Cinta Diri, Akar Kerusakan
Para ulama akhlak menyebut sifat kecintaan kepada diri, hanya mencintai dan mementingkan diri sendiri sebagai induk dan akar semua kerusakan dan dosa, untuk itu, seseorang harus bersungguh sungguh memeranginya dalam upaya menyucikan dirinya, di sini, pertama-tama, membahas arti kecintaan kepada diri, kemudian menjelaskan pengaruh-pengaruh buruknya berikut cara-cara memeranginya.
Meskipun demikian, kita harus mengetahui, bahwa setiap maujud yang hidup mencintai dzat, sifat, perbuatan dan kesempurnaan dirinya, artinya, secara tabiat, mereka itu egois dan mencintai dirinya, oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan secara mutlak, bahwa sifat mencintai diri itu tercela.
Di sini di perlukan penjelasan, dalam kesempatan lalu, kita telah mengetahui, bahwa manusia mempunyai dua peringkat wujud dan dua diri, yaitu diri kemanusiaan dan diri kebinatangan. “Diri” kemanusiaan manusia adalah tiupan Illahi yang turun dari alam malakut, agar manusia menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Dari sisi ini, manusia mempunyai akar yang sama dengan ilmu, kehidupan, kekuasaan, rahmat, kebajikan, karunia, kesempurnaan dan kebajikan dan tentunya menginginkan hal-hal ini, karenanya, jika manusia mengenal dirinya dan memahami nilai wujudnya serta memuliakannya, maka dia akan lebih dekat kepada sumber segenap kesempurnaan dan kebaikan.
Dia pun akan menghidupkan sifat-sifat keutamaan dan kebaikan dalam dirinya, dengan demikian, bentuk kecintaan diri semacam ini tidak bisa kita katakan tercela, melainkan justru bagus dan terpuji, karena, sifat yang semacam ini, pada hakikatnya bukan sifat kecintaan kepada diri melainkan justru kecintaan kepada Tuhan.
Peringkat lainnya dari wujud manusia adalah “diri” kebinatangan, pada tingkatan ini, manusia benar-benar seekor hewan dan mempunyai instink dan kecenderungan kecenderungan hewani, untuk dapat hidup di alam ini, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan hewaninya sampai batas-batas yang logis dan dia tidak tercela untuk hal ini, namun, noktah penting yang amat menentukan adalah, apakah kekuasaan atas badan berada di tangan akal dan ruh malakut atau bcrada di tangan nafsu amarah dan “diri” hewani.
Jika akal dan diri kemanusiaan yang menjadi penguasa, maka dia akan menyeimbangkan diri hewani dan kecenderungan kecenderungannya dan kemudian meletakkan semuanya di jalan menghidupkan keutamaan-keutamaan kemanusiaan dan meniti jalan menuju Allah, dalam keadaan ini, diri kemanusiaan manusia, yang merupakan wujud yang berhubungan dengan Allah, menemukan keunggulannya, menghidupkan keutamaan-keutamaan akhlak serta pendekatan kepada Allah sebagai tujuan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hewani hanya akan menjadi sesuatu yang mengikuti.
Di sini, kecintaan kepada diri bukan hanya tidak tercela, melainkan justru terpuji, namun jika nafsu amarah dan diri kebinatangan yang menjadi penguasa dalam badan tubuh manusia, maka dia akan mengalahkan dan menyingkirkan akal dan diri kemanusiaan, dalam situasi ini, secara perlahan-lahan manusia akan menjauh dari Tuhan dan kesempurnaan kemanusiaan dan terjerumus kedalam lembah kebinatangan.
Dia akan melupakan kemanusiaannya, sebagai gantinya, dia justru akan menempatkan diri kebinatangannya, di sinilah kecintaan kepada diri di katakan tercela dan merupakan sumber dari semua keburukan, manusia egois yang mencintai dirinya saja hanya mencintai diri kebinatangannya dan yang lainnya tidak, yang menjadi ukuran dari semua perbuatan dan perkataannya adalah hanya pemenuhan kecenderungan-kecenderungan hewaninya.
