Syafa'at Adalah Hak
Kita memohon dari Allah Ta'ala agar kita di muliakan dengan karunia dan rahmat-Nva di hari kiamat nanti untuk mendapatkan syafa'at orang-orang shalihin, baik itu syafa'at bagi orang yang berhak masuk neraka di antara kita, kita berlindung kepada Allah dari neraka atau untuk mengangkat derajat kita di syurga atau yang lainnya.
Sesungguhnya siapapun orang yang akan memberikan syafa'at tidak akan mungkin memberinya kecuali dengan seizin dari Allah Ta'ala, baik ia malaikat yang terdekat maupun nabi yang di utus, lalu bagaimana dengan orang yang selain mereka?
Allah berfirman : "Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa'at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang di kehendaki dan di ridhai(Nya)." (Q.S. An-Najm : 26).
Dan firman Allah yang artinya: "Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya." (Q.S. Al Baqarah : 255). Serta firman-Nya yang artinya : "Dan mereka (malaikat tiada memberi syafa'at melainkan kepada oleh yang di ridhai Allah dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (Q.S. Al-Anbiya' : 28).
Dengan demikian maka syafa'at itu di bagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Syafa'at Mutsbatah, yaitu: syafa'at yang tulus (murni) dan khusus bagi orang- orang yang ikhlas. Macam ini tidak di minta kecuali dari Allah semata, karena Dia seperti yang telah kamu ketahui tadi tidak akan memberikan syafa'at seseorang kepada orang lain kecuali dapat izin dan ridha dari-Nya dan juga Dia ridha kepada orang yang menerima syafa'at itu. Bila orang yang menerima syafa'at itu muwahhid, maka dengan seizin Allah syafa'at orang-orang pemberi syafa'at itu bermanfaat baginya, baik itu syafa'at dari para rasul, nabi, shiddiqin, wali dan shalihin.
2. Syafa'at Manfiyah, yaitu syafa'at yang di minta dari selain Allah, seperti memintanya kepadaorang-orang yang sudah mati, jin dan orang yang ghaib (tidak ada), karena ia meminta kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya, adapun orang yang mati seperti telah di jelaskan dalam Al-Qur'an tadi ia tidak mendengar, sedang orang yang ghaib ia tidak mengetahui hal keghaiban, demikian pula dengan para wali dan orang-orang shalihin yang telah mati, mereka tidak mengetahui kalau ada seseorang yang datang ke kuburannya lalu ia meminta pertolongan, meminta syafa'at atau lainnya kepadanya, oleh karena itu bagi orang kafir dan musyrik berdoa, menyembelih dan bernadzar kepada selain Allah tidak akan mendapat syafa'at sama sekali.
Allah berfirman : "Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat berbuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) di buat orang. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan di bangkitkan.." (Q.S. An-Nahl : 20-21).
Maksudnya para wali dan orang-orang shalihin itu adalah sudah mati dan tidak hidup, dengan demikian mereka itu berarti minta kepada yang mati, di mana mereka tidak mampu untuk berbuat hal itu, lain halnya bila orang itu shalih dan masih hidup, maka ia boleh memintanya sesuatu yang dapat di kerjakannya, seperti bila ia berkata kepadanya: Wahai Syaikh! Mohonkanlah kepada Allah untuk saya begini...begini..., ya Fulan tolonglah saya untuk menutup hutang saya, bawakan barang-barangku ke atas kendaraanku atau lainnya, yang sekiranya dia mampu melaksanakannya.
Setelah memberikan gambaran keadaan orang-orang jahil yang singkat ini, yang mana Rasulullah Saw sangat memurkai mereka dengan berdasarkan perintah dari Allah, maka timbullah pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri atau dari kenyataan yang ada di kalangan masyarakat kaum muslimin yang banyak mereka hadapi, yaitu : Apakah bedanya antara orang-orang jahil tadi dengan orang yang memohon kepada para wali dan shalihin (yang sudah mati) atau orang-orang yang tidak berada di tempat yang hidup pada zaman sekarang ini?
Jawab: Bahwa hal itu tidak ada perbedaan dari beberapa segi, antara lain :
Pertama: Karena mereka tidak ber-i'tiqad bahwa ia memiliki sesuatu dari kekuasaan Allah demikian pula dengan orang-orang yang pergi ke kuburan para wali dan shalihin di zaman kita ini, mereka itu berdoa kepadanya dan beri'tiqad sama dengan yang di atas tadi, seperti kepada Hasan bin Ali Radhiallahu 'anhuma, Abdul Qadir Jailani dan Al-Badawi, mudah-mudahan Allah memberinya rahmat serta orang-orang shalih lainnya.
