Pendakian Ruhaniyah
Manusia sebagai seorang hamba yang beriman, berangkat dari maqam sebagai seorang hamba mereka wajib meningkatkan maqamnya sampai menduduki maqam khalifah, maka sesuai kemampuan yang ada pada dirinya, baik ilmu, amal, dzikir, pikir, mujahadah dan riyadlah, mereka harus berusaha membentuk karakternya menjadi karakter seorang khalifah bumi yaitu An-Nabiyin, Ash-Shiddiqin, Asy-Syuhada' dan Ash-Shalihin.
Dari empat karakter tersebut, yang harus dicapai pertama adalah karakter Ash-Shalihin, yakni menjadi seorang hamba yang shaleh, apabila derajat shaleh itu sudah dapat dicapai dengan sempurna lalu baru mereka harus naik lagi untuk mencapai Asy-Syuhada‘, Ash-Shiddikin dan An-Nabiyin.
Itulah pendakian ruhaniah yang harus dilakukan bersungguh sungguh oleh seorang salik, upaya untuk mencapai derajat tinggi di sisi Allah, upaya tersebut harus dilakukan dengan membangun sebab-sebab, yakni mengabdi kepada Allah dengan ikhlas tanpa sedikitpun dicampuri syirik.
Apabila itu dapat dilakukan, sebagai akibatnya, maka Allah akan membukakan jalan kemudahan baginya untuk sampai kepada tujuan yang berikutnya, itu adalah janji Allah yang tidak akan pernah di ingkari, adalah sunnatullah yang sejak pertama kali diciptakan, tidak akan ada perubahan lagi selamanya.
Merupakan sistem kehidupan alam semesta yang telah ditentukan sejak zaman azali untuk memenuhi hak seorang hamba apabila mereka telah melaksanakan seluruh kewajiban kepada-Nya dengan benar.
Allah menegaskan hal itu dengan firman-Nya: “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut (tunduk).” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 40).
Di dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw telah menegaskannya pula:
Di riwayatkan dari Muaz bin Jabal Ra berkata: “Suatu saat aku mengikuti Nabi Saw dalam satu perjalanan di belakang beliau. Baginda Nabi memanggil: “Wahai Muadz bin Jabal!”. Aku menjawab: “Telah kuterima panggilanmu wahai Rasulullah”. Kami meneruskan lagi perjalanan. Kemudian beliau memanggil lagi: “Wahai Muadz bin Jabal!”. Aku menjawab: “Telah kuterima panggilanmu itu wahai Rasulullah”. Kami meneruskan lagi perjalanan kemudian baginda memanggil lagi: “Wahai Muadz bin Jabal!” Aku menjawab lagi :“Telah kuterima panggilanmu itu wahai Rasulullah”. Baginda Nabi bersabda: “Tahukah kamu apa kewajiban seorang hamba terhadap Allah?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Baginda bersabda: “Kewajiban seorang hamba terhadap Allah ialah dengan mengabdikan diri kepada-Nya tanpa berbuat syirik kepada-Nya”.
Kami meneruskan lagi perjalanan kemudian baginda Nabi memanggil lagi: “Wahai Muadz bin Jabal!”. Aku menjawab: “Telah kuterima panggilanmu itu wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw bersabda: “Tahukah engkau apakah kewajiban Allah terhadap seorang hamba apabila mereka telah melaksanakan pengabdiannya?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Akhirnya baginda bersabda: “Allah tidak akan menyiksa mereka”.
Manakala seorang hamba telah mampu melaksanakan pengabdian hakiki kepada tuhannya dengan tanpa sedikitpun dicampuri syirik, maka hasilnya, baik di dunia maupun di akhirat, sekali-kali Allah tidak akan menyiksa mereka.
Itulah janji Allah yang telah dinyatakan sabda Nabi Saw tersebut, namun demikian, apabila sampainya hasil ibadah tersebut di akhirat, maka perbedaan antara orang yang mendapatkan siksa dengan orang yang tidak, akan tampak nyata, karena di akhirat hanya ada dua tempat dan terpisah, yaitu surga dan neraka, maka orang yang tidak di siksa berarti akan dimasukkan syurga.
