Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

PERNIK HUKUM BERKAITAN DENGAN TAUBAT

Di sini perlu saya sebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan taubat, yang perlu di jabarkan dan tidak boleh di abaikan oleh seseorang, di antaranya adalah : 

Pertama :
Bertaubat dari dosa, wajib di lakukan secara langsung, seketika itu pula dan tidak boleh di tunda-tunda, siapa yang menundanya, berarti dia telah durhaka karena penundaannya itu, apabila dia bertaubat dari dosa itu, maka dia harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya, yang seperti ini jarang di sadari orang yang bertaubat, biasanya, jika dia sudah bertaubat dari dosa tersebut, maka dia menganggap tidak perlu lagi bertaubat, padahal masih ada taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya, tidak ada yang menyelamatkan hal ini kecuali taubat yang bersifat umum, yaitu taubat dari dosa-dosa yang di ketahui maupun yang tidak di ketahui, sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak di ketahui hamba justru lebih banyak dari yang diketahuinya, karena dia tidak mengetahuinya, bukan berarti dia terbebas dari hukuman, kalau memang sebenarnya memungkinkan baginya untuk mengetahuinya, dengan begitu dia telah durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak ber-amal, sehingga kedurhakaannya semakin berlipat, di dalam Shahih Ibnu Hibban di sebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Syirik di dalam umatku ini lebih tersembunyi daripada rangkakan semut." Abu Bakar bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara untuk menyelamatkan diri darinya?" Beliau menjawab, "Hendaklah engkau mengucapkan,
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepadaMu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui."
Dalam sebuah hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, di sebutkan bahwa beliau berdo'a dalam shalatnya, yaitu : "Ya Allah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebih-lebihanku dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku kesungguhan dan sendagurauku, kelalaian dan kesengajaanku dan semua itu adapada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain Engkau." 

Kedua : 
Apakah taubat dari suatu dosa di anggap sah, sementara dosa yang lain masih tetap di lakukan? Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang keduanya di riwayatkan dari Al-Imam Ahmad, tapi tidak di temukan adanya perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma' tentang sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawy dan lainlainnya. Memang masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepastian untuk salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus di sertai dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah bahwa selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang berarti dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah sekalipun dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari kedurhakaan itu, maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun dia masih melakukan dosa lain.
 

Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam merupakan satu keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena kekuatan, pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak lebih  cenderung mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang mengikuti agama tuannya. Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada Allah, yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia masih terus melakukan dosa yang lain? Menurut mereka, Allah tidak akan menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan beribadah kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan ampunannya kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum di anggap sah.
 

Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa di pilah-pilah seperti
halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum di anggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam? Memang taubat itu bisa di pilah-pilah, sebagaimana cara pelaksanaannya yang berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat hukuman berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan di hukum berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia harus bertaubat dari dosa itu. Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang dimurkai Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diperbuat. Jika taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum di anggap sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah, melakukan sebagian di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain. Ada pula yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang khusus baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan dengan dosa lainnya, menurut pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak di anggap sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap di kerjakan, sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, sekalipun ada dosa lain yang tidak berkait dengannya masih tetap di laku
kan, contohnya, seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat dari dosa minum khamr atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari riba ini di anggap sah, tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak bertaubat dari riba nasi'ah atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak di anggap sah. Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia tetap berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat dari dosa tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya yang serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurhakaan ke kedurhakaan lain yang tidak serupa. 

Ketiga : 
Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang bertaubat untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah tidak ada syarat seperti itu? Sebagian orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa yang sama, jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya tidak sah, namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sahnya taubat tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menyesalinya dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalahannya menyangkut hak manusia, maka apakah di syaratkan pembebasan hak itu? Masalah ini harus dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melakukannya, padahal dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.
 

Permasalahan ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika seorang hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya kembali, maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi, sehingga dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan yang terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu? Dengan kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya? Ataukah dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?
 

