Takdir Dan Amal
Suatu saat seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw tentang takdir Allah yang dikaitkan dengan amal perbuatan yang dikerjakan manusia. Sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, aku mengerjakan shalat, adakah shalat yang aku kerjakan ini urusan yang sudah rampung dan sudah ditentukan Allah pada zaman azali ataukah yang ditakdirkan baru pada saat kejadian tersebut?, Rasululllah Saw menjawab: "Bahkan itu urusan yang sudah rampung dan sudah ditentukan pada zaman azali."
Lalu sahabat bertanya lagi: "Lantas apa arti pekerjaan yang aku kerjakan itu? Nabi Saw menjawab dengan sabdanya : “Berbuatlah, maka sesungguhnya segala sesuatu akan dimudahkan bagi apa yang akan diciptakan baginya.”
Kemudian beliau Saw meneruskan: "Apabila dari golongan orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan, maka ia dimudahkan untuk berbuat amal kebaikan dan apabila dari golongan yang akan mendapat kecelakaan ia akan dimudahkan untuk berbuat sesuatu yang menjadikan sebab ia mendapatkan celaka." Lalu beliau Saw membaca ayat (QS. Al-Lail : 92/5-10): “Adapun yang memberikan dan bertaqwa dan membenarkan kebaikan, maka akan Kami mudahkan kepada jalan kemudahan, adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup dan mendustakan kebaikan, maka akan Kami sukarkan dari jalan kemudahan.” (Q.S. Al-Lail 92/5-10)(H.R. Muslim).
Apa saja yang sekarang sedang dikerjakan oleh seseorang, sejatinya itu adalah pelaksanaan takdir Allah yang sudah ditentukan pada zaman azali sebagai qadla'-Nya, adapun hadits di atas merupakan suatu penegasan dari Rasulullah Saw, apabila orang ingin mengetahui takdir Allah ke depan untuk dirinya, maka mereka bisa mencari dan memulai dengan usaha atau amal.
Selanjutnya, apabila ada takdir Allah baginya, berarti ia akan dimudahkan kepada jalan kemudahan dan apabila tidak, maka akan dimudahkan kepada jalan kesulitan, di samping itu, apabila orang ingin dimudahkan oleh Allah dijalan kemudahan, maka ia harus menempuh tiga jalan, yaitu; suka memberi dan tidak kikir, bertaqwa kepada Allah dan membenarkan kepada kebenaran.
Sungguh, sabda Nabi Saw di atas merupakan konsep dasar yang dapat menguak tabir misteri alam takdir yang seakan masih menjadi teka-teki, menjadi kunci rahasia untuk membuka pintu rahasia kehendak Allah yang azaliah.
Bahkan membuka pintu gerbang pertama untuk memasuki kebun-kebun surga yang dibentangkan di dunia. Sebab, dengan memahami bagian dari alam takdir tersebut, dengan izin Allah, hati seseorang hamba selamanya tidak akan menjadi bingung lagi dalam menyikapi tantangan hidup yang harus dijalani.
Padahal sudah banyak pertanyaan tentang takdir ini dilontarkan, baik di majelis-majelis pengajian, maupun di forum-forum diskusi, namun tetap saja urusan takdir ini seakan-akan masih menjadi misteri.
Jarang orang mampu memasukinya dengan mudah, di dalamnya seakan-akan ada arus deras sehingga orang yang membicarakan agak mendalam, merasa takut terseret di dalam arusnya, memang urusan takdir ini tidak boleh dibicarakan bukan pada tempat dan bukan kepada ahlinya.
Akan tetapi melalui sabda Nabi Saw ini ternyata alam takdir itu menjadi gamblang dan terang, walau hanya dapat dibaca melalui tanda-tandanya.
Tanda-tanda tersebut ialah, manakala manusia telah mempunyai kemauan yang kuat untuk berbuat kebajikan dan ditindaklanjuti dengan pelaksanaan, apabila Allah kemudian menurunkan pertolongan untuk memudahkan jalannya hingga kemauan yang baik itu dapat melaksanakan dengan baik pula, berarti manusia tersebut telah mendapatkan takdir baik dari-Nya.
Namun sebaliknya, manakala manusia tidak pernah sedikitpun mempunyai kehendak baik untuk melakukan benah-benah, hidupnya hanya di isi dengan kejelekan-kejelekan, bahkan selalu berbuat kejahatan kepada sesamanya, maka itulah pertanda bahwa takdir yang berlaku bagi dirinya adalah takdir jelek.
