Jual Beli Dengan Orang Beda Agama
Dalam kehidupan bermasyarakat di negara ini, tentunya seorang muslim hidup dengan beragam manusia yang berbeda agama. Tentu saja tidak bisa disamakan sikap kita kepada orang kafir (non Muslim) dengan sikap kita kepada sesama Muslimin, karena hal ini menyangkut Aqidah Al-Wala' dan Al-Bara'.
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan sebuah kaedah dengan menyatakan: Pada asalnya semua muamalah yang dibutuhkan manusia tidak diharamkan atas mereka, kecuali ada petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah yang mengharamkannya.
Sebagaimana tidak disyariatkan sebuah ibadah yang dilakukan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah, kecuali ada petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah yang mensyariatkannya. Karena agama adalah semua yang disyariatkan Allah, dan yang haram adalah yang Allah haramkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمو الله pernah ditanya tentang bermuamalah dengan bangsa Tatar. Beliau menjawab: Diperbolehkan padanya seperti diperbolehkannya bermuamalah dengan orang kafir seperti mereka, dan diharamkan padanya apa yang diharamkan dalam hal bermuamalah denga orang kafir seperti mereka. Sehingga seorang Muslim diperbolehkan membeli hewan ternak dan kuda mereka serta yang lainnya sebagaimana diperbolehkan membeli hewan ternak orang-orang Arab Badui, Turkman dan Kurdi. Dan diperbolehkan menjual kepada mereka barang berupa makanan, pakaian dan sejenisnya, yang biasa dijual kepada orang kafir semisal mereka.
Adapun apabila menjual kepada mereka atau kepada selain mereka sesuatu yang membantu mereka dalam melakukan hal-hal terlarang, seperti menjual kuda dan senjata pada orang yang menggunakannya untuk perang yang terlarang, maka ini tidak boleh. Allah berfirman yang artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Q.S. Al-Maidah/5:2).
Apabila ada pada mereka atau selain mereka harta yang diketahui hasil dari rampasan mereka dari orang yang tidak boleh dirampas hartanya, maka tidak diperbolehkan membelinya dalam rangka untuk memilikinya. Tapi bila membelinya untuk menyelamatkan harta tersebut agar digunakan pada hal-hal yang sesuai syariat, maka dikembalikan kepada pemiliknya bila memungkinkan, kalau tidak memungkinkan digunakan untuk maslahat kaum muslimin, maka hal itu diperbolehkan. Apabila diketahui sebagian harta mereka ada yang terlarang namun tidak diketahui barangnya, maka tidak diharamkan muamalahnya dalam hal tersebut, sebagaimana apabila diketahui ada di pasar-pasar barang-barang rampasan dan curian namun tidak diketahui jelas barangnya. (Al-Masail al-Mardiniyyah hlm. 132-133 dengan Tahqiq Asy-Syawisi, cetakan ketiga tahun 1299 H.).
Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Al-Buyu' Bab Asy-Syira wal bai' ma'al Musyrikin wa ahli al-Harb dari Abdurrahman bin Abi Bakr beliau berkata: "Kami bersama Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian datanglah seorang musyrik yang tinggi (posturnya) menggiring kambing." Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Silahkan dijual atau diberikan? Atau berkata: atau dihadiahkan. Maka ia menjawab: "Tidak. Tapi 'dijual. Maka beliau صلى الله عليه وسلم membeli darinya seekor kambing. (Shahih Al-Bukhari 4/410 No. 2216).
Ibnu Bathal رحمو الله berkata: Muamalah (bergaul) dengan orang kafir diperbolehkan kecuali jual beli sesuatu yang digunakan membantu orang kafir yang memerangi kaum Muslimin. (Fathul Bari 4/410).
Demikian juga ada riwayat shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang membeli tiga puluh wasaq gandum dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju besi beliau, seperti yang diriwayatkan Al-Bukhari رحمو الله dari A'isyah ,رضي الله عنها beliau berkata: "Sungguh Nabi صلى الله عليه وسلم membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan orang Yahudi mengambil baju besi beliau sebagai gadai jaminannya." (H.R. Al-Bukhari).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمو الله berkata: "Apabila seorang bepergian ke negeri kafir harbi untuk membeli barang darinya maka itu diperbolehkan menurut pendapat kami, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits perniagaan Abu Bakr di masa hidup Rasulullah صلى الله عليه وسلم ke negeri Syam. Sedangkan negeri Syam ketika itu adalah negari kafir harbi dan juga hadits-hadits lainnya."
Adapun seorang Muslim menjual atau menghadiahkan kepada mereka di hari-hari raya mereka barang yang digunakan dalam hari raya mereka, baik berupa makanan, pakaian, parfum atau sejenisnya, maka ini mengandung unsur membantu memeriahkan hari raya mereka yang terlarang. Dan ini kembali kepada dasar Tidak boleh menjual kepada orang kafir anggur atau perasannya yang dijadikan sebagai khamr. Demikian juga tidak boleh menjual kepada mereka senjata yang digunakan untuk memerangi kaum muslimin. (Iqtidhaus Shiratil Mustaqim hlm. 229).
