Pengertian Martabat Ahadiyah dan Wahidiyah
Peringkat pengenalan terhadap Allah menurut Ibn ‘Arabi terdapat pada martabat tajalli dzat atau ghaybi yang mengandung dua martabat, yaitu martabat aḥadiyyah dan wahdah atau waḥidiyyah.
Martabat aḥadiyyah adalah hakikat Tuhan sebagai wujud yang Tunggal lagi Mutlak yang belum dapat dihubung kaitkan dengan sifat apapun, sehingga belum dapat di kenali, inilah wujud Tuhan itu yang Maha Esa.
Artinya Dia adalah dzat yang berdiri sendiri dan keberadaan-Nya tidak bergantung kepada apapun, dalam martabat ini Tuhan adalah transenden (jauh), karena Tuhan di atas segala bentuk dan berbeda serta tidak dapat di bandingkan dengan apapun.
Untuk menggambarkan martabat ini, di kutip dari ayat Al-Qur’an dalam firman-Nya (Surat As-Syura, 42: 11), "Tuhan tiada dapat di serupakan dengan apapun", Tuhan dalam kemutlakan-Nya baru keluar dari Al-Asma’.
Martabat aḥadiyyah adalah wujud Allah yang Esa, dalam martabat ini, yang di namakan juga dengan istilah 'la ta‘ayyun' (tidak nyata).
Wujud martabat itu bersih daripada segala sandaran sifat, martabat ini dalam keadaan qadim dan baqa’, tidak dapat di misalkan dengan apapun, tidak boleh di sifatkan kepada apapun, tiada siapapun
dari umat manusia yang mampu sampai pada martabat ini.
Martabat kedua adalah Waḥdah atau Waḥidiyyah, yaitu penampakan (tajalli) kesempurnaan dzat Ilahi yang Maha Sempurna melalui proses penampakan (tajalli), kesempurnaan asma’ dan sifat-Nya.
Dalam tajalli ini, Tuhan memperkenalkan diri-Nya secara ilahiyyah di luar diri-Nya yang terhalang oleh ruang dan masa sebagai pancaran dari sifat-sifat-Nya, apa yang terpancar dari sifat dan asma’ itu berasal daripada ilmu Allah yang di namakan dengan 'a‘yan thabitah' (sesuatu yang tetap).
Jadi, pada martabat waḥidiyyah, keadaan dzat, sifat dan af‘al Allah itu bersifat mutlak, apabila zat yang mengada atau menjadi ada pada dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri (wujud lidhatih) itu menjadi kehendak tentang segala sesuatu yang muncul di dunia, kini maka ianya di sebut juga dengan 'a‘yan al-thabitah', yaitu suatu keadaan yang terletak di tengah-tengah antara realiti mutlak (Al-Haqq) dan dunia fenomena (Al-Khalq), dalam ini sebagai martabat huwiyyah, pada ketika itu Tuhan masih belum tampak dalam realiti, sebab sifat-sifat dan nama-nama Tuhan masih dalam bentuk daya atau potensial, juga pada martabat kedua, terlahir martabat waḥdah yang di kenal dengan nama martabat al-ta‘ayyun al-awwal, yang juga di kenal dengan nama Ḥaqiqah Al-Muḥammadiyyah.
Pada martabat ini pengetahuan tentang zat dan sifat-Nya dari segala yang ada masih bersifat umum (ijmali), dari martabat ini segala as’ma’ dan sifat-Nya yang ijmal itu masih terhimpun dalam hakikat
Muhammadiyyah atau di kenal juga dengan sebutan hakikat Nur Muhammad.
Hakikat tersebut merupakan asal-muasal segala sesuatu yang ada, martabat ini bersifat qadim, baqa’ dan azali, di kondisi ini martabat wahidiyyah di namakan dengan martabat al-ta‘ayyun al-thani. Pada tahap ini ilmu-Nya, sifat-Nya dan dzat-Nya, satu demi satu menjadi realiti di dalam alam empirikal, tetapi martabat ini masih dalam ilmu Allah yang qadim dan azali.
