Adab Makan Dalam Perspektif Al-Qur'an dan As-Sunnah
Menyoal etika makan, dapat dipastikan banyak dari kaum muslimin belum mempraktekkannya. Bukti konkrit, kerap kali kita saksikan di berbagai lokasi dan kesempatan, misalnya seorang muslim makan sambil berjalan, atau makan dengan tangan kirinya tanpa ada beban kekeliruan.
Beragam jamuan makan ala barat, semisal standing party banyak digandrungi orang, banyak faktor yang menjadi latar belakang, ketidaktahuan, mungkin satu sebab diantaranya. Ironisnya, mereka yang telah mengetahui etika Islam justru meremehkan da menganggapnya bukanlah satu hal urgent dan mendasar, celaka lagi bila mereka meninggalkannya karena tertarik etika barat, dengan asumsi etika mereka lebih beradab dan lebih modern.
Padahal, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, salah satu pembatal keislaman seseorang, ialah apabila ia meyakini ada petunjuk yang lebih baik dan lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seyogyanya setiap muslim senantiasa berupaya mengejewantahkan nilai-nilai islami, termasuk adab makan ini, karena adab-adab tersebut merupakan bagian dari risalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut ini kami kemukakan point-point yang berkaitan dengan adab makan :
1. Membaca basmalah, demi mengharap keberkahan dan mencegah syaithan ikut makan bersama kita. Abu Hafs Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, Ketika aku berada dalam bimbingan Rasulullah Saw, pernah suatu kali tanganku bergerak di atas piring ke segala arah, hingga Rasulullah Saw pun berkata kepadaku, ”Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.” Maka demikianlah cara makanku sejak saat itu.
Dari Ummul Mu'minin Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang kalian makan, maka sebutlah nama Allah, jika ia lupa untuk menyebutnya di awal, hendaklah ia membaca : ُُ"Dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhirnya."
Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali mengemukakan, tasmiyyah ialah membaca lafadz bismillah. Adapun pendapat yang mengatakan tasmiyyah dengan membaca bismillahir rahman nir rahim, merupakan pendapat yang tidak memiliki hujjah, demikian juga pendapat yang mengatakan tasmiyyah dibaca pada setiap suapan, adalah pendapat yang batil, karena tasmiyyah ini hanya dibaca pada awal makan.
Adapun doa yang disunnahkan setelah selesai makan, ialah sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut.
Dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika Beliau selesai makan Beliau berdoa, “Segala puji bagi Allah (aku memujinya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, Ya Rabb kami.”
Dari Mu'adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa makan kemudian ia berdoa, ‟Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makanan ini kepadaku dan memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.”
Wajib makan dengan tangan kanan, berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dari Salamah bin Al-Akwa', bahwa pernah seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah Saw, maka Beliau berkata, ”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu menjawab, ”Aku tidak bisa.” Beliau pun berkata, ”Engkau tidak bisa, tidak ada yang mencegahmu melakukannya melainkan kesombonganmu.”
Akhirnya ia benar-benar tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya, ucapan Rasulullah Saw pada hadits di atas merupakan doa Beliau atas laki-laki tadi, karena kesombongannya enggan mengikuti sunnah.
Disunnahkan makan dengan tiga jari dan menjilatinya selesai makan serta mengambil suapan yang jatuh. Dari Ka'ab bin Malik ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya dan setelah selesai Beliau menjilatinya.”
Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, ”Jika jatuh suapan salah seorang diantara kalian, hendaklah ia mengambilnya, kemudian membersihkan kotoron yang mungkin menempel dan memakannya. Janganlah ia tinggalkan suapan itu untuk syaithan, dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan sampai ia menjilatinya. Karena ia tidak tahu, di bagian mana berkah dari makannya.”
Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah aku makan dengan bersandar.”
Tidak boleh mencela makanan halal.
Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata, ”Nabi tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika Beliau suka, Beliau memakannya. Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.”
Dianjurkan ketika makan dan memuji makanan meskipun sedikit.
Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Nabi Saw bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab, ”Kita tidak memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk dibawakan. Kemudian Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata, ”Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.”