Secara perbuatan dia menyatakan dirinya sebagai hewan dan tidak mempunyai tujuan dalam kehidupan ini kecuali memenuhi keinginan-keinginan nafsu hewaninya, untuk bisa mendapatkan tujuan-tujuan rendah hewaninya, dia menganggap dirinya bebas dari semua ikatan dan boleh melakukan perbuatan apa saja yang di inginkan, hanya satu hal yang mempunyai arti baginya, yaitu diri kebinatangannya.
Dia menginginkan segala sesuatu, termasuk kebenaran dan keadilan, semata-mata untuk kepentingan dirinya, dia hanya menginginkan kebenaran dan keadilan tatkala kebenaran dan keadilan sejalan dengan keinginan dan kepentingannya dan jika kebenaran dan keadilan tidak sejalan dengan kepentingannya, maka itu bukanlah kebenaran dan keadilan, bahkan, dia akan memeranginya, demikian juga dengan hukum-hukum agama, dia akan menjelaskan dan menafsirkannya dengan penjelasan dan penafsiran yang sejalan dengan keinginan dirinya.
Seorang manusia egois, lantaran tidak memiliki keutamaan keutamaan yang hakiki, dia menyibukkan dirinya dengan perkara perkara yang hampa dan dusta, seperti pencarian popularitas, penghambaan terhadap maqam dan kedudukan, kebanggaan diri, sifat rakus dan tamak, sombong dan takabur serta kelezatan seksual dan lalai dari mengingat Allah serta menyempurnakan diri.
Seorang manusia yang terbelenggu oleh sifat kecintaan kepada diri, di sebabkan dia terpikat dan tunduk kepada nafsu amarahnya, tidak mempunyai tujuan dalam hidupnya selain memenuhi keinginan keinginan hawa nafsunya, untuk menggapai tujuan itu, dia tidak akan segan-segan melakukan segala perbuatan buruk agar bisa menggapai tujuan-tujuan hewaninya itu, dia bersedia melakukan kedzaliman, dusta, fitnah, menyalahi janji, berkhianat dan perbuatan maksiat lainnya.
Karena itulah, “kecintaan kepada diri” di sebut sebagai induk dari segala kerusakan dan keburukan, bahkan, dapat kita katakan bahwa setiap perbuatan dosa pada hakikatnya tidak lain merupakan sebentuk dari “kecintaan kepada diri", contohnya, perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain, pada dasarnya tidak lain berangkat dari sifat kecintaan kepada diri, demikian juga dengan perbuatan dosa, menggunjing, mencela, mencari-cari kekurangan orang lain, hasud dan balas dendam, pada hakikatnya merupakan sifat kecintaan kepada diri yang menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda.
Oleh karena itu di katakan, bahwa kecintaan kepada diri merupakan akar dari semua perbuatan dosa, kecintaan kepada diri mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, tingkatan yang tertinggi adalah penyembahan terhadap diri, kita tidak memerangi sifat yang tercela ini, secara perlahan-lahan sifat ini akan kian menguat, yang kemudian akan sampai kepada tingkat, di mana nafsu amarah di jadikan sebagai sembahan dan sebagai sesuatu yang wajib di ikuti.
Berkenaan dengan individu seperti ini, Allah telah berfirman : "Tidakkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya." (Q.S. Al-Furqan : 43). Bukankah ibadah tidak lain berarti seorang penyembah bersikap tunduk dan patuh di hadapan sesembahannya serta menaati segala perintahnya tanpa bertanya? Demikian pula dengan manusia egois (yang amat mencintai dirinya), dia menganggap hawa nafsunya sebagai sesuatu yang wajib di taati, dia bersikap tunduk dan patuh di hadapan hawa nafsunya serta menaati segala perintahnya tanpa bertanya, oleh sebab itu, seseorang yang mencintai dirinya tidak akan dapat menjadi seorang yang mengesakan Allah. (Muwahhid).