Terkecuali apabila kemudian ia mau sadar dan bertaubat dengan taubatan nasuha dan Allah menerima taubatnya serta menolong untuk selalu mampu melaksanakan kebaikan, sehingga ia menjadi benar-benar orang yang mampu berbuat kebaikan, maka berarti ia telah kembali mendapatkan takdir baik dari Allah.
Kalau anda bertanya, seakan-akan takdir itu bergantung kepada kemauan manusia sendiri, memang demikianlah adanya, kalau anda tidak percaya cobalah, seperti ketika anda melihat ada orang setiap malam dapat melakukan shalat malam dengan tekun dan istiqamah misalnya, coba lakukan yang seperti itu.
Tentunya terlebih dahulu anda harus mempelajari ilmunya supaya jalan yang anda lalui itu tidak berbeda dengan jalan yang mereka lalui, kalau ternyata anda bisa melakukannya, berarti takdir untuk anda sama dengan takdir untuk orang tersebut, kalau ternyata tidak, berarti yang berbeda memang takdirnya, bukan ilmu dan usahanya.
Sebab, manusia boleh berusaha, namun bagaimanapun juga, Allah adalah yang menentukan keberhasilan usaha itu, di balik rahasia keberhasilan itulah yang namanya takdir. Jadi, meski rahasia takdir itu sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, tapi pintunya, sesungguhnya dapat dicari dan dibuka manusia sejak sekarang.
Yaitu melalui usaha dan amal, selanjutnya, kalau memang ada takdir baik baginya, maka Allah akan memudahkan jalannya, oleh karena itu, apabila ada orang yang diam saja, malas dan tidak mau bekerja, tidak mau menuntut ilmu dan berusaha, sehingga hidupnya menjadi terlunta-lunta, dia ditolak di sana-sini karena tidak mempunyai kemampuan apa-apa.
Orang yang malas itu jangan menyalahkan siapa-siapa, sebab, barangkali takdir jelek itu memang bermula dari sifat malas yang tidak mampu diperangi sendiri. Untuk itu, di samping kita harus mampu membuang sifat malas yang terkadang tiba-tiba datang, sejak dini, kita juga harus mampu menempatkan diri pada lingkungan yang baik, karena lingkungan itu dominan mencetak karakter manusia.
Barangkali dari situ pintu takdir baik bagi kita sedikit demi sedikit akan menjadi terbuka, konsep tentang takdir juga telah disampaikan Rasulullah Saw dalam haditsnya berikut ini :
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Ra, ia berkata: Rasulullah Saw adalah seorang yang benar serta dipercaya telah bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama 40 hari. Setelah genap 40 hari yang kedua terbentuklah segumpal darah. Kemudian setelah genap 40 hari ketiga menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh serta memerintahkan menulis empat perkara yaitu ditentukan rizqinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya, yaitu akan mendapat kecelakaan atau kebahagiaan. Maha suci Allah tiada Tuhan selain-Nya.
Seandainya seseorang mengerjakan amal sebagaimana yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke surga, tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga dia memasukinya.
Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia akan melakukan amal sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga, sehingga dia memasukinya.
Dalam sabdanya di atas, Rasulullah Saw menyatakan, bahwa jalan hidup manusia sudah ditentukan Allah semenjak proses kejadiannya didalam rahim seorang Ibu, sejak malaikat diutus meniupkan ruh kehidupan, malaikat itu juga sekaligus diutus menulis empat perkara yang akan terjadi dalam kehidupan manusia itu kedepan.
Sejak itu manusia sudah ditentukan rizqinya, ajal kematiannya, amalnya serta nasib hidupnya, apakah ia akan menjadi orang celaka atau orang yang beruntung, bahkan Rasulullah Saw menegaskan: “Maha suci Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, seandainya seseorang mengerjakan amal kebaikan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga, sehingga kehidupannya hanya tinggal selangkah menuju surga, tapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan kejelekan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni neraka, sehingga dimasukkanlah ia ke neraka, begitu juga sebaliknya.”
Dalam kaitan takdir itu, ketika suatu saat Nabi Musa As bertanya kepada Nabi Adam As atas kekhilafan Nabi Adam As yang telah diperbuat di surga, sehingga menyebabkan seluruh umat manusia untuk sementara waktu harus menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan rintangan di dunia, Nabi Adam As berhujjah kepada Nabi Musa As, Allah telah mengabadikan dialog tersebut melalui sebuah hadits Nabi Saw.