Dalam hal ini ada dua pendapat, golongan pertama berpendapat, dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya di anggap batal, menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu menghapus segala dosa semasa kekufurannya, namun jika dia murtad, maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan di tambah dengan dosa murtad, hal ini seperti yang di sebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa Jahiliyah dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan yang terakhir." 
Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan setelah dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupakan keburukan yang paling besar dalam Islam, jika dia di hukum setelah murtad dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa berikutnya, masih menurut mereka, sahnya taubat ini di syaratkan dengan kelangsungannya, sesuatu yang di gantungkan kepada syarat akan di anggap musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang di syaratkan dengan kelangsungannya, jadi taubat merupakan keharusan sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. 

Hal ini di tunjukkan sebuah hadits shahih, yaitu sabda beliau Saw : "Sesungguh-nya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal penghuni syurga, sehingga jarak antara dirinya dan syurga itu hanya sejengkal, namun dia di dahului ketetapan takdir, sehingga dia mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam neraka." 
Dalam As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, "Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya, sehingga dia masuk neraka." Kesudahan yang buruk lebih umum dari sekedar kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu di ukur dari kesudahannya.
 

Apabila ada yang berkata, "Berarti kebaikan terhapus oleh keburukan", maka ini adalah pendapat golongan Mu'tazilah, sementara Al-Qur'an dan As-Sunnah memberitahukan bahwa kebaikanlah yang menghapus keburukan, bukan sebaliknya, seperti firman Allah, "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (Q.S. Hud : 114). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Mu'adz bin Jabal, "Bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapusnya dan gaulilah manusia dengan akhlak yang baik." 
Hal ini bisa di jelaskan, bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah telah memberitahukan timbangan terhadap kebaikan dan keburukan, sebagian isi Kitab Allah tidak akan bertentangan atau menggugurkan sebagian yang lain, dan Al-Qur'an tidak bisa di sanggah oleh pendapat golongan Mu'tazilah. Di dalam Al-Qur'an juga di sebutkan tentang amal yang bisa gugur karena perbuatan tertentu, seperti firman-Nya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)." (Q.S. Al-Baqarah : 264).
 

Jika sudah ada kejelasan tentang kaidah syari'at, bahwa sebagian keburukan itu ada yang bisa menggugurkan kebaikan, maka keburukan melakukan dosa kembali juga bisa menggugurkan kebaikan taubat, yang membuat taubat itu seakan-akan tidak pernah terjadi, dengan begitu tidak ada lagi pembatas di antara dua dosa itu, yaitu dosa pertama dan dosa yang di ulangi lagi.
 

Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma' sudah menjelaskan adanya timbangan. Faidahnya untuk mengetahui mana yang lebih berat timbangannya, sehingga pengaruhnya tertuju bagi yang lebih berat dan mengabaikan yang lebih ringan. Ibnu Mas'ud berkata, "Pada hari kiamat manusia akan di hisab, barangsiapa keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, walaupun hanya selisih satu saja, maka dia masuk neraka, barangsiapa kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, walaupun selisih satu saja, maka dia masuk syurga." Kemudian dia membaca ayat, "Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri." (Q.S. Al-A'raf : 8-9). Kemudian Ibnu Mas'ud berkata lagi, "Timbangan itu bisa menjadi ringan atau menjadi berat karena amal yang seberat biji-bijian. Barangsiapa kebaikan dan keburukannya sama, maka dia termasuk penghuni Al-A'raf (antara syurga dan neraka)."
 

Ini artinya, apakah yang kuat akan menghapus yang ringan, sehingga seakan-akan yang ringan itu seperti tidak pernah ada sama sekali atau kedua belah pihak cukup hanya dengan di timbang dan kesudahannya di berikan kepada bagian yang lebih berat? Jika kebaikannya lebih berat, apakah dia mendapat pahala dan tidak di siksa atas keburukan yang dia lakukan? Atau jika keburukannya lebih berat walau hanya selisih satu keburukan saja, apakah dia di lemparkan ke dalam neraka? Tentu saja semua ini harus di kembalikan kepada golongan yang melihat berlakunya alasan dan hikmah. Jika manusia selamat dari syirik umpamanya, yang merupakan dosa yang tidak di ampuni Allah, maka tidak ada amalnya yang sia-sia dan tidak ada pahalanya yang di kurangi. 