Kesimpulannya jual-beli dengan orang kafir pada asalnya diperbolehkan selama tidak mendukung kepada hal-hal yang terlarang. Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta') pernah ditanya: Bagaimana hukumnya meninggalkan kerjasama di antara kaum Muslimin, yakni dengan tidak ridha dan tidak suka membeli dagangan dari kaum Muslimin tetapi suka membeli barang dari toko toko orang kafir, apakah hal seperti itu sebagai suatu yang halal atau haram?
Jawaban:
Ketetapan asal hukum, membolehkan seorang muslim membeli semua yang dibutuhkannya dari semua yang dihalalkan oleh Allah, baik dari orang muslim maupun orang kafir. Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri pernah membeli dari orang Yahudi. Tetapi jika keengganan seorang muslim untuk membeli dari orang muslim lainnya tanpa ada sebab; baik itu dalam bentuk kecurangan, mahalnya harga, buruknya barang, yang membuatnya lebih suka membeli dari orang kafir serta lebih mengutamakannya atas orang muslim tanpa alasan yang benar, maka yang demikian itu jelas haram.
Sebab, yang demikian itu termasuk bentuk loyalitas kepada orang-orang kafir, meridhai dan juga mencintai mereka. Selain itu, karena hal tersebut dapat melemahkan perdagangan kaum muslimin dan merusak barang dagangan mereka serta tidak juga membuatnya laris, jika seorang muslim menjadikan hal-hal itu menjadi kebiasaannya.
Adapun jika sebab-sebab yang menjadikannya berpaling seperti tersebut di atas, maka hendaklah dia menasihati saudaranya (pedagang) itu dengan memperbaiki kekurangannya tersebut. Apabila dia mau menerima nasihat tersebut, maka Alhamdulillah, dan jika tidak maka dia boleh berpaling darinya menuju ke orang lain, sekalipun kepada orang kafir yang terdapat manfaat dalam interaksi dengannya secara jujur.
Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya. [Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa Nomor3323].
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan sebuah kaedah dengan menyatakan: Pada asalnya semua muamalah yang dibutuhkan manusia tidak diharamkan atas mereka, kecuali ada petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah yang mengharamkannya.
Sebagaimana tidak disyariatkan sebuah ibadah yang dilakukan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah, kecuali ada petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah yang mensyariatkannya. Karena agama adalah semua yang disyariatkan Allah, dan yang haram adalah yang Allah haramkan.
Berbeda dengan orang-orang yang Allah cela. Mereka mengharamkan yang tidak diharamkan Allah dan menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak ada hujahnya, serta membuat syariat dari agama ini apa yang tidak diizinkan Allah. (As-Siyasah Asy-Syar'iyah hlm. 155).
JUAL BELI DENGAN ORANG KAFIR
Berdasarkan kaedah yang disampaikan Syaikhul Islam di atas, juga adanya nash-nash syariat dan keterangan sejarah Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya, didapatkan bahwa praktik muamalah dengan orang kafir berupa jual beli, menerima hadiah dan semisalnya tidak dinamakan Al-Muwalah (memberi bentuk loyalitas kepada mereka). Dan diperbolehkan seorang muslim berjual beli dengan orang kafir.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمو الله pernah ditanya tentang bermuamalah dengan bangsa Tatar. Beliau menjawab: Diperbolehkan padanya seperti diperbolehkannya bermuamalah dengan orang kafir seperti mereka, dan diharamkan padanya apa yang diharamkan dalam hal bermuamalah denga orang kafir seperti mereka. Sehingga seorang Muslim diperbolehkan membeli hewan ternak dan kuda mereka serta yang lainnya sebagaimana diperbolehkan membeli hewan ternak orang-orang Arab Badui, Turkman dan Kurdi. Dan diperbolehkan menjual kepada mereka barang berupa makanan, pakaian dan sejenisnya, yang biasa dijual kepada orang kafir semisal mereka.
Adapun apabila menjual kepada mereka atau kepada selain mereka sesuatu yang membantu mereka dalam melakukan hal-hal terlarang, seperti menjual kuda dan senjata pada orang yang menggunakannya untuk perang yang terlarang, maka ini tidak boleh. Allah berfirman yang artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Q.S. Al-Maidah/5:2).