Rasulullah Saw bersabda:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra, ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa As, Nabi Musa As berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapakku. Engkau telah menyia-nyiakan aku dan engkau keluarkan aku dari surga.” Nabi Adam menjawab: “Kamu hai Musa. Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya. Allah menulis untukmu dengan tangan-Nya (kuasa), apakah kamu akan mencela aku terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah sejak empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?.
Nabi Saw bersabda: “Akhirnya Nabi Adam As tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa As, akhirnya Nabi Adam As tetap berhujah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa As, jauh sebelum diciptakan, manusia sudah ditentukan Allah sebagai qadla'-Nya, menjadi khalifah-Nya di muka bumi.
Allah telah menegaskan dengan firman-Nya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. 2 : 30).
Adapun kehidupan manusia pertama, oleh Allah sebagai qadar-Nya ditempatkan di surga, maka tidak bisa tidak, Nabi Adam As dan istrinya harus turun ke bumi, mereka berdua harus mengikuti kehendak ketetapan jalan hidup yang sudah ditetapkan sejak zaman azali itu.
Adapun proses kejadian yang menyebabkan seseorang harus turun dari kebahagiaan kepada kesengsaraan dan penderitaan panjang, karena Allah sedikitpun tidak berbuat dzalim kepada hamba-Nya, maka proses itu akan terjadi dengan sendirinya melalui hak "huriyatul iradah" (kebebasan memilih) yang telah diberikan-Nya kepada setiap manusia.
Artinya, dengan kesadarannya (nafsu dan akal atau rasionalitas dan emosionalitas) manusia menentukan pilihan hidup sendiri, ketika pilihan hidup itu ternyata salah, maka manusia akan menanggung akibat kesalahan itu.
Itulah sunnatullah yang sejak ditetapkan tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya, kalau kemudian turunnya Nabi Adam As dan istrinya Siti Hawa dari surga ke bumi ternyata akibat perbuatan dosa, meski perbuatan dosa itu menyebabkan musibah dan penderitaan panjang, namun demikian, kalau dengan itu ternyata manusia mampu mengambil pelajaran hingga dapat menjadikan hidupnya lebih baik dan lebih bertaqwa kepada-Nya, berarti perbuatan yang sudah dilakukan itu, meski itu adalah perbuatan dosa, hakikatnya adalah kebaikan bukan kejelekan.
Karena sesungguhnya amal perbuatan seseorang bergantung bagaimana hasil akhirnya, kalau hasil akhir itu ternyata kebaikan, apapun bentuknya, berarti perbuatan itu adalah kebaikan dan kalau hasil akhirnya kejelekan, apapun bentuknya, berarti kejelekan juga.
Lalu sahabat bertanya lagi: "Lantas apa arti pekerjaan yang aku kerjakan itu? Nabi Saw menjawab dengan sabdanya : “Berbuatlah, maka sesungguhnya segala sesuatu akan dimudahkan bagi apa yang akan diciptakan baginya.”
Kemudian beliau Saw meneruskan: "Apabila dari golongan orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan, maka ia dimudahkan untuk berbuat amal kebaikan dan apabila dari golongan yang akan mendapat kecelakaan ia akan dimudahkan untuk berbuat sesuatu yang menjadikan sebab ia mendapatkan celaka." Lalu beliau Saw membaca ayat (QS. Al-Lail : 92/5-10): “Adapun yang memberikan dan bertaqwa dan membenarkan kebaikan, maka akan Kami mudahkan kepada jalan kemudahan, adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup dan mendustakan kebaikan, maka akan Kami sukarkan dari jalan kemudahan.” (Q.S. Al-Lail 92/5-10)(H.R. Muslim).
Apa saja yang sekarang sedang dikerjakan oleh seseorang, sejatinya itu adalah pelaksanaan takdir Allah yang sudah ditentukan pada zaman azali sebagai qadla'-Nya, adapun hadits di atas merupakan suatu penegasan dari Rasulullah Saw, apabila orang ingin mengetahui takdir Allah ke depan untuk dirinya, maka mereka bisa mencari dan memulai dengan usaha atau amal.
Selanjutnya, apabila ada takdir Allah baginya, berarti ia akan dimudahkan kepada jalan kemudahan dan apabila tidak, maka akan dimudahkan kepada jalan kesulitan, di samping itu, apabila orang ingin dimudahkan oleh Allah dijalan kemudahan, maka ia harus menempuh tiga jalan, yaitu; suka memberi dan tidak kikir, bertaqwa kepada Allah dan membenarkan kepada kebenaran.
Sungguh, sabda Nabi Saw di atas merupakan konsep dasar yang dapat menguak tabir misteri alam takdir yang seakan masih menjadi teka-teki, menjadi kunci rahasia untuk membuka pintu rahasia kehendak Allah yang azaliah.
