SEPUTAR I'TIKAF
Sebagai amalan tambahan bagi seseorang hamba untuk dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah salah satunya dengan beri’tikaf, I’tikaf dalam arti secara tata bahasa adalah menetap atau diam pada suatu tempat tertentu atau secara bahasa yang ringan ialah menetap pada sesuatu, yang mana kalau secara syariat adalah menetap di masjid dengan suatu tata cara khusus di sertai dengan niat I’tikaf itu sendiri.
Hukum mengenai I’tikaf ini adalah menurut para ulama merupakan sunnah dan bukan wajib kecuali jika seseorang ada yang melakukan nadzar atau niat untuk melaksanakan ibadah I’tikaf ini, maka bagi seseorang tersebut wajib untuk melaksanakan I’tikaf karena sudah di nadzarkan, dan nadzar harus atau wajib di bayar atau di laksanakan, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi : Ibnu Umar Ra mengatakan bahwa Umar bertanya kepada Nabi Saw dan berkata, "(Wahai Rasulullah! Pada zaman jahiliyah dulu, saya bernazar untuk beri'tikaf semalam di Masjidil Haram." Beliau bersabda, "Penuhilah nazarmu." Lalu Umar beri'tikaf semalam. (H.R Bukhari).
Berikut beberapa dalil tentang I’tikaf :
Abdullah bin Umar Ra berkata, "Rasulullah biasa melakukan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan." (H.R Bukhari).
Aisyah Ra (istri Nabi Saw) mengatakan bahwa Nabi Saw selalu beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau.” (H.R Bukhari).
Hadis riwayat Aisyah Ra, ia berkata : “Adalah Rasulullah Saw jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (untuk beribadah), membangunkan istri - istrinya, bersungguh - sungguh (dalam ibadah) dan menjauhi istri.” (H.R Muslim).
Hadis riwayat Aisyah Ra, ia berkata : “Adalah Rasulullah Saw, beliau bersungguh – sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, tidak seperti pada hari lainnya.” (H.R Muslim).
Pada bulan Ramadhan waktu I’tikaf ini ada yang lebih afdhal, yaitu pada akhir – akhir Ramadhan atau 10 hari akhir bulan Ramadhan, sebagaimana riwayat hadist di atas.
Macam-macam i’tikaf :
- I’tikaf wajib, yaitu apabila seseorang mewajibkan atas dirinya untuk melakukannya dengan sebab nadzar atau dia berniat untuk I’tikaf atas dasar sesuatu keperluan.
- I’tikaf sunnah, yaitu apabila seorang muslim melaksanakannya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah Swt dan meneladani ibadah tambahan atau kegiatan Rasulullah Saw dalam beribadah kepada Allah Swt, pelaksanaannya adalah pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, ini yang di syariatkan, tetapi jika I’tikaf dalam rangka nadzar atau niat, maka sebaiknya lakukan juga pada bulan Ramadhan atau pada bulan syawal, karena Rasulullah Saw pernah juga melaksanakan I’tikaf pada bulan syawal sesuai dengan hadist berikut : ”Nabi pernah beri’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawwal.” (Muttafaq ’alaihi).
I’tikaf pelaksanaannya adalah di masjid, hal ini ada dasarnya dalam Al-Qur’an, yaitu :
Artinya : “Di halalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri - isteri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu, maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah di tetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf [1] dalam mesjid, itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya, demikianlah Allah menerangkan ayat - ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (Q.S Al-Baqarah 187).
[1] I'tikaf ialah berada dalam masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah Saw dan berikut istri - istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah mereka melaksanakannya di rumah, sedangkan masjid untuk I’tikaf boleh di mana saja dan tidak di tetapkan harus di masjid pada daerah di mana ia tinggal (berdomisili), karena sudah jelas pada ayat di atas adalah I’tikaf tempatnya di masjid dan bukan di tentukan masjidnya secara khusus sebab pengertian masjid adalah suatu bangunan telah di laksanakan shalat lima wajib waktu berjama’ah, tetapi lebih baik lagi jika masjid tersebut juga rutin menyelenggarakan ibadah shalat jum’at, sebab jika tidak maka seseorang yang beri’tikaf tentu keluar dari masjid tersebut untuk menuju shalat jum’at pada masjid lainnya, jadi hal ini bertentangan ibadah I’tikaf itu sendiri yang mana aturannya adalah menetap di suatu masjid karena ia sedang I’tikaf, nah jika dia terus menerus keluar dari tempat i’tikaf untuk menuju jama’ah shalat jum’at tentu sudah ia keluar dari masjid tempat ia I’tikaf, padahal seperti ini bisa saja di hindari jika masjid tempat ia I’tikaf tersebut mendirikan shalat jum’at, jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak I’tikaf, padahal maksud I’tikaf adalah untuk menetap di suatu masjid dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah Swt.