Lain halnya jika hasil ibadah tersebut kejadiannya di dunia, oleh karena orang yang taat dan maksiat kepada Allah masih dikumpulkan didalam masa dan kawasan yang sama, maka orang yang mendapatkan siksa dan mendapatkan rahmat juga masih dikumpulkan di dalam satu kehidupan yang sama.
Oleh karena itu, untuk menyikapi kejadian alam yang pernah terjadi, seperti terjadi gempa bumi dan tsumani misalnya, orang menjadi sulit membedakannya, apakah musibah tersebut sebagai siksa atau rahmat bagi orang beriman.
Apabila musibah yang datang kepada orang-orang beriman itu ternyata merupakan ujian bukan siksa, maka bentuk apapun musibah itu sejatinya adalah rahmat, karena dengan musibah itu Allah hendak mengangkat derajat hamba-Nya yang beriman.
Sebabnya semakin seorang hamba dicintai Allah, mereka harus semakin siap menghadapi ujian dari-Nya, karena “Apabila Allah mencintai suatu kaum Ia akan mengujinya”, demikianlah bunyi salah satu hadits Nabi Saw.
Cara membedakan musibah tersebut sebagai siksa atau ujian adalah tergantung bagaimana hati orang beriman menyikapinya, apabila orang beriman dapat menerima musibah itu dengan hati sabar, karena mereka sadar bahwa dengan musibah itu tuhannya sedang menguji imannya, disamping supaya imannya menjadi semakin meningkat juga supaya derajatnya semakin meningkat.
Untuk dapat menyikapi kejadian-kejadian tersebut dengan tepat, hati orang beriman harus memahami dasarnya, yaitu bahwa secara garis besar kehidupan dunia hanya di bagi menjadi dua, yang menyenangkan dan yang menyusahkan.
Sedangkan anugerah Allah yang diturunkan kepada orang beriman juga dibagi menjadi dua, yang berkelebihan dan yang kekurangan, apabila susah identik dengan siksa dan senang identik dengan rahmat, maka meski datangnya kehidupan duniawi itu berlebihan, manakala itu menyebabkan timbulnya kesusahan, berarti harta yang berlebihan itu hakikatnya siksa dan meski anugerah itu bentuknya kesulitan, apabila itu menyenangkan, berarti hakikatnya adalah rahmat.
Seperti seorang tentara sedang menjalani latihan perang misalnya, bagaimanapun sulitnya latihan itu, namun mereka tetap menjalaninya dengan senang hati, karena mereka sadar, dengan latihan itu pangkatnya akan bertambah naik.
Seperti itu pula ketika orang beriman telah yakin, bahkan dapat merasakan kasih sayang Allah terhadap dirinya, maka bagaimanapun sulitnya tantangan hidup yang harus dihadapi, mereka menganggap itu bukan siksa dunia tapi latihan hidup yang memang harus dijalani untuk mendapatkan kenaikan derajat imannya dan tiket syurga.
Selanjutnya, ketika dengan kekuatan iman dan kecemerlangan mata hati seorang hamba mampu merasakan romantika kehidupan duniawi sebagai kenikmatan syurga yang diturunkan di dunia, hal tersebut bisa dirasakan secara istiqamah di dalam hati sampai berhasil mati di dalam istiqamah itu, maka matinya di dunia sejatinya bukan mati, melainkan melanjutkan perjalanan yang lebih panjang untuk dipindahkan di dalam kehidupan yang lebih hakiki.
Itulah perjalanan yang sangat menyenangkan meski mengakibatkan kesusahan bagi orang-orang yang ditinggalkan, untuk mencapai hal tersebut, maka ibadah lahir, seperti shalat, dzikir, mujahadah dan riyadlah yang dilaksanakan oleh seorang hamba sebagai manusia pada dimensi jismul mahsusah, ibadah tersebut sejatinya hanya ibarat kendaraan yang harus dikendarai dalam perjalanan, dengan perjalanan tersebut supaya ruhaniyah (nismatul 'adamiyah) seorang hamba sampai atau wusul keharibaan Allah.