Apabila ada pada mereka atau selain mereka harta yang diketahui hasil dari rampasan mereka dari orang yang tidak boleh dirampas hartanya, maka tidak diperbolehkan membelinya dalam rangka untuk memilikinya. Tapi bila membelinya untuk menyelamatkan harta tersebut agar digunakan pada hal-hal yang sesuai syariat, maka dikembalikan kepada pemiliknya bila memungkinkan, kalau tidak memungkinkan digunakan untuk maslahat kaum muslimin, maka hal itu diperbolehkan. Apabila diketahui sebagian harta mereka ada yang terlarang namun tidak diketahui barangnya, maka tidak diharamkan muamalahnya dalam hal tersebut, sebagaimana apabila diketahui ada di pasar-pasar barang-barang rampasan dan curian namun tidak diketahui jelas barangnya. (Al-Masail al-Mardiniyyah hlm. 132-133 dengan Tahqiq Asy-Syawisi, cetakan ketiga tahun 1299 H.).
Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Al-Buyu' Bab Asy-Syira wal bai' ma'al Musyrikin wa ahli al-Harb dari Abdurrahman bin Abi Bakr beliau berkata: "Kami bersama Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian datanglah seorang musyrik yang tinggi (posturnya) menggiring kambing." Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Silahkan dijual atau diberikan? Atau berkata: atau dihadiahkan. Maka ia menjawab: "Tidak. Tapi 'dijual. Maka beliau صلى الله عليه وسلم membeli darinya seekor kambing. (Shahih Al-Bukhari 4/410 No. 2216).
Ibnu Bathal رحمو الله berkata: Muamalah (bergaul) dengan orang kafir diperbolehkan kecuali jual beli sesuatu yang digunakan membantu orang kafir yang memerangi kaum Muslimin. (Fathul Bari 4/410).
Demikian juga ada riwayat shahih dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang membeli tiga puluh wasaq gandum dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju besi beliau, seperti yang diriwayatkan Al-Bukhari رحمو الله dari A'isyah ,رضي الله عنها beliau berkata: "Sungguh Nabi صلى الله عليه وسلم membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan orang Yahudi mengambil baju besi beliau sebagai gadai jaminannya." (H.R. Al-Bukhari).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمو الله berkata: "Apabila seorang bepergian ke negeri kafir harbi untuk membeli barang darinya maka itu diperbolehkan menurut pendapat kami, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits perniagaan Abu Bakr di masa hidup Rasulullah صلى الله عليه وسلم ke negeri Syam. Sedangkan negeri Syam ketika itu adalah negari kafir harbi dan juga hadits-hadits lainnya."
Adapun seorang Muslim menjual atau menghadiahkan kepada mereka di hari-hari raya mereka barang yang digunakan dalam hari raya mereka, baik berupa makanan, pakaian, parfum atau sejenisnya, maka ini mengandung unsur membantu memeriahkan hari raya mereka yang terlarang. Dan ini kembali kepada dasar Tidak boleh menjual kepada orang kafir anggur atau perasannya yang dijadikan sebagai khamr. Demikian juga tidak boleh menjual kepada mereka senjata yang digunakan untuk memerangi kaum muslimin. (Iqtidhaus Shiratil Mustaqim hlm. 229).
Kesimpulannya jual-beli dengan orang kafir pada asalnya diperbolehkan selama tidak mendukung kepada hal-hal yang terlarang. Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta') pernah ditanya: Bagaimana hukumnya meninggalkan kerjasama di antara kaum Muslimin, yakni dengan tidak ridha dan tidak suka membeli dagangan dari kaum Muslimin tetapi suka membeli barang dari toko toko orang kafir, apakah hal seperti itu sebagai suatu yang halal atau haram?
Jawaban:
Ketetapan asal hukum, membolehkan seorang muslim membeli semua yang dibutuhkannya dari semua yang dihalalkan oleh Allah, baik dari orang muslim maupun orang kafir. Nabi صلى الله عليه وسلم sendiri pernah membeli dari orang Yahudi. Tetapi jika keengganan seorang muslim untuk membeli dari orang muslim lainnya tanpa ada sebab; baik itu dalam bentuk kecurangan, mahalnya harga, buruknya barang, yang membuatnya lebih suka membeli dari orang kafir serta lebih mengutamakannya atas orang muslim tanpa alasan yang benar, maka yang demikian itu jelas haram.
Sebab, yang demikian itu termasuk bentuk loyalitas kepada orang-orang kafir, meridhai dan juga mencintai mereka. Selain itu, karena hal tersebut dapat melemahkan perdagangan kaum muslimin dan merusak barang dagangan mereka serta tidak juga membuatnya laris, jika seorang muslim menjadikan hal-hal itu menjadi kebiasaannya.
Adapun jika sebab-sebab yang menjadikannya berpaling seperti tersebut di atas, maka hendaklah dia menasihati saudaranya (pedagang) itu dengan memperbaiki kekurangannya tersebut. Apabila dia mau menerima nasihat tersebut, maka Alhamdulillah, dan jika tidak maka dia boleh berpaling darinya menuju ke orang lain, sekalipun kepada orang kafir yang terdapat manfaat dalam interaksi dengannya secara jujur.
Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya. [Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa Nomor3323].
Posting Komentar untuk "Jual Beli Dengan Orang Beda Agama"
Terimakasih atas kunjungan anda...