Adab Serta Pembagiannya
Di dalam Madaarijus Saalikiin (11/375-391), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan: "Yang di maksud dengan adab adalah kumpulan berbagai kriteria kebaikan pada diri seorang hamba, ia merupakan ilmu perbaikan lidah, kelakuan, percakapan dan penempatannya sesuai sasaran, perbaikan terhadap kata-kata, serta pemeliharaan dari kesalahan dan ketergelinciran.
Adab ini terdiri dari tiga macam, yaitu: Adab kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan syari'at-Nya dan adab bersama sesama makhluk dan adab kepada Allah-pun terdiri dari tiga macam, yaitu :
Perhatikan secara seksama keadaan para Rasulullah Saw dalam berhubungan dengan Allah, percakapan dan pertanyaan mereka, yang mana kita akan mendapatkannya sangat kental dan di warnai dengan adab-adab tersebut.
Nabi 'Isa As telah berkata : "...Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya...(Q.S. Al-Maa'idah 5 : 116). Dalam ayat ini, Nabi 'Isa tidak mengatakan : "Aku belum pernah mengatakannya."
Dia membedakan antara kedua jawaban tersebut dalam hakikat adab, kemudian dia menyerahkan permasalahannya kepada ilmu Allah yang mengetahui keadaan dirinya dan rahasianya, di mana dia berkata : "Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku."
Setelah itu, dia melepaskan diri dari ilmu ghaib tentang Rabb-nya yang tidak dia ketahui dan di milikinya, lalu dia berkata : "Dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau." Selanjutnya, dia memuji Rabb-nya dan menyifati-Nya sebagai Pemilik satu-satunya ilmu ghaib secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Nabi 'Isa As berkata : "Sesungguhnya Engkau yang ghaib." Dan dia menafikan diri untuk mengatakan kepada mereka selain apa yang telah di perintahkan Rabb-nya, yaitu tauhid murni, di mana dia mengatakan : "Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu, 'Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb-mu..." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 117).
Setelah itu, Nabi 'Isa As menceritakan tentang kesaksiannya pada mereka selama keberadaannya di tengah-tengah mereka dan setelah di angkat, dia tidak di beri kuasa untuk mengawasi mereka dan hanya Allah semata yang berkuasa untuk mengawasi mereka, karenanya, Nabi 'Isa As berkata : "...Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka, maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka..." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 117).
Selanjutnya, Nabi 'Isa As putera Maryam menyifati kesaksian Allah di atas dan lebih umum daripada semua kesaksian, di mana dia berkata : "... Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 117).
Kemudian Nabi 'Isa As juga berkata : "Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau..." (Q.S. Al-Maaidah 5 : 118). Yang demikian itu merupakan adab yang paling baik dalam berhubungan dengan Allah dalam posisi seperti itu.
Artinya, posisi tuan memberikan kasih sayang kepada hamba-hamba-nya dan berbuat baik kepada mereka, kalau bukan karena mereka hamba-hamba yang jahat, keji, paling membangkang dan durhaka terhadap tuannya, niscaya tuannya tidak akan meng-adzab mereka.
Karena, dekatnya 'ubudiyah menuntut di berikan perlakuan baik dan kasih sayang dari seorang tuan kepada hambanya, lalu mengapa Allah, Dzat yang Maha Pengasih, Maha Pemurah, lagi Maha Baik itu meng-adzab hamba-hamba-Nya? Hal itu tidak mungkin terjadi kalau bukan karena kedurhakaan mereka yang telah melampaui batas dan juga karena penolakan mereka untuk taat kepada-Nya, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab tersebut.
Engkau (Allah) lebih mengetahui apa yang tersembunyi dan tampak dari mereka, jika Engkau mengadzab mereka, sudah pasti hal itu di dasarkan pada ilmu yang Engkau miliki mengenai kepantasan mereka mendapatkan adzab tersebut.
Mereka itu adalah hamba-hamba-Mu dan Engkau pasti lebih mengetahui mengenai apa yang telah mereka lakukan dan usahakan, dalam kalimat ini, Nabi 'Isa As tidak memohon belas kasihan Allah bagi mereka, seperti yang di sangka oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak juga menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan yang terlepas dari kebijaksanaan, sebagaimana yang di sangka oleh paham Qadariyah, tetapi yang demikian itu merupakan ketetapan, pengakuan, dan sanjungan Allah akan kebijaksanaan dan keadilan-Nya, juga kesempurnaan ilmu-Nya atas keadaan mereka, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab.