Allah telah membeberkan jalan itu dengan firman-Nya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur”. (Q.S. Fathir (35) : 10).
Dengan wushul nya ruhani tersebut, baik disaat melaksakanan ibadah vertikal maupun horizontal, seorang hamba akan merasakan kenikmatan bermunajat, itulah kenikmatan akhirat yang diturunkan di dunia yang seringkali mampu menjadikan orang mabuk (jadzab), sehingga dengan itu menjadikan hati mereka mampu berpaling dari kecenderungan kepada kehidupan duniawi yang menggoda.
Yakni kenikmatan jannatul ma'rifah, nikmat syurga yang diturunkan di dunia yang disebut syurga dunia bagi hamba Allah yang beriman, yang dimaksud: “Perkataan-perkataan yang baik” dari ayat di atas (QS. Fathir (35) : 10) adalah “ma'rifatullah”, yaitu pemahaman hati tentang urusan ketuhanan yang menjadi dasar dari amal shaleh yang dilakukan itu.
Maksudnya, amal shaleh itu sejatinya ibarat kendaraan yang dinaiki nismatul 'adamiyah untuk terbang tinggi menembus lapisan hijab guna melepaskan diri dari gravitasi alam jismul mahsusah yang menyelimuti dirinya.
Seperti buraq yang dinaiki Rasulullah Saw di dalam perjalanan mi‘raj menuju langit tingkat tujuh sampai ke sidratul muntaha, oleh karena di dalam perjalanan mi‘raj itu Rasul Saw didampingi malaikat Jibril As, maka di dalam perjalanan ruhani ini juga para salik tersebut harus ada yang mendampingi perjalanannya.
Oleh karena pendakian yang dimaksud adalah pendakian secara ruhaniyah maka yang dapat mendampingi perjalanan itu hanyalah guru-guru secara ruhaniyah pula, yaitu guru-guru mursyid thariqah yang ditawassuli di dalam pelaksanaan ibadah.
Inilah tujuan pokok pelaksanaan tawassul secara ruhaniyah, dengan pendamping guru ruhaniyah tersebut supaya pengembaraan yang dilakukan para murid terjaga dari gangguan syetan jin yang bisa jadi malah menjadi pembimbing perjalanan ibadah yang dilakukan itu.
Ketika pendakian hampir menembus titik kulminasi antara dua dimensi, ketika panasnya bara kerinduan hampir-hampir meledakkan isi dada di saat sang pengembara melihat yang dirindui sudah tampak di ambang pintu pertemuan.
Bagaikan seorang ibu yang akan melahirkan, antara hidup dan mati, meregang nyawa, namun ketika bayinya sudah dalam pangkuan, kegembiraan hati mampu menghilangkan bekas luka dan derita.
Seperti itu pula, seketika segala kesusahan seorang salik menjelma kegembiraan ketika panasnya bara penyesalan berhasil merontokkan dosa-dosa dan membakar hijab-hijab basyariyah, dengan izin Allah selanjutnya pintu-pintu langit terbuka, Al-Furqan diturunkan, dan Sang Kekasih kemudian mendaulat seorang hamba pilihan menjadi khalifah bumi zamannya.
Allah berfirman: “Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)." (Q.S. An-Naml (27) : 62).
Hanya Allahlah yang berkehendak dan berkuasa menjadikan seorang hamba pilihan menjadi seorang khalifah bumi zamannya, sebagai guru-guru mursyid dan bapak asuh sejati, serta bapak ruhaniyah, kemudian mengangkat mereka dengan beberapa tingkat derajat yang berbeda.
Apabila selain itu ada upaya dari seorang hamba untuk mendapatkannya, upaya itu hanyalah iradah hadits sebagai aktualisasi dari iradah azaliyah yang terbit dari pilihan seorang hamba yang dha‘if yang sejatinya sudah ditetapkan oleh kehendak Allah sejak zaman azali.
