Menanamkan Akhlak Mulia Melalui Ibadah Suluk Dan Pengalaman Batin Bersuluk
Penanaman akhlak mulia di awali dengan taubat yaitu kesadaran akan semua kesalahan baik kepada Allah Swt maupun kepada manusia, dalam pelaksanaannya harus dengan kesungguhan untuk memperbaiki diri telah menumbuhkan keikhlasan untuk menjalani riyaḍah, membiasakan diri untuk hidup zuhud dan mematuhi aturan.
Kemudian upaya menanamkan akhlak mulia ke dalam hati dilakukan dengan banyak berzikir yang diakui mengandung sifat-sifat mulia, selain itu adanya pembiasaan untuk beribadah dan menurunnya kecenderungan terhadap duniawi telah menimbulkan sifat-sfat taqwa, tawadu‘, syukur nikmat dan qana‘ah pada dirinya.
Pengamalan dzikir laṭa’if (maqamat) juga telah mendatangkan pengalaman spiritual yang menumbuhkan ketenangan batin yang tidak dirasakan sebelum mengikuti suluk.
Ketenangan batin ini lebih dikuatkan lagi ketika menyadari bahwa pengalaman spiritual yang diterima tidak didapati di luar suluk, kesadaran ini telah mendorong para salik untuk menjadi orang yang lebih baik dengan melakukan banyak kebaikan.
Akhlak yang mulia atau amal ṣhaleh tersebut dilakukan karena adanya pengaruh nilai kebaikan yang dialami para salik, nilai itu ada yang terdapat dalam pengalaman ruhaniah juga ada yang terdapat dalam rutinitas yang dibiasakan.
Dalam kajian pendidikan karakter nilai-nilai ini berpengaruh kuat terhadap pendidikan karakter, nilai yang berada dalam dunia ruhaniah atau spiritual memang tidak terwujud, namun sangat kuat pengaruhnya dalam pembentukan karakter dan terlihat dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang setelahnya.
Nilai-nilai dalam ajaran thariqat merupakan proses pengalaman yang terintegrasi dalam pola kehidupan, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara spontan untuk mendorong perilaku yang membawa kebaikan.
Kendati nilai berada pada dunia ruhaniah dan batiniah seorang salik, namun di cermati bahwa nilai berpengaruh bagi perubahan sikap dan tingkah laku dalam setiap pribadi manusia, hal ini sesuai dengan rumusan tentang beberapa indikator nilai yang dapat mempengaruhi segala perilaku kehidupan manusia, yaitu tujuan (goal), aspirasi (aspiration), sikap (attitude), perhatian (interest), keinginan (feeling), keyakinan dan pendirian (belief and confivtions) dan kecemasan, problem dan rintangan.
Kesembilan indikator ini hampir seluruhnya terdapat dalam pengamalan ajaran thariqat pada kegiatan suluk, tujuan (goal) para salik tertanam melalui dalam kalimat munajat yang selalu diucapkan, yaitu illahi anta maqsudi wariḍhaka maṭlubi, aspirasi (aspiration) para salik tertanam dalam niat taubat untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, sikap (attitude) para salik yang ikhlas dan ridha mengamalkan ajaran dan hidup dalam rumah suluk dengan mematuhi aturannya, perhatian (interest) para salik yang khusyu' beribadah tanpa mau terganggu dengan kenikmatan duniawi, keinginan (feeling) salik yang sungguh-sungguh, keyakinan dan pendirian (belief and confitions) para salik yaitu istiqamah menjalankan ajaran thariqat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Terakhir adalah kecemasan, problem dan rintangan yang tertanam dalam batin melalui penerimaan pandangan batin ketika berdzikir atau tafakkur, dengan tertanamnya beberapa nilai ini dalam batin menjadi pengaruh yang kuat terhadap pembentukan karakter Islami atau akhlak mulia.
Dari kegiatan suluk di atas juga menunjukkan bahwa fungsi hati sangat dimaksimalkan dan hal ini memang sesuai dengan pengamalan dzikir qalbi.
Pengamalan dzikir yang berkekalan hanya mudah dilakukan dengan hati, dzikir hati dapat dilakukan pada setiap aktivitas salik dalam sehari-hari, seperti makan, mandi dan bersih-bersih serta lain sebagainya.
Apalagi salik dilarang untuk banyak berbicara, karena suara bibir bisa menutupi hati dari berdzikir, berdzikir dengan hati tidak hanya membersihkannya dari sifat-sifat buruk, tapi juga akan menanamkan akhlak mulia dan membuat hati lebih tenang.
Jika hati telah berubah menjadi lebih baik, maka ia akan mempengaruhi perubahan akhlak menjadi lebih baik lagi, perubahan dapat dilihat jika terjadi perubahan mendasar dalam hati manusia, dorongan-dorongan religius dapat memberikan energi yang diperlukan untuk menggerakkan manusia dalam mengadakan perubahan.
Hal ini berarti bahwa perubahan manusia itu bertitik tolak dari perubahan hatinya, dalam kajian pendidikan karakter, pendapat diatas memberikan informasi yang menegaskan, bahwa olah hati paling berfungsi mempengaruhi terjadinya perubahan karakter dari pada olah pikir, olah rasa dan olahraga.
Kondisi hati yang tenang, senang dan beriman kepada Allah Swt bisa menjadi pengarah dan pembimbing bagi tiga aspek lainnya, yaitu akal, rasa dan raga, artinya bahwa untuk membentuk karakter yang baik, maka olah hati menjadi pekerjaan yang diutamakan dan inilah yang terdapat dalam pengamalan ajaran Thariqat An-Naqsyabandi.
