Metode Terapi Dalam Tasawuf
Jalan untuk sampai kepada Allah sangat berkaitan dengan maqam-maqam dalam hati, seperti taubat, wara’, zuhud, ṣabar, tawadḍu’, taqwa, tawakkal, riḍha, maḥabbah dan ma‘rifah serta berkaitan dengan sifat-sifat terpuji, seperti ṣiddiq, ikhlaṣ, khauf dan raja’.
Semua itu sudah diajarkan oleh Rasulullah Saw secara langsung kepada para sahabat dan dalam tasawuf dikenal dengan istilah maqamat dan aḥwal.
Maqam (jama’: maqamat) adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi, sedangkan ḥal (jama’: aḥwal) adalah kondisi sikap yang diperoleh seseorang yang datangnya atas karunia Allah kepada yang dikehendaki-Nya.
Selain itu, masih ada istilah-istilah lain yang tergolong sebagai maqamat atau aḥwal, antara lain qana’ah (merasa cukup), syukur (berterima atas segala pemberian Allah), faqr (sangat membutuhkan dan tidak memiliki sesuatu yang mencukupi kebutuhannya) dan yaqin (mempercayakan berdasarkan kenyataan mengetahui dengan sebenarnya dan merasa yaqin dengan sebenar-benarnya).
Maqamat dan aḥwal tersebut adalah bagian dari proses pencapaian seorang sufi menuju Tuhannya, adapun beberapa maqamat dan aḥwal yang dapat dinilai sebagai metode terapi, antara lain sebagai berikut:
a. Taubat
Taubat berarti al-ruju’ min ’l-żanbi, al-ruju’ ‘an ’l-żanbi, kembali dari berbuat dosa menuju kebaikan atau meninggalkan dosa, dalam literatur sufistik, dosa dimaknai sebagai ḥijab (tirai penghalang) dari al-Mahbub (Kekasih), oleh karena itu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak disukai oleh al-Mahbub adalah wajib.
Hal ini dapat dilakukan dengan jalan al-‘ilm (pengetahuan), an-nadm (penyesalan) dan al-‘azm (kemauan atau niat). Mengenai ḥijab (penghalang) akibat dosa ini, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berpendapat, bahwa ada tiga jenis ḥijab dalam hati, yaitu al-ghayn (lupa), alghaym (awan) dan al-ran (titik kotor).
Ḥijab yang pertama adalah al-ghayn adalah jenis penghalang hati yang paling tipis dan ḥijab ini sering menutupi para Nabi, sebagaimana terjadi pada Rasulullah Saw: “Sesungguhnya hatiku sedang lupa dan sesungguhnya aku memohon ampun (ber-istighfar) kepada Allah seratus kali dalam sehari.” (H.R. Muslim dan lainnya).
Sedangkan ḥijab yang kedua adalah al-ghaym yaitu jenis penghalang yang lebih berat dan ḥijab ini sering menimpa kaum mukminin, sedangkan jenis penghalang ketiga (al-ran), sebagaimana dijelaskan Rasulullah Saw dalam haditsnya: “Apabila seorang mukmin melakukan itu, maka dalam hatinya terdapat satu noktah (titik hitam kotor). Kemudian bila dia bertaubat, melepaskan diri dan memohon ampun, maka hatinya akan mengkilap. Apabila dia menambah dosanya, maka bertambahlah noktah tadi. Itulah hijab, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Sekali-kali tidak (demikian), sesungguhnya apa yang mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
Dosa sendiri secara psikologis merupakan beban bagi seseorang yang melakukannya, akibat dosa yang dilakukannya itu, tidak jarang mengakibatkan stress atau depresi, yang pada gilirannya mendatangkan penyakit.
Hal ini dapat dimaknai dari pemahaman tentang al-ran (noktah/titik hitam), yang secara fisik dapat dimaknai sebagai bakteri atau bibit penyakit, dengan demikian, dosa adalah bibit penyakit secara fisik maupun secara psikis dan cara ampuh untuk menghilangkan bibit penyakit itu, tidak lain kecuali dengan taubat.
b. Wara’
Wara’ adalah mensucikan hati dan berbagai anggota badan. Berkaitan dengan terapi melalui wara’ ini, ada sebuah kisah menarik yang dilukiskan oleh Thawil Akhyar dalam bukunya The Secret of Sufi: Seorang laki-laki datang kepada seorang dokter dan menceritakan bahwa istrinya tidak bisa melahirkan anak. Dokter memeriksa wanita itu dan mendengar denyut jantungnya, lalu berkata: “Saya tidak bisa mengobatinya, sebab saya menemukan bahwa setidak-tidaknya engkau akan meninggal dunia dalam waktu empat puluh hari. Ketika mendengar keterangan ini, wanita itu pun demikian sedihnya, sehingga ia tidak dapat makan sesuatu pun selama empat puluh hari. Tetapi ia tidak mati dalam jangka waktu diramalkan. Sang suami membawa soal itu kepada dokter dan dokter kemudian berkata, “Ya, saya tahu itu. Sekarang ia akan menjadi subur”. Sang suami menanyakan kembali bagaimana hal itu terjadi. Dokter menjawab, “Istrimu terlalu gemuk dan ini mengganggu kesuburannya. Saya tahu bahwa satu-satunya jalan yang akan menjauhkannya dari makanan adalah ketakutan akan kematian, karena itu, ia sekarang sembuh.”