Allah menegaskannya dengan firman-Nya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat”.
(Q.S. Al-An'am (6) : 165).
Itu hanyalah merupakan pelaksanaan janji Allah, ketika seorang hamba telah merealisasikan pilihan hatinya dengan iman dan amal shaleh secara sempurna, yaitu ketika usaha yang hadits telah menyatu dengan ketetapan yang qadim, maka yang hadits itu segera meleburkan diri kepada yang qadim.
Allah menyatakan janji-Nya itu dengan firman-Nya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dibumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S. An-Nur (24) : 55).
Walhasil, seorang khalifah bumi zamannya adalah guru mursyid thariqah yang suci lagi mulia, orang tua asuh sejati dan bapak ruhaniyah bagi para murid dan anak asuhnya, sebagai penerus
pendahulunya, maka kekhalifahannya haruslah diangkat oleh pewarisnya yang sah, baik secara lahir sebagai pilihan pribadi suci maupun secara batin melalui pelaksanaan sebuah proses kinerja dari rahasia sistem mekanisme kerja urusan Illahi Rabbi, bukan diangkat secara aklamasi oleh hasil rekayasa manusia melalui sistem kompetisi dari sekelompok golongan secara organisasi.
Dari empat karakter tersebut, yang harus dicapai pertama adalah karakter Ash-Shalihin, yakni menjadi seorang hamba yang shaleh, apabila derajat shaleh itu sudah dapat dicapai dengan sempurna lalu baru mereka harus naik lagi untuk mencapai Asy-Syuhada‘, Ash-Shiddikin dan An-Nabiyin.
Itulah pendakian ruhaniah yang harus dilakukan bersungguh sungguh oleh seorang salik, upaya untuk mencapai derajat tinggi di sisi Allah, upaya tersebut harus dilakukan dengan membangun sebab-sebab, yakni mengabdi kepada Allah dengan ikhlas tanpa sedikitpun dicampuri syirik.
Apabila itu dapat dilakukan, sebagai akibatnya, maka Allah akan membukakan jalan kemudahan baginya untuk sampai kepada tujuan yang berikutnya, itu adalah janji Allah yang tidak akan pernah di ingkari, adalah sunnatullah yang sejak pertama kali diciptakan, tidak akan ada perubahan lagi selamanya.
Merupakan sistem kehidupan alam semesta yang telah ditentukan sejak zaman azali untuk memenuhi hak seorang hamba apabila mereka telah melaksanakan seluruh kewajiban kepada-Nya dengan benar.
Allah menegaskan hal itu dengan firman-Nya: “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut (tunduk).” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 40).
Di dalam sebuah haditsnya Rasulullah Saw telah menegaskannya pula:
حَّٔؼٌُمعُعَوذٔمبِنِمجَؾَلٍمرَضٔيَماظؾّهُمسَـِهُمضَولَم:مطُـًُِمرِدِفَماظـٖؾٔيٚمصَؾّىماظؾّهُمسَؾَقِهٔم
وَدَؾّمَمظَقَِّمبَقِـٔيموَبَقِـَهُمإِظّومعُمِخَّٔةُماظّٖحِلِمصَؼَولَمؼَومعُعَوذَمبِنَمجَؾَلٍمضُؾًُْمظَؾٖقِكَم
رَدُولَماظؾّهٔموَدَعَِّؼِكَمثُمٖمدَورَمدَوسَيًمثُمٖمضَولَمؼَومعُعَوذَمبِنَمجَؾَلٍمضُؾًُْمظَؾٖقِكَمرَدُولَم
اظؾّهٔموَدَعَِّؼِكَمثُمٖمدَورَمدَوسَيًمثُمٖمضَولَمؼَومعُعَوذَمبِنَمجَؾَلٍمضُؾًُْمظَؾٖقِكَمرَدُولَماظؾّهٔم
وَدَعَِّؼِكَمضَولَمػَلِمتَِّرِيمعَومحَقٗماظؾّهٔمسَؾَىماظْعٔؾَودٔمضَولَمضُؾًُْماظؾّهُموَرَدُوظُهُمأَسِؾَمُم
ضَولَمصَنِنٖمحَقٖماظؾّهٔمسَؾَىماظْعٔؾَودٔمأَنِمؼَعِؾُُّوهُموَظَومؼُشِِّطُوامبٔهٔمذَقِؽّومثُمٖمدَورَمدَوسَيًم