Meskipun demikian, kita harus mengetahui, bahwa setiap maujud yang hidup mencintai dzat, sifat, perbuatan dan kesempurnaan dirinya, artinya, secara tabiat, mereka itu egois dan mencintai dirinya, oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan secara mutlak, bahwa sifat mencintai diri itu tercela.
Di sini di perlukan penjelasan, dalam kesempatan lalu, kita telah mengetahui, bahwa manusia mempunyai dua peringkat wujud dan dua diri, yaitu diri kemanusiaan dan diri kebinatangan. “Diri” kemanusiaan manusia adalah tiupan Illahi yang turun dari alam malakut, agar manusia menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Dari sisi ini, manusia mempunyai akar yang sama dengan ilmu, kehidupan, kekuasaan, rahmat, kebajikan, karunia, kesempurnaan dan kebajikan dan tentunya menginginkan hal-hal ini, karenanya, jika manusia mengenal dirinya dan memahami nilai wujudnya serta memuliakannya, maka dia akan lebih dekat kepada sumber segenap kesempurnaan dan kebaikan.
Dia pun akan menghidupkan sifat-sifat keutamaan dan kebaikan dalam dirinya, dengan demikian, bentuk kecintaan diri semacam ini tidak bisa kita katakan tercela, melainkan justru bagus dan terpuji, karena, sifat yang semacam ini, pada hakikatnya bukan sifat kecintaan kepada diri melainkan justru kecintaan kepada Tuhan.
Peringkat lainnya dari wujud manusia adalah “diri” kebinatangan, pada tingkatan ini, manusia benar-benar seekor hewan dan mempunyai instink dan kecenderungan kecenderungan hewani, untuk dapat hidup di alam ini, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan hewaninya sampai batas-batas yang logis dan dia tidak tercela untuk hal ini, namun, noktah penting yang amat menentukan adalah, apakah kekuasaan atas badan berada di tangan akal dan ruh malakut atau bcrada di tangan nafsu amarah dan “diri” hewani.
Jika akal dan diri kemanusiaan yang menjadi penguasa, maka dia akan menyeimbangkan diri hewani dan kecenderungan kecenderungannya dan kemudian meletakkan semuanya di jalan menghidupkan keutamaan-keutamaan kemanusiaan dan meniti jalan menuju Allah, dalam keadaan ini, diri kemanusiaan manusia, yang merupakan wujud yang berhubungan dengan Allah, menemukan keunggulannya, menghidupkan keutamaan-keutamaan akhlak serta pendekatan kepada Allah sebagai tujuan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hewani hanya akan menjadi sesuatu yang mengikuti.
Di sini, kecintaan kepada diri bukan hanya tidak tercela, melainkan justru terpuji, namun jika nafsu amarah dan diri kebinatangan yang menjadi penguasa dalam badan tubuh manusia, maka dia akan mengalahkan dan menyingkirkan akal dan diri kemanusiaan, dalam situasi ini, secara perlahan-lahan manusia akan menjauh dari Tuhan dan kesempurnaan kemanusiaan dan terjerumus kedalam lembah kebinatangan.
Dia akan melupakan kemanusiaannya, sebagai gantinya, dia justru akan menempatkan diri kebinatangannya, di sinilah kecintaan kepada diri di katakan tercela dan merupakan sumber dari semua keburukan, manusia egois yang mencintai dirinya saja hanya mencintai diri kebinatangannya dan yang lainnya tidak, yang menjadi ukuran dari semua perbuatan dan perkataannya adalah hanya pemenuhan kecenderungan-kecenderungan hewaninya.