Mendahulukan orang tua ketika makan.
Dari Hudzaifah Ra ia berkata, ”Jika kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah, tidaklah kami menjulurkan tangan kami ke makanan sampai Rasulullah memulainya."
Kita boleh makan dengan sendiri ataupun dengan berjama'ah, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala : Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian, maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik, demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya." (Q.S. An-Nuur 24 : 61).
Namun ada anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan berjamaah seperti yang diriwayatkan dalam satu hadits, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sudah makan namun mengapakah kami tidak merasa kenyang?” Beliau berkata, “Mungkin kalian makan dengan terpisah” Mereka menjawab, ”Ya” Maka beliau pun bersabda, "Berkumpullah kalian ketika makan serta sebutlah nama Allah niscaya Allah akan memberikan keberkahan kepada kalian.”
Jika diundang dalam jamuan makan, selayaknya kita memperhatikan adab-adab berikut :
a. Wajib memenuhi undangan sekalipun sedang berpuasa.
Bagi yang berpuasa sunnah ia boleh berbuka dan tidak wajib mengqadhanya, berdasarkan hadist Nabi berikut : "Orang berpuasa sunnah adalah amir bagi dirinya sendiri, jika mau ia boleh berpuasa dan jika mau ia boleh berbuka.”
b. Disunnahkan untuk mendoakan yang mengundang.
Abdullah bin Bisr mengisahkan, ayahnya pernah membuat makanan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengundang beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang. Selesai makan beliau berdoa : “Ya Allah berikanlah mereka keberkahan pada apa yang Kau rizqikan kepada mereka, ampunillah mereka serta sayangilah mereka.” Kemudian sabda beliau yang lain : “Semoga orang-orang baik memakan makanan kalian, para malaikat mendoakan kalian dan orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian.”
c. Tidak wajib menghadiri undangan yang di dalamnya terdapat maksiat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia sekali-kali duduk di meja hidangan yang di situ dihidangkan minuman keras.”
d. Disunnahkan untuk memulai makan dari tepi wadah dan bukan dari tengah.
Dari Abdullah bin Bisr ia berkata, ”Nabi memiliki mangkuk besar yang dinamai Al-Gharra' yang diangkat oleh empat orang lelaki, tatkala para sahabat selesai shalat dhuha, mangkuk tersebut dihidangkan penuh berisi kuah dan roti, para sahabat berkerumun mengelilinginya. Ketika jumlah sahabat yang datang semakin banyak, Nabi Saw duduk berlutut dengan menduduki punggung telapak kaki beliau. Seorang lelaki badui bertanya, ”Duduk macam apakah ini? Rasulullah menjawab, ”Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai hamba yang mulia dan tidaklah Ia menjadikanku seorang yang sombong lagi durhaka.” Kemudian beliau bersabda, ”Makanlah dari sisi-sisinya dan tinggalkanlah puncaknya niscaya, Allah memberikan berkah pada makanan ini.”
e. Tidak boleh bagi orang yang tidak diundang untuk ikut makan kecuali dengan seizin tuan rumah.
Abu Mas'ud Al-Badri bercerita, ”Seorang laki-laki mengundang Nabi ke rumahnya untuk mencicipi makanan buatannya. Lalu ada seorang lelaki yang mengikuti beliau. Ketika sampai beliau berkata, ”Lelaki ini mengikuti saya, engkau boleh mengizinkannya masuk atau jika tidak ia akan pulang.” Pemilik rumah menjawab, ”Saya mengizinkannya wahai Rasulullah.”
f. Tidak seyogyanya bagi tuan rumah mengkhususkan hanya mengundang orang-orang kaya dan terpandang saja tanpa menyertakan orang-orang miskin.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang diundang untuk menghadirinya hanya golongan kaya saja sedangkan orang-orang miskin dilarang.”