ضَولَمؼَومعُعَوذَمبِنَمجَؾَلٍمضُؾًُْمظَؾٖقِكَمرَدُولَماظؾّهٔموَدَعَِّؼِكَمضَولَمػَلِمتَِّرِيمعَومحَقٗم
اظْعٔؾَودٔمسَؾَىماظؾّهٔمإِذَامصَعَؾُوامذَظٔكَمضَولَمضُؾًُْماظؾّهُموَرَدُوظُهُمأَسِؾَمُمضَولَمأَنِمظَومؼُعَّٚبَفُمِم*مم
Kami meneruskan lagi perjalanan kemudian baginda Nabi memanggil lagi: “Wahai Muadz bin Jabal!”. Aku menjawab: “Telah kuterima panggilanmu itu wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw bersabda: “Tahukah engkau apakah kewajiban Allah terhadap seorang hamba apabila mereka telah melaksanakan pengabdiannya?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Akhirnya baginda bersabda: “Allah tidak akan menyiksa mereka”.
Manakala seorang hamba telah mampu melaksanakan pengabdian hakiki kepada tuhannya dengan tanpa sedikitpun dicampuri syirik, maka hasilnya, baik di dunia maupun di akhirat, sekali-kali Allah tidak akan menyiksa mereka.
Itulah janji Allah yang telah dinyatakan sabda Nabi Saw tersebut, namun demikian, apabila sampainya hasil ibadah tersebut di akhirat, maka perbedaan antara orang yang mendapatkan siksa dengan orang yang tidak, akan tampak nyata, karena di akhirat hanya ada dua tempat dan terpisah, yaitu surga dan neraka, maka orang yang tidak di siksa berarti akan dimasukkan syurga.
Lain halnya jika hasil ibadah tersebut kejadiannya di dunia, oleh karena orang yang taat dan maksiat kepada Allah masih dikumpulkan didalam masa dan kawasan yang sama, maka orang yang mendapatkan siksa dan mendapatkan rahmat juga masih dikumpulkan di dalam satu kehidupan yang sama.
Oleh karena itu, untuk menyikapi kejadian alam yang pernah terjadi, seperti terjadi gempa bumi dan tsumani misalnya, orang menjadi sulit membedakannya, apakah musibah tersebut sebagai siksa atau rahmat bagi orang beriman.
Apabila musibah yang datang kepada orang-orang beriman itu ternyata merupakan ujian bukan siksa, maka bentuk apapun musibah itu sejatinya adalah rahmat, karena dengan musibah itu Allah hendak mengangkat derajat hamba-Nya yang beriman.
Sebabnya semakin seorang hamba dicintai Allah, mereka harus semakin siap menghadapi ujian dari-Nya, karena “Apabila Allah mencintai suatu kaum Ia akan mengujinya”, demikianlah bunyi salah satu hadits Nabi Saw.
Cara membedakan musibah tersebut sebagai siksa atau ujian adalah tergantung bagaimana hati orang beriman menyikapinya, apabila orang beriman dapat menerima musibah itu dengan hati sabar, karena mereka sadar bahwa dengan musibah itu tuhannya sedang menguji imannya, disamping supaya imannya menjadi semakin meningkat juga supaya derajatnya semakin meningkat.
Dengan sikap seperti itu, ketika pahala sabar tersebut benar-benar diturunkan di dunia, maka dengan musibah itu justru mereka akan mendapatkan kenikmatan ruhani yang tidak terbatas: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar : 10).Namun apabila dengan musibah itu hati mereka menjadi tersiksa, berkeluh kesah dan bahkan putus asa, maka itu pertanda bahwa musibah yang datang itu bukan rahmat tapi siksa, sebabnya, surga dan neraka dunia itu sejatinya berada di dalam dada manusia.