Kedua: Yaitu orang-orang jahil itu ber-i'tiqad bahwa orang-orang shalihin yang sudah mati itu mempunyai suatu kedudukan di sisi Allah Ta'ala lalu dengan itu mereka mengangkat keperluan-keperluan mereka kepadaAllah. Orang-orang jahil itu tadi ber-i'tiqad bahwamerekaitu yang mendekatkan diri mereka kepada Allah, sedang Rabb sudah mengkafirkan mereka lantaran perkataan mereka sendiri (dalam Al-Qur'an yang artinya) : "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah." (Q.S. Yunus : 18).
Dan perkataan mereka pula: "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (Q.S. Az-Zumar : 3). Demikian pula di zaman sekarang ini orang-orang pengunjung kuburan ber-i'tiqad yang sama terhadap sayid-sayid dan para wali.
Bagaimanakah para shahabat mempraktekkan tawasul yang masyru' (yang syar'i) dalam bentuk amalan setelah wafatnya Rasulullah Saw? Berdoa adalah termasuk ibadah, karena Allah menamai doa itu ibadah sebagaimana yang tersurat dalam firman-Nya : "Dan Rabb-mu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Q.S. Al-Mu'min : 60).
Allah Ta'ala menafsirkan doa di atas dengan beribadah, bahkan telah ada dalam hadits Rasulullah Saw dengan jelas, di antara yang meriwayatkannya adalah Imam Ahmad, Abu Daud, Tarmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim, IbnuJarir, IbnuHibban dan Hakim, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "sesungguhnya doa itu adalah ibadah." (Hadits Shahih, lihat Shahih Jami' Shaghir (3407).
Dan Abi Hurairah Ra, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda yang artinya: "Barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya." Dan para shahabat telah memahami makna ini, yaitu barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah maka ia adalah musyrik kafir, walaupun ia berdoa kepada malaikat yang dekat ataupun nabi yang di utus dan apa-apa yang mereka kerjakan (untuk selain Allah akan di tolak) walaupun ia kerjakan itu di tempat yang gelap gulita.
Kita akan mengambil contoh dalam masalah ini dalam kehidupan para shabahat setelah meninggalnya Rasulullah Saw, paceklik yang panjang telah melanda manusia pada zaman khalifah Umar bin Khattab, maka beliau meminta kepada Al-Abbas paman Rasulullah Saw agar di turunkan hujan dari Allah Ta'ala dan tatkala mereka berada di mushalla, Umar Ra berkata : "Ya Allah, sesungguhnya kita dulu bertawasul kepada-Mu dengan nabi kita lalu Kamu turunkan hujan kepada kami dan sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman nabi kita, maka turunkanlah hujan kepada kami, maka turunlah hujan kepada kami di saat itu."
Lalu Al-Abbas langsung berdoa sedang mereka mengamini, itulah para shahabat RasulullahSaw, lalu kenapa orang di zaman sekarang ini tidak melakukan seperti apa yang shahabat lakukan baik itu minta, yaitu kami (mereka) mendekatkan diri kepada-Mu dengan doa paman nabi kita. Ini tidak apa-apa, karena ia masih hidup dan memohon minta doa kepada orang yang masih hidup boleh hukumnya, sedang mereka (para shahabat itu orang) yang paling tahu di antara manusia tentang yang halal dan yang haram.
Mereka itulah yang shalat di belakang Rasulullah Saw, berperang bersamanya, melaksanakan haji dengannya, duduk di masjid dengannya, mendengarkan khutbahnya, bersopan santun seperti budi pekertinya dan mereka belajar darinya.
Demikian pula tidak boleh bepergian ke kuburan nabi, wali atau lainnya, karena yang demikian itu salah satu wasilah yang menuju kesyirikan, sedang wasilah itu hukumnya seperti tujuan, oleh karena itu Rasulullah Saw telah melarang hal itu dalam sabdanya : "Tidak boleh bepergian (dengan maksud ibadah) kecuali ke tiga masjid (saja): Masjid Haram, Masjidku ini dan Masjid Aqsha." (H.R. Bukhari).
Ini di maksudkan, bahwa bepergian itu tidak boleh bila hanya untuk menziarahi kuburan orang shalih, kuburan wali atau lainnya dan kita mencintai Nabi Saw lebih banyak dari pada mencintai diri sendiri, ayah, anak, keluarga dan harta dan kita mencintai shahabat dan para wali.