Beragam jamuan makan ala barat, semisal standing party banyak digandrungi orang, banyak faktor yang menjadi latar belakang, ketidaktahuan, mungkin satu sebab diantaranya. Ironisnya, mereka yang telah mengetahui etika Islam justru meremehkan da menganggapnya bukanlah satu hal urgent dan mendasar, celaka lagi bila mereka meninggalkannya karena tertarik etika barat, dengan asumsi etika mereka lebih beradab dan lebih modern.
Padahal, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, salah satu pembatal keislaman seseorang, ialah apabila ia meyakini ada petunjuk yang lebih baik dan lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seyogyanya setiap muslim senantiasa berupaya mengejewantahkan nilai-nilai islami, termasuk adab makan ini, karena adab-adab tersebut merupakan bagian dari risalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut ini kami kemukakan point-point yang berkaitan dengan adab makan :
1. Membaca basmalah, demi mengharap keberkahan dan mencegah syaithan ikut makan bersama kita. Abu Hafs Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, Ketika aku berada dalam bimbingan Rasulullah Saw, pernah suatu kali tanganku bergerak di atas piring ke segala arah, hingga Rasulullah Saw pun berkata kepadaku, ”Wahai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah dari apa yang dekat denganmu.” Maka demikianlah cara makanku sejak saat itu.
Dari Ummul Mu'minin Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang kalian makan, maka sebutlah nama Allah, jika ia lupa untuk menyebutnya di awal, hendaklah ia membaca : ُُ"Dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhirnya."
Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali mengemukakan, tasmiyyah ialah membaca lafadz bismillah. Adapun pendapat yang mengatakan tasmiyyah dengan membaca bismillahir rahman nir rahim, merupakan pendapat yang tidak memiliki hujjah, demikian juga pendapat yang mengatakan tasmiyyah dibaca pada setiap suapan, adalah pendapat yang batil, karena tasmiyyah ini hanya dibaca pada awal makan.
Adapun doa yang disunnahkan setelah selesai makan, ialah sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits berikut.
Dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika Beliau selesai makan Beliau berdoa, “Segala puji bagi Allah (aku memujinya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah, yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, Ya Rabb kami.”
Dari Mu'adz bin Anas, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa makan kemudian ia berdoa, ‟Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makanan ini kepadaku dan memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.”
Wajib makan dengan tangan kanan, berdasarkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dari Salamah bin Al-Akwa', bahwa pernah seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah Saw, maka Beliau berkata, ”Makanlah dengan tangan kananmu.” Laki-laki itu menjawab, ”Aku tidak bisa.” Beliau pun berkata, ”Engkau tidak bisa, tidak ada yang mencegahmu melakukannya melainkan kesombonganmu.”
Akhirnya ia benar-benar tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya, ucapan Rasulullah Saw pada hadits di atas merupakan doa Beliau atas laki-laki tadi, karena kesombongannya enggan mengikuti sunnah.
Disunnahkan makan dengan tiga jari dan menjilatinya selesai makan serta mengambil suapan yang jatuh. Dari Ka'ab bin Malik ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jarinya dan setelah selesai Beliau menjilatinya.”
Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, ”Jika jatuh suapan salah seorang diantara kalian, hendaklah ia mengambilnya, kemudian membersihkan kotoron yang mungkin menempel dan memakannya. Janganlah ia tinggalkan suapan itu untuk syaithan, dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan sampai ia menjilatinya. Karena ia tidak tahu, di bagian mana berkah dari makannya.”
Dari Abu Juhaifah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, ”Tidaklah aku makan dengan bersandar.”
Tidak boleh mencela makanan halal.
Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata, ”Nabi tidak pernah mencela makanan sedikitpun. Jika Beliau suka, Beliau memakannya. Dan bila tidak suka, Beliau meninggalkannya.”
Dianjurkan ketika makan dan memuji makanan meskipun sedikit.
Dari Jabir bin Abdillah, bahwasanya Nabi Saw bertanya kepada keluarganya tentang lauk. Mereka menjawab, ”Kita tidak memiliki lauk, kecuali cuka.” Maka Beliaupun minta untuk dibawakan. Kemudian Beliau makan dengan cuka tadi dan berkata, ”Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.”
Mendahulukan orang tua ketika makan.