Selanjutnya, Nabi 'Isa As putera Maryam mengemukakan : "...Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 118). Dalam hal ini, dia tidak mengatakan: "Al-Ghafuur Ar-Rahiim (Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)." Dan inipun juga merupakan satu bentuk ketinggian adab dalam hubungan dengan Allah.
Di mana dia mengatakan hal tersebut pada saat berlangsungnya kemurkaan Rabb kepada mereka serta di turunkannya perintah untuk memasukkan mereka ke Neraka dan hal itu bukan situasi yang tepat untuk memohon kasih sayang dan juga syafa’at, tetapi sebagai situasi untuk melepaskan diri dari mereka.
Seandainya Nabi 'Isa As mengatakan : "Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," niscaya akan terasa nuansa permohonan kasih sayang Rabb untuk musuh-musuh-Nya yang murka-Nya telah memuncak terhadap mereka, dengan demikian, posisi tersebut merupakan persetujuan terhadap Rabb atas murka-Nya terhadap mereka dan dia menghindari penyebutan kedua sifat yang itu biasa di pergunakan untuk memohon kasih sayang, rahmat dan ampunan-Nya, dan menggantinya dengan menyebutkan keperkasaan dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya.
Sedangkan makna: Jika Engkau mengampuni mereka, maka pemberian ampunan-Mu itu berdasarkan pada kesempurnaan kekuasaan dan ilmu dan bukan karena kelemahan untuk memberikan balasan kepada mereka, juga bukan karena ketidaktahuan-Mu mengenai tingkat kejahatan mereka, yang demikian itu, karena seringkali seseorang di beri maaf oleh orang lain karena ketidakmampuannya membalas dendam atau karena ketidaktahuannya terhadap tingkat kejahatan yang telah di perbuat terhadap dirinya dan yang sempurna adalah pemberian ampunan dan maaf oleh Dzat yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.
Yang Dia juga Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, penyebutan kedua sifat tersebut dalam posisi ini merupakan bentuk adab dalam berbicara, demikian juga dengan ucapan Nabi Ibrahim As, kekasih Allah : "Rabb Yang telah menciptakan aku maka Dialah yang menunjuki aku dan Rabb-ku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku." (Q.S. Asy-Syu'araa' 26 : 78-80).
Dalam pernyataannya, Nabi Ibrahim As tidak mengatakan : "Jika Dia membuatku sakit," ini dalam rangka menjaga adab berhubungan dengan Allah, demikian halnya dengan ucapan Khidhir mengenai kapal : "...Dan aku bertujuan merusak bahtera (kapal)itu..." (Q.S. Al-Kahfi 18 : 79).
Dalam hal ini, Khidhir tidak mengatakan: "Dan Rabb-mu ingin agar aku merusak kapal itu." Dan mengenai dua orang anak yang mereka (Musa dan Khidhir) perbaiki rumahnya, Khidhir mengatakan : "...Maka Rabb-mu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya..." (Q.S. Al-Kahfi 18 : 82).
Demikian juga dengan ucapan jin-jin Mukmin : "Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah kebaikan yang di kehendaki bagi orang yang di bumi..." (Q.S. Al-Jin 72 : 10). Di mana mereka tidak mengatakan : "Apa yang di kehendaki oleh Rabb mereka." Dan setelah itu, mereka mengatakan : "...Ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka." (Q.S. Al-Jin 72 : 10).
Dan yang lebih lembut dari itu adalah ucapan Musa : "...Ya Rabb-ku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (Q.S. Al-Qashash : 24). Dalam pernyataannya ini, Nabi Musa As tidak mengatakan : "Berilah makan kepadaku." Oleh karena itu, kesempurnaan akhlak seperti itu tidak terwujud kecuali pada para Rasul dan Nabi Shalawaatullaahi wa salaamuhu 'alaihim.
Adapun adab yang berkenaan dengan Rasulullah Saw, maka Al-Qur’an cukup penuh dalam menerangkan adab tersebut, puncak adab yang berkenaan dengan beliau adalah kesempurnaan penyerahan diri kepadanya dan tunduk kepada perintahnya, serta menerima dan membenarkan apa yang di sampaikannya, tanpa terbawa oleh penentangan imaginatif bathil, yang di sebut sebagai logika atau terbawa oleh kesamaran atau keraguan atau mendahului beliau dengan pendapat-pendapat orang lain dan pemikiran sesat mereka, sehingga beliau benar-benar menjadi satu-satunya pengambil keputusan dan tempat menyerahkan diri dan tunduk, sebagaimana Allah telah menjadi satu-satunya Dzat yang menjadi sembahan dan obyek untuk menundukkan dan menghinakan diri serta kembali dan bertawakkal.