Timbangan atas kebaikan dan keburukannya kembali kepada pengaruh pensucian jiwa, karena masing-masing akan mendapatkan derajat sesuai dengan amalnya, sementara tidak ada yang bisa mengetahui kemantapan pensucian jiwa yang bisa menyelamatkan orang Mukmin dari siksa kecuali Allah semata, dengan jawaban ini, maka beberapa ayat yang menjelaskan masalah pahala, amal dan timbangan bisa di kompromikan, tapi gugurnya amal mempunyai tanda-tanda yang bisa di ketahui orang yang menghisab dirinya, sedangkan golongan Jabariyah yang tidak melihat berlakunya alasan, sebab dan hikmah, pahala dan siksa, menolak semua ini, karena semua perbuatan dan perkataan manusia menurut mereka ada di Tangan Allah, sementara mereka tidak tahu apa yang di kehendaki Allah, sehingga orang yang lebih banyak kebaikannya pun bisa mendapat siksa dan orang yang lebih banyak keburukannya pun bisa mendapat pahala, sedangkan golongan lain berpendapat bahwa dosa pertama tidak kembali kepada pelakunya karena taubatnya yang batal atau rusak, sebab dosa itu sudah di ampuni karena taubat, sehingga sama dengan sesuatu yang belum pernah di kerjakan dan tidak pernah terjadi, yang kembali kepadanya adalah dosa setelah taubatnya yang rusak dan bukan yang sebelumnya. Keabsahan taubatnya tidak disyaratkan dengan adanya kema'shuman dirinya dari kesalahan hingga akhir hayat, tapi jika dia menyesal, melepaskan diri dari dosa yang lalu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, maka dosanya itu di hapuskan. Jika kemudian dia mengulanginya lagi, maka dosanya terletak pada pengulangan itu. Hal ini tidak bisa disamakan dengan kufur yang menggugurkan semua amal. Kufur merupakan kondisi tersendiri yang menghapus semua kebaikan. Sementara mengulang kembali dosa yang sudah dimintakan taubat tidak menggugurkan kebaikan-kebaikan yang lampau. Taubat adalah kebaikan yang paling besar. Andaikan kebaikan ini terhapus oleh dosa yang di lakukan kembali, tentunya semua kebaikan yang lampau juga ikut terhapus. Tentu saja logika ini tidak bisa diterima, karena mirip dengan pendapat Khawarij yang menghapus semua dosa atau mirip dengan pendapat Mu'tazilah yang menganggap semua pelaku dosa besar berada di neraka selama-lamanya, sekalipun dia mempunyai sekian banyak kebaikan. Sementara dua golongan ini tertolak dalam Islam, karena pendapat-pendapat dua golongan ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan nash.  

Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang pun walau seberat dzarrah dan jika ada kebajikan seberat dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (Q.S. An-Nisa' : 40). Tentang keberlangsungan taubat, maka itu merupakan syarat kesempurnaannya, bukan merupakan syarat sahnya taubat untuk dosa yang telah lampau. Tidak demikian halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa selama sehari penuh dan bilangan-bilangan rakaat shalat, karena ini merupakan satu bentuk ibadah tersendiri, yang tidak bisa diterima kecuali dengan mengikuti semua rukun dan bagian-bagiannya yang sudah baku, tapi taubat merupakan ibadah yang bilangannya banyak, tergantung dari banyaknya dosa. Satu dosa mempunyai satu taubat secara khusus, perbandingannya, seseorang puasa Ramadhan. Pada suatu hari dia makan tanpa ada alasan yang diperbolehkan. Apakah hari batalnya puasa ini menggugurkan pahala hari-hari lain yang diisi dengan puasa? Apakah orang yang tidak berpuasa menghapuskan pahala shalat fardhu yang di kerjakannya? Inti permasalahan ini, bahwa taubat adalah suatu kebaikan sedangkan mengerjakan dosa kembali adalah suatu keburukan. Pengulangan dosa ini tidak membatalkan kebaikan. Ini lebih dekat dengan prinsip Ahlus-Sunnah, bahwa seseorang terkadang menjadi orang yang dicintai Allah dan juga di murkai-Nya, terkadang di dalam dirinya ada iman dan juga nifaq, iman dan juga kufur. 

