shalat dilafadzkan sbelum takbir adalah sunnah, untuk menuntun hati, sebagai mana dalam Rasullulah Saw berkata,“Tidak akan lurus iman dan yaqin seorang hamba sebelum hatinya betul, tidak akan betul atau lurus hati seorang hamba sebelum lisannya lurus.” Tapi karena niat adalah wajib dilakukan pada “saat beramal (mu’tarinan bil’amal), maka pada saat mengucapkan lafadz takbir “Allahhu Akbar”, bersamaan ia harus berniat dalam hati, minimal dalam shalat wajib atau fardhu , contohnya : “ushalli fardhadzzhuhri”. Inilah perkara yang sangat penting dalam rukun niat.
 

2. Menghadap kiblat dan berdiri ketika shalat, dari susunan hadist 1 diatas bahwa hendaknya menghadap kiblat sebelum bertakbir. Berdiri dalam shalat fardlu bagi yang mampu.
 

3. Bertakbir, yaitu membuka shalat dalam takbirratul ikhram (pendapat terbanyak dari Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki bahwa takbiratul ikhram wajib dengan lafdz ‘Allaahu Akbar’). Mengucapkan Allaahu Akbar (takbiratul ihram) dengan suara sekiranya ia sendiri bisa mendengar suaranya sebagaimana hal ini juga dilakukan pada setiap rukun qauli, jadi tidak sah shalatnya orang yang bertakbiratul ula dalam hati, baik ia jadi imam, makmum atau shalat sendirian (munfarid). Lafadz “Allaahu Akbar” harus terdengar ditelinga, dari huruf alif (‘a’) sampai huruf ra (“r”) (syarah safinatunnajah). Inilah perkara yang sangat penting dalam rukun takbir.
 

4. Membaca Al-fatihah, para ulama sepakat, yaitu Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki wajibnya membaca Al-fatihah disetiap rakaatnya, sebagaimana Hadits Rasulullah Saw,“ Tidak sempurna shalat seseorang bila tidak membaca biummil Qur’an (Al-Fatihah).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
 

5. Membaca Al-Fatihah dengan Basmalah dan semua tasydid-tasydidnya dan disyaratkan muwalah (bersambungan tidak terputus dengan berhenti atau diam yang lama misalnya) dan tertib serta mengeluarkan huruf sesuai makhrajnya dan tidak melakukan kesalahan pada bacaan yang sampai merubah makna seperti mendlammahkan huruf “TA” pada kalimat أنعمت , dan diharamkan salah baca yang tidak merubah makna akan tetapi hal tersebut tidak membatalkan shalat. Mengenai posisi kedua tangan (bersedekap) setelah takbir (pada waktu berdiri), Berkata Al-hafidh Imam An-Nawawi : “Meletakkannya dibawah dadanya dan diatas pusarnya, inilah madzhab kita yang masyhur, dan demikianlah pendapat Jumhur (terbanyak), dalam pendapat Hanafi dan beberapa imam lainnya adalah menaruh kedua tangan dibawah pusar, menurut Imam Malik boleh memilih antara menaruh kedua tangan dibawah dadanya atau melepaskannya kebawah dan ini pendapat Jumhur dalam mazhabnya dan yg masyhur pada mereka. Dari penjelasan ini fahamlah kita bahwa pendapat yangg Jumhur (kesepakatan terbanyak dari seluruh Imam dan Muhaddits) adalah menaruh kedua tangan diantara dada dan pusar, walaupun riwayat yang mengatakan diatas dada itu shahih, namun pendapat Ibnu Mundzir bahwa hal itu tak ada kejelasan yang nyata, bahwa Rasullulah Saw menaruh kedua tangannya diatas dada, maka orang boleh memilih.
 

6. Ruku’, diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah Saw Ubbaid As-Saa’idi Ra, ia berkata,“bahwasanya ia melihat Rasulullah Saw jika bertakbir kedua tangannya sejajar dengan bahunya, jika ruku’ kedua tangannnya memegang kedua lututnya, sampai dengan akhir…..” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim.
 

7. Tuma’ninah ketika ruku’, sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian engkau ruku’ hingga tuma’ninah dalam ruku’…”. Thuma’ninah ketika ruku’ dengan kadar membaca Subhanallah, Thuma’ninah adalah diamnya seluruh
persendian tulang (anggota badan) pada posisinya sekaligus (serentak).
 

