Tingkatan-Tingkatan Maqam Pedzikir
Dzikir merupakan maqam yang sangat luas dan memiliki beberapa tingkatan dan derajat, tingkatan pertama dan terendah adalah dzikir lafdzi atau lisan hingga pada tingkatan inqitha yang sempurna, tingkatan syuhud dan fana.
Pada tingkatan pertama, pedzikir dengan niat taqarrub membaca kalimat dzikir tertentu dan hati bertawajjuh kepada Allah, tanpa memperhatikan makna dan kandungan bacaan dzikir tersebut, pada tingkatan kedua, dengan niat taqarrub kalimat dzikir di baca dan pada saat yang sama akal mencerna makna dan kandungannya.
Pada tingkatan ketiga, lisan mengikuti kata hati dan berdzikir, hal demikian karena hati tawajjuh kepada Allah dan di dalam batin terdapat keimanan terhadap esensi makna dan mafhum kalimat dzikir, lalu memberi perintah kepada lisan.
Pada tingkatan keempat, salik mencapai tawajjuh batin dan kehadiran hati yang sempurna di hadapan Tuhan semesta alam, dia hadir dan di saksikan olehnya dan dirinya di saksikan di hadapan Allah.
Pada tingkatan ini para salik mereka berbeda satu dengan yang lain, ada yang sempurna dan ada yang lebih sempurna, besarnya cinta manusia pada Tuhannya berdasarkan kemampuan keterputusan hubungan dengan selain Allah, sampai ia mencapai tingkatan kamal al-inqitha (keterputusan hubungan dengan makhluk secara total), liqa (perjumpaan dengan Tuhan) dan fana (sirna di dalam Tuhan).
Pada tingkatan ini, pesuluk (salik telah sampai pada tingkatan tertinggi, ia telah menyingkapkan tirai-tirai duniawi, ia telah merobek hubungan majazi (semu) dan bukan hakiki, ia pun telah melewati sumber kebaikan dan kesempurnaan.
Segala sesuatu telah ia lepaskan sekalipun dirinya sendiri dan ia kembali kepada Tuhan, selain Tuhan, semuanya terputus dan hanya kepada-Nya ia serahkan hati dan cintanya, selain Tuhan, tidak ada kesempurnaan di matanya yang membuat hati terjerat olehnya, selain Tuhan, tiada kebahagiaan yang membuat hati bahagia dan selain Tuhan, ia tidak menyaksikan sebuah hakikat.
Itulah hamba-hamba Allah yang khas, yang telah mendapatkan sumber keagungan, kebesaran, kesempurnaan dan kebaikan serta cahaya jalan, dengan penglihatan hati, ia menyaksikan cahaya-cahaya illahi yang indah, mereka tidak akan berpaling dan memberi hati pada ciptaan-ciptaan majazi alam dunia, walau hanya sesaat.
Ketika ia telah mencapai sumber kesempurnaan, maka kesempurnaan majazi dan 'ariyati (yang kosong) tidak bernilai di matanya, ia hanyut dalam cinta dan rindu perjumpaan Tuhannya, ia tidak akan menawarkan hangatnya keakraban dengan dua ia memandang ciptaan alam, semua itu adalah perwujudan cahaya jamal-nya ketunggalan dan ayat (tanda) bagi wujud yang sempurna, yaitu Allah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh pemuka para ‘arif billah : “Tidak aku lihat sesuatupun kecuali aku melihat Allah sebelumnya, sesudahnya dan bersamanya.”
Secara garis besar tingkatan keempat adalah maqam teratas dan tertinggi, pada maqam ini pula ada tingkatan-tingkatannya, yang puncaknya adalah maqam Maha Suci Allah Dzat Wajib Al-Wujud, kesempurnaan dan keindahan yang tak terbatas.
Artinya terus naik sampai tiada batas, dalam istilah para wali Allah adalah Maqam Dzikir, Maqam ‘Uns (keakraban), Maqam Inqitha (keterputusan hubungan dengan selain Allah), Maqam Mahabbah (cinta), Maqam Syauq (kerinduan), Maqam Ridha (keridhaan), Maqam Syuhud (penyaksian) dan Maqam ‘Ain Al-Yaqin-Maqam Haqq Al-Yaqin dan puncaknya adalah Maqam Fana dan Baqa Billah (kekal dengan Allah).
