Kewajiban Guru Adalah Kebiasaan Semu, Tarikan Allah Lebih Bernilai
Perpegangan yang teguh kepada Allah adalah suatu keharusan untuk mengikuti dan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, bukanlah suatu keharusan bahwa untuk sampai kepada Allah harus dengan wasilah, wasithah, rabithah atau perantaraan guru, syeikh, kyai dan lain sebagainya, sebagaimana yang di sangkakan oleh sebagian dari kalangan ulama sufi itu sendiri, mereka ini hanya sekedar pembimbing, pengarah dan penyampai tentang cara-cara ibadah ketuhanan, hal inilah yang mendorong blog ini menyampaikan semua kerangka kurikulum pembelajaran tata cara ibadah ketuhanannya para sufi melalui Thariqat An-Naqsyabandi ini.
Tentang wasilah, wasithah dan rabithah ini hanyalah suatu kebiasaan di kalangan jama’ah para sufi tersebut yang terlalu mengagungkan manusia terhadap Tuhannya, sementara sufi itu sendiri paada dasarnya tidak mempedulikan hal ini dan sebisanya mereka malah meluruskan, bahwasanya di hadapan Allah itu semua sama, yang membedakan hanya iman dan ketaqwaan saja.
Allah sampaikan seseorang hamba kepada-Nya atas kehendak-Nya jua dengan beberapa macam tarikan (jadzabaat) berdasarkan perjuangan hamba tersebut dalam mendaki dan menempuh jalan untuk menuju kepada-Nya.
Sebagian dari cara-cara tarikan Allah untuk menyampaikan seseorang hamba kepada-Nya antaara lain adalah dengan cara bisa saja sepeerti misalnya rutin membaca shalawat sebanyak-banyak dan sekemampuan tiap kali siang dan malam, semisal shalawat “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammadin Nabiyyil Ummiyyi Wa’alaa ‘Alihi Washahbihi Wassallim.” (Yaa Allah, limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan terhadap Nabi Muhammad Saw yang ummiy dan terhadap keluarga serta saahabat beliau).
Siapa yang mengamalkan apa-apa yang tercantum dalam syari’at Allah berupa amalan-amalan sunnah yang di anjurkan Rasulullah, maka tentu saja mendapat jizbah dari Tuhannya, nilai jizbah itu jauh lebih tinggi, sebagaimana Rasulullah bersabda,”Jadzabatun min jadzabatil haqqi la tuwazi’amalast-staqalaini.” (Satu tarikan dari beberapa tarikan Tuhan, tidak akan dapat di samakan dengan amalan Jin dan Manusia).
Memang benar, bahwa keharusan melalui seorang guru dalam belajar ilmu tasawwuf adalah kebiasaan masyarakat umum, tapi dalam banyak hal ungkapan-ungkapan dan rumus-rumus serta isyarat-isyarat di dalam ilmu itu banyak sekali yang harus di mengerti jika ingin memahaminya secara baik, apabila di pelajari sedikit saja dan serba tanggung dan terlebih lagi jika hanya melalui membaca kitab-kitab tasawwuf akan banyak kemungkinan salah pengertian dan malah terjerumus jadi menyesatkan yang pada dasarnya ia memang baik, namun juga seorang guru bukanlah jaminan untuk bisa mengantarkan seseorang untuk sampai dan mengenal kepada Allah sebagaimana yang di maksud tujuannya oleh ilmu tasawwuf itu sendiri, sama sekali tidak!!!
Guru itu hanyalah sekedar penunjuk jalan, memberi pengertian dan pemahaman, namun semua itu adalah tergantung sepenuhnya pada kehendak Allah sendiri teerhadap hamba-Nya untuk tujuan itu, apalagi bila sampai kepada pengertian secara hakikat tentang makrifat yang berupa “Allah sendiri yang memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-Nya.”
Ilmu tanpa amal sama sekali tidak ada gunanya, seharusnyalah seseorang itu mengamalkan sepanjang hidupnya atas apa ilmu agama yang di ketahuinya dan hendaklah senantiasa ia menambah apa-apa yang tidak di ketahuinya, Rasulullah bersabda,”Inna asyaddannasi ‘adzaban yaumal qiyamati ‘alimun lam yanfa’u ‘ilmuhu.” (Sesungguhnya manusia yang mendapat adzab yang paling hebat di hari kiamat adalah seorang yang berilmu tetapi tidak memanfaatkan ilmunya.”