Ibadah I’tikaf ini boleh juga bagi wanita sesuai dengan riwayat hadist sebagai berikut dari Yahya bin Sa’id Ra, ia berkata : “Nabi Saw mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf, ‘Aisyah Ra berkata,“Rasulullah Saw biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata : Kemudian ‘Aisyah Ra meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”
Dari ‘Aisyah, ia berkata,“Nabi Saw beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri - isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”
Bagi wanita boleh beri’tikaf di masjid, tetapi ada syaratnya, yaitu :
1. Meminta izin suami, jika telah bersuami dan minta izin orang tua atau wali jika belum bersuami.
2. Tidak menimbulkan fitnah, wanita yang beri’tikaf harus benar - benar menutup dan menjaga auratnya dengan sempurna dan juga tidak memakai wangi - wangian.
Mengenai i’tikaf para ulama berselisih pendapat, karena tidak ada batasan waktu maksimalnya, namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk di katakan sudah beri’tikaf, sebagian ulama ada yang mensyaratkan i’tikaf harus di sertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah satu hari, sedangkan ulama lainnya mengatakan boleh kurang dari satu hari, namun tetap di syaratkan dengan berpuasa.
Imam Maliki mensyaratkan minimal sepuluh hari, sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal di katakannya telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa di persyaratkan harus duduk.
Menyikapi masalah ini, i’tikaf tidak di syaratkan untuk berpuasa, hanya di sunnahkan, karena menurut ulama secara mayoritas, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari, Al-Mardawi Ra mengatakan, “Waktu minimal untuk I’tikaf adalah di katakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak, maka adalah selama ia berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Menurut kami jika terjadi selisih dalam masalah ini, maka alangkah baiknya mengikuti saja pada sunnah Rasulullah Saw di atas dalam beri’tikaf, yaitu waktunya adalah sepuluh hari, jadi di sini tidak lagi timbul keraguan padanya untuk melaksanakan ibadah ini.
I’tikaf ini batal apabila :
Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah atau darurat yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri, sesuai dengan ayat Al-Qur’an di atas Surah Al-Baqarah Ayat 187.
Apa yang boleh waktu I’tikaf :
Waktu mulai masuk dan keluar masjid untuk I’tikaf
Jika akan beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Namun sebagian para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Bulan Ramadhan, di katakan bahwa yang namanya 10 hari yang di maksudkan adalah jumlah bilangan malam jadi seharusnya di mulai dari awal malam, demikian sebagian dari pendapat para ulama madzhab, sedangkan Rasulullah Saw memulainya setelah selesai shalat subuh dan ia langsung masuk kepada tempat I’tikafnya.
Adab dalam dan sewaktu I’tikaf
Hendaknya seseorang ketika beri’tikaf, ia mestinya menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengaji Al-Qur’an dan mengkaji hadits, makruh bila seseorang I’tikaf menyibukkan diri dengan perkataan (berbicara) dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Syarat – syarat untuk I’tikaf :
1. Mumayyiz (berakal dan baligh)
2. Suci dari janabat
3. Bebas dari haidh dan nifas
4. Tidak mabuk atau gila
Rukun I’tikaf :
1. Menetap di masjid dengan niat I’tikaf serta mendekatkan diri kepada Allah Swt dan mengharapkan keridhaanNya
2. Seseorang yang beri’tikaf, ia harus makan, minum dan tidur di Masjid dengan tetap harus menjaga kebersihan masjid.
Demikianlah mengenai I’tikaf dan hendaknya selalu di perhatikan dalam I’tikaf jangan malas dan banyak tidur, tetapi perbanyaklah berdzikir, membaca Al-Qur’an memahami dan belajar ilmu agama seperti hadist dan lain sebagainya, banyak mendirikan shalat sunnah, seperti sunnah wudhu’, sunnah hajat, sunnah tahajjud, witir dan shalat sunnah lainnya yang dapat membuat dan menambah kedekatan seseorang hamba dengan Allah Swt, agar dapat limpahan rahmat, rahim, hidayah dan keridhaanNya, amiin.