8. I’tidal, sebagaimana hadits 1 diatas “… kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal)…”
 

9. Tuma’ninah dalam I’tidal, sebagaimana hadits 1 diatas “…Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu…” Mengenai Qunut, memang terdapat Ikhtilaf pada 4 madzhab, masing masing mempunyai pendapat, sebagaimana Imam Syafi’i mengkhususkannya pada setelah ruku’ pada raka’at kedua di shalat subuh.., dan Imam Malik mengkhususkannya pada sebelum ruku’ pada Raka’at kedua di shalat subuh (Ibanatul Ahkam fii Syarhi Bulughul maram Bab I), mengenai Qunut dengan mengangkat kedua tangan telah dilakukan oleh Rasullulah Saw dan para sahabat, hal itu diriwayatkan pada : Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi sumber terpercaya lainnya yang shahih. Mengenai dalil shahih masalah qunut, sanadnya adalah sebagai berikut : “Dikatakan oleh Umar bin Ali Al-Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Jakfar Arraziy, dari Arrabi’ berkata : Anas Ra ditanya tentang Qunut Rasullulah Saw bahwa apakah betul beliau berqunut sebulan, maka berkata Anas Ra : “Rasullulah Saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Rasullulah Saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga Rasullulah Saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Rasullulah Saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yang dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendo’akan kehancuran atas musuh-musuh, lalu (setelah sebulan) Rasullulah Saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga Rasullulah Saw wafat. Imam An-Nawawi berkata : “Mengenai Qunut subuh, Rasullulah Saw tak meninggalkannya hingga beliau wafat, demikian riwayat shahih dari Anas Ra. (Syarah Nawawi Ala Shahih Muslim). Berkata Imam Ibnu Hajar AL-Asqalaniy : “Dan telah membantah sebagian dari mereka dan berkata : “Telah sepakat bahwa Rasullulah Saw membaca Qunut Subuh, lalu berikhtilaf mereka apakah berkesinambungan atau sementara, maka dipeganglah pendapat yang disepakati (Qunut subuh), sampai ada keterangan yang menguatkan ikhtilaf mereka yang menolak (Fathul Baari Bisyarah shahih Bukhari oleh Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy). Dan berkata Imam Ibnu Abdul Barr : “Sungguh telah shahih bahwa Rasullulah Saw tidak berhenti Qunut subuh hingga wafat, diriwayatkan oleh Abdurrazaq dan Ad-daruquthniy dan di shahihkan oleh Imam Al-Hakim, dan telah kuat riwayat Abu Hurairah Ra bahwa ia membaca Qunut subuh disaat Rasullulah Saw masih hidup dan setelah Rasullulah Saw wafat,
Dan dikatakan oleh Al-Hafidh Al-Iraqiy, bahwa yang berpendapat demikian adalah Khulafa yang empat (Abubakar, Umar, Utsman dan Ali Ra), dan Abu Musa ra, Ibnu Abbas Ra, dan Al-Barra’, dan lalu diantara para Tabi’in : Hasan Al-bashriy, Humaid, Rabi’ bin Khaytsam, Sa’id ibn Musayyab, Thawus, dan banyak lagi, dan diantara para Imam yang berpegang pada ini adalah Imam Malik dan Imam Syafi’i, walaupun ada juga yang mengatakan bahwa Khulafaurrasyidin tidak memperbuatnya, namun bisa berpegang pada yang memperbuatnya, karena jika berbenturan hukum antara yang jelas dilakukan dengan yang tak dilakukan, maka hendaknya mendahulukan pendapat yang menguatkan melakukannya daripada pendapat yang menghapusnya. (Syarh Azzarqaniy alal Muwatta Imam Malik). Imam Ibn Abdul Bar kemudian menyebutkan pula pendapat yang menentang pendapat diatas. tak perlu diperpanjang perdebatan masalah Qunut, karena telah baku bahwa Imam Malik dan Imam Syafi’i melakukannya, dan Imam Hanafi dan Imam Hambali tak melakukannya, terserah mau pakai yang mana persoalan Qunut ini, hujjah keduanya sama-sama kuat.
 

