Mandi Wajib (Al-Ghuslu)
Al-ghuslu artinya secara bahasa adalah melakukan atau mengalirkan air pada sesuatu, sedangkan yang dimaksud dengan Al-ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke seluruh badan dengan tata cara yang khusus, Al-ghuslu disini utamanya yang saya maksudkan adalah mandi wajib dengan menggunakan air yang digunakan untuk mandi mandi wajib tersebut (yang dikenal juga dengan istilah janabah/junub).
Hal-hal yang mewajibkan untuk mandi wajib (Al-ghuslu) adalah :
1. Keluarnya air mani dengan dasar karena syahwat, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi dengan melihat ciri-ciri mani tersebut, yaitu :
Juga pada firman Allah Swt ini : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (Q.S An-Nisaa’ : 43). Dalil lainnya dari hadits yang bersumber dari Abu Sa’id Al-Khudri Ra, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda,“Sesungguhnya mandi dengan air disebabkan karena keluarnya air mani.” (H.R. Muslim).
Hal-hal yang mewajibkan untuk mandi wajib (Al-ghuslu) adalah :
1. Keluarnya air mani dengan dasar karena syahwat, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi dengan melihat ciri-ciri mani tersebut, yaitu :
- Baunya yang khas seperti baunya roti ketika basah dan jika kering maka baunya seperti bau telur.
- Airnya yang keluar memancar.
- Keluarnya terasa nikmat akibat bertemunya dua khitan dan mengakibatkan lemas (futur).
Juga pada firman Allah Swt ini : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (Q.S An-Nisaa’ : 43). Dalil lainnya dari hadits yang bersumber dari Abu Sa’id Al-Khudri Ra, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda,“Sesungguhnya mandi dengan air disebabkan karena keluarnya air mani.” (H.R. Muslim).
Menurut jumhur ulama secara umum kesepakatan mengenai hal ini, yang menyebabkan seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar, jadi, jika mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi, berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib, namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama.
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi tentang hal ini (basah)? Imam Asy-Syaukani Ra mengatakan,“Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An-Nakha’i, akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi tersebut mendapatkan sesuatu yang basah.” Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah Ra, ia berkata : “Rasulullah Saw pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab,“Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab,“Dia tidak wajib mandi.” (H.R Abu Daud, At-Tarmidzi dan Imam Ahmad).
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi tentang hal ini (basah)? Imam Asy-Syaukani Ra mengatakan,“Terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An-Nakha’i, akan tetapi yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah jika orang yang bermimpi tersebut mendapatkan sesuatu yang basah.” Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah Ra, ia berkata : “Rasulullah Saw pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab,“Dia wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab,“Dia tidak wajib mandi.” (H.R Abu Daud, At-Tarmidzi dan Imam Ahmad).
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah Ummul Mu’minin Ra, ia berkata,“Ummu Sulaim (istri dari Abu Thalhah) datang menemui Rasulullah Saw dan berkata,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Rasulullah Saw menjawab : “Ya, jika dia melihat air.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Nah, hadits-hadits di atas adalah jadi sanggahan bagi mereka yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakinnya ia akan hal itu, pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu, hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali, begitu pula ia tetap wajib mandi, baik ketika ia merasakan mimpi ataupun tidak, karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur), yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.
2. Bertemunya dua kemaluan (dua kelamin berlainan jenis) walaupun tidak keluar mani, mari kita lihat pada riwayat dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda,”Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya adalah menyetubuhi istrinya), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (H.R Bukhari dan Muslim). Mengenai hal ini dalam riwayat riwayat Muslim terdapat tambahan berupa,“Walaupun tidak keluar mani.” Dari ‘Aisyah Ra, ia berkata,“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani, apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan ‘Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah Saw bersabda,“Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah ‘Aisyah, isterinya) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (H.R. Muslim).
Imam Asy-Syafi’i menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani, jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani, maka tetap dianggap sebagai junub.
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah Ra diatas, Imam An-Nawawi,“Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani, akan tetapi, jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi, untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat, yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya, kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang telah disebutkan diatas, artinya tetap mandi.
3. Ketika Berhentinya Darah Haidh dan Nifas, dasar hal ini adalah dari dalil mengenai hal ini adalah dari hadits ‘Aisyah Ra, Rasulullah Saw berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,“Apabila kamu datang haidh, hendaklah kamu meninggalkan shalat, apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Untuk nifas, hukumnya sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, bahwa wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh, adalah tidak ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini, yang menunjukkan hal ini adalah dalil dari Al-Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak dan shahih), begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.
4. Ketika Orang Kafir Masuk Islam, mengenai wajibnya akan ketentuan hal ini, terdapat pada hadits riwayat dari Qais bin ‘Ashim Ra,“Beliau masuk Islam, lantas Rasulullah Saw memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (H.R. An-Nasai, At-Tarmidzi dan Imam Ahmad).
Perintah yang berlaku untuk Qais yang masuk Islam di sini berlaku pula untuk yang lainnya, dalam kaidah ushul fiqh, hukum asal perintah adalah wajib hukumnya dilaksanakan, ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal, ulama mazhzab Hanabilah, Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al-Khattabi.