Istilah-istilah tersebut biasanya di kutip dari ayat Al-Qur'an dan riwayat hadist, untuk setiap istilah di atas mempunyai kriteria sendiri, misalnya, tatkala pesuluk (salik, penempuh jalan spiritual) berpaling kepada keagungan, keindahan dan kesempurnaan tak terbatas yaitu Dzat Wajib Al-Wujud, maka yang muncul dalam benaknya adalah cinta, cahaya dan limpahan karunia.
Lalu, ketika menyadari keterbatasan dan kelemahan dirinya serta sangat jauhnya jarak untuk mencapai maqam tertinggi tersebut, maka ia telah memperoleh (jiwa) ‘isyq (terlena) dan syauq serta kehanyutan, inilah yang di sebut maqam syauq.
Bilamana ia telah sampai pada tingkatan-tingkatan, derajat dan kesempurnaan, maka dengan penyingkapan-penyingkapan tersebut berarti ia telah mendapatkan maqam ‘uns dan inilah yang di sebut maqam ‘uns (keakraban, kerinduan).
Jika manifestasi cahaya rahmat Allah meliputi hal-ihwal seorang hamba, maka ia akan tergugah dari tidur kebodohan dan tabiat, ia akan menyadari bahwa di balik alam fisik ini terdapat alam yang lain, yang kenikmatan-kenikmatannya jauh lebih tinggi dari kenikmatan-kenikmatan hewani.
Dalam kondisi seperti ini, ia berpaling dari kesibukan dalam hal-hal yang sifatnya batil dan tak bernilai, ia bertaubat kepada Allah atas segala dosa yang di lakukannya, maka, ia memulainya dengan merenungkan (tadabbur) ayat-ayat Allah, menyimak wasiat-wasiat Tuhan dan mempelajari hadist-hadist Nabi Saw serta mengamalkannya sesuai di syari'atkan.
Untuk bisa sampai pada kesempurnaan-kesempurnaan ukhrawi, ia tanggalkan kemewahan-kemewahan dunia, seperti jabatan, harta dan lain sebagainya. Dan, apabila ia di liputi lebih besar lagi oleh inayah-Nya, maka ia akan bertekad untuk menutup matanya dari selain Allah dan terus bergerak, berangkat dari wilayah dan pemerintahan hawa nafsu, melangkah ke atas menuju ke hadirat-Nya.
Dalam keadaan ini manifestasi-manifestasi cahaya malakut menjadi jelas dan terang, sebuah pintu alam gaib terbuka dan lembaran-lembaran alam suci menjadi nampak baginya, selanjutnya ia akan menyaksikan layar perkara-perkara gaib, saat ia melezati penyaksian perkara-perkara gaib, ia akan menyukai praktik khalwat dan senantiasa berdzikir.
Hatinya bersih dari kesibukan indrawi, keberadaan seutuhnya bertawajjuh ke hadirat Allah, dalam keadaan ini, secara bertahap ia di karuniai ilmu-ilmu laduni dan tahap demi tahap nur-nur spiritual akan nampak baginya, hingga berhentinya perubahan hal ini, ketenteraman (sakinah) dan ketetapan hati terwujud dengan sempurna.
“Dalam kondisi ini, ia memasuki alam jabarut, menyaksikan akal-akal yang berlainan dan cahaya-cahaya darinya menjadi jelas dan terang, maka nampaklah baginya kerajaan ketunggalan dan cahaya keagungan dan kebesaran, menjadikan wujud dan hakikat dirinya luluh lantak bak debu yang beterbangan (haba'an mantsura).
Kemudian ia terhempas di hadapan keagungan dan kebesaran kerajaan ketunggalan, inilah yang di sebut maqam tauhid, yang dalam pandangan pesuluk perubahan-perubahan itu akan hancur dan ia mendengarkan seruan ayat : ‘Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Kuasa Lagi Maha Mengalahkan." (Q.S. Al-Mukmin : 16).
“Metode untuk mendapatkan cinta Allah dan lebih memperkuatnya lagi guna mempersiapkan potensi ru'yat dan liqa Allah adalah dengan mempelajari makrifat cinta dan taqwiyat (penguatan)nya dan cara untuk mempelajari makrifat adalah dengan menyucikan hati dari semua kesibukan dan belenggu duniawi serta melalui dzikir dan pikir, termasuk di dalamnya dengan membuang cinta dalam hati pada selain Allah.