Seseorang yang berpengetahuan tidak mengamalkan ilmunya, di adzab lebih dahulu daripada penyembah berhala, begitu pula suatu amal yang tidak di dasarkan ilmu, maka amal sedemikian sama sekali tidak ada nilai dan harganya, bahkan mungkin membawa kesesatan.
Ilmu tanpa amal dosa besar, amal tanpa ilmu adalah kesesatan yang nyata…
Ilmu dan amal memungkinkan seseorang mendapatkan ilmu laduni sebagaimana firman Allah,”Wattaqullaha wayu’allimukumullaahu.” (Taqwalah kepada Allah, Allah akan ajarkan ilmu langsung kepadamu). Rasulullah bersabda,”Man’amila bima ‘alima warastahullahu ilma ma lam ya’lam.” (Siapa yang mengamalkan apa yang di ketahuinya, Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak pernah di ketahuinya).
Ilmu yang di maksud adalah ilmu yang langsung dari Allah tanpa lebih dahulu di pelajari dan di pahami dan tidak pernah terlintas, suatu ilmu yang juga manfaatnya membawanya untuk mengenalkannya kepada Tuhannya dan berguna bagi dunia dan akhirat secara keseluruhan.
Seseorang tidak akan mencapai tingkat makrifatullah tanpa ilmu laduni sebagaimana yang di maksud firman Allah dan sabda rasulullah di atas, pengertian makrifatullah itu adalah “Allah yang memperkenalkan dirinya kepadamu.” Mengenal diri dapat mengenal Tuhan, setelah mengenal Tuhan dia tidak dapat lagi mengenal dirinya kala itu, makrifat itu “Ta’alluq” atau berhubungan dengan pengenalan terhadap diri, pengenalan diri berhubungan pula kepada pengenalan terhadap Allah, barulah ia sadari bahwa dia sendiri pada hakikatnya tidak mempunyai pengetahuan apa-apa, Rasulullah bersabda,”’Arafukum birabbihi ‘arafukum binafsihi.” (Orang yang benar-benar makrifat kepada Allah adalah yang lebih mmengerti atau kenal terhadap [keadaan] dirinya).
Makrifat aadalah kasyaf, yang maksudnya adalah terbuka baginya hijab hakikat segala sesuatu ini pada diri dan alam, fana akan dirinya, kemudian fanalah fana itu sendiri, artinya bukan dirinya lagi yang memfanakan tetapi Allah-lah yang memfanakan dirinya atas kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, dari dalam keadaan ini di sebut baqabillah yang maksudnya adalah dia telah mengerti akan Allah itu yang meliputi segala-galanya.
Sungguh terasa kemanisan dan kelezatan iman dan amal ibadah itu sendiri dalam kondisi tersebut dan membuat seseorang menjadi ketagihan untuk beramal ibadah dalam berbagai kesempatan apapun juga, inilah hikmah yang nyata bagi dalam kehidupan di dunia ini, ia jadi sangat takut untuk berbuat salah walau kecil, apalagi dosa-dosa besar, semua terasa hampa jika tidak beribadah dan tidak merasakan tarikan Allah terhadap dirinya.
Tentang fana ini dapat di bagi pada 3 (tiga) tingkatan, yaitu :
1. Fana Ilmu, fana atas segala sesuatu ini akan ada hakikatnya, yang di lihat dari kemampuan ilmu, pengetahuan dan pemahaman dirinya sendiri.
2. Fana ‘Ain, fananya segala sesuatu ini sepanjang penglihaatan dengan mata hati sendiri.
3. Fana Haq, fana dalam arti hakikat (sebenarnya), fana dirinya dan fana atas apa-apa yang di lihatnya menurut pengertian, pengetahuan dan pemahaman secara hakiki.
Bagaimanapun juga untuk sampai kepada Tuhan, bukanlah karena sebab dan pengamatan pikiran lahiriah semata, hal itu adalah hanya karena karunia Allah yang Maha Latif (Halus), dalam isyarat yakin dan tahkik atau kemantapan iman.