Dalam ajaran thariqat, olah hati atau mendidik hati merupakan pekerjaan utama untuk terus dilakukan, olah hati dilakukan dengan tiga tahapan besar, yaitu takhalli (pembersihan hati), taḥalli (penanaman akhlak dalam hati) dan tajalli (terbukanya hijab dan menerima pengalaman mistik yang bersifat emosional dan spiritual).
Pengamalan dzikir khafi (qalbi) telah menunjukkan bahwa ajaran thariqat memang mengutamakan hati untuk bisa melakukan dżikrullah yang berkekalan.
Hati yang terus berdzikir akan mendatangkan keyakinan bahwa Allah Swt selalu mengawasi dan membimbing hamba-Nya, menurut pengalaman ketika mengikuti kegiatan suluk, juga menemukan adanya kegiatan olah rasa, olah pikir dan olah raga yang juga ikut berpengaruh dalam membentuk karakter.
Olah rasa terdapat dalam pengamalan ajaran saling menghormati sesama salik, saling bersedekah dan tegur sapa dengan panggilan tuan, olah rasa untuk membentuk karakter kepedulian sosial juga terdapat dalam wasiat Syaikh Abdul Wahab Rokan pada yang ke-3 dan ke-10, yaitu: (Baca : WASIAT 44 SYEIKH ABDUL WAHAB ROKAN Qs)
Namun, terdapat ajaran yang unik terkait dengan olah rasa ini, karena ada dua ajaran yang terlihat berseberangan, satu sisi para salik dididik dengan akhlak zuhud dan fakir sedangkan di sisi lain diajarkan dermawan dengan cara bersedekah atau menolong.
Kedua ajaran ini sesungguhnya menunjukkan ajaran yang luar biasa, bahwa ajaran thariqat mengajarkan sifat kepedulian sosial tidak dibatasi dengan adanya harta yang berlebih, karakter tersebut bisa dilakukan dengan kemampuan apapun yang dimiliki, bahkan yang paling utama menurut ajaran tarikat adalah bersedekah dilakukan pada saat sedang memiliki keterbatasan.
Olah raga terdapat dalam keteraturan hidup sehari-hari, seperti aturan makan, pembiasaan istirahat tidur dan bangun malam dan jika berjalan meninggalkan tempat khalwat harus selalu menutupi kepala dengan undung-undung (bisa seperti sorban) untuk menghindari tiupan angin dan penyakit.
Hidup yang teratur ini telah membuat tubuh terasa ringan, sehat, pikiran tenang, mengingat esensi dari olah raga adalah keteraturan hidup, kesehatan dan ketenangan jiwa, maka berarti pola hidup selama mengikuti suluk minimal 10 hari dan maksimal 40 hari, dengan mematuhi semua aturannya dan mengikuti semua kegiatannya telah berkontribusi dalam pelaksanaan olahraga.
Dalam raga yang sehat dan jiwa yang tenang mengandung potensi kebaikan dan menyebabkan munculnya karakter yang baik, selanjutnya olah pikir juga terjadi dengan cara menghadiri pengajian kitab kuning dan mendengarkan ceramah.
Dengan mendengarkan ceramah para guru, para salik memahami makna dari semua ajaran thariqat serta cara pengamalannya dan manfaat mengamalkannya, untuk bertanya, maka para salik bisa menuliskannya dalam satu kertas dan menitipkan ke khalifah piket sehari sebelum guru yang bersangkutan datang mengajar.
Peraturan ini untuk memberikan persiapan yang matang bagi guru yang dimaksud, sehingga menemukan jawaban yang benar-benar ṣhahih serta berdalil, aturan ini menunjukkan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk memberikan pemahaman yang benar kepada para salik sehingga kelak benar pula mereka mengamalkannya setelah selesai suluk.
Selain itu informasi pengetahuan juga didapati dalam pengalaman mistik, selain mengandung aspek emosional dan spiritual, pengalaman mistik tidak hanya memiliki aspek pengalaman emosional saja, tetapi juga mempunyai aspek kognitif.
Pengalaman mistik sering menjadi sumber pengetahuan dan pencerahan serta rangsangan bagi timbulnya ide-ide baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, dalam agama Islam hal ini dikenal dengan istilah “ilmu ladunni”, yaitu sebuah pemahaman atau keilmuan yang diperoleh tidak melalui metode belajar yang bersifat kognitif, melainkan melalui intuisi yang muncul bersama dengan pengalaman mistik.
Dalam ajaran thariqat semua yang dilihat dan dialami dalam pengalaman mistik ketika berdzikir haruslah disampaikan hanya kepada Syaikh, dengan uraian di atas, menurut pengamalan ajaran thariqat dipersulukan juga melakukan pendidikan karakter yang mengutamakan olah hati.
Olah hati mulai terjadi ketika memasuki tahapan penanaman hati (taḥalli) dengan nilai-nilai akhlak mulia, para salik mulai menerima pandangan batin atau pengalaman ruhani, pada tingkatan ini hilanglah hijab dari sifat-sifat kebasyariahan dan jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama itu terdinding.
Pengalaman ini telah menimbulkan ketenangan batin yang luar biasa, sebagaimana juga pada saat itulah seorang salik akan merasakan ketenteraman batin yang tiada taranya, dan sampailah salik pada maqam nihayah yaitu fana dalam kebaqaan Allah dan lenyap dalam kehadirat Allah Swt.
Pengalaman batin yang bersifat spiritual ini disebutkan dengan istilah alam misal, yaitu pengalaman individual yang diterima oleh seseorang yang sedang sadar dan meninggalkan dirinya serta dunianya dengan syarat harus dalam ma'rifatullah.
Pengalaman ruhani sebagaimana terjadi pada para salik di atas pada saat tajalli disebutkan juga dengan istilah pengalaman mistik yaitu sebagai pengalaman spiritual atau pengalaman ruhani, dimana orang merasakan bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat ketuhanan atau merasakan penyatuan seluruh dimensi dalam diri dan kehidupannya.