Keduanya merupakan tauhid, di mana seorang hamba tidak akan selamat dari adzab Allah kecuali dengan berpegang pada keduanya, yaitu: tauhid Dzat yang mengutus dan tauhid untuk mengikuti sang utusan (Rasul), sehingga dengan demikian itu, seseorang tidak akan bertahkim kepada selain beliau, tidak juga mencari keridhaan dengan selain hukum beliau dan pelaksanaan perintah beliau dan pembenaran berita yang di bawanya tidak bergantung pada pendapat seorang syaikh atau imam, madzhab atau kelompok tertentu, di mana jika mereka mengizinkan, maka seseorang baru akan melaksanakan perintah itu dan membenarkan berita beliau, dan jika tidak, berani pencarian keselamatan itu dilakukan dengan menolak perintah dan berita yang beliau bawa serta menyerahkannya kepada mereka.
Dan hal itu jelas telah terjadi penyimpangan dari garis yang sebenarnya dan penyimpangannya itu di lakukan dengan mengatasnamakan takwil dan penafsiran, andaikan seorang hamba menemui Rabb-nya dengan segala macam dosa -selain syirik kepada Allah, maka yang demikian itu lebih baik daripada dia menemui-Nya dengan keadaan seperti di atas.
Suatu hari di katakan : "Demi Allah," ada yang di tanya, seandainya Rasulullah Saw di takdirkan hidup di tengah-tengah kita, lalu beliau menyampaikan langsung ucapan dan pembicaraan beliau kepada kita, maka apakah kita harus mengikutinya tanpa harus membandingkannya dengan pendapat, ucapan dan paham selain beliau, ataukah kita tidak perlu mengikutinya, sehingga kita membandingkan apa yang kita dengar dari beliau dengan pandangan dan pendapat orang lain? Maka pembesar mereka itu menjawab : "Yang harus kita lakukan adalah segera mengikutinya tanpa harus mempedulikan kepada yang lainnya." Lebih lanjut, di tanyakan : "Lalu apa yang menghapuskan kewajiban tersebut dari kita dan dengan apa ia menghapuskannya?" Maka dia pun gigit jari seraya tercengang dan merasa kebingungan serta diam seribu bahasa.
Demikian itulah adab kaum khas dalam berinteraksi dengan Rasulullah Saw tidak menentang perintahnya, tidak juga mengangkat suara, tidak mengganggu anggota badan untuk bershalawat kepada beliau, serta tidak menjauhkan ucapan beliau dari keyakinan dan hendaklah, beliau menjadi sumber untuk mengenal Allah dan mengetahui hukum-hukum-Nya.
Dalam upaya mengenal Allah ini keyakinan kepada beliau harus di utamakan daripada akal yang bimbang dan bertolak belakang. Dan dalam hal hukum, keyakinan kepada beliau pun harus menjadi sandaran bagi tradisi dan pendapat orang lain, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kita baca dalam rangka bertabarruk dan bukan untuk memahami pokok-pokok dan cabang-cabang agama.
Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka kami akan lawan dan kami akan berusaha untuk menghentikannya dan mencabut akar-akarnya, di antara adab yang lain dalam berhubungan dengan Rasulullah Saw adalah tidak mendahului beliau dengan memberikan suatu perintah, larangan, izin atau tindakan, sehingga beliau yang menyuruh, melarang, atau memberikan izin, sebagaimana yang di firmankan Allah : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya..." (Q.S. Al-Hujuraat 49 : 1).
Hal tersebut akan terus berlangsung sampai hari kiamat kelak dan tidak akan pernah di hapuskan, dengan demikian, mendahului Sunnah beliau sepeninggal beliau adalah sama dengan yang di lakukan pada masa hidup beliau dan hal itu jelas tidak ada perbedaan bagi orang yang berakal sehat.