Terlepas benar atau salah cerita tersebut, namun paling tidak dapat dipahami bahwa makan adalah baik, tapi jika melebihi kebutuhan, maka makanan justru akan menjadi penyakit. Sebaliknya orang yang wara’, akan benar-benar memilih makanan yang bersih dan hanya cukup bagi mencukupi kebutuhan hidupnya, meskipun makanan itu melimpah, menjaga syahwat makan agar tidak menjadi sumber penyakit, baik hati maupun fisik, dalam sudut pandang lain, perilaku kewara’an ini akan cenderung kepada zuhud.
c. Zuhud
Zuhud (zuhd) dapat diartikan sebagai sikap mental untuk menjauhkan diri dari kehidupan di dunia demi akhirat, dengan kata lain menyeimbangkan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, jasmaniah dan ruhaniah, sebagaimana Al-Qur’an mengajarkan do'a: “... Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat nanti.” Pada ayat tersebut terdapat kata أfi’il maḍi yang berarti “apa yang telah Engkau berikan” di dunia, untuk negeri akhirat, dengan demikian, materi duniawi untuk akhirat, tetapi jangan melupakan bagianmu di dunia, atau sebaliknya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka jelaslah bahwa mentalitas zuhud dapat dijadikan sebagai sarana untuk penyembuhan bagi penyakit jiwa. Penyakit jiwa yang dimaksud tentu saja penyakit jiwa yang disebabkan oleh materi, atau upaya pencarian materi, sehingga melupakan segalanya, bahkan dirinya sendiri.
Memporsir tenaga tanpa menghiraukan kesehatan, memakan makanan yang haram, berlebih-lebihan terhadap yang halal, pada akhirnya, materi tidak tercukupi, Allah ditinggalkan dan ia tidak mendapatkan apa-apa, yang ada justru penyakit lahir (seperti diabetes, stroke, patah tulang dan lain-lain), yang juga bisa jadi disebabkan oleh adanya penyakit psikis (seperti stress/depresi), dalam hal ini zuhud akan dapat menjadi obat yang mujarab dalam mengatasinya.
d. Sabar
Sifat sabar (ṣabr) dalam Islam menempati posisi yang istimewa sebagai inti perbuatan hati (‘amal al-qulūb). Al-Qur’an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia, antara lain keyakinan (QS. Al-Sajdah [32]: 24); syukur (QS. Ibrahim [14]: 5); tawakkal (QS. Al-Nahl [16]: 41-42); takwa (Ali Imran [3]: 15-17); dan shalat (QS. Al-Baqarah [2]: 45-46).
Melalui ayat-ayat tersebut di atas, sabar dapat di maknai sebagai bentuk pengekangan (al-ḥabs wa’l-kuf), dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap riḍha Allah, seperti musibah kematian, sakit, kemiskinan, dan juga hal-hal yang disukai, seperti kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, sabar menurut Dzinnun Al-Mishry adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat, tenang saat ditimpa musibah dan menampakkan kecukupan ketika dalam kefakiran.
Selain itu, sabar juga dapat diartikan memohon pertolongan kepada Allah (Al-Qusyairy: 184). Sedangkan menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar terbagi menjadi 3, yaitu: Sabar lillah, yakni sabar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sabar ma‘a Allah, yakni sabar berada di bawah qaḍa' (keputusan) Allah dan perbuatan-Nya yang berupa kesulitan maupun cobaan-cobaan yang ada.
Sabar ‘ala Allah, yakni sabar atas janji-janji Allah, baik yang berhubungan dengan rezeki, kebahagiaan, kecukupan hidup, pertolongannya, maupun pahala di akhirat nanti (Abdul Al-Qadir Al-Jailani, 195).
Dengan demikian, maka sabar akan dapat dijadikan sebagai sarana penyembuhan yang ampuh, ketika mendapat ujian berupa sakit, maka seseorang dapat menggunakan kesabarannya dalam menahan serangan rasa sakit dengan mengembalikannya kepada Allah.
Sabar atas segala keputusan-Nya, sehingga rasa sakit justru menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami betapa besar kekuasaannya, pada gilirannya, sakit fisik tidak akan menambah sakit psikis dan sebaliknya, jika semuanya dikembalikan kepada Allah Yang Maha Penyembuh.
e. Qana’ah (Menerima Kenyataan Hidup)
Qana’ah, menerimanya hati terhadap apa yang ada, meskipun sedikit, disertai sikap aktif, usaha. Ia adalah perbendaharan yang tidak akan sirna, karena orang yang qana’ah hatinya menerima kenyataan, kaya itu bukan kaya harta, tetapi kayanya hati. Kaya raya dengan hati yang rakus, maka akan tersiksa dengan sikapnya itu.
Dasar qana’ah ialah firman Allah dalam Al-Baqarah [2]: 273. Qana’ah dan riḍā itu sebanding dengan wara’ dengan zuhud. Qana’ah adalah awal riḍha sebagaimana wara’ adalah awal dari zuhud. Orang yang qana’ah itu tetap bekerja sebagaimana manusia pada umumnya, tetapi dia tidak menggantungkan hasil kepada pekerjaannya itu.
Amal usaha tidak bisa menjadi pedoman, tidak bisa di-cagerke (bahasa Jawa) hasilnya, jika hanya berpegang teguh terhadap pekerjaan, maka akan menemui kecewaan bila menjumpai kegagalan di kemudian hari, kata Ibn ‘Atha`illah dalam Matan Al-Ḥikam.