Pengalaman mistik hanya akan diperoleh dengan hati yang bersih atau intuisi dan tidak memerlukan rasional, pengalaman ini hanya akan difahami oleh orang yang telah mengamalkan ma'rifat dan penarikan diri dari tubuh materil.
Alam ini berada di antara alam fisik dan alam spiritual serta berbeda dengan alam mimpi, pada alam misal kita dapat melihat semua objek bukan dengan mata kepala tetapi dengan imajinasi.
Pengalaman spiritual dalam mimpi diperoleh ketika tidur, sedangkan pengalaman spiritual dalam alam misal terjadi ketika sadar dan terjaga, dengan demikian pengalaman spiritual di alam misal memiliki status ontologis yang jelas walaupun ia merupakan pengalaman subjektifitas tetapi ia bersifat riil karena terjadi saat terjaga dan sadar.
Pengalaman mistik tersebut sama dengan pengalaman indera atau mental, sehingga kebenaran informasinya dapat diterima, dengan demikian dapatlah dipahami bahwa informasi pada pengalaman ruhani yang disebut juga dengan pandangan batin sebagai tanda bagi salik ketika berdzikir juga dapat memberikan kontribusi pada setiap salik sebagai sufi baik sebagai pengetahuan maupun sebagai sebab pendorong perubahan sikap mental dan akhlak mulia.
Pengalaman batin atau pengalaman mistik inilah yang lebih banyak mempengaruhi para sālik untuk berubah menjadi orang yang baik, di antara pengalaman mistik itu, adalah hidup belajar mati dan pengalaman memasuki alam kematian.
Pengalaman kematian merupakan penyebab utama yang paling berpengaruh sebagaimana yang dialami oleh salik, pengaruh pengalaman mendekati kematian terhadap prilaku juga dijelaskan, bahwa pengalaman yang disebut dengan NDE (near death experience) merupakan pengalaman yang sangat intens dan mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap orang yang mengalami.
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap para salik pengalaman mistik tersebut membuat mereka lebih tenang dalam perilakunya, lebih tawadu’, lebih sopan dalam berbicara, ramah kepada sesama salik, pemurah dan sedikit bicara.
Dalam ajaran thariqat dan keyakinan para salik, pengalaman mistik sebagaimana pendapat di atas disebut juga tanda batin berupa warna atau pengalaman spiritual, pengalaman ini sebagaimana yang penulis terima umumnya terbagi pada dua macam, yaitu pertama bersifat menakutkan atau memalukan dan kedua bersifat menyenangkan.
Berdasarkan pengalaman, hampir semua salik yang kelihatan sungguh-sungguh dalam mengikuti riyaḍah dan mujahadah mendapatkan dua macam pengalaman ruhani yang berbeda-beda, sementara pengalaman mistik para salik terbagi pada empat tema yaitu pengalaman fisiologis (penyucian diri dan pengalaman penyembuhan), pengalaman sosial psikologis (hilang rasa aku dan pengalaman yang berhubungan dengan suasana emosi), pengalaman psikologis (pengalaman menjangkau masa depan atau gangguan makhluk halus) dan pengalaman spiritual/kerohanian (penyucian diri, peningkatan ibadah dan kedekatan dengan Tuhan.
Beberapa pengakuan pengalaman mistik para salik yang dalam pengamatan kami adalah :
Salik pertama: “Ketika berdzikir Tuan, saya menyaksikan semua pekerjaan maksiat yang pernah saya lakukan, laksana pemutaran film dokumenter tentang diri saya, saya melihat diri saya sedang meminum minuman keras dengan gembiranya sementara beberapa keluarga melihat dan sibuk menceritakan saya.” Sayapun malu sekali dan tak sanggup melihatnya, sehingga menangis tersedu-sedu.”
Salik kedua: “Datang cahaya sangat terang dari atas kepala, lalu menyinari seluruh tubuh, sehingga terasa sangat terang menembus seluruh tubuh dan menerangi semua tempat dalam kelambu, sehingga saya mengalami perasaan yang sangat menyenangkan tidak ada yang lain kecuali hanya senang dan saya merasakan semua keletihan menjalani riyadah telah hilang dan berganti dengan senang.”
Salik ketiga: “Saya melihat Atuk yang sudah meninggal dunia datang menghampiri, ia tersenyum tanpa berbicara lalu Atuk pergi sambil mengajak saya untuk ṣhalat ke madrasah besar, sayapun jadi rindu bertemu dan berkumpul dengan atuk dan perasaan rindu itu sangat kuat sehingga saya menangis terisak-isak.”
Salik keempat: “Saya melihat Syaikh ‘Abdul Wahab Rokan keluar dari arah bangunan makamnya dan datang menjemput saya dan membawa saya ke madrasah besar, sampai di sana ia meminumkan segelas air putih yang nikmat belum pernah saya rasakan sebelumnya, sayapun merasakan ketenangan jiwa terus ingin banyak berdzikir dan ibadah yang lainnya.”
Salik kelima: “Saya merasa ruh telah keluar dari raga, saya melihat tubuh ini terbaring di atas sebuah kasur, lalu saya melihat sekeliling bagaimana keluarga sedang menangisi, saya juga melihat isteri yang tak berhenti mengaji di samping raga saya, kedua orang tak dikenal itu membawa saya naik tinggi ke awan dengan ringannya, timbul perasaan senang karena saya bisa melihat semua alam yang hijau dari ketinggian, namun saya melihat anak dan isteri saya nangis…”ayah mau kemana…? Ayah jangan pergi…jangan tinggalkan kami, saya jadi bingung, namun apa yang saya bilang mereka tak dengar, saya semakin bingung, semakin tinggi mau kemana. lalu saya minta izin mau menjemput anak saya, namun kedua orang itu malah meninggalkan saya sendirian, sayapun semakin bingung dan ketakutan luar biasa, saya kemudian berkata, "Ya Allah, kalau ini mati aku sudah pasrah, tapi kalau masih bisa hidup aku akan menjadi orang baik, aku taubat ya Allah…Aku taubat…maafkan ayah nak..maafkan aku bu.”