Adab sopan santun lainnya dalam berinteraksi dengan Rasulullah Saw adalah tidak mengangkat suara di atas suara beliau, karena hal itu yang menjadi sebab tidak berartinya suatu amal perbuatan, lalu apalagi dengan pengangkatan pendapat dan pemikiran di atas Sunnah dan apa yang beliau bawa? Apakah anda berpendapat bahwa hal itu akan menjadi sebab di terimanya amal perbuatan, sementara pengangkatan suara di atas suara beliau saja menjadi penyebab terhapusnya amal?
Adab sopan santun dalam berinteraksi dengan beliau adalah tidak memanggil beliau dengan panggilan orang lain, hal yang juga termasuk adab sopan santun dengan beliau adalah jika sedang berada dalam suatu urusan jama'ah, misalnya khutbah, jihad atau perang, maka tidak ada yang boleh berangkat memenuhi kepentingannya sendiri, sehingga dia meminta izin kepada beliau, sebagaimana yang di firmankan Allah : "Sesungguhnya yang sebenar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bernama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meminta izin kepadanya..." (Q.S. An-Nuur 24 : 62).
Jika dalam hal yang berkenaan dengan suatu kepentingan tertentu yang sangat mendesak seperti itu, mereka tidak di berikan keleluasaan kecuali atas izin beliau, maka bagaimana jika menyangkut kepentingan agama, baik yang pokok maupun yang cabang, yang yang kecil maupun yang besar, apakah akan di perbolehkan menunaikannya tanpa seizin beliau? "... Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (Q.S. An-Nahl 16 : 43).
Selain itu, adab lainnya dalam berinteraksi dengan beliau adalah tidak meragukan ucapan beliau, tidak juga menentang nashnya dengan qiyas, tetapi qiyas yang seharusnya gugur karenanya, tidak juga menyimpangkan ucapan beliau dari hakikatnya hanya karena imajinasi yang oleh pengikutnya di sebut sebagai logika, benar hal itu merupakan suatu yang majhul dan jauh dari kebenaran dan penerimaan terhadap apa yang di bawa oleh Rasulullah Saw tidak bergantung pada persetujuan seseorang, karena hal itu justru merupakan salah satu bentuk tidak sopan dalam bermu'amalah dengan beliau dan bahkan hal itu di anggap sebagai bentuk sikap kurang ajar.
Adapun adab dalam hubungan dengan sesama makhluk adalah sebagai berikut : Yaitu dengan mempergauli mereka walaupun berbeda-beda tingkatnya sesuai dengan apa yang pantas bagi mereka. Jadi, setiap tingkatan mempunyai adab sopan santun tersendiri dan dalam masing-masing tingkatan terdapat adab khusus, di mana dalam hubungan dengan kedua orang tua terdapat adab sopan santun tersendiri dan dalam berhubungan dengan ayah terdapat adab yang lebih khusus, demikian juga dengan ulama yang memiliki adab tersendiri pula.
Juga dengan para penguasa terdapat adab sopan santun yang sesuai dengan keadaannya, selain itu, dalam berhubungan dengan teman dan sahabat juga terdapat adab yang sesuai dengan kondisi mereka, demikian juga dengan orang-orang yang tidak di kenal dan para tamu, mempunyai tata krama tersendiri yang jelas berbeda dengan tata krama dengan anggota keluarga.
Setiap keadaan itu mempunyai adab tersendiri. Makan, minum, menaiki kendaraan, masuk dan keluar rumah, bepergian, tidur, buang air kecil, berbicara, diam dan mendengar, semuanya mempunyai adab masing-masing. Jadi, adab itu merupakan agama secara keseluruhan, di mana menutup aurat, berwudhu’, mandi janabat, membersihkan diri, termasuk salah satu bentuk adab, bahkan berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci itu juga merupakan adab.
Oleh karena itu, mereka menganjurkan agar dalam shalatnya seseorang berhias dan berpenampilan menarik, untuk menghadap kepada Rabb-nya, adab sopan santun seseorang itu menunjukkan kebahagiaan dan keberuntungannya, sebaliknya, minimnya adab sopan santun seseorang menunjukkan kesengsaraan dan kerugiannya, dengan demikian, tidak ada yang bisa memberi kebaikan dunia dan akhirat seperti adab sopan santun ini, dan pula hal yang bisa menyebabkan di haramkannya kebaikan dunia dan akhirat seperti minimnya adab sopan santun.