Sebagai seorang Muslim di-taklif (dibebani) untuk bekerja, kerja bisa farḍu ‘ain dan bisa farḍu kifayah, kerja tidak hanya mencari uang, tetapi untuk mencapai riḍha-Nya, tugas seorang hamba ialah bekerja, sedang pemberian atau faḍal (pembagian) adalah tugas Allah.
Kerja tidak menjamin hasil, tetapi kita tidak boleh meninggalkan pekerjaan, kalau kita tidak kerja, berarti kita putus asa dari rahmat-Nya. Ini dilarang. Orang yang qana’ah menganggap cukup dari apa yang ada sebagai pemberian dari Allah dan orang ini akan terbebas dari sifat ghurūr (tertipu), tidak akan menyaingi Allah dari sifat ‘ujub (merasa dirinya hebat), dan dari sikap su-ul adab (akhlak yang buruk) kepda Allah.
Sikap ini cukup efektif untuk menterapi diri dan atau orang lain dari penyakit psikis yang sering membawa dampak negatif terhadap kesehatan pisik, karena dari dalam diri seseorang muncul sikap menerima kenyataan, baik ketika sakit maupun sehat, ketika dalam kondisi kaya maupun miskin.
Dia merasa bahwa semua sudah ditentukan dalam skenario besar Allah, sambil meyakini bahwa semua yang ada pada dirinya, akan membawa hikmah di belakang hari dan dia riḍha kepada-Nya dalam keadaannya itu.
f. Ridha
Ridha (riḍha) secara etimologis berarti rela, tidak marah (Luwis Ma'luf: 265). Menurut Al-Hujwiri, riḍha terbagi menjadi 2, yaitu riḍha Allah terhadap hambanya dan riḍha hamba terhadap Allah, riḍha Allah terhadap hamba-Nya, adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat dan karamah-Nya, sedangkan riḍha hamba kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukum-Nya.
Kaitannya dengan masalah sakit dan kesembuhan, terlihat jelas bahwa riḍha menjadi salah satu sarana penenang jiwa atas segala keputusan Allah, seringkali penyakit menjadi bertambah parah, akibat hilangnya kerelaan hati menerima keadaan, sehingga hati menjadi kotor dan pikiran kalut, yang pada gilirannya penyakit kian bercokol.
Jika demikian, maka ridha Allah tidak akan turun kepada hamba untuk memberikan pahala, nikmat dan karamah-Nya, sehingga penyakit menjadi sulit untuk disembuhkan, oleh karena itu, riḍha hamba terhadap qaḍha’ dan qadar Allah pada dirinya, akan menentukan riḍha Allah terhadap hamba-Nya.
Dengan kata lain, kerelaan hati menerima penyakit yang ditentukan Allah pada diri seseorang, akan menentukan kesembuhan yang diberikan Allah kepada hamba yang diridhai-Nya.
g. Tawakkal
Dalam dalam arti tafwiḍ (pasrah lahir batin) ketika menghadapi
penyakit, tawakkal adalah kunci mencapai kesembuhan. Obat apa pun yang di injeksikan ke dalam tubuh, tidak akan bermanfaat manakala dalam hati seseorang tidak ada rasa tawakal dan ridha. Ada pepatah mengatakan, “Jangan pergi ke dukun, kalau engkau membawa obat”. Artinya, ketika seseorang diberi obat, dia belum bisa berserah diri pada satu obat, melainkan masih digalaukan oleh adanya obat lain, yang menurutnya memungkinkan untuk menyembuhkan.
Ia belum ridha jika diobati dengan satu jenis obat, hal ini tentu saja, kecil kemungkinan untuk sembuh dari penyakit, sebab goyahnya keyakinan dalam diri akan sembuhnya suatu penyakit, oleh karena itu, tawakkal dan ridha, dapat dijadikan salah satu terapi untuk mempercepat proses penyembuhan, di samping tentu saja untuk pencegahan penyakit.
h. Ikhlas
Dengan melatih gelombang otak untuk tetap bertahan dalam zona ikhlas setiap hari dan mengaplikasikan semua kegiatan kita, maka akan tercipta suatu sikap hidup yang rela dan jujur di dalam diri kita, rela karena semua yang kita lakukan selalu untuk keperluan yang lebih tinggi, lebih besar dan lebih mulia.
Jujur karena apa pun yang kita lakukan atau tidak kita lakukan adalah memang pilihan kita, semua itu akan mengubah gelombang energinya menjadi doa yang kita persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pengalaman menarik dituturkan oleh Erbe, bahwa dulu ia sendiri pernah mengalami kenyataan pahit manakala ia belum juga dikaruniai anak selama enam tahun pernikahan dan setelah konsultasi ke dokter dinyatakan mandul, tapi karena keikhlasannya menerima semua itu, dan mengembalikannya kepada Allah, dengan mengubah energi negatif menjadi positif, pada akhirnya ia pun berhasil membuat istrinya melahirkan seorang anak.
Ia menyebutnya dengan ‘alphamatic’ syukur dalam teori Quantum adalah Ikhlas, bahwa ‘Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.'
i. Muqarabah
Muqarabah dalam Al-Qur’an dinyatakan jelas berkaitan erat keberadaan-Nya yang senantiasa ada begitu dekat, selain menunjukkan tentang keberadaan Allah, ayat ini menjelaskan tentang cara membangun keakraban bersama Allah, yaitu berdo'a, menjalankan perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.