Perubahan akibat adanya pengalaman ruhani ini, menunjukkan bahwa pengalaman ruhani yang diterima para salik juga berfungsi sebagai metode amsal dan metode At-Targib wa tarhib, bahwa ketika bertajalli, para salik telah menerima pengalaman ruhani yang mengandung perumpamaan-perumpamaan bersifat baik dan buruk.
Dengan kedua perumpamaan ini para salik telah mengambil hikmahnya lalu menyadarinya untuk dijadikan motivasi bagi perbaikan hidup ke depan, pengalaman ruhani dalam tajalli ini, merupakan sesuatu yang sulit diungkapkan oleh bahasa biasa terutama ketika merasakan kehadiran Allah atau menerima nur Allah.
Alih-alih menyampaikan perasaan ini kepada orang lain, seorang sufi terkadang lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat, berdiam diri dan merahasiakannya dari orang lain, hal ini dilakukan untuk terus menjaga kesucian diri, menangkal munculnya sifat-sifat kedirian (nafs) dalam bentuk 'ujub, riya, sum'ah dan takabbur.
Di sinilah terlihat secara jelas adanya pengaruh tajalli terhadap pendidikan akhlak para salik, bahwa mereka yang telah memasuki fase tajalli menjadi semakin baik akhlaknya dan menghindari dari sifat tercela.
Di samping itu “gerakan tutup mulut” ini juga disebabkan adanya kekhawatiran jika apa yang mereka rasakan akan disalah pahami serta disalah maknakan oleh orang lain, bahkan bisa menimbulkan fitnah.
Dengan demikian, maka bersuluk bukanlah sekedar untuk mendapatkan pengalaman batin atau untuk membuka hijab dan menerima nur cahaya Allah, walaupun yang terakhir ini menjadi harapan yang diinginkan oleh setiap salik, namun tujuan tertinggi adalah semakin dekatnya diri sālik kepada Allah Swt.
Artinya bahwa terbukanya hijab dan pengalaman spiritual atau pandangan batin yang dirasakan salik adalah sebagai sebab bagi salik untuk lebih dekat dengan Allah Swt, selama kegiatan suluk juga terdapat satu keunikan yaitu para salik yang melakukan riyaḍhah adalah orang yang sudah baligh (remaja dan dewasa).
Dengan demikian riyaḍhah dan mujahadah merupakan latihan jiwa dan perjuangan keras secara sadar, ikhlas dan sungguh-sungguh yang dilakukan orang remaja dan dewasa untuk mendidik dirinya sendiri, artinya bahwa riyaḍhah dilakukan atas kesadaran dan kemauan bukan sekedar mengikut, riyaḍhah berbeda dengan latihan, riyaḍhah adalah membiasakan diri dengan penuh kesadaran.
Inilah sebabnya para salik hanya boleh dilakukan oleh orang remaja dan dewasa saja, karena orang remaja dan dewasalah yang dianggap telah memahami syari'at Islam dan mereka sanggup melakukan riyaḍhah serta mujahadah, orang remaja dan dewasalah yang sanggup mengalami tajalli dan merasakan dengan kesadaran hati, sehingga pengalaman spiritual yang mereka alami bisa mempengaruhi terbentuknya akhlak mulia.
Orang-orang remaja dan dewasa mengerti hal-hal yang bersifat tidak terlihat nyata (abstrak) yang sesuai dengan logika, dengan demikian, perubahan dan perbaikan akhlak para salik menjadi lebih permanen apalagi mereka yang sudah menjadi khalifah.
Namun dalam hal ini ada perbedaan dengan cara-cara atau metode pendidikan akhlak pada pendapat Imam Al-Ghazali, menurut Al-Ghazali pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan penyucian hati (tazkiyatunnafs) dan pembiasaan (latihan) lebih tepat pada kelompok anak-anak.
Sementara pada ajaran thariqat dan kegiatan suluk terdapat aturan, bahwa para salik hanya boleh dari kelompok orang dewasa, orang dewasalah yang mampu menjalani takhalli, taḥalli dan tajalli yaitu mengamalkan ajaran tarikat dan mematuhi aturan.
Dengan kesadaran dan kemauan yang tinggi, orang dewasa tersebut sanggup melakukan mujahadah dalam kegiatan suluk dan selanjutnya mereka pula yang sanggup memetik hikmah di balik pengalaman ruhani (mistik) yang menyebabkan terjadinya perbaikan akhlak pada diri mereka.
Ini menunjukkan bahwa cara-cara atau metode pendidikan akhlak dalam pengamalan ajaran thariqat dan kegiatan suluk telah memadukan metode tazkiyatunnafs dengan riyaḍhah, yaitu pelatihan dan pembiasaan oleh orang dewasa, dengan demikian dalam kegiatan suluk yang di dalamnya mengamalkan ajaran thariqat dan hidup sesuai aturan terdapat pola pendidikan akhlak hanya bagi orang remaja dan dewasa saja.
Kemudian upaya menanamkan akhlak mulia ke dalam hati dilakukan dengan banyak berzikir yang diakui mengandung sifat-sifat mulia, selain itu adanya pembiasaan untuk beribadah dan menurunnya kecenderungan terhadap duniawi telah menimbulkan sifat-sfat taqwa, tawadu‘, syukur nikmat dan qana‘ah pada dirinya.