Ia putuskan pula hubungan secara total menuju kepada-Nya (inqitha kamil), sebab hati ibarat wadah yang apabila penuh air, maka tidak dapat memuat logam, kecuali airnya di buang baru bisa menerima logam, Allah tidak menciptakan dua hati bagi setiap orang.
“Kesempurnaan dalam cinta menuntut seseorang untuk mencintai Allah dengan sepenuh hati (hingga ia luruh di dalam-Nya), sebab, selama ia masih berpaling pada selain Allah, berarti ia menyisakan sebagian bilik hatinya yang akan di penuhi oleh selain-Nya, ketika manusia semakin sibuk dengan selain Allah, maka cinta kepada-Nya akan terenggut seukuran dengan bertambahnya cinta kepada selain-Nya, kecuali jika perhatian (tawajjuh)nya kepada selain Allah itu terkait dengan perbuatan dan ciptaan Allah sebagai salah satu perwujudan (madhahir) asma Allah dan sifat-Nya.
“Allah mengisyaratkan makna yang sama dalam ayat Al-Qur'an berikut, “Katakanlah, "Allah (yang menurunkannya)’, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (Q.S. Al-An’am : 91).
“Kondisi ini tercipta sebagai akibat kerinduan (syauq) yang menguasainya, dengan gambaran ini, manusia harus berusaha agar apa yang terlihat olehnya bisa termanifestasi lebih jelas lagi, ia mesti tetap cenderung kepada sesuatu yang sampai kini belum ia dapatkan, sebab, kerinduan selalu bergantung pada sesuatu (yang di tujunya), yang di satu sisi dapat di gapai, sedangkan di sisi lain tidak, ia akan selalu berada di antara dua sisi yang tiada batasnya.
Pada tingkatan pertama, pedzikir dengan niat taqarrub membaca kalimat dzikir tertentu dan hati bertawajjuh kepada Allah, tanpa memperhatikan makna dan kandungan bacaan dzikir tersebut, pada tingkatan kedua, dengan niat taqarrub kalimat dzikir di baca dan pada saat yang sama akal mencerna makna dan kandungannya.
Pada tingkatan ketiga, lisan mengikuti kata hati dan berdzikir, hal demikian karena hati tawajjuh kepada Allah dan di dalam batin terdapat keimanan terhadap esensi makna dan mafhum kalimat dzikir, lalu memberi perintah kepada lisan.
Pada tingkatan keempat, salik mencapai tawajjuh batin dan kehadiran hati yang sempurna di hadapan Tuhan semesta alam, dia hadir dan di saksikan olehnya dan dirinya di saksikan di hadapan Allah.
Pada tingkatan ini para salik mereka berbeda satu dengan yang lain, ada yang sempurna dan ada yang lebih sempurna, besarnya cinta manusia pada Tuhannya berdasarkan kemampuan keterputusan hubungan dengan selain Allah, sampai ia mencapai tingkatan kamal al-inqitha (keterputusan hubungan dengan makhluk secara total), liqa (perjumpaan dengan Tuhan) dan fana (sirna di dalam Tuhan).
Pada tingkatan ini, pesuluk (salik telah sampai pada tingkatan tertinggi, ia telah menyingkapkan tirai-tirai duniawi, ia telah merobek hubungan majazi (semu) dan bukan hakiki, ia pun telah melewati sumber kebaikan dan kesempurnaan.
Segala sesuatu telah ia lepaskan sekalipun dirinya sendiri dan ia kembali kepada Tuhan, selain Tuhan, semuanya terputus dan hanya kepada-Nya ia serahkan hati dan cintanya, selain Tuhan, tidak ada kesempurnaan di matanya yang membuat hati terjerat olehnya, selain Tuhan, tiada kebahagiaan yang membuat hati bahagia dan selain Tuhan, ia tidak menyaksikan sebuah hakikat.
Itulah hamba-hamba Allah yang khas, yang telah mendapatkan sumber keagungan, kebesaran, kesempurnaan dan kebaikan serta cahaya jalan, dengan penglihatan hati, ia menyaksikan cahaya-cahaya illahi yang indah, mereka tidak akan berpaling dan memberi hati pada ciptaan-ciptaan majazi alam dunia, walau hanya sesaat.