Hukum mengenai I’tikaf ini adalah menurut para ulama merupakan sunnah dan bukan wajib kecuali jika seseorang ada yang melakukan nadzar atau niat untuk melaksanakan ibadah I’tikaf ini, maka bagi seseorang tersebut wajib untuk melaksanakan I’tikaf karena sudah di nadzarkan, dan nadzar harus atau wajib di bayar atau di laksanakan, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang berbunyi : Ibnu Umar Ra mengatakan bahwa Umar bertanya kepada Nabi Saw dan berkata, "(Wahai Rasulullah! Pada zaman jahiliyah dulu, saya bernazar untuk beri'tikaf semalam di Masjidil Haram." Beliau bersabda, "Penuhilah nazarmu." Lalu Umar beri'tikaf semalam. (H.R Bukhari).
Berikut beberapa dalil tentang I’tikaf :
Abdullah bin Umar Ra berkata, "Rasulullah biasa melakukan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan." (H.R Bukhari).
Aisyah Ra (istri Nabi Saw) mengatakan bahwa Nabi Saw selalu beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau.” (H.R Bukhari).
Hadis riwayat Aisyah Ra, ia berkata : “Adalah Rasulullah Saw jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (untuk beribadah), membangunkan istri - istrinya, bersungguh - sungguh (dalam ibadah) dan menjauhi istri.” (H.R Muslim).
Hadis riwayat Aisyah Ra, ia berkata : “Adalah Rasulullah Saw, beliau bersungguh – sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, tidak seperti pada hari lainnya.” (H.R Muslim).
Pada bulan Ramadhan waktu I’tikaf ini ada yang lebih afdhal, yaitu pada akhir – akhir Ramadhan atau 10 hari akhir bulan Ramadhan, sebagaimana riwayat hadist di atas.
Macam-macam i’tikaf :
- I’tikaf wajib, yaitu apabila seseorang mewajibkan atas dirinya untuk melakukannya dengan sebab nadzar atau dia berniat untuk I’tikaf atas dasar sesuatu keperluan.
- I’tikaf sunnah, yaitu apabila seorang muslim melaksanakannya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah Swt dan meneladani ibadah tambahan atau kegiatan Rasulullah Saw dalam beribadah kepada Allah Swt, pelaksanaannya adalah pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, ini yang di syariatkan, tetapi jika I’tikaf dalam rangka nadzar atau niat, maka sebaiknya lakukan juga pada bulan Ramadhan atau pada bulan syawal, karena Rasulullah Saw pernah juga melaksanakan I’tikaf pada bulan syawal sesuai dengan hadist berikut : ”Nabi pernah beri’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawwal.” (Muttafaq ’alaihi).
I’tikaf pelaksanaannya adalah di masjid, hal ini ada dasarnya dalam Al-Qur’an, yaitu :
Artinya : “Di halalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri - isteri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu, maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah di tetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf [1] dalam mesjid, itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya, demikianlah Allah menerangkan ayat - ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (Q.S Al-Baqarah 187).
[1] I'tikaf ialah berada dalam masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah Saw dan berikut istri - istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah mereka melaksanakannya di rumah, sedangkan masjid untuk I’tikaf boleh di mana saja dan tidak di tetapkan harus di masjid pada daerah di mana ia tinggal (berdomisili), karena sudah jelas pada ayat di atas adalah I’tikaf tempatnya di masjid dan bukan di tentukan masjidnya secara khusus sebab pengertian masjid adalah suatu bangunan telah di laksanakan shalat lima wajib waktu berjama’ah, tetapi lebih baik lagi jika masjid tersebut juga rutin menyelenggarakan ibadah shalat jum’at, sebab jika tidak maka seseorang yang beri’tikaf tentu keluar dari masjid tersebut untuk menuju shalat jum’at pada masjid lainnya, jadi hal ini bertentangan ibadah I’tikaf itu sendiri yang mana aturannya adalah menetap di suatu masjid karena ia sedang I’tikaf, nah jika dia terus menerus keluar dari tempat i’tikaf untuk menuju jama’ah shalat jum’at tentu sudah ia keluar dari masjid tempat ia I’tikaf, padahal seperti ini bisa saja di hindari jika masjid tempat ia I’tikaf tersebut mendirikan shalat jum’at, jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak I’tikaf, padahal maksud I’tikaf adalah untuk menetap di suatu masjid dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah Swt.