Pengamalan dzikir laṭa’if (maqamat) juga telah mendatangkan pengalaman spiritual yang menumbuhkan ketenangan batin yang tidak dirasakan sebelum mengikuti suluk.
Ketenangan batin ini lebih dikuatkan lagi ketika menyadari bahwa pengalaman spiritual yang diterima tidak didapati di luar suluk, kesadaran ini telah mendorong para salik untuk menjadi orang yang lebih baik dengan melakukan banyak kebaikan.
Akhlak yang mulia atau amal ṣhaleh tersebut dilakukan karena adanya pengaruh nilai kebaikan yang dialami para salik, nilai itu ada yang terdapat dalam pengalaman ruhaniah juga ada yang terdapat dalam rutinitas yang dibiasakan.
Dalam kajian pendidikan karakter nilai-nilai ini berpengaruh kuat terhadap pendidikan karakter, nilai yang berada dalam dunia ruhaniah atau spiritual memang tidak terwujud, namun sangat kuat pengaruhnya dalam pembentukan karakter dan terlihat dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang setelahnya.
Nilai-nilai dalam ajaran thariqat merupakan proses pengalaman yang terintegrasi dalam pola kehidupan, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara spontan untuk mendorong perilaku yang membawa kebaikan.
Kendati nilai berada pada dunia ruhaniah dan batiniah seorang salik, namun di cermati bahwa nilai berpengaruh bagi perubahan sikap dan tingkah laku dalam setiap pribadi manusia, hal ini sesuai dengan rumusan tentang beberapa indikator nilai yang dapat mempengaruhi segala perilaku kehidupan manusia, yaitu tujuan (goal), aspirasi (aspiration), sikap (attitude), perhatian (interest), keinginan (feeling), keyakinan dan pendirian (belief and confivtions) dan kecemasan, problem dan rintangan.
Kesembilan indikator ini hampir seluruhnya terdapat dalam pengamalan ajaran thariqat pada kegiatan suluk, tujuan (goal) para salik tertanam melalui dalam kalimat munajat yang selalu diucapkan, yaitu illahi anta maqsudi wariḍhaka maṭlubi, aspirasi (aspiration) para salik tertanam dalam niat taubat untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, sikap (attitude) para salik yang ikhlas dan ridha mengamalkan ajaran dan hidup dalam rumah suluk dengan mematuhi aturannya, perhatian (interest) para salik yang khusyu' beribadah tanpa mau terganggu dengan kenikmatan duniawi, keinginan (feeling) salik yang sungguh-sungguh, keyakinan dan pendirian (belief and confitions) para salik yaitu istiqamah menjalankan ajaran thariqat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Terakhir adalah kecemasan, problem dan rintangan yang tertanam dalam batin melalui penerimaan pandangan batin ketika berdzikir atau tafakkur, dengan tertanamnya beberapa nilai ini dalam batin menjadi pengaruh yang kuat terhadap pembentukan karakter Islami atau akhlak mulia.
Dari kegiatan suluk di atas juga menunjukkan bahwa fungsi hati sangat dimaksimalkan dan hal ini memang sesuai dengan pengamalan dzikir qalbi.
Pengamalan dzikir yang berkekalan hanya mudah dilakukan dengan hati, dzikir hati dapat dilakukan pada setiap aktivitas salik dalam sehari-hari, seperti makan, mandi dan bersih-bersih serta lain sebagainya.
Apalagi salik dilarang untuk banyak berbicara, karena suara bibir bisa menutupi hati dari berdzikir, berdzikir dengan hati tidak hanya membersihkannya dari sifat-sifat buruk, tapi juga akan menanamkan akhlak mulia dan membuat hati lebih tenang.
Jika hati telah berubah menjadi lebih baik, maka ia akan mempengaruhi perubahan akhlak menjadi lebih baik lagi, perubahan dapat dilihat jika terjadi perubahan mendasar dalam hati manusia, dorongan-dorongan religius dapat memberikan energi yang diperlukan untuk menggerakkan manusia dalam mengadakan perubahan.
Hal ini berarti bahwa perubahan manusia itu bertitik tolak dari perubahan hatinya, dalam kajian pendidikan karakter, pendapat diatas memberikan informasi yang menegaskan, bahwa olah hati paling berfungsi mempengaruhi terjadinya perubahan karakter dari pada olah pikir, olah rasa dan olahraga.
Kondisi hati yang tenang, senang dan beriman kepada Allah Swt bisa menjadi pengarah dan pembimbing bagi tiga aspek lainnya, yaitu akal, rasa dan raga, artinya bahwa untuk membentuk karakter yang baik, maka olah hati menjadi pekerjaan yang diutamakan dan inilah yang terdapat dalam pengamalan ajaran Thariqat An-Naqsyabandi.
Dalam ajaran thariqat, olah hati atau mendidik hati merupakan pekerjaan utama untuk terus dilakukan, olah hati dilakukan dengan tiga tahapan besar, yaitu takhalli (pembersihan hati), taḥalli (penanaman akhlak dalam hati) dan tajalli (terbukanya hijab dan menerima pengalaman mistik yang bersifat emosional dan spiritual).
Pengamalan dzikir khafi (qalbi) telah menunjukkan bahwa ajaran thariqat memang mengutamakan hati untuk bisa melakukan dżikrullah yang berkekalan.
Hati yang terus berdzikir akan mendatangkan keyakinan bahwa Allah Swt selalu mengawasi dan membimbing hamba-Nya, menurut pengalaman ketika mengikuti kegiatan suluk, juga menemukan adanya kegiatan olah rasa, olah pikir dan olah raga yang juga ikut berpengaruh dalam membentuk karakter.