Secara perbuatan dia menyatakan dirinya sebagai hewan dan tidak mempunyai tujuan dalam kehidupan ini kecuali memenuhi keinginan-keinginan nafsu hewaninya, untuk bisa mendapatkan tujuan-tujuan rendah hewaninya, dia menganggap dirinya bebas dari semua ikatan dan boleh melakukan perbuatan apa saja yang di inginkan, hanya satu hal yang mempunyai arti baginya, yaitu diri kebinatangannya.
Dia menginginkan segala sesuatu, termasuk kebenaran dan keadilan, semata-mata untuk kepentingan dirinya, dia hanya menginginkan kebenaran dan keadilan tatkala kebenaran dan keadilan sejalan dengan keinginan dan kepentingannya dan jika kebenaran dan keadilan tidak sejalan dengan kepentingannya, maka itu bukanlah kebenaran dan keadilan, bahkan, dia akan memeranginya, demikian juga dengan hukum-hukum agama, dia akan menjelaskan dan menafsirkannya dengan penjelasan dan penafsiran yang sejalan dengan keinginan dirinya.
Seorang manusia egois, lantaran tidak memiliki keutamaan keutamaan yang hakiki, dia menyibukkan dirinya dengan perkara perkara yang hampa dan dusta, seperti pencarian popularitas, penghambaan terhadap maqam dan kedudukan, kebanggaan diri, sifat rakus dan tamak, sombong dan takabur serta kelezatan seksual dan lalai dari mengingat Allah serta menyempurnakan diri.
Seorang manusia yang terbelenggu oleh sifat kecintaan kepada diri, di sebabkan dia terpikat dan tunduk kepada nafsu amarahnya, tidak mempunyai tujuan dalam hidupnya selain memenuhi keinginan keinginan hawa nafsunya, untuk menggapai tujuan itu, dia tidak akan segan-segan melakukan segala perbuatan buruk agar bisa menggapai tujuan-tujuan hewaninya itu, dia bersedia melakukan kedzaliman, dusta, fitnah, menyalahi janji, berkhianat dan perbuatan maksiat lainnya.
Karena itulah, “kecintaan kepada diri” di sebut sebagai induk dari segala kerusakan dan keburukan, bahkan, dapat kita katakan bahwa setiap perbuatan dosa pada hakikatnya tidak lain merupakan sebentuk dari “kecintaan kepada diri", contohnya, perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain, pada dasarnya tidak lain berangkat dari sifat kecintaan kepada diri, demikian juga dengan perbuatan dosa, menggunjing, mencela, mencari-cari kekurangan orang lain, hasud dan balas dendam, pada hakikatnya merupakan sifat kecintaan kepada diri yang menampakkan diri dalam bentuk yang berbeda-beda.
Oleh karena itu di katakan, bahwa kecintaan kepada diri merupakan akar dari semua perbuatan dosa, kecintaan kepada diri mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, tingkatan yang tertinggi adalah penyembahan terhadap diri, kita tidak memerangi sifat yang tercela ini, secara perlahan-lahan sifat ini akan kian menguat, yang kemudian akan sampai kepada tingkat, di mana nafsu amarah di jadikan sebagai sembahan dan sebagai sesuatu yang wajib di ikuti.
Berkenaan dengan individu seperti ini, Allah telah berfirman : "Tidakkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya." (Q.S. Al-Furqan : 43). Bukankah ibadah tidak lain berarti seorang penyembah bersikap tunduk dan patuh di hadapan sesembahannya serta menaati segala perintahnya tanpa bertanya? Demikian pula dengan manusia egois (yang amat mencintai dirinya), dia menganggap hawa nafsunya sebagai sesuatu yang wajib di taati, dia bersikap tunduk dan patuh di hadapan hawa nafsunya serta menaati segala perintahnya tanpa bertanya, oleh sebab itu, seseorang yang mencintai dirinya tidak akan dapat menjadi seorang yang mengesakan Allah. (Muwahhid).
Semoga Allah merahmati kita sekalian, aamiiin...
Posting Komentar untuk "Cinta Diri, Akar Kerusakan"
Terimakasih atas kunjungan anda...