Tetapi ini bisa juga di namakan dengan hakikat insaniyyah, karena pada alam ini telah ada rancangan arti Al-A’yanal-Thabitah adalah idea mengenai sesuatu yang terdapat pada ilmu Tuhan, sifat dan zat-Nya, (idea-idea) sebelum sesuatu mewujud di dunia ini.
Inilah yang di namakan dengan Hakikat Muhammadiyah (bukan Nabi Muhammad Saw yang ada di Makkah dan Madinah secara zahir), penciptaan manusia, meskipun belum ada hubung kait dengan manusia, sebab belum ada apapun yang berlaku, artinya masih berupa ilmu.
Apabila martabat waḥdah itu wujud sifat dan asma’ Allah yang masih dalam bentuk yang ijmal belum terperinci, tetapi pada martabat Wahidiyyah ini sifat dan asma’munfalil ini telah terlahir Kalam yang Qadim.
Inilah yang di namakan dengan tajalli shuhudi, artinya sifat-Nya dan segala yang ada telah terperinci yang dapat membedakan setengah daripada yang lainnya, namun masih dalam alam ilmu Allah yang belum terlahir di alam nyata.
Dengan demikian ketiga-tiga martabat ini masih bersifat qadim, baqa’ dan azali, jadi tajalli Tuhan itu adalah melalui martabat aḥadiyyah dan waḥdah atau waḥidiyyah dan tajalli Tuhan atau pengenalan terhadap wujud Allah yang Esa ada pada martabat aḥadiyyah dan martabat huwiyyah.
Tajalli Tuhan ini di ketahui melalui 7 martabat (maqamat) dan menempatkannya pada tiga martabat, yaitu aḥadiyyah waḥdah atau waḥidiyah dengan dengan istilah la ta‘ayyun (tidak nyata).
Dan dua martabat pertama adalah martabat yang belum nyata secara empirikal, realiti masih dalam sesuatu yang tetap (al-a‘yan al-thabitah), tajalli Tuhan dalam 4 martabat berikutnya di namakan dengan a‘yin kharijiyyah, yaitu pengenalan Tuhan yang telah nyata.
Inilah konsep Tuhan yang di jelaskan oleh para sufi melalui tajalli.
Martabat aḥadiyyah adalah hakikat Tuhan sebagai wujud yang Tunggal lagi Mutlak yang belum dapat dihubung kaitkan dengan sifat apapun, sehingga belum dapat di kenali, inilah wujud Tuhan itu yang Maha Esa.
Artinya Dia adalah dzat yang berdiri sendiri dan keberadaan-Nya tidak bergantung kepada apapun, dalam martabat ini Tuhan adalah transenden (jauh), karena Tuhan di atas segala bentuk dan berbeda serta tidak dapat di bandingkan dengan apapun.
Untuk menggambarkan martabat ini, di kutip dari ayat Al-Qur’an dalam firman-Nya (Surat As-Syura, 42: 11), "Tuhan tiada dapat di serupakan dengan apapun", Tuhan dalam kemutlakan-Nya baru keluar dari Al-Asma’.
Martabat aḥadiyyah adalah wujud Allah yang Esa, dalam martabat ini, yang di namakan juga dengan istilah 'la ta‘ayyun' (tidak nyata).
Wujud martabat itu bersih daripada segala sandaran sifat, martabat ini dalam keadaan qadim dan baqa’, tidak dapat di misalkan dengan apapun, tidak boleh di sifatkan kepada apapun, tiada siapapun
dari umat manusia yang mampu sampai pada martabat ini.
Martabat kedua adalah Waḥdah atau Waḥidiyyah, yaitu penampakan (tajalli) kesempurnaan dzat Ilahi yang Maha Sempurna melalui proses penampakan (tajalli), kesempurnaan asma’ dan sifat-Nya.
Dalam tajalli ini, Tuhan memperkenalkan diri-Nya secara ilahiyyah di luar diri-Nya yang terhalang oleh ruang dan masa sebagai pancaran dari sifat-sifat-Nya, apa yang terpancar dari sifat dan asma’ itu berasal daripada ilmu Allah yang di namakan dengan 'a‘yan thabitah' (sesuatu yang tetap).