Untuk dapat menyikapi kejadian-kejadian tersebut dengan tepat, hati orang beriman harus memahami dasarnya, yaitu bahwa secara garis besar kehidupan dunia hanya di bagi menjadi dua, yang menyenangkan dan yang menyusahkan.
Sedangkan anugerah Allah yang diturunkan kepada orang beriman juga dibagi menjadi dua, yang berkelebihan dan yang kekurangan, apabila susah identik dengan siksa dan senang identik dengan rahmat, maka meski datangnya kehidupan duniawi itu berlebihan, manakala itu menyebabkan timbulnya kesusahan, berarti harta yang berlebihan itu hakikatnya siksa dan meski anugerah itu bentuknya kesulitan, apabila itu menyenangkan, berarti hakikatnya adalah rahmat.
Seperti seorang tentara sedang menjalani latihan perang misalnya, bagaimanapun sulitnya latihan itu, namun mereka tetap menjalaninya dengan senang hati, karena mereka sadar, dengan latihan itu pangkatnya akan bertambah naik.
Seperti itu pula ketika orang beriman telah yakin, bahkan dapat merasakan kasih sayang Allah terhadap dirinya, maka bagaimanapun sulitnya tantangan hidup yang harus dihadapi, mereka menganggap itu bukan siksa dunia tapi latihan hidup yang memang harus dijalani untuk mendapatkan kenaikan derajat imannya dan tiket syurga.
Selanjutnya, ketika dengan kekuatan iman dan kecemerlangan mata hati seorang hamba mampu merasakan romantika kehidupan duniawi sebagai kenikmatan syurga yang diturunkan di dunia, hal tersebut bisa dirasakan secara istiqamah di dalam hati sampai berhasil mati di dalam istiqamah itu, maka matinya di dunia sejatinya bukan mati, melainkan melanjutkan perjalanan yang lebih panjang untuk dipindahkan di dalam kehidupan yang lebih hakiki.
Itulah perjalanan yang sangat menyenangkan meski mengakibatkan kesusahan bagi orang-orang yang ditinggalkan, untuk mencapai hal tersebut, maka ibadah lahir, seperti shalat, dzikir, mujahadah dan riyadlah yang dilaksanakan oleh seorang hamba sebagai manusia pada dimensi jismul mahsusah, ibadah tersebut sejatinya hanya ibarat kendaraan yang harus dikendarai dalam perjalanan, dengan perjalanan tersebut supaya ruhaniyah (nismatul 'adamiyah) seorang hamba sampai atau wusul keharibaan Allah.
Allah telah membeberkan jalan itu dengan firman-Nya: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur”. (Q.S. Fathir (35) : 10).
Dengan wushul nya ruhani tersebut, baik disaat melaksakanan ibadah vertikal maupun horizontal, seorang hamba akan merasakan kenikmatan bermunajat, itulah kenikmatan akhirat yang diturunkan di dunia yang seringkali mampu menjadikan orang mabuk (jadzab), sehingga dengan itu menjadikan hati mereka mampu berpaling dari kecenderungan kepada kehidupan duniawi yang menggoda.
Yakni kenikmatan jannatul ma'rifah, nikmat syurga yang diturunkan di dunia yang disebut syurga dunia bagi hamba Allah yang beriman, yang dimaksud: “Perkataan-perkataan yang baik” dari ayat di atas (QS. Fathir (35) : 10) adalah “ma'rifatullah”, yaitu pemahaman hati tentang urusan ketuhanan yang menjadi dasar dari amal shaleh yang dilakukan itu.
Maksudnya, amal shaleh itu sejatinya ibarat kendaraan yang dinaiki nismatul 'adamiyah untuk terbang tinggi menembus lapisan hijab guna melepaskan diri dari gravitasi alam jismul mahsusah yang menyelimuti dirinya.