Menurut Amin Al-Najar, muqarabah bersandar kepada-Nya semata, merasa tenteram bersama-Nya, dan meminta pertolongan-Nya, ketika seorang hamba telah berlaku seperti itu, maka Allah akan menganugerahkan keakraban kepada-Nya.
Kunci penyembuhan dengan metode ini adalah do'a, di mana Allah akan mengabulkan do'a orang yang dekat dengan-Nya, karena sesungguhnya Dia dekat. Sebagaimana diketahui, bahwa kekuatan do'a begitu penting dalam terapi apa pun sebagai sugesti diri dan upaya meraih anugerah Allah.
Arti muraqabah ialah merasa bahwa Allah itu selalu mengawasi dan manusia harus merasa selalu diawasi dalam perilaku dan isi hatinya, dengan kesadaran muraqabah, muncul prinsip pengawasan diri dalam dan pada saat mengawasi itu, sadar bahwa kita sedang diawasi oleh-Nya.
Hal ini akan berakibat ada kesadaran untuk membimbing dan mengarahkan diri, merasa sedang disorot oleh ‘kamera’ Ilahi yang menusuk kepada qalbu, diri kita akan terhindar dari kemaksiatan akibat bujuk rayu hawa nafsu.
Contoh muraqabah ialah kisah Umar Ibn Khaththab menguji anak gembala untuk menjual kambing yang digembalakan, tetapi dia tidak mau menjualnya, karena merasa diawasi oleh Allah.
Umar ibn Abadul ‘Aziz mematikan lampunya ketika anaknya ingin masuk ke dalam kamar kerjanya untuk membicarakan masalah keluarga.
Contoh lain seorang guru yang ingin menguji muridnya, untuk menyembelih burung di tempat yang tidak satupun ada yang melihatnya, kemudian mereka melakukan perintah sang guru, namun ada seorang murid yang tidak bisa melaksanakannya, karena dalam keyakinannya tidak satu tempat pun yang sunyi dari pantauan Allah dan murid inilah yang sukses dalam praktek muraqabah dalam kehidupannya.
Dengan demikian, muraqabah pangkal ketaatan dan bisa memelihara diri dari dosa, merasa malu kepada-Nya, berhati-hati dalam berucap, bersikap dan melakukan perbuatan, tidak pernah merasa ditinggalkan Allah, sebagaimana kisah si pencari ular yang selamat dari maut.
Orang seperti ini tidak mudah putus asa, bisa mengendalikan hawa nafsunya. Ikhlas dalam menjalankan ketaatan dan bertaubat ketika selesai menjalankan kemaksiatan, ketika menjalankan yang yang diperbolehkan (mubah) selalu memelihara tata krama, bersyukur terhadap nikmat, sabar ketika datang musibah, istiqamah dalam kebaikan dan sebagainya yang bernilai positif.
Kesadaran muraqabah, akan melahirkan prinsip, pertama Tuhan serba hadir, kedua ialah malaikat yang merekam amal perbuatan kita, ketiga Al-Qur`an sebagai pedoman hidup, keempat Rasul sebagai uswah (teladan), kelima masa depan yang membahagiakan, yang kita lakukan harus berporoskan ke depan yang membahagiakan dan keenam ialah prinsip keteraturan dalam segala hal, manifestasi dari iman kepada taqdir Allah, baik yang bernilai positif maupun yang bernilai negatif, orang seperti ini akan terpancar akhlak al-karimah, dan terhindar dari perbuatan dosa dan pada gilirannya akan sehat jasmani dan rohani.
j. Khauf dan Raja’
Jika dihubungkan dengan masalah sakit dan penderitaan sebagai keputusan Allah terhadap hamba-Nya, maka khawf (dalam arti takut kepada Allah atas segala hal yang sebelumnya telah dilakukan, sehingga menuntut taubat yang semurni-murninya, zuhud, wara’ dan maḥabbah) dan raja’ (dalam arti berharap kesembuhan, tetapi tidak mencoba memaksa Allah untuk menyembuhkan, sehingga menuntut ikhlaṣ, tawakkal, syukur dan riḍha), akan sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan.
Demikian juga dalam upaya pencegahan terhadap penyakit, baik fisik maupun mental, dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dimaklumi bahwa ajaran tasawuf adalah salah satu bentuk spiritualitas Islam yang terletak pada pengelolaan hati, sedemikian rupa sehingga dapat benar-benar tertuju kepada Allah.
Dengan demikian diharapkan hati seseorang hanya berisi kepasrahan kepada Allah atas segala bentuk taqdir yang diberikan-Nya, semua itu dilakukan dengan tujuan agar meraih kedekatan dengan-Nya, tanpa batas antara makhluk dan Khaliq, sampai akhirnya memperoleh kelezatan iman dan kebahagiaan dunia akhirat.
Inilah konsep awal yang senantiasa dijadikan dasar bagi para sufi dalam melakukan berbagai praktik sufistik, kaitannya dengan penyembuhan penyakit, maka maqamat dan aḥwal dapat dijadikan sebagai konsep dasar bagi proses penyembuhan berbagai penyakit, terutama mental dan dapat juga dijadikan sebagai sumber penyembuhan penyakit fisik, jika dihubungkan dengan teori psikoneuroendokrinimonologi yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan, lebih lanjut, dalam hal psikologi, tentang ini masuk dalam psikologi transpersonal, yang dalam konsepsi awam dikenal juga dengan istilah sufi healing.