Ketika ia telah mencapai sumber kesempurnaan, maka kesempurnaan majazi dan 'ariyati (yang kosong) tidak bernilai di matanya, ia hanyut dalam cinta dan rindu perjumpaan Tuhannya, ia tidak akan menawarkan hangatnya keakraban dengan dua ia memandang ciptaan alam, semua itu adalah perwujudan cahaya jamal-nya ketunggalan dan ayat (tanda) bagi wujud yang sempurna, yaitu Allah.
Sebagaimana yang dikatakan oleh pemuka para ‘arif billah : “Tidak aku lihat sesuatupun kecuali aku melihat Allah sebelumnya, sesudahnya dan bersamanya.”
Imam Ali Ra ketika di tanya, “Apakah Anda melihat Tuhan ketika menyembah-Nya?” Imam Ali Ra menjawab, “Celaka engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.” Beliau di tanya lagi, “Bagaimana Anda melihat Tuhan?” “Celaka engkau! Tuhan tidak mungkin di lihat dengan mata lahir, tetapi hati yang di penuhi hakikat keimananlah yang menyaksikan.”Imam Husain Ra berkata, “Mana mungkin orang berdalih tentang wujud-Mu dengan sesuatu yang untuk mewujudnya membutuhkan-Mu, adakah sesuatu yang selain-Mu itu memiliki kejelasan yang tidak kau miliki, sehingga ia berfungsi sebagai penjelas bagi-Mu? Kapan Engkau pernah gaib, sehingga perlu bukti yang menunjukkan keberadaan-Mu? Kapan Engkau pernah jauh, sehingga tanda-tanda akan menyampaikan kepada-Mu? Sungguh butalah mata yang tidak melihat (menyadari) pengawasan Allah, sungguh merugi seorang hamba yang tidak Engkau berikan cinta-Mu kepadanya.” (Do'a Arrafah).
Secara garis besar tingkatan keempat adalah maqam teratas dan tertinggi, pada maqam ini pula ada tingkatan-tingkatannya, yang puncaknya adalah maqam Maha Suci Allah Dzat Wajib Al-Wujud, kesempurnaan dan keindahan yang tak terbatas.
Artinya terus naik sampai tiada batas, dalam istilah para wali Allah adalah Maqam Dzikir, Maqam ‘Uns (keakraban), Maqam Inqitha (keterputusan hubungan dengan selain Allah), Maqam Mahabbah (cinta), Maqam Syauq (kerinduan), Maqam Ridha (keridhaan), Maqam Syuhud (penyaksian) dan Maqam ‘Ain Al-Yaqin-Maqam Haqq Al-Yaqin dan puncaknya adalah Maqam Fana dan Baqa Billah (kekal dengan Allah).
Istilah-istilah tersebut biasanya di kutip dari ayat Al-Qur'an dan riwayat hadist, untuk setiap istilah di atas mempunyai kriteria sendiri, misalnya, tatkala pesuluk (salik, penempuh jalan spiritual) berpaling kepada keagungan, keindahan dan kesempurnaan tak terbatas yaitu Dzat Wajib Al-Wujud, maka yang muncul dalam benaknya adalah cinta, cahaya dan limpahan karunia.
Lalu, ketika menyadari keterbatasan dan kelemahan dirinya serta sangat jauhnya jarak untuk mencapai maqam tertinggi tersebut, maka ia telah memperoleh (jiwa) ‘isyq (terlena) dan syauq serta kehanyutan, inilah yang di sebut maqam syauq.
Bilamana ia telah sampai pada tingkatan-tingkatan, derajat dan kesempurnaan, maka dengan penyingkapan-penyingkapan tersebut berarti ia telah mendapatkan maqam ‘uns dan inilah yang di sebut maqam ‘uns (keakraban, kerinduan).
Jika manifestasi cahaya rahmat Allah meliputi hal-ihwal seorang hamba, maka ia akan tergugah dari tidur kebodohan dan tabiat, ia akan menyadari bahwa di balik alam fisik ini terdapat alam yang lain, yang kenikmatan-kenikmatannya jauh lebih tinggi dari kenikmatan-kenikmatan hewani.
Dalam kondisi seperti ini, ia berpaling dari kesibukan dalam hal-hal yang sifatnya batil dan tak bernilai, ia bertaubat kepada Allah atas segala dosa yang di lakukannya, maka, ia memulainya dengan merenungkan (tadabbur) ayat-ayat Allah, menyimak wasiat-wasiat Tuhan dan mempelajari hadist-hadist Nabi Saw serta mengamalkannya sesuai di syari'atkan.