10. Sujud pertama dan Sujud kedua, sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud…” dan Hadits Rasulullah Saw : “Aku diperintah untuk bersujud dengan 7 anggota tubuh (atas dahi, kedua tangan, kedua lutut dan jari-jari kaki)” (H.R. Mutafaqun ’Alaih). Rasullulah Saw bersabda,“Bahwa engkau sujud maka taruhlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
 

11. Tuma’ninah dalam sujud pertama dan tuma’ninah dalam sujud kedua, sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud…”. Sujud dua kali yaitu dengan meletakkan dahinya semuanya atau sebagiannya pada tempat shalatnya dalam keadaan terbuka dan melakukan penekanan padanya serta menjadikan bagian bawah (belakang) badannya lebih tinggi dari bagian atas (depan)nya (At-Tankis), meletakkan sebagian dari kedua lututnya dan bagian dalam kedua telapak tangannya dan bagian dalam jari-jari kedua kakinya.
 

12. Duduk diantara dua sujud, sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) …”
 

13. Tuma’ninah diantara dua sujud, sebagaimana hadits 1 diatas “…hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu…”
 

14. Tasyahud akhir, riwayat Muslim dari Ibn Abbas Ra, ia berkata Rasullulah Saw mengajari kami tasyahud “Attahiyatul mubaarakatus shalawatutthaybatulillah…” sampai dengan akhir. Mengenai mengucapkan “Assalamualaika ayyuhannabiyy dst….”, adalah wajib dan merupakan Syarat Sah shalat, demikian dalam Madzhab Syafi’i, mengenai pendapat para muhaddits lainnya bahwa setelah wafat mereka merubah pembacaan salam itu maka Imam Syafi’i tetap berpegang pada yang diajarkan langsung oleh Rasullulah Saw dimasa hidupnya, dan Jumhur (sebagian besar) ulama tetap berpegang pada lafadz yang diajarkan dimasa hidupnya Rasullulah Saw, demi menjaga lafadz shalat yang diajarkan oleh Rasullulah Saw (Atahdzir wattanwir Juz 11 hal 318)dan didalam madzhab Syafi’i tidak sah terkecuali mengucapkan “Assalamualaika ayyuhannabiyyu warahmatullah wabarakatuh” (Al-Majmu’ Juz 4 hal 81), dan Imam As-Syafi’i memang merupakan satu-satunya Imam yang sangat berhati-hati dalam memutuskan hukum dan fatwa, terbukti sebagian besar ulama bermadzhabkan syafii.
 

15. Duduk di Tassyahud akhir, sebagaimana hadits 2 diatas “ maka bertassyahud adalah ketika duduk untuk bertassyahud…”
 

16. Bershalawat kepada Rasulullah Saw, sebagaimana hadits 3 diatas “Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu…”. Imam Syafi’i berpendapat bahwa bershalawat atas Rasullulah Saw dan keluarganya dalam shalat adalah wajib bagi kita, sebagaimana maksud dari hadits 3 diatas. Shalawat kepada Rasullulah Saw paling sedikit membaca :
“Allahummashali ‘ala Muhammad” ucapan-ucapan itu boleh saja dilakukan dan boleh tidak, karena tak ada perintah dalam hadits Rasullulah Saw saw yang menjelaskan kita harus memanggil dengan Sayyidina atau lainnya, maka menambahi nama sahabat dengan Radhiyallahu‘anhu pun boleh atau boleh pula tidak, atau saat shalat kita membaca surat dan menyebut nama para nabi, maka boleh mengucapkan atau menambahkan Alaihissalam, namun yang jadi masalah adalah mereka yang “tak mau” atau bahkan “melarang” menyebut sayyidina pada para sahabat bahkan pada Rasullulah Saw, karena Rasullulah Saw memperbolehkannya, sebagaimana sabda Rasullulah Saw,“Janganlah kalian berkata : beri makan Rabb mu, wudhu’ kan Rabb mu (Rabb juga bermakna pemilik, ucapan ini adalah antara budak dan tuannya dimasa jahiliyah), tapi ucapkanlah (pada tuan kalian) Sayyidi dan Maulay (tuanku dan Junjunganku), dan jangan pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka : “Wahai Hambaku, tapi ucapkanlah : “Wahai anak, wahai pembantu” (H.R Bukhari dan Muslim). maka jelaslah bila budak saja diperbolehkan mengucapkan hal itu pada tuannya, bagaimana kita kepada sahabat yang mereka itu adalah guru-guru mulia seluruh muslimin, sebagaimana ucapan yang masyhur dikalangan sahabat Ra : “Aku adalah budak bagi mereka yang mengajariku satu huruf”, atau hadits Rasullulah Saw yang bersabda : “bila seseorang telah mengajarkanmu satu ayat maka engkau telah menjadi budaknya” maksudnya sepantasnya kita memuliakan guru guru kita, lebih lebih lagi para sahabat, karena para sahabat sendiri satu sama lain mengucapkan Rasullulah Saw bersabda dihadapan para sahabat seraya menunjuk Hasan bin Ali Ra : “Sungguh putraku ini (Hasan bin Ali) adalah Sayyid, dan ia akan mendamaikan dua kelompok muslimin.” (H.R Bukhari dan Muslim). Berkata Umar bin Khattab Ra kepada Abubakar Shidiq Ra : “Aku membai’atmu, engkau adalah Sayyiduna, wa khairuna, wa ahibbuna.” (engkaulah pemimpin kami, yg terbaik dari kami, dan yang tercinta dari kami). (H.R Bukhari dan Muslim). Umar Ra berkata kepada Bilal dengan ucapan Sayyidina. (H.R Bukhari).
 