Semua itu sudah diajarkan oleh Rasulullah Saw secara langsung kepada para sahabat dan dalam tasawuf dikenal dengan istilah maqamat dan aḥwal.
Maqam (jama’: maqamat) adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi, sedangkan ḥal (jama’: aḥwal) adalah kondisi sikap yang diperoleh seseorang yang datangnya atas karunia Allah kepada yang dikehendaki-Nya.
Selain itu, masih ada istilah-istilah lain yang tergolong sebagai maqamat atau aḥwal, antara lain qana’ah (merasa cukup), syukur (berterima atas segala pemberian Allah), faqr (sangat membutuhkan dan tidak memiliki sesuatu yang mencukupi kebutuhannya) dan yaqin (mempercayakan berdasarkan kenyataan mengetahui dengan sebenarnya dan merasa yaqin dengan sebenar-benarnya).
Maqamat dan aḥwal tersebut adalah bagian dari proses pencapaian seorang sufi menuju Tuhannya, adapun beberapa maqamat dan aḥwal yang dapat dinilai sebagai metode terapi, antara lain sebagai berikut:
a. Taubat
Taubat berarti al-ruju’ min ’l-żanbi, al-ruju’ ‘an ’l-żanbi, kembali dari berbuat dosa menuju kebaikan atau meninggalkan dosa, dalam literatur sufistik, dosa dimaknai sebagai ḥijab (tirai penghalang) dari al-Mahbub (Kekasih), oleh karena itu menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak disukai oleh al-Mahbub adalah wajib.
Hal ini dapat dilakukan dengan jalan al-‘ilm (pengetahuan), an-nadm (penyesalan) dan al-‘azm (kemauan atau niat). Mengenai ḥijab (penghalang) akibat dosa ini, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berpendapat, bahwa ada tiga jenis ḥijab dalam hati, yaitu al-ghayn (lupa), alghaym (awan) dan al-ran (titik kotor).
Ḥijab yang pertama adalah al-ghayn adalah jenis penghalang hati yang paling tipis dan ḥijab ini sering menutupi para Nabi, sebagaimana terjadi pada Rasulullah Saw: “Sesungguhnya hatiku sedang lupa dan sesungguhnya aku memohon ampun (ber-istighfar) kepada Allah seratus kali dalam sehari.” (H.R. Muslim dan lainnya).
Sedangkan ḥijab yang kedua adalah al-ghaym yaitu jenis penghalang yang lebih berat dan ḥijab ini sering menimpa kaum mukminin, sedangkan jenis penghalang ketiga (al-ran), sebagaimana dijelaskan Rasulullah Saw dalam haditsnya: “Apabila seorang mukmin melakukan itu, maka dalam hatinya terdapat satu noktah (titik hitam kotor). Kemudian bila dia bertaubat, melepaskan diri dan memohon ampun, maka hatinya akan mengkilap. Apabila dia menambah dosanya, maka bertambahlah noktah tadi. Itulah hijab, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Sekali-kali tidak (demikian), sesungguhnya apa yang mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
Dosa sendiri secara psikologis merupakan beban bagi seseorang yang melakukannya, akibat dosa yang dilakukannya itu, tidak jarang mengakibatkan stress atau depresi, yang pada gilirannya mendatangkan penyakit.
Hal ini dapat dimaknai dari pemahaman tentang al-ran (noktah/titik hitam), yang secara fisik dapat dimaknai sebagai bakteri atau bibit penyakit, dengan demikian, dosa adalah bibit penyakit secara fisik maupun secara psikis dan cara ampuh untuk menghilangkan bibit penyakit itu, tidak lain kecuali dengan taubat.
b. Wara’
Wara’ adalah mensucikan hati dan berbagai anggota badan. Berkaitan dengan terapi melalui wara’ ini, ada sebuah kisah menarik yang dilukiskan oleh Thawil Akhyar dalam bukunya The Secret of Sufi: Seorang laki-laki datang kepada seorang dokter dan menceritakan bahwa istrinya tidak bisa melahirkan anak. Dokter memeriksa wanita itu dan mendengar denyut jantungnya, lalu berkata: “Saya tidak bisa mengobatinya, sebab saya menemukan bahwa setidak-tidaknya engkau akan meninggal dunia dalam waktu empat puluh hari. Ketika mendengar keterangan ini, wanita itu pun demikian sedihnya, sehingga ia tidak dapat makan sesuatu pun selama empat puluh hari. Tetapi ia tidak mati dalam jangka waktu diramalkan. Sang suami membawa soal itu kepada dokter dan dokter kemudian berkata, “Ya, saya tahu itu. Sekarang ia akan menjadi subur”. Sang suami menanyakan kembali bagaimana hal itu terjadi. Dokter menjawab, “Istrimu terlalu gemuk dan ini mengganggu kesuburannya. Saya tahu bahwa satu-satunya jalan yang akan menjauhkannya dari makanan adalah ketakutan akan kematian, karena itu, ia sekarang sembuh.”