Olah rasa terdapat dalam pengamalan ajaran saling menghormati sesama salik, saling bersedekah dan tegur sapa dengan panggilan tuan, olah rasa untuk membentuk karakter kepedulian sosial juga terdapat dalam wasiat Syaikh Abdul Wahab Rokan pada yang ke-3 dan ke-10, yaitu: (Baca : WASIAT 44 SYEIKH ABDUL WAHAB ROKAN Qs)
Wasiat Ke-3 : "Jika hendak mencari nafkah hendaklah dengan jalan tulang gega (dengan tangan sendiri) seperti beternak dan berladang dan didalam mencari nafkah itu hendaklah bersedekah pada tiap-tiap hari supaya segera dapat nafkah."Wasiat Ke-10 : "Jika dapat dua puluh sedekahkan dua dan jika dapat seratus sedekahkan sepuluh dan terus sembilan puluh (3), hendaklah kamu kuat menolong orang yang kesepian sehabis-habis ikhtiar sama ada tolong itu dengan harta benda atau tulang gega atau bicara atau do'a. Dan lagi apa-apa hajat orang yang dikhabarkannya kepada kamu serta dia minta tolong, maka hendaklah sampaikan seboleh-bolehnya."Kedua wasiat ini menunjukkan adanya ajaran thariqat yang mendidik pengikutnya untuk memiliki kepedulian sosial yang tinggi, bahwa pengikut thariqat diajarkan untuk selalu peduli dengan keperluan orang lain, yang diwujudkan dengan gemar menolong baik dalam bentuk sedekah harta, tenaga hingga dukungan dan doa.
Namun, terdapat ajaran yang unik terkait dengan olah rasa ini, karena ada dua ajaran yang terlihat berseberangan, satu sisi para salik dididik dengan akhlak zuhud dan fakir sedangkan di sisi lain diajarkan dermawan dengan cara bersedekah atau menolong.
Kedua ajaran ini sesungguhnya menunjukkan ajaran yang luar biasa, bahwa ajaran thariqat mengajarkan sifat kepedulian sosial tidak dibatasi dengan adanya harta yang berlebih, karakter tersebut bisa dilakukan dengan kemampuan apapun yang dimiliki, bahkan yang paling utama menurut ajaran tarikat adalah bersedekah dilakukan pada saat sedang memiliki keterbatasan.
Olah raga terdapat dalam keteraturan hidup sehari-hari, seperti aturan makan, pembiasaan istirahat tidur dan bangun malam dan jika berjalan meninggalkan tempat khalwat harus selalu menutupi kepala dengan undung-undung (bisa seperti sorban) untuk menghindari tiupan angin dan penyakit.
Hidup yang teratur ini telah membuat tubuh terasa ringan, sehat, pikiran tenang, mengingat esensi dari olah raga adalah keteraturan hidup, kesehatan dan ketenangan jiwa, maka berarti pola hidup selama mengikuti suluk minimal 10 hari dan maksimal 40 hari, dengan mematuhi semua aturannya dan mengikuti semua kegiatannya telah berkontribusi dalam pelaksanaan olahraga.
Dalam raga yang sehat dan jiwa yang tenang mengandung potensi kebaikan dan menyebabkan munculnya karakter yang baik, selanjutnya olah pikir juga terjadi dengan cara menghadiri pengajian kitab kuning dan mendengarkan ceramah.
Dengan mendengarkan ceramah para guru, para salik memahami makna dari semua ajaran thariqat serta cara pengamalannya dan manfaat mengamalkannya, untuk bertanya, maka para salik bisa menuliskannya dalam satu kertas dan menitipkan ke khalifah piket sehari sebelum guru yang bersangkutan datang mengajar.
Peraturan ini untuk memberikan persiapan yang matang bagi guru yang dimaksud, sehingga menemukan jawaban yang benar-benar ṣhahih serta berdalil, aturan ini menunjukkan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk memberikan pemahaman yang benar kepada para salik sehingga kelak benar pula mereka mengamalkannya setelah selesai suluk.
Selain itu informasi pengetahuan juga didapati dalam pengalaman mistik, selain mengandung aspek emosional dan spiritual, pengalaman mistik tidak hanya memiliki aspek pengalaman emosional saja, tetapi juga mempunyai aspek kognitif.
Pengalaman mistik sering menjadi sumber pengetahuan dan pencerahan serta rangsangan bagi timbulnya ide-ide baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, dalam agama Islam hal ini dikenal dengan istilah “ilmu ladunni”, yaitu sebuah pemahaman atau keilmuan yang diperoleh tidak melalui metode belajar yang bersifat kognitif, melainkan melalui intuisi yang muncul bersama dengan pengalaman mistik.
Dalam ajaran thariqat semua yang dilihat dan dialami dalam pengalaman mistik ketika berdzikir haruslah disampaikan hanya kepada Syaikh, dengan uraian di atas, menurut pengamalan ajaran thariqat dipersulukan juga melakukan pendidikan karakter yang mengutamakan olah hati.
Olah hati mulai terjadi ketika memasuki tahapan penanaman hati (taḥalli) dengan nilai-nilai akhlak mulia, para salik mulai menerima pandangan batin atau pengalaman ruhani, pada tingkatan ini hilanglah hijab dari sifat-sifat kebasyariahan dan jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama itu terdinding.
Pengalaman ini telah menimbulkan ketenangan batin yang luar biasa, sebagaimana juga pada saat itulah seorang salik akan merasakan ketenteraman batin yang tiada taranya, dan sampailah salik pada maqam nihayah yaitu fana dalam kebaqaan Allah dan lenyap dalam kehadirat Allah Swt.
Pengalaman batin yang bersifat spiritual ini disebutkan dengan istilah alam misal, yaitu pengalaman individual yang diterima oleh seseorang yang sedang sadar dan meninggalkan dirinya serta dunianya dengan syarat harus dalam ma'rifatullah.