Kita mencintai siapa saja yang mencintai mereka dan memusuhi siapa saja yang memusuhi mereka, kita mengetahui bahwa barangsiapa yang menentang wali Allah, maka ia memaklumkan perang terhadapnya, akan tetapi katakanlah atas nama Rabb mu: Apakah mencintai mereka itu berarti menyembah mereka selain Allah, menjadikan mereka itu sebagai tandingan-tandingan Allah, bertawasul kepada mereka, mengelilingi (tawaf) di kuburannya."
Dari sini kita mengetahui bahwa doa kepada siapa saja dari makhluk selain Allah Ta'ala, di mana ia tidak mampu untuk memenuhi permohonannya kecuali Allah, maka hal itu adalah syirik mempersekutukan-Nya.
Contohnya seperti orang-orang yang mendatangi ke kuburan para wali dan shalihin lalu mereka meminta kepadanya hajat-hajat yang bermacam-macam, seperti agar di sembuhkan dari penyakit mereka, di kembalikan orang yang hilang dari mereka, di beri anak bagi yang mandul dan di kembalikan orang yang sesat dari mereka.
Walaupun mereka itu mengatakan: kami ber-i'tiqad bahwa segala sesuatunya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka inilah sebenarnya seperti yang kita ketahui syiriknya orang-orang jahiliyah yang mana Rasulullah Saw di utus kepada mereka dan inilah yang di namakan syirik akbar (syirik besar).
Beberapa argumen yang menjelaskan bahwa berdoa kepada para wali selain Allah Ta'ala adalah syirik akbar, firman Allah : "Maka janganlah knmu menyembah seorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (Q.S. Al-Jin : 18).
Hal ini dalam kontek larangan yang memberi arti umum, yaitu tidak boleh berdoa kecuali kepada Allah saja dan berdoa kepada selain-Nya adalah syirik akbar yang dapat membatalkan semua amalannya seperti yang di firmankan oleh Allah yang artinya : "Dan Kami hadapi segala amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu hilang berterbangan." (Q.S. Al-Furqan : 23).
Argumen yang lainnya tentang hal ini adalah firman Allah pada akhir Surat Al-A'raf, yang artinya : "Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-hala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang." (Q.S. Al-A'raf : 191).
Dan lihat pula ayat-ayat sesudahnya sampai ayat 197, semua adalah nash-nash yang jelas bahwa berdoa kepada selain Allah Ta'ala adalah syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Sesungguhnya siapapun orang yang akan memberikan syafa'at tidak akan mungkin memberinya kecuali dengan seizin dari Allah Ta'ala, baik ia malaikat yang terdekat maupun nabi yang di utus, lalu bagaimana dengan orang yang selain mereka?
Allah berfirman : "Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa'at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang di kehendaki dan di ridhai(Nya)." (Q.S. An-Najm : 26).
Dan firman Allah yang artinya: "Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya." (Q.S. Al Baqarah : 255). Serta firman-Nya yang artinya : "Dan mereka (malaikat tiada memberi syafa'at melainkan kepada oleh yang di ridhai Allah dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya." (Q.S. Al-Anbiya' : 28).
Dengan demikian maka syafa'at itu di bagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Syafa'at Mutsbatah, yaitu: syafa'at yang tulus (murni) dan khusus bagi orang- orang yang ikhlas. Macam ini tidak di minta kecuali dari Allah semata, karena Dia seperti yang telah kamu ketahui tadi tidak akan memberikan syafa'at seseorang kepada orang lain kecuali dapat izin dan ridha dari-Nya dan juga Dia ridha kepada orang yang menerima syafa'at itu. Bila orang yang menerima syafa'at itu muwahhid, maka dengan seizin Allah syafa'at orang-orang pemberi syafa'at itu bermanfaat baginya, baik itu syafa'at dari para rasul, nabi, shiddiqin, wali dan shalihin.
2. Syafa'at Manfiyah, yaitu syafa'at yang di minta dari selain Allah, seperti memintanya kepadaorang-orang yang sudah mati, jin dan orang yang ghaib (tidak ada), karena ia meminta kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya, adapun orang yang mati seperti telah di jelaskan dalam Al-Qur'an tadi ia tidak mendengar, sedang orang yang ghaib ia tidak mengetahui hal keghaiban, demikian pula dengan para wali dan orang-orang shalihin yang telah mati, mereka tidak mengetahui kalau ada seseorang yang datang ke kuburannya lalu ia meminta pertolongan, meminta syafa'at atau lainnya kepadanya, oleh karena itu bagi orang kafir dan musyrik berdoa, menyembelih dan bernadzar kepada selain Allah tidak akan mendapat syafa'at sama sekali.