Terlepas benar atau salah cerita tersebut, namun paling tidak dapat dipahami bahwa makan adalah baik, tapi jika melebihi kebutuhan, maka makanan justru akan menjadi penyakit. Sebaliknya orang yang wara’, akan benar-benar memilih makanan yang bersih dan hanya cukup bagi mencukupi kebutuhan hidupnya, meskipun makanan itu melimpah, menjaga syahwat makan agar tidak menjadi sumber penyakit, baik hati maupun fisik, dalam sudut pandang lain, perilaku kewara’an ini akan cenderung kepada zuhud.
c. Zuhud
Zuhud (zuhd) dapat diartikan sebagai sikap mental untuk menjauhkan diri dari kehidupan di dunia demi akhirat, dengan kata lain menyeimbangkan antara aspek-aspek lahiriah dan batiniah, jasmaniah dan ruhaniah, sebagaimana Al-Qur’an mengajarkan do'a: “... Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat nanti.” Pada ayat tersebut terdapat kata أfi’il maḍi yang berarti “apa yang telah Engkau berikan” di dunia, untuk negeri akhirat, dengan demikian, materi duniawi untuk akhirat, tetapi jangan melupakan bagianmu di dunia, atau sebaliknya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka jelaslah bahwa mentalitas zuhud dapat dijadikan sebagai sarana untuk penyembuhan bagi penyakit jiwa. Penyakit jiwa yang dimaksud tentu saja penyakit jiwa yang disebabkan oleh materi, atau upaya pencarian materi, sehingga melupakan segalanya, bahkan dirinya sendiri.
Memporsir tenaga tanpa menghiraukan kesehatan, memakan makanan yang haram, berlebih-lebihan terhadap yang halal, pada akhirnya, materi tidak tercukupi, Allah ditinggalkan dan ia tidak mendapatkan apa-apa, yang ada justru penyakit lahir (seperti diabetes, stroke, patah tulang dan lain-lain), yang juga bisa jadi disebabkan oleh adanya penyakit psikis (seperti stress/depresi), dalam hal ini zuhud akan dapat menjadi obat yang mujarab dalam mengatasinya.
d. Sabar
Sifat sabar (ṣabr) dalam Islam menempati posisi yang istimewa sebagai inti perbuatan hati (‘amal al-qulūb). Al-Qur’an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia, antara lain keyakinan (QS. Al-Sajdah [32]: 24); syukur (QS. Ibrahim [14]: 5); tawakkal (QS. Al-Nahl [16]: 41-42); takwa (Ali Imran [3]: 15-17); dan shalat (QS. Al-Baqarah [2]: 45-46).
Melalui ayat-ayat tersebut di atas, sabar dapat di maknai sebagai bentuk pengekangan (al-ḥabs wa’l-kuf), dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap riḍha Allah, seperti musibah kematian, sakit, kemiskinan, dan juga hal-hal yang disukai, seperti kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, sabar menurut Dzinnun Al-Mishry adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat, tenang saat ditimpa musibah dan menampakkan kecukupan ketika dalam kefakiran.
Selain itu, sabar juga dapat diartikan memohon pertolongan kepada Allah (Al-Qusyairy: 184). Sedangkan menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar terbagi menjadi 3, yaitu: Sabar lillah, yakni sabar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sabar ma‘a Allah, yakni sabar berada di bawah qaḍa' (keputusan) Allah dan perbuatan-Nya yang berupa kesulitan maupun cobaan-cobaan yang ada.
Sabar ‘ala Allah, yakni sabar atas janji-janji Allah, baik yang berhubungan dengan rezeki, kebahagiaan, kecukupan hidup, pertolongannya, maupun pahala di akhirat nanti (Abdul Al-Qadir Al-Jailani, 195).
Dengan demikian, maka sabar akan dapat dijadikan sebagai sarana penyembuhan yang ampuh, ketika mendapat ujian berupa sakit, maka seseorang dapat menggunakan kesabarannya dalam menahan serangan rasa sakit dengan mengembalikannya kepada Allah.
Sabar atas segala keputusan-Nya, sehingga rasa sakit justru menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami betapa besar kekuasaannya, pada gilirannya, sakit fisik tidak akan menambah sakit psikis dan sebaliknya, jika semuanya dikembalikan kepada Allah Yang Maha Penyembuh.
e. Qana’ah (Menerima Kenyataan Hidup)
Qana’ah, menerimanya hati terhadap apa yang ada, meskipun sedikit, disertai sikap aktif, usaha. Ia adalah perbendaharan yang tidak akan sirna, karena orang yang qana’ah hatinya menerima kenyataan, kaya itu bukan kaya harta, tetapi kayanya hati. Kaya raya dengan hati yang rakus, maka akan tersiksa dengan sikapnya itu.
Dasar qana’ah ialah firman Allah dalam Al-Baqarah [2]: 273. Qana’ah dan riḍā itu sebanding dengan wara’ dengan zuhud. Qana’ah adalah awal riḍha sebagaimana wara’ adalah awal dari zuhud. Orang yang qana’ah itu tetap bekerja sebagaimana manusia pada umumnya, tetapi dia tidak menggantungkan hasil kepada pekerjaannya itu.
Amal usaha tidak bisa menjadi pedoman, tidak bisa di-cagerke (bahasa Jawa) hasilnya, jika hanya berpegang teguh terhadap pekerjaan, maka akan menemui kecewaan bila menjumpai kegagalan di kemudian hari, kata Ibn ‘Atha`illah dalam Matan Al-Ḥikam.