Kelemahan menemukan pendapat, maka itulah sebenarnya yang merupakan penemuan atas pendapat itu sendiri, artinya telah sadar bahwa diri itu sebenarnya lemah, tidak berdaya, tidak berilmu dan sebagainya, semua itu hanya mutlak milik Allah semata yang segala sifat tersebut ada terpatri pada sikap dan sifat manusia itu sendiri.
Seseorang yang dalam keadaan heninh dan kosong adalah sudah merasakan atas pengisian pemahaman itu sendiri dengan karunia-Nya, paham akan Af’al allah, Sifat Allah, Asma Allah dan Dzat Allah, dengan demikian dia telah keluar dari rasa sifat yang buruk namun berada dalam sifat terpuji.
Rasulullah bersabda,”Nahnu ma’asyirul anbiya’I amarana an nukallimannasa ‘ala qadri ‘uqulihim.” (Kami para nabi-nabi, Allah perintahkan kami berbicara kepada manusia menurut tingkat kecerdasannya mereka).
Menyampaikan hal-hal yang halus bila tidak sesuai dengan tingkat kecerdasannya, kemungkinan akan menimbulkan fitnah, seperti yang di katakan Rasulullah,”Ma hadasta ahadun qauman bi hadistin la yabghuhu illa kana fitnatan lahum.” (Apapun yang di bicarakan seseorang kepada suatu kaum, dengan pembicaraan yang tingkat kecerdasan mereka tidak mampu untuk memahaminya, hanya akan menimbulkan fitnah terhadap mereka).
Rasulullah juga bersabda,”Inna minal ‘ilmi kahai’atil maknuni laya’lamuhu illal ‘alimun`” (Sesungguhnya ada sebagian ilmu itu laksana mutiara yang tersembunyi, tak ada yang tahu kecuali orang yang arif billah).
Imam Al-Ghazali berkata mengenai ini dalam Kitab Ihya ‘Ulumuddin, “Larangan yang di maksud karena berhubungan dengan hal yang sulit dan sukarnya pemahamannya mereka terhadap hal itu.” Rasulullah bersabda, ”Kelebihan Abu Bakar dari padamu, bukanlah karena banyak shalat dan banyak puasa, tetapi kelebihannya itu karena suatu rahasia yang terletak di dadanya (di hatinya).
Itulah ilmu tasawwuf yang memang perlu untuk adanya seorang pembimbing sebagai sarana penyampai pemahaman, bukan berarti ia serba bisa dalam menyampaikan seseorang untuk menuju Tuhannya, wallahu’alam.
Tentang wasilah, wasithah dan rabithah ini hanyalah suatu kebiasaan di kalangan jama’ah para sufi tersebut yang terlalu mengagungkan manusia terhadap Tuhannya, sementara sufi itu sendiri paada dasarnya tidak mempedulikan hal ini dan sebisanya mereka malah meluruskan, bahwasanya di hadapan Allah itu semua sama, yang membedakan hanya iman dan ketaqwaan saja.
Allah sampaikan seseorang hamba kepada-Nya atas kehendak-Nya jua dengan beberapa macam tarikan (jadzabaat) berdasarkan perjuangan hamba tersebut dalam mendaki dan menempuh jalan untuk menuju kepada-Nya.
Sebagian dari cara-cara tarikan Allah untuk menyampaikan seseorang hamba kepada-Nya antaara lain adalah dengan cara bisa saja sepeerti misalnya rutin membaca shalawat sebanyak-banyak dan sekemampuan tiap kali siang dan malam, semisal shalawat “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammadin Nabiyyil Ummiyyi Wa’alaa ‘Alihi Washahbihi Wassallim.” (Yaa Allah, limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan terhadap Nabi Muhammad Saw yang ummiy dan terhadap keluarga serta saahabat beliau).
Siapa yang mengamalkan apa-apa yang tercantum dalam syari’at Allah berupa amalan-amalan sunnah yang di anjurkan Rasulullah, maka tentu saja mendapat jizbah dari Tuhannya, nilai jizbah itu jauh lebih tinggi, sebagaimana Rasulullah bersabda,”Jadzabatun min jadzabatil haqqi la tuwazi’amalast-staqalaini.” (Satu tarikan dari beberapa tarikan Tuhan, tidak akan dapat di samakan dengan amalan Jin dan Manusia).