Allah berfirman : "Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat berbuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) di buat orang. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan di bangkitkan.." (Q.S. An-Nahl : 20-21).
Maksudnya para wali dan orang-orang shalihin itu adalah sudah mati dan tidak hidup, dengan demikian mereka itu berarti minta kepada yang mati, di mana mereka tidak mampu untuk berbuat hal itu, lain halnya bila orang itu shalih dan masih hidup, maka ia boleh memintanya sesuatu yang dapat di kerjakannya, seperti bila ia berkata kepadanya: Wahai Syaikh! Mohonkanlah kepada Allah untuk saya begini...begini..., ya Fulan tolonglah saya untuk menutup hutang saya, bawakan barang-barangku ke atas kendaraanku atau lainnya, yang sekiranya dia mampu melaksanakannya.
Setelah memberikan gambaran keadaan orang-orang jahil yang singkat ini, yang mana Rasulullah Saw sangat memurkai mereka dengan berdasarkan perintah dari Allah, maka timbullah pertanyaan yang muncul dari dirinya sendiri atau dari kenyataan yang ada di kalangan masyarakat kaum muslimin yang banyak mereka hadapi, yaitu : Apakah bedanya antara orang-orang jahil tadi dengan orang yang memohon kepada para wali dan shalihin (yang sudah mati) atau orang-orang yang tidak berada di tempat yang hidup pada zaman sekarang ini?
Jawab: Bahwa hal itu tidak ada perbedaan dari beberapa segi, antara lain :
Pertama: Karena mereka tidak ber-i'tiqad bahwa ia memiliki sesuatu dari kekuasaan Allah demikian pula dengan orang-orang yang pergi ke kuburan para wali dan shalihin di zaman kita ini, mereka itu berdoa kepadanya dan beri'tiqad sama dengan yang di atas tadi, seperti kepada Hasan bin Ali Radhiallahu 'anhuma, Abdul Qadir Jailani dan Al-Badawi, mudah-mudahan Allah memberinya rahmat serta orang-orang shalih lainnya.
Kedua: Yaitu orang-orang jahil itu ber-i'tiqad bahwa orang-orang shalihin yang sudah mati itu mempunyai suatu kedudukan di sisi Allah Ta'ala lalu dengan itu mereka mengangkat keperluan-keperluan mereka kepadaAllah. Orang-orang jahil itu tadi ber-i'tiqad bahwamerekaitu yang mendekatkan diri mereka kepada Allah, sedang Rabb sudah mengkafirkan mereka lantaran perkataan mereka sendiri (dalam Al-Qur'an yang artinya) : "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah." (Q.S. Yunus : 18).
Dan perkataan mereka pula: "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (Q.S. Az-Zumar : 3). Demikian pula di zaman sekarang ini orang-orang pengunjung kuburan ber-i'tiqad yang sama terhadap sayid-sayid dan para wali.
Bagaimanakah para shahabat mempraktekkan tawasul yang masyru' (yang syar'i) dalam bentuk amalan setelah wafatnya Rasulullah Saw? Berdoa adalah termasuk ibadah, karena Allah menamai doa itu ibadah sebagaimana yang tersurat dalam firman-Nya : "Dan Rabb-mu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Q.S. Al-Mu'min : 60).
Allah Ta'ala menafsirkan doa di atas dengan beribadah, bahkan telah ada dalam hadits Rasulullah Saw dengan jelas, di antara yang meriwayatkannya adalah Imam Ahmad, Abu Daud, Tarmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim, IbnuJarir, IbnuHibban dan Hakim, bahwa Rasulullah Saw bersabda : "sesungguhnya doa itu adalah ibadah." (Hadits Shahih, lihat Shahih Jami' Shaghir (3407).
Dan Abi Hurairah Ra, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda yang artinya: "Barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya." Dan para shahabat telah memahami makna ini, yaitu barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah maka ia adalah musyrik kafir, walaupun ia berdoa kepada malaikat yang dekat ataupun nabi yang di utus dan apa-apa yang mereka kerjakan (untuk selain Allah akan di tolak) walaupun ia kerjakan itu di tempat yang gelap gulita.