Sebagai tambahan tentang kewajiban mandi.
5. Wajib dikala penyelenggaraan orang yang meninggal dunia, maksudnya wajib mandi di sini adalah ditujukan pada orang yang hidup, arti orang yang hidup disini adalah, wajib memandikan orang yang mati, jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya, dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Rasulullah Saw kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Nah, berdasarkan pada kaidah ushul fiqh, hukum asal perintah adalah wajib, sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan), kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini, yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.
Lalu bagaimana dengan bayi yang karena keguguran, wajibkah dimandikan? Jawabnya adalah, mari kita lihat pada penjelasan berikut ini, yaitu jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan dishalatkan, namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidaklah sedemikian yang dilakukan, waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan keatas sesuai dengan hadist Rasulullah Saw yang menyatakan bahwasanya ditiupkannya ruh pada asal kejadian manusia dalam rahim ibunya adalah setelah diatas 120 hari, sesuai dengan hadist Rasulullah Saw yang bersabda,”Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizqinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya." (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jelasnya adalah, bila ia telah genap usia empat bulan yakni 120 hari keatas, setelah ditiupkannya ruh kedalamnya, maka bayi tersebut wajib dimandikan, dikafani dan dikuburkan dan sebaiknya dishalatkan juga.
Nah, hadits-hadits di atas adalah jadi sanggahan bagi mereka yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakinnya ia akan hal itu, pada saat itu diwajibkan mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu, hal ini menunjukkan bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali, begitu pula ia tetap wajib mandi, baik ketika ia merasakan mimpi ataupun tidak, karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur), yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.
2. Bertemunya dua kemaluan (dua kelamin berlainan jenis) walaupun tidak keluar mani, mari kita lihat pada riwayat dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda,”Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya adalah menyetubuhi istrinya), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (H.R Bukhari dan Muslim). Mengenai hal ini dalam riwayat riwayat Muslim terdapat tambahan berupa,“Walaupun tidak keluar mani.” Dari ‘Aisyah Ra, ia berkata,“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani, apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan ‘Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah Saw bersabda,“Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah ‘Aisyah, isterinya) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (H.R. Muslim).
Imam Asy-Syafi’i menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani, jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani, maka tetap dianggap sebagai junub.
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah Ra diatas, Imam An-Nawawi,“Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani, akan tetapi, jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi, untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat, yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya, kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang telah disebutkan diatas, artinya tetap mandi.
3. Ketika Berhentinya Darah Haidh dan Nifas, dasar hal ini adalah dari dalil mengenai hal ini adalah dari hadits ‘Aisyah Ra, Rasulullah Saw berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,“Apabila kamu datang haidh, hendaklah kamu meninggalkan shalat, apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Untuk nifas, hukumnya sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, bahwa wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh, adalah tidak ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini, yang menunjukkan hal ini adalah dalil dari Al-Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak dan shahih), begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.
4. Ketika Orang Kafir Masuk Islam, mengenai wajibnya akan ketentuan hal ini, terdapat pada hadits riwayat dari Qais bin ‘Ashim Ra,“Beliau masuk Islam, lantas Rasulullah Saw memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (H.R. An-Nasai, At-Tarmidzi dan Imam Ahmad).
Perintah yang berlaku untuk Qais yang masuk Islam di sini berlaku pula untuk yang lainnya, dalam kaidah ushul fiqh, hukum asal perintah adalah wajib hukumnya dilaksanakan, ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal, ulama mazhzab Hanabilah, Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al-Khattabi.
Sebagai tambahan tentang kewajiban mandi.
5. Wajib dikala penyelenggaraan orang yang meninggal dunia, maksudnya wajib mandi di sini adalah ditujukan pada orang yang hidup, arti orang yang hidup disini adalah, wajib memandikan orang yang mati, jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya, dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Rasulullah Saw kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Nah, berdasarkan pada kaidah ushul fiqh, hukum asal perintah adalah wajib, sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan), kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini, yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.
Lalu bagaimana dengan bayi yang karena keguguran, wajibkah dimandikan? Jawabnya adalah, mari kita lihat pada penjelasan berikut ini, yaitu jika bayi karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia dimandikan, dikafani dan dishalatkan, namun jika ia belum memiliki ruh, maka tidaklah sedemikian yang dilakukan, waktu ditiupkannya ruh adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan keatas sesuai dengan hadist Rasulullah Saw yang menyatakan bahwasanya ditiupkannya ruh pada asal kejadian manusia dalam rahim ibunya adalah setelah diatas 120 hari, sesuai dengan hadist Rasulullah Saw yang bersabda,”Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizqinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya." (H.R. Bukhari dan Muslim).
Jelasnya adalah, bila ia telah genap usia empat bulan yakni 120 hari keatas, setelah ditiupkannya ruh kedalamnya, maka bayi tersebut wajib dimandikan, dikafani dan dikuburkan dan sebaiknya dishalatkan juga.
Posting Komentar untuk "Mandi Wajib (Al-Ghuslu)"
Terimakasih atas kunjungan anda...