Adab ini terdiri dari tiga macam, yaitu: Adab kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan syari'at-Nya dan adab bersama sesama makhluk dan adab kepada Allah-pun terdiri dari tiga macam, yaitu :
- Pertama : Memelihara hubungan dengan-Nya agar tidak tercampuri dengan kekurangan.
- Kedua : Memelihara hati agar tidak berpaling kepada selain Dia.
- Ketiga : Memelihara keinginan agar tidak bergantung kepada hal-hal yang memancing amarah-Nya.
Perhatikan secara seksama keadaan para Rasulullah Saw dalam berhubungan dengan Allah, percakapan dan pertanyaan mereka, yang mana kita akan mendapatkannya sangat kental dan di warnai dengan adab-adab tersebut.
Nabi 'Isa As telah berkata : "...Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya...(Q.S. Al-Maa'idah 5 : 116). Dalam ayat ini, Nabi 'Isa tidak mengatakan : "Aku belum pernah mengatakannya."
Dia membedakan antara kedua jawaban tersebut dalam hakikat adab, kemudian dia menyerahkan permasalahannya kepada ilmu Allah yang mengetahui keadaan dirinya dan rahasianya, di mana dia berkata : "Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku."
Setelah itu, dia melepaskan diri dari ilmu ghaib tentang Rabb-nya yang tidak dia ketahui dan di milikinya, lalu dia berkata : "Dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau." Selanjutnya, dia memuji Rabb-nya dan menyifati-Nya sebagai Pemilik satu-satunya ilmu ghaib secara keseluruhan.
Oleh karena itu, Nabi 'Isa As berkata : "Sesungguhnya Engkau yang ghaib." Dan dia menafikan diri untuk mengatakan kepada mereka selain apa yang telah di perintahkan Rabb-nya, yaitu tauhid murni, di mana dia mengatakan : "Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu, 'Beribadahlah kepada Allah, Rabb-ku dan Rabb-mu..." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 117).
Setelah itu, Nabi 'Isa As menceritakan tentang kesaksiannya pada mereka selama keberadaannya di tengah-tengah mereka dan setelah di angkat, dia tidak di beri kuasa untuk mengawasi mereka dan hanya Allah semata yang berkuasa untuk mengawasi mereka, karenanya, Nabi 'Isa As berkata : "...Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka, maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkaulah yang mengawasi mereka..." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 117).
Selanjutnya, Nabi 'Isa As putera Maryam menyifati kesaksian Allah di atas dan lebih umum daripada semua kesaksian, di mana dia berkata : "... Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 117).
Kemudian Nabi 'Isa As juga berkata : "Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau..." (Q.S. Al-Maaidah 5 : 118). Yang demikian itu merupakan adab yang paling baik dalam berhubungan dengan Allah dalam posisi seperti itu.
Artinya, posisi tuan memberikan kasih sayang kepada hamba-hamba-nya dan berbuat baik kepada mereka, kalau bukan karena mereka hamba-hamba yang jahat, keji, paling membangkang dan durhaka terhadap tuannya, niscaya tuannya tidak akan meng-adzab mereka.
Karena, dekatnya 'ubudiyah menuntut di berikan perlakuan baik dan kasih sayang dari seorang tuan kepada hambanya, lalu mengapa Allah, Dzat yang Maha Pengasih, Maha Pemurah, lagi Maha Baik itu meng-adzab hamba-hamba-Nya? Hal itu tidak mungkin terjadi kalau bukan karena kedurhakaan mereka yang telah melampaui batas dan juga karena penolakan mereka untuk taat kepada-Nya, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab tersebut.
Engkau (Allah) lebih mengetahui apa yang tersembunyi dan tampak dari mereka, jika Engkau mengadzab mereka, sudah pasti hal itu di dasarkan pada ilmu yang Engkau miliki mengenai kepantasan mereka mendapatkan adzab tersebut.
Mereka itu adalah hamba-hamba-Mu dan Engkau pasti lebih mengetahui mengenai apa yang telah mereka lakukan dan usahakan, dalam kalimat ini, Nabi 'Isa As tidak memohon belas kasihan Allah bagi mereka, seperti yang di sangka oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak juga menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak dan kekuasaan yang terlepas dari kebijaksanaan, sebagaimana yang di sangka oleh paham Qadariyah, tetapi yang demikian itu merupakan ketetapan, pengakuan, dan sanjungan Allah akan kebijaksanaan dan keadilan-Nya, juga kesempurnaan ilmu-Nya atas keadaan mereka, serta kelayakan mereka untuk mendapatkan adzab.