Jadi, pada martabat waḥidiyyah, keadaan dzat, sifat dan af‘al Allah itu bersifat mutlak, apabila zat yang mengada atau menjadi ada pada dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri (wujud lidhatih) itu menjadi kehendak tentang segala sesuatu yang muncul di dunia, kini maka ianya di sebut juga dengan 'a‘yan al-thabitah', yaitu suatu keadaan yang terletak di tengah-tengah antara realiti mutlak (Al-Haqq) dan dunia fenomena (Al-Khalq), dalam ini sebagai martabat huwiyyah, pada ketika itu Tuhan masih belum tampak dalam realiti, sebab sifat-sifat dan nama-nama Tuhan masih dalam bentuk daya atau potensial, juga pada martabat kedua, terlahir martabat waḥdah yang di kenal dengan nama martabat al-ta‘ayyun al-awwal, yang juga di kenal dengan nama Ḥaqiqah Al-Muḥammadiyyah.
Pada martabat ini pengetahuan tentang zat dan sifat-Nya dari segala yang ada masih bersifat umum (ijmali), dari martabat ini segala as’ma’ dan sifat-Nya yang ijmal itu masih terhimpun dalam hakikat
Muhammadiyyah atau di kenal juga dengan sebutan hakikat Nur Muhammad.
Hakikat tersebut merupakan asal-muasal segala sesuatu yang ada, martabat ini bersifat qadim, baqa’ dan azali, di kondisi ini martabat wahidiyyah di namakan dengan martabat al-ta‘ayyun al-thani. Pada tahap ini ilmu-Nya, sifat-Nya dan dzat-Nya, satu demi satu menjadi realiti di dalam alam empirikal, tetapi martabat ini masih dalam ilmu Allah yang qadim dan azali.
Tetapi ini bisa juga di namakan dengan hakikat insaniyyah, karena pada alam ini telah ada rancangan arti Al-A’yanal-Thabitah adalah idea mengenai sesuatu yang terdapat pada ilmu Tuhan, sifat dan zat-Nya, (idea-idea) sebelum sesuatu mewujud di dunia ini.
Inilah yang di namakan dengan Hakikat Muhammadiyah (bukan Nabi Muhammad Saw yang ada di Makkah dan Madinah secara zahir), penciptaan manusia, meskipun belum ada hubung kait dengan manusia, sebab belum ada apapun yang berlaku, artinya masih berupa ilmu.
Apabila martabat waḥdah itu wujud sifat dan asma’ Allah yang masih dalam bentuk yang ijmal belum terperinci, tetapi pada martabat Wahidiyyah ini sifat dan asma’munfalil ini telah terlahir Kalam yang Qadim.
Inilah yang di namakan dengan tajalli shuhudi, artinya sifat-Nya dan segala yang ada telah terperinci yang dapat membedakan setengah daripada yang lainnya, namun masih dalam alam ilmu Allah yang belum terlahir di alam nyata.
Dengan demikian ketiga-tiga martabat ini masih bersifat qadim, baqa’ dan azali, jadi tajalli Tuhan itu adalah melalui martabat aḥadiyyah dan waḥdah atau waḥidiyyah dan tajalli Tuhan atau pengenalan terhadap wujud Allah yang Esa ada pada martabat aḥadiyyah dan martabat huwiyyah.
Tajalli Tuhan ini di ketahui melalui 7 martabat (maqamat) dan menempatkannya pada tiga martabat, yaitu aḥadiyyah waḥdah atau waḥidiyah dengan dengan istilah la ta‘ayyun (tidak nyata).
Dan dua martabat pertama adalah martabat yang belum nyata secara empirikal, realiti masih dalam sesuatu yang tetap (al-a‘yan al-thabitah), tajalli Tuhan dalam 4 martabat berikutnya di namakan dengan a‘yin kharijiyyah, yaitu pengenalan Tuhan yang telah nyata.
Inilah konsep Tuhan yang di jelaskan oleh para sufi melalui tajalli.
Posting Komentar untuk "Pengertian Martabat Ahadiyah dan Wahidiyah"
Terimakasih atas kunjungan anda...