17. Salam, sebagaimana hadits 4 diatas “Sesungguhnya Rasulullah Saw menutup shalatnya dengan salam.” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim). Sebagaimana hadits 4 maka para Imam beritifa’ bahwa salam awal wajib bagi seorang imam atau ma’mum atau sendiri dan salam kedua sunnah, dan paling sedikitnya salam (Assalamu’alaikum) dikarenakan penduduk Madinah melakukannya. (Kitab Ibbanatul Ahkam oleh Imam Alwi bin Abbas Al-Maliki).
 

18. Tertib, Sebagaimana urutan rukun-rukun hadits diatas. Tertib (berurutan), dan jika dia sengaja meninggalkannya (tertib) seperti melakukan sujud sebelum ruku’ maka batal shalatnya. Dan jika dia lupa maka hendaklah dia kembali ke posisi yang ia lupa kecuali dia pada posisi tersebut (tetapi dalam raka’at lain) atau setelahnya maka dia menyempurnakan raka’atnya dan raka’at di mana dia ada yang lupa salah satu gerakannya tidak dihitung (diabaikan), maka jika dia tidak ingat bahwa dia telah meninggalkan ruku’ kecuali setelah ia ruku’ pada raka’at sesudahnya atau ketika sujud pada raka’at sesudahnya maka gerakan yang ia lakukan antara yang demikian itu diabaikan (tidak dihitung), lalu lakukan juga sujud sahwi (sebagai sarana pengganti ketika lupa).
Mengenai qadha shalat fardhu, hukumnya adalah wajib menurut kemampuannya. Dalilnya adalah ketika Rasullulah Saw dan para sahabat terbangun terlambat shalat subuh setelah terbitnya matahari, Rasullulah Saw dan sahabat meng Qadha nya saat setelah terbangun, dan Rasullulah Saw memerintahkan sahabat untuk tetap sakinah, jangan terburu-buru dalam wudhu’ lalu merekapun mengQadha shalat subuh setelah terbit matahari. (H.R Muslim).
Mengenai menempelkan kaki dan kerapatan shaf mengenai hadits-haditsnya adalah hadits hadits shahih, dan sangat banyak teriwayatkan dalam shahihain Bukhari dan muslim, kami tak mungkin menyebutkannya satu persatu, namun keberadaannya adalah sunnah, bukan rukun shalat, maka jika shaff shalat tidak rata dan teratur maka shalatnya tetap sah namun merupakan hal yg makruh, telah berkata demikian Al-Hafidh Al-Imam Ibnu Rajab bahwa meratakan shaff adalah hal yang merupakan bentuk kesempurnaan shalat (Fathul Baari li Ibn Rajab Bab Shalat Juz 5 hal.142), namun Imam Ibnu Rajab menjelaskan pula mengenai pendapat Imam Bukhari bahwa mereka yang tak meratakan shaf itu berdosa, maka Imam Ibnu Rajab menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah jika mereka menolak dan tidak mau (bukan tak sengaja) untuk meratakan shaf nya (Fathul Baari li Ibn Rajab Bab shalat Juz 5 hal 143), demikian pula dijelaskan oleh Imam Ibnu Batthal dalam kitabnya, bahwa meratakan shaff merupakan salah satu dari sunnahnya shalat, dan tidak melakukannya tidak membatalkan shalat (Sharah Shahih Bukhari li Ibn Batthal Juz 3 hal 424), walaupun ada ikhtilaf dalam hal ini, mengenai Isbal (tidak membuat pakaian menjela atau memanjang dibawah mata kaki) adalah sunnah Rasullulah Saw dalam shalat dan diluar shalat, demikian disebutkan dalam hadits Shahih dalam kitab Syama’il oleh Imam At-Tirmidzi,dan bukanlah merupakan hal yang wajib, sebagaimana difahami dari matan hadits bahwa hal itu adalah wajib namun Ijma’ ulama sepakat bahwa hal itu adalah sunnah mu’akkadah. Mengenai amalan setelah shalat (setelah mengucapkan salam berarti shalat sudah selesai) diantaranya yang menjadi amalan umat muslim ialah sunah menyapu muka, mengenai hal akan kami jelaskan secara minimal sebagai berikut :
 