Bahkan membuka pintu gerbang pertama untuk memasuki kebun-kebun surga yang dibentangkan di dunia. Sebab, dengan memahami bagian dari alam takdir tersebut, dengan izin Allah, hati seseorang hamba selamanya tidak akan menjadi bingung lagi dalam menyikapi tantangan hidup yang harus dijalani.
Padahal sudah banyak pertanyaan tentang takdir ini dilontarkan, baik di majelis-majelis pengajian, maupun di forum-forum diskusi, namun tetap saja urusan takdir ini seakan-akan masih menjadi misteri.
Jarang orang mampu memasukinya dengan mudah, di dalamnya seakan-akan ada arus deras sehingga orang yang membicarakan agak mendalam, merasa takut terseret di dalam arusnya, memang urusan takdir ini tidak boleh dibicarakan bukan pada tempat dan bukan kepada ahlinya.
Akan tetapi melalui sabda Nabi Saw ini ternyata alam takdir itu menjadi gamblang dan terang, walau hanya dapat dibaca melalui tanda-tandanya.
Tanda-tanda tersebut ialah, manakala manusia telah mempunyai kemauan yang kuat untuk berbuat kebajikan dan ditindaklanjuti dengan pelaksanaan, apabila Allah kemudian menurunkan pertolongan untuk memudahkan jalannya hingga kemauan yang baik itu dapat melaksanakan dengan baik pula, berarti manusia tersebut telah mendapatkan takdir baik dari-Nya.
Namun sebaliknya, manakala manusia tidak pernah sedikitpun mempunyai kehendak baik untuk melakukan benah-benah, hidupnya hanya di isi dengan kejelekan-kejelekan, bahkan selalu berbuat kejahatan kepada sesamanya, maka itulah pertanda bahwa takdir yang berlaku bagi dirinya adalah takdir jelek.
Terkecuali apabila kemudian ia mau sadar dan bertaubat dengan taubatan nasuha dan Allah menerima taubatnya serta menolong untuk selalu mampu melaksanakan kebaikan, sehingga ia menjadi benar-benar orang yang mampu berbuat kebaikan, maka berarti ia telah kembali mendapatkan takdir baik dari Allah.
Kalau anda bertanya, seakan-akan takdir itu bergantung kepada kemauan manusia sendiri, memang demikianlah adanya, kalau anda tidak percaya cobalah, seperti ketika anda melihat ada orang setiap malam dapat melakukan shalat malam dengan tekun dan istiqamah misalnya, coba lakukan yang seperti itu.
Tentunya terlebih dahulu anda harus mempelajari ilmunya supaya jalan yang anda lalui itu tidak berbeda dengan jalan yang mereka lalui, kalau ternyata anda bisa melakukannya, berarti takdir untuk anda sama dengan takdir untuk orang tersebut, kalau ternyata tidak, berarti yang berbeda memang takdirnya, bukan ilmu dan usahanya.
Sebab, manusia boleh berusaha, namun bagaimanapun juga, Allah adalah yang menentukan keberhasilan usaha itu, di balik rahasia keberhasilan itulah yang namanya takdir. Jadi, meski rahasia takdir itu sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, tapi pintunya, sesungguhnya dapat dicari dan dibuka manusia sejak sekarang.
Yaitu melalui usaha dan amal, selanjutnya, kalau memang ada takdir baik baginya, maka Allah akan memudahkan jalannya, oleh karena itu, apabila ada orang yang diam saja, malas dan tidak mau bekerja, tidak mau menuntut ilmu dan berusaha, sehingga hidupnya menjadi terlunta-lunta, dia ditolak di sana-sini karena tidak mempunyai kemampuan apa-apa.
Orang yang malas itu jangan menyalahkan siapa-siapa, sebab, barangkali takdir jelek itu memang bermula dari sifat malas yang tidak mampu diperangi sendiri. Untuk itu, di samping kita harus mampu membuang sifat malas yang terkadang tiba-tiba datang, sejak dini, kita juga harus mampu menempatkan diri pada lingkungan yang baik, karena lingkungan itu dominan mencetak karakter manusia.
Barangkali dari situ pintu takdir baik bagi kita sedikit demi sedikit akan menjadi terbuka, konsep tentang takdir juga telah disampaikan Rasulullah Saw dalam haditsnya berikut ini :
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Ra, ia berkata: Rasulullah Saw adalah seorang yang benar serta dipercaya telah bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama 40 hari. Setelah genap 40 hari yang kedua terbentuklah segumpal darah. Kemudian setelah genap 40 hari ketiga menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh serta memerintahkan menulis empat perkara yaitu ditentukan rizqinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya, yaitu akan mendapat kecelakaan atau kebahagiaan. Maha suci Allah tiada Tuhan selain-Nya.