Kita akan mengambil contoh dalam masalah ini dalam kehidupan para shabahat setelah meninggalnya Rasulullah Saw, paceklik yang panjang telah melanda manusia pada zaman khalifah Umar bin Khattab, maka beliau meminta kepada Al-Abbas paman Rasulullah Saw agar di turunkan hujan dari Allah Ta'ala dan tatkala mereka berada di mushalla, Umar Ra berkata : "Ya Allah, sesungguhnya kita dulu bertawasul kepada-Mu dengan nabi kita lalu Kamu turunkan hujan kepada kami dan sekarang kami bertawasul kepada-Mu dengan paman nabi kita, maka turunkanlah hujan kepada kami, maka turunlah hujan kepada kami di saat itu."
Lalu Al-Abbas langsung berdoa sedang mereka mengamini, itulah para shahabat RasulullahSaw, lalu kenapa orang di zaman sekarang ini tidak melakukan seperti apa yang shahabat lakukan baik itu minta, yaitu kami (mereka) mendekatkan diri kepada-Mu dengan doa paman nabi kita. Ini tidak apa-apa, karena ia masih hidup dan memohon minta doa kepada orang yang masih hidup boleh hukumnya, sedang mereka (para shahabat itu orang) yang paling tahu di antara manusia tentang yang halal dan yang haram.
Mereka itulah yang shalat di belakang Rasulullah Saw, berperang bersamanya, melaksanakan haji dengannya, duduk di masjid dengannya, mendengarkan khutbahnya, bersopan santun seperti budi pekertinya dan mereka belajar darinya.
Demikian pula tidak boleh bepergian ke kuburan nabi, wali atau lainnya, karena yang demikian itu salah satu wasilah yang menuju kesyirikan, sedang wasilah itu hukumnya seperti tujuan, oleh karena itu Rasulullah Saw telah melarang hal itu dalam sabdanya : "Tidak boleh bepergian (dengan maksud ibadah) kecuali ke tiga masjid (saja): Masjid Haram, Masjidku ini dan Masjid Aqsha." (H.R. Bukhari).
Ini di maksudkan, bahwa bepergian itu tidak boleh bila hanya untuk menziarahi kuburan orang shalih, kuburan wali atau lainnya dan kita mencintai Nabi Saw lebih banyak dari pada mencintai diri sendiri, ayah, anak, keluarga dan harta dan kita mencintai shahabat dan para wali.
Kita mencintai siapa saja yang mencintai mereka dan memusuhi siapa saja yang memusuhi mereka, kita mengetahui bahwa barangsiapa yang menentang wali Allah, maka ia memaklumkan perang terhadapnya, akan tetapi katakanlah atas nama Rabb mu: Apakah mencintai mereka itu berarti menyembah mereka selain Allah, menjadikan mereka itu sebagai tandingan-tandingan Allah, bertawasul kepada mereka, mengelilingi (tawaf) di kuburannya."
Dari sini kita mengetahui bahwa doa kepada siapa saja dari makhluk selain Allah Ta'ala, di mana ia tidak mampu untuk memenuhi permohonannya kecuali Allah, maka hal itu adalah syirik mempersekutukan-Nya.
Contohnya seperti orang-orang yang mendatangi ke kuburan para wali dan shalihin lalu mereka meminta kepadanya hajat-hajat yang bermacam-macam, seperti agar di sembuhkan dari penyakit mereka, di kembalikan orang yang hilang dari mereka, di beri anak bagi yang mandul dan di kembalikan orang yang sesat dari mereka.
Walaupun mereka itu mengatakan: kami ber-i'tiqad bahwa segala sesuatunya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka inilah sebenarnya seperti yang kita ketahui syiriknya orang-orang jahiliyah yang mana Rasulullah Saw di utus kepada mereka dan inilah yang di namakan syirik akbar (syirik besar).
Beberapa argumen yang menjelaskan bahwa berdoa kepada para wali selain Allah Ta'ala adalah syirik akbar, firman Allah : "Maka janganlah knmu menyembah seorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (Q.S. Al-Jin : 18).
Hal ini dalam kontek larangan yang memberi arti umum, yaitu tidak boleh berdoa kecuali kepada Allah saja dan berdoa kepada selain-Nya adalah syirik akbar yang dapat membatalkan semua amalannya seperti yang di firmankan oleh Allah yang artinya : "Dan Kami hadapi segala amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu hilang berterbangan." (Q.S. Al-Furqan : 23).
Argumen yang lainnya tentang hal ini adalah firman Allah pada akhir Surat Al-A'raf, yang artinya : "Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-hala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang." (Q.S. Al-A'raf : 191).
Dan lihat pula ayat-ayat sesudahnya sampai ayat 197, semua adalah nash-nash yang jelas bahwa berdoa kepada selain Allah Ta'ala adalah syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Posting Komentar untuk "Syafa'at Adalah Hak"
Terimakasih atas kunjungan anda...