Selanjutnya, Nabi 'Isa As putera Maryam mengemukakan : "...Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Q.S. Al-Maa-idah 5 : 118). Dalam hal ini, dia tidak mengatakan: "Al-Ghafuur Ar-Rahiim (Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)." Dan inipun juga merupakan satu bentuk ketinggian adab dalam hubungan dengan Allah.
Di mana dia mengatakan hal tersebut pada saat berlangsungnya kemurkaan Rabb kepada mereka serta di turunkannya perintah untuk memasukkan mereka ke Neraka dan hal itu bukan situasi yang tepat untuk memohon kasih sayang dan juga syafa’at, tetapi sebagai situasi untuk melepaskan diri dari mereka.
Seandainya Nabi 'Isa As mengatakan : "Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," niscaya akan terasa nuansa permohonan kasih sayang Rabb untuk musuh-musuh-Nya yang murka-Nya telah memuncak terhadap mereka, dengan demikian, posisi tersebut merupakan persetujuan terhadap Rabb atas murka-Nya terhadap mereka dan dia menghindari penyebutan kedua sifat yang itu biasa di pergunakan untuk memohon kasih sayang, rahmat dan ampunan-Nya, dan menggantinya dengan menyebutkan keperkasaan dan kebijaksanaan yang terkandung di dalam kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya.
Sedangkan makna: Jika Engkau mengampuni mereka, maka pemberian ampunan-Mu itu berdasarkan pada kesempurnaan kekuasaan dan ilmu dan bukan karena kelemahan untuk memberikan balasan kepada mereka, juga bukan karena ketidaktahuan-Mu mengenai tingkat kejahatan mereka, yang demikian itu, karena seringkali seseorang di beri maaf oleh orang lain karena ketidakmampuannya membalas dendam atau karena ketidaktahuannya terhadap tingkat kejahatan yang telah di perbuat terhadap dirinya dan yang sempurna adalah pemberian ampunan dan maaf oleh Dzat yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.
Yang Dia juga Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, penyebutan kedua sifat tersebut dalam posisi ini merupakan bentuk adab dalam berbicara, demikian juga dengan ucapan Nabi Ibrahim As, kekasih Allah : "Rabb Yang telah menciptakan aku maka Dialah yang menunjuki aku dan Rabb-ku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku." (Q.S. Asy-Syu'araa' 26 : 78-80).
Dalam pernyataannya, Nabi Ibrahim As tidak mengatakan : "Jika Dia membuatku sakit," ini dalam rangka menjaga adab berhubungan dengan Allah, demikian halnya dengan ucapan Khidhir mengenai kapal : "...Dan aku bertujuan merusak bahtera (kapal)itu..." (Q.S. Al-Kahfi 18 : 79).
Dalam hal ini, Khidhir tidak mengatakan: "Dan Rabb-mu ingin agar aku merusak kapal itu." Dan mengenai dua orang anak yang mereka (Musa dan Khidhir) perbaiki rumahnya, Khidhir mengatakan : "...Maka Rabb-mu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya..." (Q.S. Al-Kahfi 18 : 82).
Demikian juga dengan ucapan jin-jin Mukmin : "Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah kebaikan yang di kehendaki bagi orang yang di bumi..." (Q.S. Al-Jin 72 : 10). Di mana mereka tidak mengatakan : "Apa yang di kehendaki oleh Rabb mereka." Dan setelah itu, mereka mengatakan : "...Ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka." (Q.S. Al-Jin 72 : 10).
Dan yang lebih lembut dari itu adalah ucapan Musa : "...Ya Rabb-ku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (Q.S. Al-Qashash : 24). Dalam pernyataannya ini, Nabi Musa As tidak mengatakan : "Berilah makan kepadaku." Oleh karena itu, kesempurnaan akhlak seperti itu tidak terwujud kecuali pada para Rasul dan Nabi Shalawaatullaahi wa salaamuhu 'alaihim.
Adapun adab yang berkenaan dengan Rasulullah Saw, maka Al-Qur’an cukup penuh dalam menerangkan adab tersebut, puncak adab yang berkenaan dengan beliau adalah kesempurnaan penyerahan diri kepadanya dan tunduk kepada perintahnya, serta menerima dan membenarkan apa yang di sampaikannya, tanpa terbawa oleh penentangan imaginatif bathil, yang di sebut sebagai logika atau terbawa oleh kesamaran atau keraguan atau mendahului beliau dengan pendapat-pendapat orang lain dan pemikiran sesat mereka, sehingga beliau benar-benar menjadi satu-satunya pengambil keputusan dan tempat menyerahkan diri dan tunduk, sebagaimana Allah telah menjadi satu-satunya Dzat yang menjadi sembahan dan obyek untuk menundukkan dan menghinakan diri serta kembali dan bertawakkal.