Pengalaman ruhani sebagaimana terjadi pada para salik di atas pada saat tajalli disebutkan juga dengan istilah pengalaman mistik yaitu sebagai pengalaman spiritual atau pengalaman ruhani, dimana orang merasakan bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat ketuhanan atau merasakan penyatuan seluruh dimensi dalam diri dan kehidupannya.
Pengalaman mistik hanya akan diperoleh dengan hati yang bersih atau intuisi dan tidak memerlukan rasional, pengalaman ini hanya akan difahami oleh orang yang telah mengamalkan ma'rifat dan penarikan diri dari tubuh materil.
Alam ini berada di antara alam fisik dan alam spiritual serta berbeda dengan alam mimpi, pada alam misal kita dapat melihat semua objek bukan dengan mata kepala tetapi dengan imajinasi.
Pengalaman spiritual dalam mimpi diperoleh ketika tidur, sedangkan pengalaman spiritual dalam alam misal terjadi ketika sadar dan terjaga, dengan demikian pengalaman spiritual di alam misal memiliki status ontologis yang jelas walaupun ia merupakan pengalaman subjektifitas tetapi ia bersifat riil karena terjadi saat terjaga dan sadar.
Pengalaman mistik tersebut sama dengan pengalaman indera atau mental, sehingga kebenaran informasinya dapat diterima, dengan demikian dapatlah dipahami bahwa informasi pada pengalaman ruhani yang disebut juga dengan pandangan batin sebagai tanda bagi salik ketika berdzikir juga dapat memberikan kontribusi pada setiap salik sebagai sufi baik sebagai pengetahuan maupun sebagai sebab pendorong perubahan sikap mental dan akhlak mulia.
Pengalaman batin atau pengalaman mistik inilah yang lebih banyak mempengaruhi para sālik untuk berubah menjadi orang yang baik, di antara pengalaman mistik itu, adalah hidup belajar mati dan pengalaman memasuki alam kematian.
Pengalaman kematian merupakan penyebab utama yang paling berpengaruh sebagaimana yang dialami oleh salik, pengaruh pengalaman mendekati kematian terhadap prilaku juga dijelaskan, bahwa pengalaman yang disebut dengan NDE (near death experience) merupakan pengalaman yang sangat intens dan mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap orang yang mengalami.
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap para salik pengalaman mistik tersebut membuat mereka lebih tenang dalam perilakunya, lebih tawadu’, lebih sopan dalam berbicara, ramah kepada sesama salik, pemurah dan sedikit bicara.
Dalam ajaran thariqat dan keyakinan para salik, pengalaman mistik sebagaimana pendapat di atas disebut juga tanda batin berupa warna atau pengalaman spiritual, pengalaman ini sebagaimana yang penulis terima umumnya terbagi pada dua macam, yaitu pertama bersifat menakutkan atau memalukan dan kedua bersifat menyenangkan.
Berdasarkan pengalaman, hampir semua salik yang kelihatan sungguh-sungguh dalam mengikuti riyaḍah dan mujahadah mendapatkan dua macam pengalaman ruhani yang berbeda-beda, sementara pengalaman mistik para salik terbagi pada empat tema yaitu pengalaman fisiologis (penyucian diri dan pengalaman penyembuhan), pengalaman sosial psikologis (hilang rasa aku dan pengalaman yang berhubungan dengan suasana emosi), pengalaman psikologis (pengalaman menjangkau masa depan atau gangguan makhluk halus) dan pengalaman spiritual/kerohanian (penyucian diri, peningkatan ibadah dan kedekatan dengan Tuhan.
Beberapa pengakuan pengalaman mistik para salik yang dalam pengamatan kami adalah :
Salik pertama: “Ketika berdzikir Tuan, saya menyaksikan semua pekerjaan maksiat yang pernah saya lakukan, laksana pemutaran film dokumenter tentang diri saya, saya melihat diri saya sedang meminum minuman keras dengan gembiranya sementara beberapa keluarga melihat dan sibuk menceritakan saya.” Sayapun malu sekali dan tak sanggup melihatnya, sehingga menangis tersedu-sedu.”
Salik kedua: “Datang cahaya sangat terang dari atas kepala, lalu menyinari seluruh tubuh, sehingga terasa sangat terang menembus seluruh tubuh dan menerangi semua tempat dalam kelambu, sehingga saya mengalami perasaan yang sangat menyenangkan tidak ada yang lain kecuali hanya senang dan saya merasakan semua keletihan menjalani riyadah telah hilang dan berganti dengan senang.”
Salik ketiga: “Saya melihat Atuk yang sudah meninggal dunia datang menghampiri, ia tersenyum tanpa berbicara lalu Atuk pergi sambil mengajak saya untuk ṣhalat ke madrasah besar, sayapun jadi rindu bertemu dan berkumpul dengan atuk dan perasaan rindu itu sangat kuat sehingga saya menangis terisak-isak.”
Salik keempat: “Saya melihat Syaikh ‘Abdul Wahab Rokan keluar dari arah bangunan makamnya dan datang menjemput saya dan membawa saya ke madrasah besar, sampai di sana ia meminumkan segelas air putih yang nikmat belum pernah saya rasakan sebelumnya, sayapun merasakan ketenangan jiwa terus ingin banyak berdzikir dan ibadah yang lainnya.”