Keempat :
Jika orang yang durhaka di halangi dari sebab-sebab kedurhakaan dan dia di buat tidak berdaya untuk melakukannya, maka apakah taubatnya di anggap sah? Gambarannya seperti pendusta, orang yang suka menuduh dan orang yang memberi kesaksian palsu, yang lidahnya di potong atau pezina yang kemaluannya di kebiri atau pencuri yang tangan dan kakinya di lumpuhkan.
 

Ada dua pendapat tentang hal ini, golongan pertama berpendapat, bahwa taubatnya di anggap tidak sah, sebab taubat itu hanya berlaku bagi orang yang memungkinkan untuk melakukan sesuatu dan meninggalkannya. Taubat hanya dari orang yang memungkinkan untuk berbuat dan bukan dari orang yang mustahil berbuat. Jangan menggambarkan taubat dari orang yang bisa memindahkan sebuah gunung dari tempat-nya, mampu mengeringkan lautan dan lain-lainnya, karena mereka yang di gambarkan ini layaknya orang yang di paksa untuk meninggalkan suatu perbuatan, sehingga taubatnya dianggap tidak sah, beberapa nash juga telah menjelaskan bahwa taubat pada saat menjelang ajal tidak berguna sama sekali, karena itu merupakan taubat dalam keadaan terpaksa dan terdesak, bukan atas kesukaan hati. Firman Allah : "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang di terima Allah taubatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana dan tidaklah taubat itu di terima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejaliatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". Dan, tidak pula (di terima taubat) orang-orang yang mati, sedang mereka dalam kekufuran." (Q.S. An-Nisa' : 17-18).
 

Kejahilan di sini adalah kejahilan amal sekalipun mengetahui keharamannya. Qatadah berkata, "Para shahabat sepakat bahwa apa pun bentuk kedurhakaan terhadap Allah adalah kejahilan, sengaja maupun tidak di sengaja dan setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang jahil." Sedangkan taubat dengan segera dalam ayat ini menurut Jumhur mufassirin adalah taubat sebelum melihat kedatangan malaikat yang akan mencabut nyawanya, di dalam Al-Musnad dan lainnya, dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ajal belum menghampirinya." Selagi ajal sudah di depan mata, lalu dia menyatakan taubat, maka taubatnya itu tidak di terima, karena ini merupakan taubat yang terpaksa. Di samping itu, hakikat taubat adalah menahan hati dari perbuatan yang berkaitan dengan larangan. Menahan di sini harus berasal dari urusan yang memang bisa di kerjakan, tapi untuk sesuatu yang mustahil bisa di kerjakan, maka bagaimana mungkin menahan hati darinya? 

Pendapat kedua dan sepertinya ini yang benar, bahwa taubatnya tetap sah dan di anggap mungkin, bahkan nyata, sebab rukun-rukun taubat sudah terpenuhi di dalamnya, yang bisa di lakukan dalam hal ini adalah penyesalan. Di dalam Musnad di sebutkan secara marfu', "Penyesalan itu sama dengan taubat." Bagaimana mungkin taubat di cabut darinya, padahal dia sangat menyesali dosanya? Apalagi jika penyesalan ini disertai dengan tangis, kesedihan, ketakutan dan tekad yang bulat, dengan di sertai niat, bahwa jika dia dalam keadaan sehat dan mampu, tidak akan mengerjakannya lagi.
 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menempatkan orang yang tidak mampu melakukan suatu ketaatan, sama dengan orang yang melakukannya, yaitu jika niatnya benar dan bulat. Beliau bersabda, "Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang. Tidaklah kalian melewati suatu jalan dan tidaklah kalian melintasi suatu lembah, melainkan mereka beserta kalian." Para shahabat bertanya, "Sementara mereka ada di Madinah?" Beliau menjawab, "Ya, mereka berada di Madinah. Mereka tertahan halangan."
 