Keduanya merupakan tauhid, di mana seorang hamba tidak akan selamat dari adzab Allah kecuali dengan berpegang pada keduanya, yaitu: tauhid Dzat yang mengutus dan tauhid untuk mengikuti sang utusan (Rasul), sehingga dengan demikian itu, seseorang tidak akan bertahkim kepada selain beliau, tidak juga mencari keridhaan dengan selain hukum beliau dan pelaksanaan perintah beliau dan pembenaran berita yang di bawanya tidak bergantung pada pendapat seorang syaikh atau imam, madzhab atau kelompok tertentu, di mana jika mereka mengizinkan, maka seseorang baru akan melaksanakan perintah itu dan membenarkan berita beliau, dan jika tidak, berani pencarian keselamatan itu dilakukan dengan menolak perintah dan berita yang beliau bawa serta menyerahkannya kepada mereka.
Dan hal itu jelas telah terjadi penyimpangan dari garis yang sebenarnya dan penyimpangannya itu di lakukan dengan mengatasnamakan takwil dan penafsiran, andaikan seorang hamba menemui Rabb-nya dengan segala macam dosa -selain syirik kepada Allah, maka yang demikian itu lebih baik daripada dia menemui-Nya dengan keadaan seperti di atas.
Suatu hari di katakan : "Demi Allah," ada yang di tanya, seandainya Rasulullah Saw di takdirkan hidup di tengah-tengah kita, lalu beliau menyampaikan langsung ucapan dan pembicaraan beliau kepada kita, maka apakah kita harus mengikutinya tanpa harus membandingkannya dengan pendapat, ucapan dan paham selain beliau, ataukah kita tidak perlu mengikutinya, sehingga kita membandingkan apa yang kita dengar dari beliau dengan pandangan dan pendapat orang lain? Maka pembesar mereka itu menjawab : "Yang harus kita lakukan adalah segera mengikutinya tanpa harus mempedulikan kepada yang lainnya." Lebih lanjut, di tanyakan : "Lalu apa yang menghapuskan kewajiban tersebut dari kita dan dengan apa ia menghapuskannya?" Maka dia pun gigit jari seraya tercengang dan merasa kebingungan serta diam seribu bahasa.
Demikian itulah adab kaum khas dalam berinteraksi dengan Rasulullah Saw tidak menentang perintahnya, tidak juga mengangkat suara, tidak mengganggu anggota badan untuk bershalawat kepada beliau, serta tidak menjauhkan ucapan beliau dari keyakinan dan hendaklah, beliau menjadi sumber untuk mengenal Allah dan mengetahui hukum-hukum-Nya.
Dalam upaya mengenal Allah ini keyakinan kepada beliau harus di utamakan daripada akal yang bimbang dan bertolak belakang. Dan dalam hal hukum, keyakinan kepada beliau pun harus menjadi sandaran bagi tradisi dan pendapat orang lain, sedangkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kita baca dalam rangka bertabarruk dan bukan untuk memahami pokok-pokok dan cabang-cabang agama.
Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka kami akan lawan dan kami akan berusaha untuk menghentikannya dan mencabut akar-akarnya, di antara adab yang lain dalam berhubungan dengan Rasulullah Saw adalah tidak mendahului beliau dengan memberikan suatu perintah, larangan, izin atau tindakan, sehingga beliau yang menyuruh, melarang, atau memberikan izin, sebagaimana yang di firmankan Allah : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya..." (Q.S. Al-Hujuraat 49 : 1).
Hal tersebut akan terus berlangsung sampai hari kiamat kelak dan tidak akan pernah di hapuskan, dengan demikian, mendahului Sunnah beliau sepeninggal beliau adalah sama dengan yang di lakukan pada masa hidup beliau dan hal itu jelas tidak ada perbedaan bagi orang yang berakal sehat.