Dari Hudzaifah Ra ia berkata, ”Jika kami menghadiri jamuan makan bersama Rasulullah, tidaklah kami menjulurkan tangan kami ke makanan sampai Rasulullah memulainya."
Kita boleh makan dengan sendiri ataupun dengan berjama'ah, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala : Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu yang perempuan, di rumah saudara-saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara-saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara-saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu.Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian, maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik, demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya." (Q.S. An-Nuur 24 : 61).
Namun ada anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan berjamaah seperti yang diriwayatkan dalam satu hadits, para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sudah makan namun mengapakah kami tidak merasa kenyang?” Beliau berkata, “Mungkin kalian makan dengan terpisah” Mereka menjawab, ”Ya” Maka beliau pun bersabda, "Berkumpullah kalian ketika makan serta sebutlah nama Allah niscaya Allah akan memberikan keberkahan kepada kalian.”
Jika diundang dalam jamuan makan, selayaknya kita memperhatikan adab-adab berikut :
a. Wajib memenuhi undangan sekalipun sedang berpuasa.
Bagi yang berpuasa sunnah ia boleh berbuka dan tidak wajib mengqadhanya, berdasarkan hadist Nabi berikut : "Orang berpuasa sunnah adalah amir bagi dirinya sendiri, jika mau ia boleh berpuasa dan jika mau ia boleh berbuka.”
b. Disunnahkan untuk mendoakan yang mengundang.
Abdullah bin Bisr mengisahkan, ayahnya pernah membuat makanan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengundang beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang. Selesai makan beliau berdoa : “Ya Allah berikanlah mereka keberkahan pada apa yang Kau rizqikan kepada mereka, ampunillah mereka serta sayangilah mereka.” Kemudian sabda beliau yang lain : “Semoga orang-orang baik memakan makanan kalian, para malaikat mendoakan kalian dan orang-orang yang berpuasa berbuka di rumah kalian.”
c. Tidak wajib menghadiri undangan yang di dalamnya terdapat maksiat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir janganlah ia sekali-kali duduk di meja hidangan yang di situ dihidangkan minuman keras.”
d. Disunnahkan untuk memulai makan dari tepi wadah dan bukan dari tengah.
Dari Abdullah bin Bisr ia berkata, ”Nabi memiliki mangkuk besar yang dinamai Al-Gharra' yang diangkat oleh empat orang lelaki, tatkala para sahabat selesai shalat dhuha, mangkuk tersebut dihidangkan penuh berisi kuah dan roti, para sahabat berkerumun mengelilinginya. Ketika jumlah sahabat yang datang semakin banyak, Nabi Saw duduk berlutut dengan menduduki punggung telapak kaki beliau. Seorang lelaki badui bertanya, ”Duduk macam apakah ini? Rasulullah menjawab, ”Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai hamba yang mulia dan tidaklah Ia menjadikanku seorang yang sombong lagi durhaka.” Kemudian beliau bersabda, ”Makanlah dari sisi-sisinya dan tinggalkanlah puncaknya niscaya, Allah memberikan berkah pada makanan ini.”
e. Tidak boleh bagi orang yang tidak diundang untuk ikut makan kecuali dengan seizin tuan rumah.
Abu Mas'ud Al-Badri bercerita, ”Seorang laki-laki mengundang Nabi ke rumahnya untuk mencicipi makanan buatannya. Lalu ada seorang lelaki yang mengikuti beliau. Ketika sampai beliau berkata, ”Lelaki ini mengikuti saya, engkau boleh mengizinkannya masuk atau jika tidak ia akan pulang.” Pemilik rumah menjawab, ”Saya mengizinkannya wahai Rasulullah.”
f. Tidak seyogyanya bagi tuan rumah mengkhususkan hanya mengundang orang-orang kaya dan terpandang saja tanpa menyertakan orang-orang miskin.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang diundang untuk menghadirinya hanya golongan kaya saja sedangkan orang-orang miskin dilarang.”
Posting Komentar untuk "Adab Makan Dalam Perspektif Al-Qur'an dan As-Sunnah"
Terimakasih atas kunjungan anda...