Orang yang memang tak mampu melakukan kedurhakaan dan meninggalkannya dalam keadaan terpaksa, dengan di sertai niat untuk meninggalkannya atas inisiatif hatinya, maka kedudukannya sama dengan orang yang meninggalkannya secara sengaja dan atas inisiatif hatinya. Perbedaan keadaan ini dengan orang yang melihat ajal di depan matanya atau ketika kiamat sudah tiba, bahwa taklif (keharusan mengerjakan kewajiban) sudah terputus pada saat ajal di depan mata, taubat berlaku hanya pada masa taklif, orang yang lemah itu belum  terputus dari taklif, berarti perintah dan larangan masih berlaku bagi dirinya. 

Kelima : 
Jika dosa yang di lakukan berkaitan dengan hak orang lain, yang berkaitan dengan hak harta atau tindak kejahatan terhadap badan, maka dia harus memenuhi hak orang itu dan meminta pembebasan diri dari kesalahan setelah memberitahukannya, seperti yang di riwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Barangsiapa berbuat zhalim terhadap harta atau kehormatan saudaranya, maka hendaklah dia membebaskan dirinya (dengan membayar tebusan) pada hari ini pula, sebelum (datang hari di mana) dinar dan dirham tidak ada artinya, selain kebaikan dan keburukan." Jika kezhaliman itu berupa ghibah, cacian atau tuduhan, maka apakah dalam taubatnya itu di syaratkan agar dia memberitahukan bentuk ghibahnya itu dan meminta ampunannya agar dia terbebas dari dosa itu? Ataukah dia cukup memberitahukan bahwa dia telah melanggar kehormatannya dan tidak perlu menyebutkan bentuknya secara rinci? Ataukah tidak ada syarat seperti dua gambaran ini, tapi dia cukup meminta ampunan bagi dosa saudaranya dan dosa dirinya, tanpa memberitahukan bahwa dia telah menuduh atau mengghibahnya? Pendapat yang di kenal di dalam madzhab Asy-Syafi'y dan Abu Hanifah serta Malik, di syaratkan memberitahukannya dan pembebasan dirinya. Begitu pula yang di sebutkan rekan-rekan mereka di dalam buku-bukunya, mereka berhujjah, bahwa dosa itu berkaitan dengan hak manusia, sehingga belum dianggap gugur kecuali setelah ada pembebasan darinya, mereka berhujjah dengan hadits di atas, masih menurut mereka, bahwa kejahatan ini berkaitan dengan dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia.
 

Meminta kebebasan kejahatannya dari orang yang di jahati untuk memenuhi haknya, dan penyesalan atas kejahatannya untuk memenuhi hak Allah, maka dari itu taubatnya seorang pembunuh belum di anggap sempurna kecuali adanya ketetapan dari wali korban terhadap nasib dirinya, jika menghendaki, wali korban bisa menuntut balas darah dengan pelaksanaan qishash dan jika menghendaki bisa memaafkan-nya. Begitu pula taubatnya orang yang memotong tangan orang lain. Pendapat lain, bahwa tidak ada syarat untuk memberitahukan tuduhan dan ghibahnya kepada orang yang di ghibah, tapi taubatnya cukup dengan memohon ampunan kepada Allah bagi dosanya, lalu dia harus membela orang yang di ghibahnya dan mengatakan kebalikan dari ghibahnya di tempat-tempat di mana dia telah mengghibah, sebagai contoh, dia mengganti ghibahnya dengan pujian dan menyebut kebaikan kebaikannya, lalu memintakan ampunan bagi orang yang di ghibahnya itu. Pendapat ini juga merupakan pilihan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah. Golongan ini berhujjah, karena dengan memberitahukan ghibahnya justru hanya akan mendatangkan kerusakan, sama sekali tidak menjamin adanya kemaslahatan, semakin menambah sakit hati dan suasana menjadi keruh, padahal hatinya tenang sebelum mendengar pemberitahuannya, bahkan setelah mendengarnya, ada kemungkinan dia tidak mampu menguasai diri lalu bisa menimbulkan tindak kekerasan terhadap fisik atau bahkan pembunuhan, hal ini tentu berlawanan dengan maksud pembawa syari'at yang hendak menyatukan hati manusia, agar mereka saling menyayangi, mencintai dan mengasihi, memang hal ini berbeda dengan hak-hak material dan tindak kejahatan fisik, yang bisa di lihat dari dua pertimbangan :
 

1. Korban bisa memanfaatkan harta, jika harta itu di kembalikan kepadanya dan hal ini juga tidak boleh ditutup-tutupi, karena harta itu mutlak menjadi miliknya, sehingga orang yang mengambilnya harus mengembalikannya, berbeda dengan ghibah dan tuduhan, yang sama sekali tidak ada manfaat secara langsung yang bisa di nikmati korban, akibatnya hanya akan menambah sakit hati.
 