Adab sopan santun lainnya dalam berinteraksi dengan Rasulullah Saw adalah tidak mengangkat suara di atas suara beliau, karena hal itu yang menjadi sebab tidak berartinya suatu amal perbuatan, lalu apalagi dengan pengangkatan pendapat dan pemikiran di atas Sunnah dan apa yang beliau bawa? Apakah anda berpendapat bahwa hal itu akan menjadi sebab di terimanya amal perbuatan, sementara pengangkatan suara di atas suara beliau saja menjadi penyebab terhapusnya amal?
Adab sopan santun dalam berinteraksi dengan beliau adalah tidak memanggil beliau dengan panggilan orang lain, hal yang juga termasuk adab sopan santun dengan beliau adalah jika sedang berada dalam suatu urusan jama'ah, misalnya khutbah, jihad atau perang, maka tidak ada yang boleh berangkat memenuhi kepentingannya sendiri, sehingga dia meminta izin kepada beliau, sebagaimana yang di firmankan Allah : "Sesungguhnya yang sebenar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bernama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meminta izin kepadanya..." (Q.S. An-Nuur 24 : 62).
Jika dalam hal yang berkenaan dengan suatu kepentingan tertentu yang sangat mendesak seperti itu, mereka tidak di berikan keleluasaan kecuali atas izin beliau, maka bagaimana jika menyangkut kepentingan agama, baik yang pokok maupun yang cabang, yang yang kecil maupun yang besar, apakah akan di perbolehkan menunaikannya tanpa seizin beliau? "... Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (Q.S. An-Nahl 16 : 43).
Selain itu, adab lainnya dalam berinteraksi dengan beliau adalah tidak meragukan ucapan beliau, tidak juga menentang nashnya dengan qiyas, tetapi qiyas yang seharusnya gugur karenanya, tidak juga menyimpangkan ucapan beliau dari hakikatnya hanya karena imajinasi yang oleh pengikutnya di sebut sebagai logika, benar hal itu merupakan suatu yang majhul dan jauh dari kebenaran dan penerimaan terhadap apa yang di bawa oleh Rasulullah Saw tidak bergantung pada persetujuan seseorang, karena hal itu justru merupakan salah satu bentuk tidak sopan dalam bermu'amalah dengan beliau dan bahkan hal itu di anggap sebagai bentuk sikap kurang ajar.
Adapun adab dalam hubungan dengan sesama makhluk adalah sebagai berikut : Yaitu dengan mempergauli mereka walaupun berbeda-beda tingkatnya sesuai dengan apa yang pantas bagi mereka. Jadi, setiap tingkatan mempunyai adab sopan santun tersendiri dan dalam masing-masing tingkatan terdapat adab khusus, di mana dalam hubungan dengan kedua orang tua terdapat adab sopan santun tersendiri dan dalam berhubungan dengan ayah terdapat adab yang lebih khusus, demikian juga dengan ulama yang memiliki adab tersendiri pula.
Juga dengan para penguasa terdapat adab sopan santun yang sesuai dengan keadaannya, selain itu, dalam berhubungan dengan teman dan sahabat juga terdapat adab yang sesuai dengan kondisi mereka, demikian juga dengan orang-orang yang tidak di kenal dan para tamu, mempunyai tata krama tersendiri yang jelas berbeda dengan tata krama dengan anggota keluarga.
Setiap keadaan itu mempunyai adab tersendiri. Makan, minum, menaiki kendaraan, masuk dan keluar rumah, bepergian, tidur, buang air kecil, berbicara, diam dan mendengar, semuanya mempunyai adab masing-masing. Jadi, adab itu merupakan agama secara keseluruhan, di mana menutup aurat, berwudhu’, mandi janabat, membersihkan diri, termasuk salah satu bentuk adab, bahkan berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci itu juga merupakan adab.
Oleh karena itu, mereka menganjurkan agar dalam shalatnya seseorang berhias dan berpenampilan menarik, untuk menghadap kepada Rabb-nya, adab sopan santun seseorang itu menunjukkan kebahagiaan dan keberuntungannya, sebaliknya, minimnya adab sopan santun seseorang menunjukkan kesengsaraan dan kerugiannya, dengan demikian, tidak ada yang bisa memberi kebaikan dunia dan akhirat seperti adab sopan santun ini, dan pula hal yang bisa menyebabkan di haramkannya kebaikan dunia dan akhirat seperti minimnya adab sopan santun.
Posting Komentar untuk "Adab Serta Pembagiannya"
Terimakasih atas kunjungan anda...