Seandainya seseorang mengerjakan amal sebagaimana yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke surga, tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga dia memasukinya.
Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia akan melakukan amal sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga, sehingga dia memasukinya.
Dalam sabdanya di atas, Rasulullah Saw menyatakan, bahwa jalan hidup manusia sudah ditentukan Allah semenjak proses kejadiannya didalam rahim seorang Ibu, sejak malaikat diutus meniupkan ruh kehidupan, malaikat itu juga sekaligus diutus menulis empat perkara yang akan terjadi dalam kehidupan manusia itu kedepan.
Sejak itu manusia sudah ditentukan rizqinya, ajal kematiannya, amalnya serta nasib hidupnya, apakah ia akan menjadi orang celaka atau orang yang beruntung, bahkan Rasulullah Saw menegaskan: “Maha suci Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, seandainya seseorang mengerjakan amal kebaikan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga, sehingga kehidupannya hanya tinggal selangkah menuju surga, tapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan kejelekan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni neraka, sehingga dimasukkanlah ia ke neraka, begitu juga sebaliknya.”
Dalam kaitan takdir itu, ketika suatu saat Nabi Musa As bertanya kepada Nabi Adam As atas kekhilafan Nabi Adam As yang telah diperbuat di surga, sehingga menyebabkan seluruh umat manusia untuk sementara waktu harus menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan rintangan di dunia, Nabi Adam As berhujjah kepada Nabi Musa As, Allah telah mengabadikan dialog tersebut melalui sebuah hadits Nabi Saw.
Rasulullah Saw bersabda:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra, ia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa As, Nabi Musa As berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapakku. Engkau telah menyia-nyiakan aku dan engkau keluarkan aku dari surga.” Nabi Adam menjawab: “Kamu hai Musa. Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya. Allah menulis untukmu dengan tangan-Nya (kuasa), apakah kamu akan mencela aku terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah sejak empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?.
Nabi Saw bersabda: “Akhirnya Nabi Adam As tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa As, akhirnya Nabi Adam As tetap berhujah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa As, jauh sebelum diciptakan, manusia sudah ditentukan Allah sebagai qadla'-Nya, menjadi khalifah-Nya di muka bumi.
Allah telah menegaskan dengan firman-Nya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. 2 : 30).
Adapun kehidupan manusia pertama, oleh Allah sebagai qadar-Nya ditempatkan di surga, maka tidak bisa tidak, Nabi Adam As dan istrinya harus turun ke bumi, mereka berdua harus mengikuti kehendak ketetapan jalan hidup yang sudah ditetapkan sejak zaman azali itu.
Adapun proses kejadian yang menyebabkan seseorang harus turun dari kebahagiaan kepada kesengsaraan dan penderitaan panjang, karena Allah sedikitpun tidak berbuat dzalim kepada hamba-Nya, maka proses itu akan terjadi dengan sendirinya melalui hak "huriyatul iradah" (kebebasan memilih) yang telah diberikan-Nya kepada setiap manusia.
Artinya, dengan kesadarannya (nafsu dan akal atau rasionalitas dan emosionalitas) manusia menentukan pilihan hidup sendiri, ketika pilihan hidup itu ternyata salah, maka manusia akan menanggung akibat kesalahan itu.
Itulah sunnatullah yang sejak ditetapkan tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya, kalau kemudian turunnya Nabi Adam As dan istrinya Siti Hawa dari surga ke bumi ternyata akibat perbuatan dosa, meski perbuatan dosa itu menyebabkan musibah dan penderitaan panjang, namun demikian, kalau dengan itu ternyata manusia mampu mengambil pelajaran hingga dapat menjadikan hidupnya lebih baik dan lebih bertaqwa kepada-Nya, berarti perbuatan yang sudah dilakukan itu, meski itu adalah perbuatan dosa, hakikatnya adalah kebaikan bukan kejelekan.
Karena sesungguhnya amal perbuatan seseorang bergantung bagaimana hasil akhirnya, kalau hasil akhir itu ternyata kebaikan, apapun bentuknya, berarti perbuatan itu adalah kebaikan dan kalau hasil akhirnya kejelekan, apapun bentuknya, berarti kejelekan juga.
Posting Komentar untuk "Takdir Dan Amal"
Terimakasih atas kunjungan anda...