2. Jika orang yang mengambil harta orang lain memberitahukan perbuatannya, tidak akan menyakiti hati korban, tidak memancing amarahnya atau menimbulkan permusuhan, bahkan sebaliknya, akan membuatnya senang dan gembira, hal ini berbeda dengan pemberitahuan pelaku, bahwa dia telah mengoyak kehormatannya, mengghibah dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan, kalaupun dua hal ini di bandingkan, maka ini merupakan perbandingan yang tidak setara dan rusak. 

Keenam : 
Jika seorang hamba sudah bertaubat dari suatu dosa, maka apakah keadaannya kembali ke derajat sebelum dia melakukan dosa itu ataukah tidak bisa kembali seperti semula? Ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini, ada yang berpendapat, dia kembali ke derajatnya semula, karena taubat itu memangkas dosanya secara keseluruhan dan menjadikan dirinya seakan-akan dosa itu tidak pernah ada, maka iman dan amal shalihnya kembali ke derajat semula karena taubat, alasannya menurut mereka, karena taubat itu kebaikan yang besar dan amal yang shalih, jika dosa pernah menyingkirkan dirinya dari derajatnya semula, maka kebaikan-nya dengan bertaubat itu telah mengembalikan derajatnya. Hal ini seperti orang yang jatuh ke dalam sumur, lalu saudara kandungnya menjulurkan tali ke dalam sumur dan menariknya ke atas, ke tempatnya semula, begitu pula taubat dan amal shalih yang bisa di ibaratkan saudara se-kandung dan pasangan yang serasi.
 

Ada pula yang berpendapat, dia tidak bisa kembali ke derajat dan keadaannya semula sebelum melakukan dosa, karena dia masih dalam posisi berhenti, yang semestinya dia naik ke atas. Dengan adanya dosa, berarti dia dalam posisi turun ke bawah. Jika bertaubat, maka dia dalam posisi siap naik ke atas lagi. Perumpamaan keadaan ini seperti dua orang yang sama-sama melewati satu jalan dengan cara yang sama dan berjejer. Salah seorang ada penghalang atau ada sesuatu yang membuatnya menghentikan perjalanan, sementara satunya lagi meneruskan perjalanan. Jika orang pertama berjalan lagi mengikuti jejak temannya, tentu dia tidak akan mampu menyusulnya. Orang pertama berjalan dengan kekuatan amal dan imannya, kekuatannya semakin bertambah selagi perjalanannya terus bertambah, sementara orang kedua yang menghentikan perjalanan, kekuatannya bisa melemah karena dia berhenti. 

Ibnu Taimiyah mengisahkan perbedaan ini dan dia berkata, "Yang benar, di antara orang-orang yang bertaubat ada yang tidak bisa kembali ke derajatnya semula, ada pula yang bisa kembali ke derajatnya semula dan ada pula yang justru kembali ke derajat yang lebih tinggi lagi, sehingga dia menjadi lebih baik daripada keadaan-nya sebelum melakukan dosa, seperti halnya Nabi Daud As yang menjadi lebih baik dari keadaan beliau sebelum melakukan kesalahan, setelah bertaubat, tentu saja hal ini kembali ke keadaan orang yang bertaubat setelah dia menyatakan taubat, kesungguhan, tekad dan kewaspadaannya, jika taubatnya lebih sungguh-sungguh dan keadaannya lebih baik, maka dia menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya dan derajatnya lebih tinggi, jika keadaannya sama dengan sebelumnya, berarti derajatnya juga sama."

Posting Komentar untuk "PERNIK HUKUM BERKAITAN DENGAN TAUBAT"