Untuk bisa sampai pada kesempurnaan-kesempurnaan ukhrawi, ia tanggalkan kemewahan-kemewahan dunia, seperti jabatan, harta dan lain sebagainya. Dan, apabila ia di liputi lebih besar lagi oleh inayah-Nya, maka ia akan bertekad untuk menutup matanya dari selain Allah dan terus bergerak, berangkat dari wilayah dan pemerintahan hawa nafsu, melangkah ke atas menuju ke hadirat-Nya.
Dalam keadaan ini manifestasi-manifestasi cahaya malakut menjadi jelas dan terang, sebuah pintu alam gaib terbuka dan lembaran-lembaran alam suci menjadi nampak baginya, selanjutnya ia akan menyaksikan layar perkara-perkara gaib, saat ia melezati penyaksian perkara-perkara gaib, ia akan menyukai praktik khalwat dan senantiasa berdzikir.
Hatinya bersih dari kesibukan indrawi, keberadaan seutuhnya bertawajjuh ke hadirat Allah, dalam keadaan ini, secara bertahap ia di karuniai ilmu-ilmu laduni dan tahap demi tahap nur-nur spiritual akan nampak baginya, hingga berhentinya perubahan hal ini, ketenteraman (sakinah) dan ketetapan hati terwujud dengan sempurna.
“Dalam kondisi ini, ia memasuki alam jabarut, menyaksikan akal-akal yang berlainan dan cahaya-cahaya darinya menjadi jelas dan terang, maka nampaklah baginya kerajaan ketunggalan dan cahaya keagungan dan kebesaran, menjadikan wujud dan hakikat dirinya luluh lantak bak debu yang beterbangan (haba'an mantsura).
Kemudian ia terhempas di hadapan keagungan dan kebesaran kerajaan ketunggalan, inilah yang di sebut maqam tauhid, yang dalam pandangan pesuluk perubahan-perubahan itu akan hancur dan ia mendengarkan seruan ayat : ‘Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Kuasa Lagi Maha Mengalahkan." (Q.S. Al-Mukmin : 16).
“Metode untuk mendapatkan cinta Allah dan lebih memperkuatnya lagi guna mempersiapkan potensi ru'yat dan liqa Allah adalah dengan mempelajari makrifat cinta dan taqwiyat (penguatan)nya dan cara untuk mempelajari makrifat adalah dengan menyucikan hati dari semua kesibukan dan belenggu duniawi serta melalui dzikir dan pikir, termasuk di dalamnya dengan membuang cinta dalam hati pada selain Allah.
Ia putuskan pula hubungan secara total menuju kepada-Nya (inqitha kamil), sebab hati ibarat wadah yang apabila penuh air, maka tidak dapat memuat logam, kecuali airnya di buang baru bisa menerima logam, Allah tidak menciptakan dua hati bagi setiap orang.
“Kesempurnaan dalam cinta menuntut seseorang untuk mencintai Allah dengan sepenuh hati (hingga ia luruh di dalam-Nya), sebab, selama ia masih berpaling pada selain Allah, berarti ia menyisakan sebagian bilik hatinya yang akan di penuhi oleh selain-Nya, ketika manusia semakin sibuk dengan selain Allah, maka cinta kepada-Nya akan terenggut seukuran dengan bertambahnya cinta kepada selain-Nya, kecuali jika perhatian (tawajjuh)nya kepada selain Allah itu terkait dengan perbuatan dan ciptaan Allah sebagai salah satu perwujudan (madhahir) asma Allah dan sifat-Nya.
“Allah mengisyaratkan makna yang sama dalam ayat Al-Qur'an berikut, “Katakanlah, "Allah (yang menurunkannya)’, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (Q.S. Al-An’am : 91).
“Kondisi ini tercipta sebagai akibat kerinduan (syauq) yang menguasainya, dengan gambaran ini, manusia harus berusaha agar apa yang terlihat olehnya bisa termanifestasi lebih jelas lagi, ia mesti tetap cenderung kepada sesuatu yang sampai kini belum ia dapatkan, sebab, kerinduan selalu bergantung pada sesuatu (yang di tujunya), yang di satu sisi dapat di gapai, sedangkan di sisi lain tidak, ia akan selalu berada di antara dua sisi yang tiada batasnya.
Posting Komentar untuk "Tingkatan-Tingkatan Maqam Pedzikir"
Terimakasih atas kunjungan anda...