Sebagai seorang Muslim di-taklif (dibebani) untuk bekerja, kerja bisa farḍu ‘ain dan bisa farḍu kifayah, kerja tidak hanya mencari uang, tetapi untuk mencapai riḍha-Nya, tugas seorang hamba ialah bekerja, sedang pemberian atau faḍal (pembagian) adalah tugas Allah.
Kerja tidak menjamin hasil, tetapi kita tidak boleh meninggalkan pekerjaan, kalau kita tidak kerja, berarti kita putus asa dari rahmat-Nya. Ini dilarang. Orang yang qana’ah menganggap cukup dari apa yang ada sebagai pemberian dari Allah dan orang ini akan terbebas dari sifat ghurūr (tertipu), tidak akan menyaingi Allah dari sifat ‘ujub (merasa dirinya hebat), dan dari sikap su-ul adab (akhlak yang buruk) kepda Allah.
Sikap ini cukup efektif untuk menterapi diri dan atau orang lain dari penyakit psikis yang sering membawa dampak negatif terhadap kesehatan pisik, karena dari dalam diri seseorang muncul sikap menerima kenyataan, baik ketika sakit maupun sehat, ketika dalam kondisi kaya maupun miskin.
Dia merasa bahwa semua sudah ditentukan dalam skenario besar Allah, sambil meyakini bahwa semua yang ada pada dirinya, akan membawa hikmah di belakang hari dan dia riḍha kepada-Nya dalam keadaannya itu.
f. Ridha
Ridha (riḍha) secara etimologis berarti rela, tidak marah (Luwis Ma'luf: 265). Menurut Al-Hujwiri, riḍha terbagi menjadi 2, yaitu riḍha Allah terhadap hambanya dan riḍha hamba terhadap Allah, riḍha Allah terhadap hamba-Nya, adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat dan karamah-Nya, sedangkan riḍha hamba kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukum-Nya.
Kaitannya dengan masalah sakit dan kesembuhan, terlihat jelas bahwa riḍha menjadi salah satu sarana penenang jiwa atas segala keputusan Allah, seringkali penyakit menjadi bertambah parah, akibat hilangnya kerelaan hati menerima keadaan, sehingga hati menjadi kotor dan pikiran kalut, yang pada gilirannya penyakit kian bercokol.
Jika demikian, maka ridha Allah tidak akan turun kepada hamba untuk memberikan pahala, nikmat dan karamah-Nya, sehingga penyakit menjadi sulit untuk disembuhkan, oleh karena itu, riḍha hamba terhadap qaḍha’ dan qadar Allah pada dirinya, akan menentukan riḍha Allah terhadap hamba-Nya.
Dengan kata lain, kerelaan hati menerima penyakit yang ditentukan Allah pada diri seseorang, akan menentukan kesembuhan yang diberikan Allah kepada hamba yang diridhai-Nya.
g. Tawakkal
Dalam dalam arti tafwiḍ (pasrah lahir batin) ketika menghadapi
penyakit, tawakkal adalah kunci mencapai kesembuhan. Obat apa pun yang di injeksikan ke dalam tubuh, tidak akan bermanfaat manakala dalam hati seseorang tidak ada rasa tawakal dan ridha. Ada pepatah mengatakan, “Jangan pergi ke dukun, kalau engkau membawa obat”. Artinya, ketika seseorang diberi obat, dia belum bisa berserah diri pada satu obat, melainkan masih digalaukan oleh adanya obat lain, yang menurutnya memungkinkan untuk menyembuhkan.
Ia belum ridha jika diobati dengan satu jenis obat, hal ini tentu saja, kecil kemungkinan untuk sembuh dari penyakit, sebab goyahnya keyakinan dalam diri akan sembuhnya suatu penyakit, oleh karena itu, tawakkal dan ridha, dapat dijadikan salah satu terapi untuk mempercepat proses penyembuhan, di samping tentu saja untuk pencegahan penyakit.
h. Ikhlas
Dengan melatih gelombang otak untuk tetap bertahan dalam zona ikhlas setiap hari dan mengaplikasikan semua kegiatan kita, maka akan tercipta suatu sikap hidup yang rela dan jujur di dalam diri kita, rela karena semua yang kita lakukan selalu untuk keperluan yang lebih tinggi, lebih besar dan lebih mulia.
Jujur karena apa pun yang kita lakukan atau tidak kita lakukan adalah memang pilihan kita, semua itu akan mengubah gelombang energinya menjadi doa yang kita persembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pengalaman menarik dituturkan oleh Erbe, bahwa dulu ia sendiri pernah mengalami kenyataan pahit manakala ia belum juga dikaruniai anak selama enam tahun pernikahan dan setelah konsultasi ke dokter dinyatakan mandul, tapi karena keikhlasannya menerima semua itu, dan mengembalikannya kepada Allah, dengan mengubah energi negatif menjadi positif, pada akhirnya ia pun berhasil membuat istrinya melahirkan seorang anak.
Ia menyebutnya dengan ‘alphamatic’ syukur dalam teori Quantum adalah Ikhlas, bahwa ‘Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.'
i. Muqarabah
Muqarabah dalam Al-Qur’an dinyatakan jelas berkaitan erat keberadaan-Nya yang senantiasa ada begitu dekat, selain menunjukkan tentang keberadaan Allah, ayat ini menjelaskan tentang cara membangun keakraban bersama Allah, yaitu berdo'a, menjalankan perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.
Menurut Amin Al-Najar, muqarabah bersandar kepada-Nya semata, merasa tenteram bersama-Nya, dan meminta pertolongan-Nya, ketika seorang hamba telah berlaku seperti itu, maka Allah akan menganugerahkan keakraban kepada-Nya.