Salik kelima: “Saya merasa ruh telah keluar dari raga, saya melihat tubuh ini terbaring di atas sebuah kasur, lalu saya melihat sekeliling bagaimana keluarga sedang menangisi, saya juga melihat isteri yang tak berhenti mengaji di samping raga saya, kedua orang tak dikenal itu membawa saya naik tinggi ke awan dengan ringannya, timbul perasaan senang karena saya bisa melihat semua alam yang hijau dari ketinggian, namun saya melihat anak dan isteri saya nangis…”ayah mau kemana…? Ayah jangan pergi…jangan tinggalkan kami, saya jadi bingung, namun apa yang saya bilang mereka tak dengar, saya semakin bingung, semakin tinggi mau kemana. lalu saya minta izin mau menjemput anak saya, namun kedua orang itu malah meninggalkan saya sendirian, sayapun semakin bingung dan ketakutan luar biasa, saya kemudian berkata, "Ya Allah, kalau ini mati aku sudah pasrah, tapi kalau masih bisa hidup aku akan menjadi orang baik, aku taubat ya Allah…Aku taubat…maafkan ayah nak..maafkan aku bu.”
Perubahan akibat adanya pengalaman ruhani ini, menunjukkan bahwa pengalaman ruhani yang diterima para salik juga berfungsi sebagai metode amsal dan metode At-Targib wa tarhib, bahwa ketika bertajalli, para salik telah menerima pengalaman ruhani yang mengandung perumpamaan-perumpamaan bersifat baik dan buruk.
Dengan kedua perumpamaan ini para salik telah mengambil hikmahnya lalu menyadarinya untuk dijadikan motivasi bagi perbaikan hidup ke depan, pengalaman ruhani dalam tajalli ini, merupakan sesuatu yang sulit diungkapkan oleh bahasa biasa terutama ketika merasakan kehadiran Allah atau menerima nur Allah.
Alih-alih menyampaikan perasaan ini kepada orang lain, seorang sufi terkadang lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat, berdiam diri dan merahasiakannya dari orang lain, hal ini dilakukan untuk terus menjaga kesucian diri, menangkal munculnya sifat-sifat kedirian (nafs) dalam bentuk 'ujub, riya, sum'ah dan takabbur.
Di sinilah terlihat secara jelas adanya pengaruh tajalli terhadap pendidikan akhlak para salik, bahwa mereka yang telah memasuki fase tajalli menjadi semakin baik akhlaknya dan menghindari dari sifat tercela.
Di samping itu “gerakan tutup mulut” ini juga disebabkan adanya kekhawatiran jika apa yang mereka rasakan akan disalah pahami serta disalah maknakan oleh orang lain, bahkan bisa menimbulkan fitnah.
Dengan demikian, maka bersuluk bukanlah sekedar untuk mendapatkan pengalaman batin atau untuk membuka hijab dan menerima nur cahaya Allah, walaupun yang terakhir ini menjadi harapan yang diinginkan oleh setiap salik, namun tujuan tertinggi adalah semakin dekatnya diri sālik kepada Allah Swt.
Artinya bahwa terbukanya hijab dan pengalaman spiritual atau pandangan batin yang dirasakan salik adalah sebagai sebab bagi salik untuk lebih dekat dengan Allah Swt, selama kegiatan suluk juga terdapat satu keunikan yaitu para salik yang melakukan riyaḍhah adalah orang yang sudah baligh (remaja dan dewasa).
Dengan demikian riyaḍhah dan mujahadah merupakan latihan jiwa dan perjuangan keras secara sadar, ikhlas dan sungguh-sungguh yang dilakukan orang remaja dan dewasa untuk mendidik dirinya sendiri, artinya bahwa riyaḍhah dilakukan atas kesadaran dan kemauan bukan sekedar mengikut, riyaḍhah berbeda dengan latihan, riyaḍhah adalah membiasakan diri dengan penuh kesadaran.
Inilah sebabnya para salik hanya boleh dilakukan oleh orang remaja dan dewasa saja, karena orang remaja dan dewasalah yang dianggap telah memahami syari'at Islam dan mereka sanggup melakukan riyaḍhah serta mujahadah, orang remaja dan dewasalah yang sanggup mengalami tajalli dan merasakan dengan kesadaran hati, sehingga pengalaman spiritual yang mereka alami bisa mempengaruhi terbentuknya akhlak mulia.
Orang-orang remaja dan dewasa mengerti hal-hal yang bersifat tidak terlihat nyata (abstrak) yang sesuai dengan logika, dengan demikian, perubahan dan perbaikan akhlak para salik menjadi lebih permanen apalagi mereka yang sudah menjadi khalifah.
Namun dalam hal ini ada perbedaan dengan cara-cara atau metode pendidikan akhlak pada pendapat Imam Al-Ghazali, menurut Al-Ghazali pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan penyucian hati (tazkiyatunnafs) dan pembiasaan (latihan) lebih tepat pada kelompok anak-anak.
Sementara pada ajaran thariqat dan kegiatan suluk terdapat aturan, bahwa para salik hanya boleh dari kelompok orang dewasa, orang dewasalah yang mampu menjalani takhalli, taḥalli dan tajalli yaitu mengamalkan ajaran tarikat dan mematuhi aturan.
Dengan kesadaran dan kemauan yang tinggi, orang dewasa tersebut sanggup melakukan mujahadah dalam kegiatan suluk dan selanjutnya mereka pula yang sanggup memetik hikmah di balik pengalaman ruhani (mistik) yang menyebabkan terjadinya perbaikan akhlak pada diri mereka.
Ini menunjukkan bahwa cara-cara atau metode pendidikan akhlak dalam pengamalan ajaran thariqat dan kegiatan suluk telah memadukan metode tazkiyatunnafs dengan riyaḍhah, yaitu pelatihan dan pembiasaan oleh orang dewasa, dengan demikian dalam kegiatan suluk yang di dalamnya mengamalkan ajaran thariqat dan hidup sesuai aturan terdapat pola pendidikan akhlak hanya bagi orang remaja dan dewasa saja.
Posting Komentar untuk "Menanamkan Akhlak Mulia Melalui Ibadah Suluk Dan Pengalaman Batin Bersuluk"
Terimakasih atas kunjungan anda...