Seperti buraq yang dinaiki Rasulullah Saw di dalam perjalanan mi‘raj menuju langit tingkat tujuh sampai ke sidratul muntaha, oleh karena di dalam perjalanan mi‘raj itu Rasul Saw didampingi malaikat Jibril As, maka di dalam perjalanan ruhani ini juga para salik tersebut harus ada yang mendampingi perjalanannya.
Oleh karena pendakian yang dimaksud adalah pendakian secara ruhaniyah maka yang dapat mendampingi perjalanan itu hanyalah guru-guru secara ruhaniyah pula, yaitu guru-guru mursyid thariqah yang ditawassuli di dalam pelaksanaan ibadah.
Inilah tujuan pokok pelaksanaan tawassul secara ruhaniyah, dengan pendamping guru ruhaniyah tersebut supaya pengembaraan yang dilakukan para murid terjaga dari gangguan syetan jin yang bisa jadi malah menjadi pembimbing perjalanan ibadah yang dilakukan itu.
Ketika pendakian hampir menembus titik kulminasi antara dua dimensi, ketika panasnya bara kerinduan hampir-hampir meledakkan isi dada di saat sang pengembara melihat yang dirindui sudah tampak di ambang pintu pertemuan.
Bagaikan seorang ibu yang akan melahirkan, antara hidup dan mati, meregang nyawa, namun ketika bayinya sudah dalam pangkuan, kegembiraan hati mampu menghilangkan bekas luka dan derita.
Seperti itu pula, seketika segala kesusahan seorang salik menjelma kegembiraan ketika panasnya bara penyesalan berhasil merontokkan dosa-dosa dan membakar hijab-hijab basyariyah, dengan izin Allah selanjutnya pintu-pintu langit terbuka, Al-Furqan diturunkan, dan Sang Kekasih kemudian mendaulat seorang hamba pilihan menjadi khalifah bumi zamannya.
Allah berfirman: “Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)." (Q.S. An-Naml (27) : 62).
Hanya Allahlah yang berkehendak dan berkuasa menjadikan seorang hamba pilihan menjadi seorang khalifah bumi zamannya, sebagai guru-guru mursyid dan bapak asuh sejati, serta bapak ruhaniyah, kemudian mengangkat mereka dengan beberapa tingkat derajat yang berbeda.
Apabila selain itu ada upaya dari seorang hamba untuk mendapatkannya, upaya itu hanyalah iradah hadits sebagai aktualisasi dari iradah azaliyah yang terbit dari pilihan seorang hamba yang dha‘if yang sejatinya sudah ditetapkan oleh kehendak Allah sejak zaman azali.
Allah menegaskannya dengan firman-Nya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat”.
(Q.S. Al-An'am (6) : 165).
Itu hanyalah merupakan pelaksanaan janji Allah, ketika seorang hamba telah merealisasikan pilihan hatinya dengan iman dan amal shaleh secara sempurna, yaitu ketika usaha yang hadits telah menyatu dengan ketetapan yang qadim, maka yang hadits itu segera meleburkan diri kepada yang qadim.
Allah menyatakan janji-Nya itu dengan firman-Nya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dibumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S. An-Nur (24) : 55).
Walhasil, seorang khalifah bumi zamannya adalah guru mursyid thariqah yang suci lagi mulia, orang tua asuh sejati dan bapak ruhaniyah bagi para murid dan anak asuhnya, sebagai penerus
pendahulunya, maka kekhalifahannya haruslah diangkat oleh pewarisnya yang sah, baik secara lahir sebagai pilihan pribadi suci maupun secara batin melalui pelaksanaan sebuah proses kinerja dari rahasia sistem mekanisme kerja urusan Illahi Rabbi, bukan diangkat secara aklamasi oleh hasil rekayasa manusia melalui sistem kompetisi dari sekelompok golongan secara organisasi.
Posting Komentar untuk "Pendakian Ruhaniyah"
Terimakasih atas kunjungan anda...