Kunci penyembuhan dengan metode ini adalah do'a, di mana Allah akan mengabulkan do'a orang yang dekat dengan-Nya, karena sesungguhnya Dia dekat. Sebagaimana diketahui, bahwa kekuatan do'a begitu penting dalam terapi apa pun sebagai sugesti diri dan upaya meraih anugerah Allah.
Arti muraqabah ialah merasa bahwa Allah itu selalu mengawasi dan manusia harus merasa selalu diawasi dalam perilaku dan isi hatinya, dengan kesadaran muraqabah, muncul prinsip pengawasan diri dalam dan pada saat mengawasi itu, sadar bahwa kita sedang diawasi oleh-Nya.
Hal ini akan berakibat ada kesadaran untuk membimbing dan mengarahkan diri, merasa sedang disorot oleh ‘kamera’ Ilahi yang menusuk kepada qalbu, diri kita akan terhindar dari kemaksiatan akibat bujuk rayu hawa nafsu.
Contoh muraqabah ialah kisah Umar Ibn Khaththab menguji anak gembala untuk menjual kambing yang digembalakan, tetapi dia tidak mau menjualnya, karena merasa diawasi oleh Allah.
Umar ibn Abadul ‘Aziz mematikan lampunya ketika anaknya ingin masuk ke dalam kamar kerjanya untuk membicarakan masalah keluarga.
Contoh lain seorang guru yang ingin menguji muridnya, untuk menyembelih burung di tempat yang tidak satupun ada yang melihatnya, kemudian mereka melakukan perintah sang guru, namun ada seorang murid yang tidak bisa melaksanakannya, karena dalam keyakinannya tidak satu tempat pun yang sunyi dari pantauan Allah dan murid inilah yang sukses dalam praktek muraqabah dalam kehidupannya.
Dengan demikian, muraqabah pangkal ketaatan dan bisa memelihara diri dari dosa, merasa malu kepada-Nya, berhati-hati dalam berucap, bersikap dan melakukan perbuatan, tidak pernah merasa ditinggalkan Allah, sebagaimana kisah si pencari ular yang selamat dari maut.
Orang seperti ini tidak mudah putus asa, bisa mengendalikan hawa nafsunya. Ikhlas dalam menjalankan ketaatan dan bertaubat ketika selesai menjalankan kemaksiatan, ketika menjalankan yang yang diperbolehkan (mubah) selalu memelihara tata krama, bersyukur terhadap nikmat, sabar ketika datang musibah, istiqamah dalam kebaikan dan sebagainya yang bernilai positif.
Kesadaran muraqabah, akan melahirkan prinsip, pertama Tuhan serba hadir, kedua ialah malaikat yang merekam amal perbuatan kita, ketiga Al-Qur`an sebagai pedoman hidup, keempat Rasul sebagai uswah (teladan), kelima masa depan yang membahagiakan, yang kita lakukan harus berporoskan ke depan yang membahagiakan dan keenam ialah prinsip keteraturan dalam segala hal, manifestasi dari iman kepada taqdir Allah, baik yang bernilai positif maupun yang bernilai negatif, orang seperti ini akan terpancar akhlak al-karimah, dan terhindar dari perbuatan dosa dan pada gilirannya akan sehat jasmani dan rohani.
j. Khauf dan Raja’
Jika dihubungkan dengan masalah sakit dan penderitaan sebagai keputusan Allah terhadap hamba-Nya, maka khawf (dalam arti takut kepada Allah atas segala hal yang sebelumnya telah dilakukan, sehingga menuntut taubat yang semurni-murninya, zuhud, wara’ dan maḥabbah) dan raja’ (dalam arti berharap kesembuhan, tetapi tidak mencoba memaksa Allah untuk menyembuhkan, sehingga menuntut ikhlaṣ, tawakkal, syukur dan riḍha), akan sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan.
Demikian juga dalam upaya pencegahan terhadap penyakit, baik fisik maupun mental, dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana dimaklumi bahwa ajaran tasawuf adalah salah satu bentuk spiritualitas Islam yang terletak pada pengelolaan hati, sedemikian rupa sehingga dapat benar-benar tertuju kepada Allah.
Dengan demikian diharapkan hati seseorang hanya berisi kepasrahan kepada Allah atas segala bentuk taqdir yang diberikan-Nya, semua itu dilakukan dengan tujuan agar meraih kedekatan dengan-Nya, tanpa batas antara makhluk dan Khaliq, sampai akhirnya memperoleh kelezatan iman dan kebahagiaan dunia akhirat.
Inilah konsep awal yang senantiasa dijadikan dasar bagi para sufi dalam melakukan berbagai praktik sufistik, kaitannya dengan penyembuhan penyakit, maka maqamat dan aḥwal dapat dijadikan sebagai konsep dasar bagi proses penyembuhan berbagai penyakit, terutama mental dan dapat juga dijadikan sebagai sumber penyembuhan penyakit fisik, jika dihubungkan dengan teori psikoneuroendokrinimonologi yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan, lebih lanjut, dalam hal psikologi, tentang ini masuk dalam psikologi transpersonal, yang dalam konsepsi awam dikenal juga dengan istilah sufi healing.
Posting Komentar untuk "Metode Terapi Dalam Tasawuf"
Terimakasih atas kunjungan anda...