Memang benar, bahwa keharusan melalui seorang guru dalam belajar ilmu tasawwuf adalah kebiasaan masyarakat umum, tapi dalam banyak hal ungkapan-ungkapan dan rumus-rumus serta isyarat-isyarat di dalam ilmu itu banyak sekali yang harus di mengerti jika ingin memahaminya secara baik, apabila di pelajari sedikit saja dan serba tanggung dan terlebih lagi jika hanya melalui membaca kitab-kitab tasawwuf akan banyak kemungkinan salah pengertian dan malah terjerumus jadi menyesatkan yang pada dasarnya ia memang baik, namun juga seorang guru bukanlah jaminan untuk bisa mengantarkan seseorang untuk sampai dan mengenal kepada Allah sebagaimana yang di maksud tujuannya oleh ilmu tasawwuf itu sendiri, sama sekali tidak!!!
Guru itu hanyalah sekedar penunjuk jalan, memberi pengertian dan pemahaman, namun semua itu adalah tergantung sepenuhnya pada kehendak Allah sendiri teerhadap hamba-Nya untuk tujuan itu, apalagi bila sampai kepada pengertian secara hakikat tentang makrifat yang berupa “Allah sendiri yang memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-Nya.”
Ilmu tanpa amal sama sekali tidak ada gunanya, seharusnyalah seseorang itu mengamalkan sepanjang hidupnya atas apa ilmu agama yang di ketahuinya dan hendaklah senantiasa ia menambah apa-apa yang tidak di ketahuinya, Rasulullah bersabda,”Inna asyaddannasi ‘adzaban yaumal qiyamati ‘alimun lam yanfa’u ‘ilmuhu.” (Sesungguhnya manusia yang mendapat adzab yang paling hebat di hari kiamat adalah seorang yang berilmu tetapi tidak memanfaatkan ilmunya.”
Seseorang yang berpengetahuan tidak mengamalkan ilmunya, di adzab lebih dahulu daripada penyembah berhala, begitu pula suatu amal yang tidak di dasarkan ilmu, maka amal sedemikian sama sekali tidak ada nilai dan harganya, bahkan mungkin membawa kesesatan.
Ilmu tanpa amal dosa besar, amal tanpa ilmu adalah kesesatan yang nyata…
Ilmu dan amal memungkinkan seseorang mendapatkan ilmu laduni sebagaimana firman Allah,”Wattaqullaha wayu’allimukumullaahu.” (Taqwalah kepada Allah, Allah akan ajarkan ilmu langsung kepadamu). Rasulullah bersabda,”Man’amila bima ‘alima warastahullahu ilma ma lam ya’lam.” (Siapa yang mengamalkan apa yang di ketahuinya, Allah akan mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak pernah di ketahuinya).
Ilmu yang di maksud adalah ilmu yang langsung dari Allah tanpa lebih dahulu di pelajari dan di pahami dan tidak pernah terlintas, suatu ilmu yang juga manfaatnya membawanya untuk mengenalkannya kepada Tuhannya dan berguna bagi dunia dan akhirat secara keseluruhan.
Seseorang tidak akan mencapai tingkat makrifatullah tanpa ilmu laduni sebagaimana yang di maksud firman Allah dan sabda rasulullah di atas, pengertian makrifatullah itu adalah “Allah yang memperkenalkan dirinya kepadamu.” Mengenal diri dapat mengenal Tuhan, setelah mengenal Tuhan dia tidak dapat lagi mengenal dirinya kala itu, makrifat itu “Ta’alluq” atau berhubungan dengan pengenalan terhadap diri, pengenalan diri berhubungan pula kepada pengenalan terhadap Allah, barulah ia sadari bahwa dia sendiri pada hakikatnya tidak mempunyai pengetahuan apa-apa, Rasulullah bersabda,”’Arafukum birabbihi ‘arafukum binafsihi.” (Orang yang benar-benar makrifat kepada Allah adalah yang lebih mmengerti atau kenal terhadap [keadaan] dirinya).
Makrifat aadalah kasyaf, yang maksudnya adalah terbuka baginya hijab hakikat segala sesuatu ini pada diri dan alam, fana akan dirinya, kemudian fanalah fana itu sendiri, artinya bukan dirinya lagi yang memfanakan tetapi Allah-lah yang memfanakan dirinya atas kemuliaan, keagungan dan kebesaran Allah, dari dalam keadaan ini di sebut baqabillah yang maksudnya adalah dia telah mengerti akan Allah itu yang meliputi segala-galanya.