- Adapun sunnat yang dikerjakan kemudian daripada sembahyang, maka adalah Rasullulah Saw apabila selesai daripada sembahyang menyapu dengan tangannya di atas kepalanya dan dibacanya : “Dengan nama Allah yang tiada tuhan selain Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kebingungan (stress) dan kedukaan.” Alangkah indahnya amalan ini, di mana kita memohon kepada Allah Swt agar segala yang memusingkan kita, yang membingungkan kita, yang menggundahkan hati sanubari kita, yang bikin kita stress, yang membuat kita berdukacita, pada kedukaan dunia dan lebih-lebih lagi di akhirat nanti, semoga dihilangkan oleh Allah Swt segala kerisauan dan kedukaan tersebut daripada kita. Amalan ini bukanlah hanya pandai-pandai para ulama membuatnya tetapi ada sandarannya daripada hadits Rasullulah Saw, dan jika pun hadits-hadits ini tidak shahih (yakni dhaif) maka kaedah yang diguna pakai oleh ulama kita ialah hadits dhaif itu adalah hujjah untuk fadhailul’maal, antara lain haditsnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnus Sunni, Al-Bazzar dan Ibnu ‘Adi. Di sini kita tuliskan riwayat Ibnus Sunni dalam “‘Amalul Yawm wal Lailah” halaman 35, yang meriwayatkan bahwa Sayyidina Anas bin Malik Ra. Berkata : Adalah Junjungan Rasulullah Saw apabila selesai daripada shalat, beliau menyapu dahinya dengan tangan kanan sambil mengucapkan : “Aku naik saksi bahawasanya tiada tuhan yang disembah selain Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kegundahan dan kedukaan.”
 

- Dalam “Bughyatul Mustarsyidin“, kitab masyhur himpunan Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba ‘Alawi, Mufti negeri-negeri Hadhramaut, pada halaman 49 dinyatakan : Faedah Ibnu Manshur telah meriwayatkan bahwasanya adalah Rasullulah Saw apabila selesai shalatnya, baginda menyapu dahinya dengan tapak tangan kanannya, kemudian melalukannya ke wajah baginda sehingga sampai ke janggut baginda yang mulia, sambil membaca : “Dengan nama Allah yang tiada tuhan selainNya, yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Maha Pemurah, Maha Pengasih. Ya Allah, hilangkanlah daripadaku segala kegundahan, kesedihan dan kekesalan. Ya Allah, dengan pujianMu aku berpaling dan dengan dosaku aku mengaku. Aku berlindung denganMu dari kejahatan apa yang aku lakukan dan aku berlindung denganMu dari kepayahan bala` dunia dan azab akhirat.“
 

Demikianlah sandaran untuk shalat dan beramal setelah shalat yang dilakukan para sahabat yang mencontoh kepada Rasulullah Saw secara langsung dan diikuti oleh para ulama generasi selanjutnya (salaf, tabi’in, tabi’it tabi’in ulama masyhur dan imam madzhab yang 40), ikuti dasar dalil shalat yang shahih dan jangan berbuat bid’ah, oleh karena itu jangan mudah gusar melihat yang melakukannya jika tersalah, kalau kita tidak suka, maka bagi kita amalan kita dan bagi mereka amalan mereka, jika saja tetap maka biarkan saja jangan diperdebatkan. Wallahu’alam bissawwab….