Ibadah I’tikaf ini boleh juga bagi wanita sesuai dengan riwayat hadist sebagai berikut dari Yahya bin Sa’id Ra, ia berkata : “Nabi Saw mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf, ‘Aisyah Ra berkata,“Rasulullah Saw biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata : Kemudian ‘Aisyah Ra meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”
Dari ‘Aisyah, ia berkata,“Nabi Saw beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri - isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”
Bagi wanita boleh beri’tikaf di masjid, tetapi ada syaratnya, yaitu :
1. Meminta izin suami, jika telah bersuami dan minta izin orang tua atau wali jika belum bersuami.
2. Tidak menimbulkan fitnah, wanita yang beri’tikaf harus benar - benar menutup dan menjaga auratnya dengan sempurna dan juga tidak memakai wangi - wangian.
Mengenai i’tikaf para ulama berselisih pendapat, karena tidak ada batasan waktu maksimalnya, namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk di katakan sudah beri’tikaf, sebagian ulama ada yang mensyaratkan i’tikaf harus di sertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah satu hari, sedangkan ulama lainnya mengatakan boleh kurang dari satu hari, namun tetap di syaratkan dengan berpuasa.
Imam Maliki mensyaratkan minimal sepuluh hari, sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal di katakannya telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa di persyaratkan harus duduk.
Menyikapi masalah ini, i’tikaf tidak di syaratkan untuk berpuasa, hanya di sunnahkan, karena menurut ulama secara mayoritas, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari, Al-Mardawi Ra mengatakan, “Waktu minimal untuk I’tikaf adalah di katakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak, maka adalah selama ia berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”
Menurut kami jika terjadi selisih dalam masalah ini, maka alangkah baiknya mengikuti saja pada sunnah Rasulullah Saw di atas dalam beri’tikaf, yaitu waktunya adalah sepuluh hari, jadi di sini tidak lagi timbul keraguan padanya untuk melaksanakan ibadah ini.
I’tikaf ini batal apabila :
Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah atau darurat yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri, sesuai dengan ayat Al-Qur’an di atas Surah Al-Baqarah Ayat 187.
Apa yang boleh waktu I’tikaf :
- Keluar dari masjid di sebabkan ada keperluan atau hajat yang harus di tunaikan, seperti makan, minum, dan lain sebagainya yang tidak boleh di lakukan di masjid.
- Mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap - cakap dengan orang lain, tapi hal ini hukumnya mubah.
- Saling mengunjungi suami atau isteri yang beri’tikaf dan berdua - duaan dengannya.
- Mandi dan berwudhu’ di masjid.
- Menyisir rambut, mencukur rambut, menggunting kuku, membersihkan badan (mandi) dan mengganti atau mencuci pakaian.
Waktu mulai masuk dan keluar masjid untuk I’tikaf
Jika akan beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Namun sebagian para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Bulan Ramadhan, di katakan bahwa yang namanya 10 hari yang di maksudkan adalah jumlah bilangan malam jadi seharusnya di mulai dari awal malam, demikian sebagian dari pendapat para ulama madzhab, sedangkan Rasulullah Saw memulainya setelah selesai shalat subuh dan ia langsung masuk kepada tempat I’tikafnya.
Adab dalam dan sewaktu I’tikaf
Hendaknya seseorang ketika beri’tikaf, ia mestinya menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengaji Al-Qur’an dan mengkaji hadits, makruh bila seseorang I’tikaf menyibukkan diri dengan perkataan (berbicara) dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Syarat – syarat untuk I’tikaf :
1. Mumayyiz (berakal dan baligh)
2. Suci dari janabat
3. Bebas dari haidh dan nifas
4. Tidak mabuk atau gila
Rukun I’tikaf :
1. Menetap di masjid dengan niat I’tikaf serta mendekatkan diri kepada Allah Swt dan mengharapkan keridhaanNya
2. Seseorang yang beri’tikaf, ia harus makan, minum dan tidur di Masjid dengan tetap harus menjaga kebersihan masjid.
Demikianlah mengenai I’tikaf dan hendaknya selalu di perhatikan dalam I’tikaf jangan malas dan banyak tidur, tetapi perbanyaklah berdzikir, membaca Al-Qur’an memahami dan belajar ilmu agama seperti hadist dan lain sebagainya, banyak mendirikan shalat sunnah, seperti sunnah wudhu’, sunnah hajat, sunnah tahajjud, witir dan shalat sunnah lainnya yang dapat membuat dan menambah kedekatan seseorang hamba dengan Allah Swt, agar dapat limpahan rahmat, rahim, hidayah dan keridhaanNya, amiin.
Posting Komentar untuk "SEPUTAR I'TIKAF"
Terimakasih atas kunjungan anda...