Sungguh terasa kemanisan dan kelezatan iman dan amal ibadah itu sendiri dalam kondisi tersebut dan membuat seseorang menjadi ketagihan untuk beramal ibadah dalam berbagai kesempatan apapun juga, inilah hikmah yang nyata bagi dalam kehidupan di dunia ini, ia jadi sangat takut untuk berbuat salah walau kecil, apalagi dosa-dosa besar, semua terasa hampa jika tidak beribadah dan tidak merasakan tarikan Allah terhadap dirinya.
Tentang fana ini dapat di bagi pada 3 (tiga) tingkatan, yaitu :
1. Fana Ilmu, fana atas segala sesuatu ini akan ada hakikatnya, yang di lihat dari kemampuan ilmu, pengetahuan dan pemahaman dirinya sendiri.
2. Fana ‘Ain, fananya segala sesuatu ini sepanjang penglihaatan dengan mata hati sendiri.
3. Fana Haq, fana dalam arti hakikat (sebenarnya), fana dirinya dan fana atas apa-apa yang di lihatnya menurut pengertian, pengetahuan dan pemahaman secara hakiki.
Bagaimanapun juga untuk sampai kepada Tuhan, bukanlah karena sebab dan pengamatan pikiran lahiriah semata, hal itu adalah hanya karena karunia Allah yang Maha Latif (Halus), dalam isyarat yakin dan tahkik atau kemantapan iman.
Kelemahan menemukan pendapat, maka itulah sebenarnya yang merupakan penemuan atas pendapat itu sendiri, artinya telah sadar bahwa diri itu sebenarnya lemah, tidak berdaya, tidak berilmu dan sebagainya, semua itu hanya mutlak milik Allah semata yang segala sifat tersebut ada terpatri pada sikap dan sifat manusia itu sendiri.
Seseorang yang dalam keadaan heninh dan kosong adalah sudah merasakan atas pengisian pemahaman itu sendiri dengan karunia-Nya, paham akan Af’al allah, Sifat Allah, Asma Allah dan Dzat Allah, dengan demikian dia telah keluar dari rasa sifat yang buruk namun berada dalam sifat terpuji.
Rasulullah bersabda,”Nahnu ma’asyirul anbiya’I amarana an nukallimannasa ‘ala qadri ‘uqulihim.” (Kami para nabi-nabi, Allah perintahkan kami berbicara kepada manusia menurut tingkat kecerdasannya mereka).
Menyampaikan hal-hal yang halus bila tidak sesuai dengan tingkat kecerdasannya, kemungkinan akan menimbulkan fitnah, seperti yang di katakan Rasulullah,”Ma hadasta ahadun qauman bi hadistin la yabghuhu illa kana fitnatan lahum.” (Apapun yang di bicarakan seseorang kepada suatu kaum, dengan pembicaraan yang tingkat kecerdasan mereka tidak mampu untuk memahaminya, hanya akan menimbulkan fitnah terhadap mereka).
Rasulullah juga bersabda,”Inna minal ‘ilmi kahai’atil maknuni laya’lamuhu illal ‘alimun`” (Sesungguhnya ada sebagian ilmu itu laksana mutiara yang tersembunyi, tak ada yang tahu kecuali orang yang arif billah).
Imam Al-Ghazali berkata mengenai ini dalam Kitab Ihya ‘Ulumuddin, “Larangan yang di maksud karena berhubungan dengan hal yang sulit dan sukarnya pemahamannya mereka terhadap hal itu.” Rasulullah bersabda, ”Kelebihan Abu Bakar dari padamu, bukanlah karena banyak shalat dan banyak puasa, tetapi kelebihannya itu karena suatu rahasia yang terletak di dadanya (di hatinya).
Itulah ilmu tasawwuf yang memang perlu untuk adanya seorang pembimbing sebagai sarana penyampai pemahaman, bukan berarti ia serba bisa dalam menyampaikan seseorang untuk menuju Tuhannya, wallahu’alam.
Posting Komentar untuk "Kewajiban Guru Adalah Kebiasaan Semu, Tarikan Allah Lebih Bernilai"
Terimakasih atas kunjungan anda...